2010–2019
Perumpamaan tentang Penabur
April 2015


15:38

Perumpamaan tentang Penabur

Terserah kepada kita masing-masing untuk menentukan prioritas dan melakukan apa yang menjadikan tanah kita baik dan panen kita berlimpah.

Topik untuk ceramah konferensi umum ditugaskan—bukan oleh wewenang fana melainkan oleh kesan dari Roh. Banyak topik disarankan oleh keprihatinan fana yang kita semua rasakan. Tetapi sama seperti Yesus tidak mengajarkan caranya mengatasi tantangan fana atau penindasan politik pada masa-Nya, Dia biasanya mengilhami para hamba modern-Nya untuk berbicara mengenai apa yang dapat pengikut-Nya lakukan untuk mereformasi kehidupan pribadi kita untuk mempersiapkan kita kembali ke rumah surgawi kita. Saya merasa terkesan untuk berbicara mengenai ajaran-ajaran yang berharga dan tak lekang oleh waktu dalam salah satu perumpamaan Yesus.

Perumpamaan tentang penabur adalah satu di antara sejumlah kecil perumpamaan yang dilaporkan dalam ketiga Injil sinoptik [Matius, Markus, dan Lukas]. Itu juga termasuk satu dari sekelompok perumpamaan yang bahkan lebih sedikit lagi yang Yesus jelaskan kepada para murid-Nya. Benih yang ditaburkan adalah “firman tentang Kerajaan” (Matius13:19), “firman” (Markus 4:14), atau “firman Allah” (Lukas 8:11)—ajaran-ajaran Guru dan para hamba-Nya.

Tanah berbeda di mana benih jatuh mewakili cara berbeda orang fana menerima dan mengikuti ajaran-ajaran ini. Dengan demikian, benih yang “jatuh di pinggir jalan” (Markus 4:4) tidak mencapai tanah fana di mana itu memiliki kemungkinan tumbuh. Itu seperti ajaran yang jatuh ke dalam hati yang dikeraskan atau belum siap. Saya tidak akan mengupas ini lebih lanjut. Pesan saya berhubungan dengan mereka di antara kita yang telah berkomitmen untuk menjadi pengikut Kristus. Apa yang kita lakukan dengan ajaran Juruselamat sewaktu kita menjalani kehidupan kita?

Perumpamaan tentang penabur memperingatkan kita akan keadaan dan sikap yang dapat menahan siapa pun yang telah menerima benih pesan Injil dari mendatangkan panen yang baik.

I. Tanah Berbatu-Batu; Tanpa Akar

Sebagian benih “jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh, karena tanahnya tipis: Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar” (Markus 4:5–6).

Yesus menjelaskan bahwa ini menggambarkan mereka yang “mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira,” tetapi karena mereka “tidak berakar, … apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad” (Markus 4:16–17).

Apa yang menyebabkan pendengar “tidak berakar”? Ini adalah keadaan anggota baru yang hanya diinsafkan kepada misionaris atau pada banyak karakteristik Gereja yang menarik atau pada banyak buah yang hebat dari keanggotaan Gereja. Tidak berakar pada firman, ketika pertentangan timbul mereka dapat terbakar dan mati layu. Tetapi bahkan mereka yang dibesarkan di Gereja—anggota jangka panjang—dapat tergelincir ke dalam keadaan di mana mereka tidak memiliki akar sendiri. Saya pernah mengenal beberapa dari yang ini—anggota tanpa keinsafan yang teguh dan langgeng terhadap Injil Yesus Kristus. Jika kita tidak berakar pada ajaran Injil dan teratur dalam praktiknya, siapa pun di antara kita dapat mengembangkan hati yang membatu, yang merupakan tanah berbatu bagi benih rohani.

Makanan rohani perlu bagi ketahanan hidup rohani, terutama di dunia yang bergerak menjauh dari kepercayaan kepada Allah serta kemutlakan benar dan salah. Di zaman yang didominasi oleh Internet, yang membesar-besarkan pesan yang mengancam iman, kita harus meningkatkan paparan kita terhadap kebenaran rohani untuk memperkuat iman kita dan tetap berakar dalam Injil.

Kaum muda, jika ajaran itu terasa terlalu umum, ini contoh spesifik. Jika lambang sakramen sedang disediakan dan Anda mengirim sms atau berbisik-bisik atau bermain video game atau melakukan apa pun lainnya untuk menyangkal diri Anda sendiri dari makanan rohani yang perlu, Anda memotong akar rohani Anda dan memindahkan diri Anda ke tanah berbatu. Anda menjadikan diri Anda rentan terhadap menjadi mati layu ketika Anda menghadapi kesulitan seperti keterasingan, intimidasi, atau cemoohan. Itu juga berlaku bagi orang dewasa.

