Siaran Tahunan
Iman Sebagai Asas Tindakan dan Kuasa


20:21

Iman Sebagai Asas Tindakan dan Kuasa

Siaran Pelatihan Tahunan Seminari dan Institut Religi • 13 Juni 2017

Saya selalu berharap dapat bersama Anda di pertemuan yang penting ini. Dalam persiapan untuk pertemuan ini, saya telah memohon kepada Tuhan untuk mengetahui apa yang Dia kehendaki untuk kita lakukan untuk anak-anak-Nya yang duduk di kelas dan di rumah kita. Pada saat-saat hening saya merasakan persetujuan-Nya atas usaha tak kenal lelah dan pengurbanan Anda yang tak terhitung jumlahnya. Saya juga telah merasakan betapa Dia sangat berkenan memberkati Anda dan keluarga Anda. Dan saya telah merasakan keinginan-Nya untuk memberkati siswa-siswa Anda dengan kasih dan kesaksian Putra Terkasih-Nya.

Hal ini tidak dapat dicapai semata-mata dengan program, kurikulum, pelatihan, atau teknologi yang lebih banyak atau lebih baik, karena tidak ada satu pun dari hal-hal itu yang dapat menggantikan pengaruh surgawi yang menakjubkan dalam kehidupan siswa kita. Apa yang kita harapkan hanya akan datang sebagai karunia dari Bapa kita yang terkasih di Surga dan akan memerlukan kuasa-Nya untuk melakukan mukjizat dalam kehidupan individu.

Apa yang akan dibutuhkan dari kita adalah menjalankan iman yang lebih besar karena iman mendahului setiap mukjizat. Penatua Dallin H. Oaks mengatakan: “‘Iman tanpa perbuatan adalah mati.’ Namun [dia kemudian menambahkan], ‘Pekerjaan tanpa iman adalah bahkan lebih mati.’”1 Dengan perkataan lain, semua kerja keras kita tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan jika itu dilakukan tanpa iman. Itu karena iman merupakan baik sebuah asas tindakan maupun asas kuasa. Peningkatan iman kepada Juruselamat akan memperkuat pengajaran kita, undangan kita untuk remaja dan dewasa muda untuk menghadiri seminari atau institut atau membaca tulisan suci, dan bahkan hubungan kita dengan orangtua dan pemimpin imamat. Jadi, dalam beberapa minggu dan bulan mendatang, maukah Anda bergabung dengan saya untuk memohon kepada Bapa kita di Surga untuk meningkatkan iman kita? Saya percaya Dia siaga membantu jika saja kita bersedia meminta.

Menjalankan Iman Sebagai Asas Tindakan

Joseph Smith mengajarkan bahwa menjalankan iman kepada Allah mengharuskan kita untuk memiliki gagasan yang “benar mengenai karakter, kesempurnaan, dan atribut-Nya” dan “pengetahuan bahwa jalan hidup yang kita tempuh sesuai dengan kehendak-Nya.”2 Kedua kebutuhan ini mengharuskan kita untuk menjalankan iman sebagai sebuah asas tindakan.3

Dalam konferensi umum terbaru, Presiden Russell M. Nelson membagikan satu cara dengan mana kita bisa mendekati yang pertama dari kedua persyaratan ini:

“Semakin kita tahu tentang pelayanan dan misi Juruselamat—semakin kita memahami ajaran-Nya dan apa yang Dia lakukan untuk kita—semakin kita tahu bahwa Dia dapat memberikan kuasa yang kita butuhkan untuk hidup kita.

Awal tahun ini, saya meminta para dewasa muda Gereja untuk menguduskan sebagian waktu mereka setiap minggu untuk menelaah segala sesuatu yang Yesus katakan dan lakukan seperti yang tercatat dalam kitab-kitab standar. Saya mengundang mereka untuk membiarkan kutipan tulisan suci tentang Yesus Kristus dalam Panduan Topik menjadi kurikulum inti pribadi mereka.

