Konferensi Umum
Dalam Kemitraan dengan Tuhan
Konferensi umum Oktober 2022


12:58

Dalam Kemitraan dengan Tuhan

Injil Yesus Kristus yang dipulihkan memaklumkan asas kemitraan penuh antara wanita dan pria, baik dalam kehidupan fana maupun dalam kekekalan.

Beberapa bulan pertama setelah kami menikah, istri terkasih saya menyatakan hasratnya untuk studi di bidang musik. Berniat untuk menyenangkan dia, saya memutuskan untuk mengatur suatu kejutan besar sepenuh hati bagi istri terkasih saya itu. Saya pergi ke toko alat musik dan membeli untuknya sebuah piano sebagai hadiah. Saya dengan semangat meletakkan kuitansi pembelian di kotak dengan pita cantik dan memberikannya kepadanya, mengharapkan suatu reaksi luapan terima kasih bagi suaminya yang amat mengasihi dan penuh perhatian ini.

Ketika dia membuka kotak kecil itu dan melihat isinya, dia dengan penuh kasih menatap saya dan mengatakan, “Oh, sayangku, kamu luar biasa! Tetapi boleh saya bertanya kepadamu: Apakah ini hadiah atau utang?” Setelah berembuk bersama mengenai kejutan itu, kami memutuskan untuk membatalkan pembelian tersebut. Kami saat itu hidup dengan anggaran siswa, seperti umumnya banyak pengantin baru muda. Pengalaman ini membantu saya mengenali pentingnya asas kemitraan penuh dalam hubungan pernikahan dan bagaimana penerapannya dapat membantu istri saya dan saya menjadi satu hati dan satu pikiran.1

Injil Yesus Kristus yang dipulihkan memaklumkan asas kemitraan penuh antara wanita dan pria, baik dalam kehidupan fana maupun dalam kekekalan. Meskipun masing-masing memiliki atribut yang spesifik dan tanggung jawab yang ditetapkan secara ilahi, wanita dan pria mengisi peranan relevan dan esensial yang setara dalam rencana kebahagiaan Allah bagi anak-anak-Nya.2 Ini terbukti sejak awal ketika Tuhan memaklumkan bahwa “tidaklah baik bahwa pria itu akan seorang diri; karenanya, [Dia] akan menjadikan seorang penolong yang pantas baginya.”3

Dalam rencana Tuhan, “penolong yang pantas” adalah rekan yang akan berjalan bahu-membahu bersama Adam dalam kemitraan penuh.4 Kenyataannya, Hawa merupakan berkat surgawi dalam kehidupan Adam. Melalui kodrat ilahi dan atribut rohaninya, dia mengilhami Adam untuk bekerja dalam kemitraan dengannya untuk mencapai rencana kebahagiaan Allah bagi seluruh umat manusia.5

Mari kita pertimbangkan dua asas fundamental yang memperkuat kemitraan antara pria dan wanita. Asas pertama adalah kita semua adalah sama bagi Allah.6 Menurut doktrin Injil, perbedaan antara wanita dan pria tidak mengesampingkan janji-janji kekal yang Allah miliki bagi para putra dan putri-Nya. Yang satu tidak memiliki kemungkinan lebih besar bagi kemuliaan selestial daripada yang lain dalam kekekalan.7 Juruselamat Sendiri mengundang kita semua, anak-anak Allah, “untuk datang kepada-Nya, untuk mengambil bagian dalam kebaikan-Nya, dan Dia tidak menolak siapa pun yang datang kepada-Nya.”8 Karenanya, dalam konteks ini, kita semua dianggap setara di hadapan Dia.

Ketika pasangan memahami dan menyertakan asas ini, mereka tidak menempatkan diri sendiri sebagai presiden atau wakil presiden dari keluarga mereka. Tidak ada yang superior atau inferior dalam hubungan pernikahan, dan tidak seorang pun berjalan di depan atau di belakang yang lainnya. Mereka berjalan berdampingan, sebagai yang setara, keturunan ilahi Allah. Mereka menjadi satu dalam pikiran, hasrat, dan tujuan dengan Bapa Surgawi kita dan Yesus Kristus,9 memimpin serta membimbing unit keluarga bersama-sama.