Penghancur potensial lainnya dari akar rohani—dipercepat oleh teknologi tetapi tidak semata karena itu—adalah pandangan lubang kunci akan Injil atau Gereja. Pandangan yang terbatas ini berfokus pada ajaran atau praktik atau kelemahan tertentu dalam diri pemimpin dan mengabaikan panorama akbar dari rencana Injil serta buah pribadi maupun keseluruhan dari panennya. Presiden Gordon B. Hinckley memberikan deskripsi jelas dari satu aspek pandangan lubang kunci ini. Dia memberi tahu audiens BYU tentang komentator politik yang “terbakar kejengkelan” mengenai suatu peristiwa yang ketika itu sedang hangat. “Dengan seni yang dipelajari mereka mencurahkan cuka asam berupa caci maki dan amarah .… Tentunya,” dia menyimpulkan, “ini adalah masa dan tempat dari pemakan acar yang berbakat.” Sebaliknya, agar berakar dengan mantap dalam Injil kita, kita harus bersikap moderat dan terukur dalam kecaman serta senantiasa mencari pandangan yang lebih luas akan pekerjaan Allah yang megah.

II. Duri: Kekhawatiran Dunia dan Tipu Daya Kekayaan

Yesus mengajarkan bahwa “sebagian lagi jatuh di tempat semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati, sehingga ia tidak berbuah” (Markus 4:7). Dia menjelaskan bahwa ini adalah “yang mendengar firman itu, lalu kekhawatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah” (Markus 4:18–19). Ini pastinya merupakan peringatan yang perlu diindahkan oleh kita semua.

Saya akan berbicara terlebih dahulu mengenai tipu daya kekayaan. Di mana pun kita berada dalam perjalanan rohani kita—apa pun keadaan keinsafan kita—kita semua digoda olehnya. Ketika sikap atau prioritas berfokus pada pembelian, penggunaan, atau kepemilikan properti, kita menyebutnya materialisme. Begitu banyak telah dikatakan dan dituliskan mengenai materialisme sehingga tidak banyak yang perlu ditambahkan di sini. Mereka yang percaya pada apa yang telah disebut teologi kemakmuran menderita karena tipu daya kekayaan. Kepemilikan kekayaan atau penghasilan yang signifikan bukanlah pertanda kesenangan surgawi, dan ketidakhadirannya bukanlah bukti dari ketidaksenangan surgawi. Ketika Yesus memberi tahu seorang pengikut yang setia bahwa dia dapat mewarisi kehidupan kekal jika saja dia mau memberikan semua yang dia miliki kepada yang miskin (lihat Markus 10:17–24), Dia tidak mengidentifikasi kejahatan dalam kepemilikan kekayaan melainkan kejahatan dalam sikap si pengikut itu terhadapnya. Sebagaimana kita semua sadari, Yesus memuji Orang Samaria yang baik yang menggunakan koin yang sama untuk melayani sesamanya yang Yudas gunakan untuk mengkhianati Juruselamatnya. Akar dari segala kejahatan bukanlah uang melainkan cinta uang (lihat 1 Timotius 6:10).

Kitab Mormon bercerita tentang suatu masa ketika Gereja Allah “mulai gagal dalam kemajuannya” (Alma 4:10) karena “umat gereja mulai … menaruh hati mereka pada kekayaan dan pada apa yang sia-sia dari dunia” (Alma 4:8). Siapa pun yang memiliki kelimpahan benda materi berada dalam bahaya “terbius” secara rohani oleh kekayaan dan hal-hal dari dunia lainnya. Itu merupakan kata pengantar yang pantas bagi yang berikutnya dari ajaran-ajaran Juruselamat.

Duri yang paling halus yang menghimpit dampak dari firman Injil dalam kehidupan kita adalah kekuatan duniawi yang Yesus sebut “kekhawatiran dan kekayaan dan kenikmatan hidup” (Lukas 8:14). Ini terlalu banyak jumlahnya untuk dilafalkan. Beberapa contoh cukuplah.

Pada suatu kesempatan Yesus menghardik Rasul utamanya, berfirman kepada Petrus, “Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (Matius 16:23; lihat juga A&P 3:6–7; 58:39). Memikirkan apa yang dari manusia berarti mendahulukan kekhawatiran dunia ini daripada apa yang dari Allah dalam tindakan kita, prioritas kita, dan pemikiran kita.

Kita berserah diri pada “kenikmatan hidup” (1) ketika kita teradiksi, yang merusak karunia berharga Allah berupa hak pilihan; (2) ketika kita teperdaya oleh gangguan sepele, yang menjauhkan kita dari apa yang penting secara kekal; dan (3) ketika kita memiliki mentalitas selalu berhak atas apa yang baik, yang merusak pertumbuhan pribadi yang perlu untuk menjadikan kita memenuhi syarat bagi tujuan akhir kekal kita.