Saya memberikan tantangan itu karena saya sudah menerimanya sendiri. Saya membaca dan menggarisbawahi setiap ayat yang dikutip tentang Yesus Kristus, sebagaimana tercantum di bawah judul utama dan 57 sub-judul dalam Panduan Topik. Ketika saya menyelesaikan latihan yang menyenangkan itu, istri saya bertanya kepada saya apa dampaknya terhadap saya. Saya mengatakan kepadanya, ‘Saya menjadi orang yang berbeda!’”4

Saya ingin mengingatkan Anda tentang undangan ini karena secara pribadi saya telah melihat manfaat dari penelaahan yang terfokus ini dan mengetahui bahwa semakin kita memahami dan mengasihi Juruselamat, semakin iman kita kepada Dia akan meningkat.

Sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya, Nabi Joseph mengajarkan bahwa unsur iman yang penting lainnya adalah belajar menyelaraskan hidup kita dengan kehendak Tuhan. Untuk menggambarkan hal ini, izinkan saya berbagi dengan Anda sebuah contoh yang para ibu yang berada di sini dapat hubungkan:

Celeste Davis adalah seorang ibu muda dari seorang bayi berusia tiga bulan yang sering terbangun, setiap malam. Dia mulai berdoa agar dia dan bayinya bisa mendapatkan tidur yang mereka butuhkan. Tetapi doanya sepertinya tidak terjawab. Hal ini menyebabkan dia ingin lebih memahami doa dan mengapa dia tidak diberkati dengan pertolongan. Dia belajar dari Kamus Alkitab bahwa “kita berdoa dalam nama Kristus ketika pikiran kita adalah pikiran Kristus, dan keinginan kita adalah keinginan Kristus .… Kita kemudian meminta hal-hal yang adalah mungkin bagi Allah untuk berikan. Banyak doa tetap tidak terjawab karena itu sama sekali tidak termasuk dalam nama Kristus; itu sama sekali tidak mewakili pikiran-Nya melainkan sebagai akibat dari keegoisan hati manusia.”5

Jadi Celeste memutuskan untuk membuat daftar hal-hal yang telah dia doakan. Dengan membuat daftar ini, dia menyadari bahwa doanya terutama terdiri dari meminta kepada Bapa Surgawi untuk apa yang dia inginkan, yang adalah agar Dia mengubah keadaannya. Dia kemudian memutuskan untuk membuat daftar lain, menuliskan hal-hal yang dia yakin Bapa Surgawi inginkan untuknya. Tentu saja kedua daftar itu tidak sepenuhnya tidak sesuai—Dia mengasihi kita dan ingin kita bahagia. Tetapi latihan kecil ini mengajarkan sebuah kebenaran penting. Sementara dia ingin mengubah keadaannya, Dia ingin mengubahnya. Jadi, dia memutuskan untuk menyesuaikan pendekatannya terhadap doa agar dia dapat lebih menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Bapa Surgawi. Dia menulis:

“Saya mengembangkan sedikit formula untuk membantu saya dalam doa saya. Formulanya adalah—kapan pun Anda meminta sesuatu yang Anda inginkan dan Anda sama sekali tidak yakin apakah itu sesuatu yang Tuhan inginkan untuk Anda, tambahkan ungkapan ‘tetapi jika tidak’ dan kemudian tambahkan sesuatu yang Anda yakin Tuhan inginkan untuk Anda.

Misalnya: ‘[Bapa Surgawi],  mohon  bantu saya tidur malam ini, tetapi jika tidak, tolong bantu saya untuk memiliki cukup energi agar menyenangkan dan bekerja keras.’ ‘[Bapa Surgawi], tolong berkati agar anak saya akan sembuh dari penyakit ini dan merasa lebih baik, tetapi jika tidak, bantu kami untuk percaya kepada-Mu dan bersabar terhadap satu sama lain.’ ‘[Bapa Surgawi], tolong berkatilah agar saya akan disertakan dalam kelompok teman-teman saya, tetapi jika tidak, bahkan meski saya merasa dikucilkan, bantulah saya untuk bersikap baik dan murah hati.’” 