Dalam kemitraan yang setara, “cinta bukanlah kepemilikan melainkan partisipasi, … bagian dari kreasi bersama yang merupakan pemanggilan manusiawi kita.”10 “Dengan peran serta sejati, suami dan istri menyatu ke dalam kesatuan yang sinergis dari suatu ‘kekuasaan abadi’ yang ‘tanpa sarana yang diwajibkan’ akan mengalir dengan kehidupan rohani kepada mereka dan keturunan mereka ‘selama-lamanya.’”11

Asas relevan yang kedua adalah Peraturan Emas, diajarkan oleh Juruselamat dalam Khotbah di Bukit: “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.”12 Asas ini mengindikasikan sikap kebersamaan, timbal balik, kesatuan, dan saling kebergantungan serta didasarkan pada perintah utama yang kedua: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”13 Itu berpadu dengan atribut Kristiani lainnya seperti kepanjangsabaran, kelembutan, kelemahlembutan, dan kebaikan.

Untuk memahami dengan lebih baik penerapan dari asas ini, kita dapat melihat ikatan sakral dan kekal yang ditegakkan oleh Allah di antara orangtua pertama kita, Adam dan Hawa. Mereka menjadi satu daging,14 menciptakan dimensi kesatuan yang memperkenankan mereka berjalan bersama dengan respek, rasa syukur, dan kasih, melupakan diri sendiri dan mengupayakan kesejahteraan satu sama lain dalam perjalanan mereka menuju kekekalan.

Karakteristik yang sama adalah yang kita usahakan dalam pernikahan yang dipersatukan dewasa ini. Melalui pemeteraian bait suci, seorang wanita dan seorang pria memasuki ikatan kudus pernikahan dalam perjanjian yang baru dan abadi. Melalui tata tertib keimamatan ini mereka diberikan berkat-berkat kekal dan kuasa ilahi untuk mengarahkan urusan keluarga mereka sewaktu mereka hidup sesuai dengan perjanjian yang telah mereka buat. Sejak saat itu, mereka bergerak maju dengan saling ketergantungan dan dalam kemitraan penuh dengan Tuhan, khususnya sehubungan dengan tanggung jawab masing-masing yang ditetapkan secara ilahi berupa memelihara dan mengetuai dalam keluarga mereka.15 Memelihara dan mengetuai adalah tanggung jawab yang saling berkaitan dan tumpang tindih, yang berarti bahwa ibu dan ayah “berkewajiban untuk saling membantu sebagai pasangan yang setara”16 dan berbagi kepemimpinan secara seimbang dalam rumah tangga mereka.

“Mengasuh berarti memelihara, mengajar, dan mendukung” anggota keluarga, yang dilakukan dengan membantu mereka “mempelajari kebenaran Injil dan mengembangkan iman kepada Bapa Surgawi dan Yesus Kristus” dalam lingkungan kasih. Mengetuai berarti “membantu memimpin anggota keluarga kembali untuk tinggal di hadirat Allah. Ini dilakukan dengan melayani dan mengajar dengan kelembutan, kelemahlembutan, dan kasih yang murni.” Itu juga mencakup “memimpin anggota keluarga dalam doa, penelaahan Injil, dan aspek-aspek ibadat rutin lainnya. Orangtua bekerja dalam kesatuan, ”mengikuti teladan Yesus Kristus “untuk memenuhi [dua] tanggung jawab [besar] ini.”17

Adalah penting untuk mengamati bahwa pengaturan dalam keluarga mengikuti pola patriarkat, yang berbeda dalam beberapa hal dengan kepemimpinan imamat di Gereja.18 Pola patriarkat mengharuskan istri dan suami bertanggung jawab langsung kepada Allah untuk pemenuhan tanggung jawab sakral mereka dalam keluarga. Itu memerlukan kemitraan penuh—kesediaan kepatuhan terhadap setiap asas kesalehan dan akuntabilitas—serta menyediakan kesempatan untuk perkembangan dalam lingkungan kasih dan sikap saling menolong.19 Tanggung jawab khusus ini tidak menyiratkan hierarki dan secara mutlak tidak melibatkan perundungan apa pun atau penggunaan wewenang yang tidak benar.