Dia melanjutkan:

“Saya telah mencoba ini selama kira-kira satu tahun sekarang, dan saya dapat mengatakan tingkat keberhasilan doa saya telah melejit .…

Saya merasa akhirnya memenuhi tujuan doa yang sebenarnya, yaitu bukan untuk menegosiasikan keinginan saya, tetapi untuk menyelaraskan diri dengan Tuhan .…

Manfaat tak terduganya adalah bahwa saya tidak takut dengan situasi sulit atau tidak mendapatkan apa yang saya inginkan hampir sama banyaknya seperti dahulu karena saya telah melihat dan merasakan Tuhan menjawab doa-doa saya—baik keinginan saya dan ‘tetapi jika tidak’ saya”6

Pengalaman Celeste memberikan sebuah pola yang dapat membantu kita dengan doa dan usaha kita untuk menjalankan iman sebagai asas tindakan. Agar jelas, iman tidak akan menyingkirkan hak pilihan anak-anak maupun siswa kita dan tidak akan menghilangkan semua pencobaan dan tantangan dalam hidup kita. Tetapi itu dapat membantu kita bertahan dengan baik dan bahkan belajar dari keadaan yang sulit. Ini juga akan mengubah bagaimana kita melihat siswa kita (dan anak-anak kita) dan bagaimana kita mendoakan mereka. Ini akan mengubah interaksi kita di kelas dan rumah kita. Ini akan membantu kita berdiri dengan harapan, kebahagiaan, dan optimisme di dunia yang semakin jahat. Ini akan menciptakan kesempatan untuk wahyu pribadi dan membawa kuasa untuk pengajaran kita. Ini akan membawa kesaksian kita ke hati orang-orang yang kita cintai.

Iman sejati menghilangkan rasionalisasi. Itu mengarah pada pemeriksaan diri sendiri,yang mengarah pada pertobatan yang tulus dan pertumbuhan yang berarti. Ini memaksa kita untuk menghindari perangkap mengharapkan solusi dapat ditemukan hanya jika orang lain berubah, seperti ketika kita mengatakan hal-hal seperti “Jika saya mendapat lebih banyak dukungan dari orangtua atau pemimpin Gereja, maka keadaan akan menjadi lebih baik.” Pendekatan itu tidak bergantung pada Juruselamat dan, karenanya, tidak akan mengakses kuasa-Nya. Itu tidak akan menghasilkan keajaiban yang kita butuhkan. Kita memiliki dan kita cukup untuk menyelesaikan pekerjaan Tuhan jika kita memiliki cukup iman untuk dengan tulus meminta Dia untuk mengubah kita dan untuk membentuk kita sebagai alat di tangan-Nya.

Hal ini berlaku bahkan ketika kita merasa tidak memadai dan kewalahan. Saya memetik pelajaran ini sebagai seorang pemuda yang sedang mempersiapkan misi. Saya selalu berpikir saya akan melayani, tetapi di tahun-tahun muda saya pemikiran itu membuat saya sangat gugup. Saya sama sekali tidak nyaman berbicara di depan orang-orang. Saya memiliki seorang bibi yang masih mengatakan bahwa dia tidak melihat mata saya sampai saya remaja karena saya berjalan dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajah saya. Di SMP saya mendapat nilai D- di kelas drama, nilai kelulusan yang paling rendah. Saya tidak dapat membuat diri saya berdiri di depan kelas, bahkan untuk membaca naskah yang telah disiapkan yang guru saya berikan kepada saya.

Setelah saya menerima panggilan misi saya ke Meksiko, saya diminta untuk berbicara di sebuah api unggun remaja bersama kakak laki-laki saya. Saya mengambil waktu sekitar lima menit, dia mengambil waktu sisanya. Saya pikir tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa ceramah saya mungkin merupakan ceramah terburuk yang pernah diberikan di gereja ini atau gereja mana pun. Saat api unggun berakhir, banyak remaja berbaris untuk menyambut kakak saya. Seorang remaja yang berbaik hati berbelok sedikit dari antrean dan berkata kepada saya, “Terima kasih. Ceramahnya bagus.” “Saya benar-benar berpikir,” Anda baik hati, tetapi Anda telah berbohong.” Saya pulang dengan perasaan kecewa, bertanya-tanya bagaimana saya bisa berharap dapat menjalankan misi. Saya tidak merasa mampu untuk mengajarkan Injil dalam bahasa Inggris, apalagi dalam bahasa Spanyol yang masih perlu saya pelajari.

Beberapa hari kemudian, masih dengan hati yang berat, saya membuka tulisan suci dan membaca kisah Henokh. Ketika Henokh diarahkan untuk menyerukan kepada orang-orang agar bertobat, ayat 31 berbunyi, “dia membungkukkan dirinya ke tanah, di hadapan Tuhan, dan berbicara di hadapan Tuhan, mengatakan: Mengapa kiranya aku telah berkenan dalam pandangan-Mu, dan adalah hanya seorang bocah lelaki, dan semua orang membenciku; karena aku tidak cakap berbicara; mengapa aku adalah hamba-Mu?”7 Sebagai tanggapan atas keraguan diri Henokh dan kurangnya kepercayaan pada panggilannya, Tuhan memberi jawaban yang indah dan menyakinkan berikut yang ditemukan di ayat 34: “Lihatlah Roh-Ku berada di atas dirimu, karenanya segala perkataanmu akan Aku benarkan; dan gunung-gunung akan lenyap di hadapanmu, dan sungai-sungai akan berbelok dari lintasannya; dan engkau akan tinggal di dalam Aku, dan Aku dalam dirimu; oleh karena itu berjalanlah bersama-Ku.”8

Gugup, tidak percaya diri, dan tidak siap menghadapi apa yang ada di depan, tetapi diilhami oleh kata-kata itu, saya naik ke pesawat terbang untuk pertama kalinya dalam hidup saya dan terbang ke Meksiko untuk melayani. Di sana saya belajar bahwa jika kita mau, kita benar-benar dapat berjalan bersama Tuhan. Saya mengetahui bahwa apa yang Presiden Ezra Taft Benson katakan benarlah adanya: “Pria dan wanita yang menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan akan menemukan bahwa Dia dapat menjadikan kehidupan mereka jauh lebih baik daripada yang dapat mereka lakukan.”9

Menjalankan Iman Sebagai Asas Kuasa

Dari kisah Henokh, saya juga belajar hal lain tentang iman. Dengarkan uraian tentang apa yang terjadi pada pemuda ini, yang tidak cakap bicara dan dibenci oleh orang-orang. Musa 7:13  berbunyi, “Dan sedemikian besarnya iman Henokh sehingga dia memimpin umat Allah, dan musuh mereka datang bertempur melawan mereka; dan dia mengucapkan firman Tuhan, dan tanah bergetar, dan gunung-gunung lenyap, bahkan menurut perintahnya; dan sungai-sungai air dibelokkan dari lintasannya; dan auman singa terdengar dari padang belantara; dan segala bangsa teramat takut, sedemikian penuh kuasanya perkataan Henokh, dan sedemikian besarnya kuasa bahasa yang telah Allah berikan kepadanya.”10 Itu tidak terdengar seperti anak laki-laki yang tidak cakap berbicara. Kedengarannya seperti orang beriman yang, berjalan dengan Tuhan, memindahkan gunung-gunung.

Terkadang kita menggunakan ungkapan “sedikit kemajuan” atau “sedikit peningkatan” untuk mewakili perbaikan kecil yang diperlukan, namun Tuhan tidak mengundang kita untuk memindahkan jarum. Dia telah mengundang kita untuk memindahkan gunung. Dia berfirman, “Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu.”11

Iman untuk memindahkan gunung ini—entah gunung-gunung itu secara harfiah atau kiasan—adalah tingkat iman yang lain. Penatua D. Todd Christofferson mengajarkan:

“[Ada] tingkat iman yang terdiri dari jaminan spiritual dan yang menghasilkan karya bagus, terutama ketaatan pada asas-asas dan perintah Injil. Ini adalah iman yang sejati kepada Kristus .…

Namun, ada tingkat iman yang tidak hanya mengatur perilaku kita tetapi yang juga memberdayakan kita untuk mengubah sesuatu dan membuat sesuatu terjadi yang tidak akan terjadi dengan cara lain. Saya berbicara tentang iman bukan hanya sebagai sebuah asas tindakan tetapi juga sebagai sebuah asas kuasa.”12