Pengalaman Adam dan Hawa, setelah mereka meninggalkan Taman Eden, dengan indahnya mengilustrasikan konsep saling ketergantungan antara ibu dan ayah dalam memelihara dan mengetuai keluarga mereka. Sebagaimana diajarkan dalam kitab Musa, mereka bekerja bersama untuk mengolah tanah dengan keringat mereka untuk menyediakan kesejahteraan jasmani keluarga mereka;20 mereka mendatangkan anak-anak ke dunia;21 mereka berseru kepada Tuhan bersama-sama dan mendengar suara-Nya “dari arah Taman Eden”;22 mereka menerima perintah-perintah yang Tuhan berikan kepada mereka dan berupaya bersama untuk mematuhinya.23 Mereka kemudian “menyingkapkan segala hal [ini] kepada putra mereka dan putri mereka”24 dan “tidak berhenti meminta kepada Allah” bersama-sama sesuai dengan kebutuhan mereka.25

Brother dan sister terkasih, memelihara dan mengetuai merupakan kesempatan, bukan pembatasan eksklusif. Satu orang mungkin memiliki tanggung jawab untuk sesuatu tetapi mungkin bukan satu-satunya yang melakukannya. Ketika orangtua yang pengasih memahami dengan baik dua tanggung jawab utama ini, mereka akan berusaha bersama-sama untuk melindungi dan mengurus kesejahteraan jasmani dan emosi anak-anak mereka. Mereka juga membantu anak-anak mereka menghadapi tantangan rohani zaman kita dengan memelihara mereka dengan firman Tuhan yang baik sebagaimana diungkapkan kepada para nabi-Nya.

Meskipun suami dan istri saling mendukung dalam tanggung jawab mereka yang ditetapkan secara ilahi, “cacat, kematian, atau keadaan lainnya mungkin mengharuskan penyesuaian peran.”26 Terkadang salah satu dari pasangan atau pasangan lainnya akan memiliki tanggung jawab untuk bertindak dalam kedua peranan secara simultan, baik untuk sementara maupun secara permanen.

Saya baru-baru ini bertemu seorang sister dan seorang brother yang masing-masing hidup dalam kondisi ini. Sebagai orangtua tunggal, mereka masing-masing, dalam lingkup keluarga mereka dan dalam kemitraan dengan Tuhan, telah memutuskan untuk mengabdikan hidup mereka sepenuhnya bagi pemeliharaan rohani dan jasmani anak-anak mereka. Mereka tidak kehilangan pandangan akan perjanjian bait suci mereka yang dibuat dengan Tuhan dan janji-janji kekal-Nya terlepas dari perceraian mereka. Keduanya telah mencari bantuan Tuhan dalam segala hal sementara mereka terus berusaha untuk menanggung tantangan-tantangan mereka dan berjalan di jalan perjanjian. Mereka percaya bahwa Tuhan akan mengurus kebutuhan mereka, bukan hanya dalam hidup ini saja tetapi sepanjang kekekalan. Keduanya telah memelihara anak-anak mereka dengan mengajari mereka dalam kelembutan, kelemahlembutan, dan kasih murni bahkan sementara mengalami keadaan-keadaan sulit dalam hidup. Dari yang saya ketahui, kedua orangtua tunggal ini tidak menyalahkan Allah akan keadaan mereka yang kurang beruntung. Alih-alih, mereka menatap ke depan dengan kecemerlangan harapan yang sempurna dan keyakinan akan berkat-berkat yang Tuhan sediakan bagi mereka.27

Brother dan sister, Juruselamat memberikan teladan sempurna tentang kesatuan dan keselarasan dari tujuan dan doktrin dengan Bapa kita di Surga. Dia berdoa mewakili murid-murid-Nya, berkata, “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, … supaya mereka menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu.”28

Saya bersaksi kepada Anda bahwa sewaktu kita—wanita dan pria—bekerja bersama dalam kemitraan yang sejati dan setara, kita akan menikmati kesatuan yang diajarkan oleh Juruselamat sewaktu kita memenuhi tanggung jawab ilahi dalam hubungan pernikahan kita. Saya berjanji kepada Anda, dalam nama Kristus, bahwa hati akan “terajut bersama dalam kesatuan dan dalam kasih satu sama lain,”29 kita akan menemukan lebih banyak sukacita dalam perjalanan kita menuju kehidupan kekal, dan kapasitas kita untuk melayani satu sama lain dan bersama satu sama lain akan digandakan secara signifikan.30 Saya memberi kesaksian akan kebenaran-kebenaran ini dalam nama kudus Juruselamat, Yesus Kristus, amin.