Inilah jenis iman yang dijelaskan dalam Ibrani  11 yang digunakan oleh Henokh, Abraham, Sara, dan Musa. Inilah iman yang dengannya para nabi “menaklukkan kerajaan-kerajaan, mengamalkan kebenaran, memperoleh apa yang dijanjikan, menutup mulut singa-singa, memadamkan api yang dahsyat, telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan, telah menjadi kuat, … [dan dengan mana] ibu-ibu telah menerima kembali orang-orangnya yang telah mati.”13

Inilah jenis iman yang dijelaskan dalam Eter 12, merujuk pada Alma, Amulek, Nefi, Lehi, dan Amon.14 Inilah iman yang ditunjukkan oleh “saudara laki-laki Yared [yang] berkata kepada Gunung Zerin, Pindahlah—dan itu pindah. Dan jika dia tidak memiliki iman itu tidak akan pindah.”15 Dan terakhir, “ada banyak yang imannya sedemikian amat kuatnya, bahkan sebelum Kristus datang, yang tidak dapat ditahan dari dalam tabir”—dan kemudian dengarkan ungkapan ini—“tetapi benar-benar melihat dengan mata mereka apa yang telah mereka lihat dengan mata iman.”16

Inilah semua ilustrasi iman yang mengesankan sebagai sebuah asas kuasa. Tetapi contoh terakhir sangat menarik bagi saya. Mereka pertama kali melihat hal-hal ini dengan mata iman sebelum mereka melihatnya dengan mata fisik mereka. Ada sebuah contoh penting di zaman modern ini dari Presiden Brigham Young. Ketika mengacu pada tanah yang di atasnya berdiri Bait Suci Salt Lake, dia berkata: “Saya hampir tidak pernah mengatakan banyak tentang wahyu, atau penglihatan, tetapi cukup untuk mengatakan … saya pernah di sini, dan melihat di dalam roh Bait Suci .… Saya tidak pernah melihat ke atas tanah itu, tetapi penglihatan tentang hal itu ada di sana.”17

Untuk memiliki visi tentang apa yang dapat terjadi, dari apa yang Tuhan inginkan, adalah bagian penting dari menjalankan iman sebagai sebuah asas kuasa.

Dapatkah Anda melihat mukjizat yang kita butuhkan dengan mata iman Anda? Dapatkah Anda melihat diri Anda mengajar kelas dengan lebih percaya kepada Tuhan, firman-Nya, dan siswa-siswa Anda? Dapatkah Anda melihat siswa-siswa Anda meninggalkan kelas Anda lebih bergantung pada ajaran dan Pendamaian Juruselamat, lebih tahan melawan dosa, dan lebih siap untuk melakukan yang Tuhan minta dari mereka? Dan dapatkah Anda melihat dengan mata iman Anda lebih banyak orang muda, baik anggota maupun yang bukan anggota gereja kita, menanggapi undangan kita untuk datang dan bergabung dalam mukjizat ini? Apa yang mungkin Tuhan lakukan jika kita menjalankan iman kolektif kita, baik sebagai asas tindakan maupun sebagai asas kuasa?

“Tuhan Menyertai Kita; Janganlah Takut kepada Mereka”

Sebelum saya tutup, saya ingin membagikan satu contoh terakhir. Di kantor saya memiliki sebuah ukiran dari kayu zaitun yang menggambarkan salah satu cerita tulisan suci favorit saya dan mengingatkan saya akan kebutuhan akan iman. Ini adalah penggambaran Kaleb dan Yosua, yang telah ditugasi oleh Musa, bersama 10 orang lainnya, untuk mencari tanah Kanaan dan untuk membawa kembali sebuah laporan. Sepuluh orang lainnya kembali dengan mengatakan, “Bangsa yang diam di negeri itu kuat-kuat dan kota-kotanya berkubu dan sangat besar.”18

“Kaleb mencoba menenteramkan hati bangsa itu di hadapan Musa, katanya: “Tidak! Kita akan maju dan menduduki negeri itu, sebab kita pasti akan mengalahkannya.

“Tetapi orang-orang yang pergi ke sana bersama-sama dengan dia berkata: “Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat daripada kita.”19

Karena kurangnya iman mereka, “mereka menyampaikan kepada orang Israel kabar busuk tentang negeri yang diintai mereka, … dengan berkata, … kami lihat di sana orang-orang raksasa, … kami lihat diri kami seperti belalang.”20

Tetapi Yosua dan Kaleb menanggapinya, “Tuhan menyertai kita; janganlah takut kepada mereka.”21

Tetapi orang-orang, seperti 10 utusan yang tidak beriman, tidak dapat melihat apa yang Tuhan bersedia lakukan dan tidak mau mengikuti Yosua dan Kaleb. Karena kurangnya iman ini, orang-orang berkeliaran di padang belantara selama 39 tahun lagi. Dari kelompok awal itu, hanya Yosua dan Kaleb yang selamat dan diizinkan masuk ke tanah perjanjian. Anda mungkin ingat kata-kata Kaleb yang terkenal saat dia dan Yosua berdiri di depan Gunung Hebron, tempat yang mereka temukan bertahun-tahun sebelumnya. Kaleb berkata:

“Pada waktu ini aku masih sama kuat seperti pada waktu aku disuruh Musa .…

Oleh sebab itu, berikanlah kepadaku pegunungan.”22

Karena imannya, dia dan keluarganya selama beberapa generasi mewarisi gunungnya di tanah yang dijanjikan.

Ada tantangan di depan. Kita mungkin tergoda untuk ragu dan membawa kembali sebuah laporan buruk yang penuh dengan ketakutan dan keraguan. Kurangnya kepercayaan kepada Tuhan tidak akan membawa kita ke tanah perjanjian. Seperti Kaleb dan Yosua, kita harus menyingkirkan rasa takut dan menjalankan iman kita untuk memperoleh berkat yang Dia telah peruntukkan bagi kita. Kita harus melihat semua tantangan dan pencobaan di dalam kehidupan kita sebagai sebuah kesempatan untuk memperdalam iman kita kepada Yesus Kristus.

Apa yang mungkin Tuhan lakukan jika secara kolektif kita menggantikan ketakutan dan keraguan dengan harapan dan iman? Saya percaya Dia tidak saja akan memindahkan jarum melainkan gunung—sehingga mukjizat akan terjadi dalam kehidupan remaja dan dewasa muda Gereja. Seiring meningkatnya iman kita, demikian juga iman orang-orang yang kita ajar. Saya tahu Bapa kita di Surga akan memberkati Anda dan Dia akan memberkati siswa-siswa kita saat kita menjalankan iman kita kepada Putra-Nya yang penuh kasih dan sempurna, Juruselamat, Penebus, dan Penyelamat dunia. Dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. Dallin H. Oaks, “Challenges to the Mission of Brigham Young University” (BYU Leadership Conference, 21 April 2017), 8.

  2. Lectures on Faith (1985), 38; Ceramah tentang Iman dipersiapkan di bawah arahan Nabi Joseph Smith.

  3. Iman adalah karunia Allah yang dianugerahkan sebagai pahala atas kebenaran pribadi. Itu selalu diberikan saat kebenaran hadir, dan semakin besar ukuran ketaatan kepada hukum-hukum Allah, semakin besarlah pemberkahan iman” (Bruce R. McConkie, Mormon Doctrine, edisi ke-2 [1966], 264).

  4. Russell M. Nelson, “Membawa Kuasa Yesus Kristus ke Dalam Kehidupan Kita,” Ensign atau Liahona, Mei 2017, 39.

  5. Bible Dictionary, “Prayer.”

  6. Celeste Davis, “How to Pray in a Way God Can Answer,” 12 April 2016, blog.lds.org.

  7. Musa 6:31.

  8. Musa 6:34.

  9. Ezra Taft Benson, “Jesus Christ—Gifts and Expectations,” Ensign, Desember 1988, 4.

  10. Musa 7:13; penekanan ditambahkan.

  11. Matius 17:20.

  12. D. Todd Christofferson, “Building Faith in Christ,” Ensign, September 2012, 55; lihat juga Moroni 7:33.

  13. Ibrani 11:33–35.

  14. Lihat Eter 12:13–15.

  15. Eter 12:30.

  16. Eter 12:19.

  17. Brigham Young, “Minutes of the General Conference,” Deseret News, 30 April 1853, 150.

  18. Bilangan 13:28.

  19. Bilangan 13:30–31.

  20. Bilangan 13:32–33.

  21. Bilangan 14:9.

  22. Yosua 14:11–12.