Kita terkuasai oleh “kekhawatiran … dari kehidupan ini” ketika kita dilumpuhkan oleh ketakutan akan masa depan, yang menghambat kita dari maju terus dengan iman, percaya kepada Allah dan janji-janji-Nya. Dua puluh lima tahun lalu guru BYU saya yang terhormat, Hugh W. Nibley, berbicara tentang bahayanya berserah diri pada kekhawatiran dunia. Dia ditanya dalam wawancara apakah kondisi dunia dan tugas kita untuk menyebarkan Injil menjadikannya patut dihasratkan untuk mencari cara untuk “bersikap mengakomodasi kepada dunia dalam apa yang kita lakukan dalam Gereja.”

Jawabannya: “Itulah keseluruhan ceritanya Gereja, bukan? Anda harus rela menyakiti di sini, Anda harus rela mengambil risikonya. Tepat di sanalah masuknya iman .… Komitmen kita dimaksudkan menjadi ujian, itu dimaksudkan untuk sulit, itu dimaksudkan untuk tidak praktis dalam pengertian dunia ini.”

Prioritas Injil ini ditandaskan di kampus BYU baru beberapa bulan lalu oleh seorang pemimpin Katolik terkemuka, Charles J. Chaput, Uskup Agung Philadelphia. Berbicara tentang “keprihatinan yang komunitas OSZA dan Katolik rasakan bersama,” seperti “mengenai pernikahan dan keluarga, kodrat seksualitas kita, kekudusan nyawa manusia, dan mendesaknya kebebasan beragama,” dia berkata:

“Saya ingin menekankan kembali pentingnya sungguh-sungguh menjalankan apa yang kita klaim kita percayai. Itu perlu menjadi prioritas—bukan sekadar dalam kehidupan pribadi dan keluarga kita tetapi juga dalam jemaat kita, pilihan politik kita, urusan bisnis kita, perlakuan kita terhadap yang miskin; dengan kata lain, dalam segala yang kita lakukan.

Inilah alasan mengapa itu penting,” dia melanjutkan. “Belajarlah dari pengalaman Katolik. Kami orang Katolik percaya bahwa pekerjaan kita adalah untuk menjadi ragi dalam masyarakat. Tetapi ada garis halus antara menjadi ragi dalam masyarakat, dengan dicerna oleh masyarakat.”

Peringatan Juruselamat terhadap membiarkan kekhawatiran dunia menghimpit firman Allah dalam kehidupan kita pastinya menantang kita untuk menjaga prioritas kita terfokus—hati kita terpaku—pada perintah-perintah Allah dan kepemimpinan Gereja-Nya.

Contoh-contoh Juruselamat dapat menyebabkan kita memikirkan perumpamaan ini sebagai perumpamaan tentang tanah. Kesesuaian tanah bergantung pada hati dari kita masing-masing yang terpapar pada benih Injil. Dalam penerimaan terhadap ajaran rohani, sebagian hati dikeraskan dan belum siap, sebagian hati membatu karena tidak digunakan, dan sebagian hati terfokus pada apa yang dari dunia.

III. Jatuh ke Tanah yang Baik dan Mendatangkan Banyak Buah

Perumpamaan tentang penabur diakhiri dengan uraian Juruselamat tentang benih yang “jatuh di tanah yang baik lalu berbuah” dalam berbagai ukuran (Matius 13:8). Bagaimana kita dapat mempersiapkan diri untuk menjadi tanah yang baik itu dan menghasilkan panen yang baik itu?

Yesus menjelaskan “yang jatuh di tanah yang baik itu ialah orang, yang setelah mendengar firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan” (Lukas 8:15). Kita memiliki benih firman Injil. Terserah kepada kita masing-masing untuk menentukan prioritas dan melakukan apa yang menjadikan tanah kita baik dan panen kita berlimpah. Kita harus mengupayakan untuk kokoh berakar dan diinsyafkan terhadap Injil Yesus Kristus (lihat Kolose 2:6–7). Kita mencapai keinsafan ini melalui doa, melalui pembacaan tulisan suci, melalui melayani, dan melalui secara teratur mengambil sakramen agar selalu memiliki Roh-Nya beserta kita. Kita juga harus mengupayakan perubahan hati yang hebat itu (lihat Alma 5:12–14) yang menggantikan hasrat jahat dan kekhawatiran egois dengan kasih akan Allah serta hasrat untuk melayani Dia dan anak-anak-Nya.

Saya bersaksi mengenai kebenaran hal-hal ini, dan saya bersaksi mengenai Juruselamat kita, Yesus Kristus, yang ajaran-ajaran-Nya menunjukkan jalan dan yang Pendamaian-Nya memungkinkan itu semua, dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. Gordon B. Hinckley, “Let Not Your Heart Be Troubled” (Brigham Young University devotional, 29 Oktober 1974), 1; speeches.byu.edu.

  2. Lihat, misalnya, Dallin H. Oaks, “Materialism,” bab 5 dalam Pure in Heart (1988), 73–87.

  3. Saya berutang budi kepada Penatua Neal A. Maxwell untuk citra penuh kenangan ini (lihat “These Are Your Days,” Ensign, Oktober 2004, 26).

  4. James P. Bell, dalam “Hugh Nibley, dalam Black and White,” BYU Today, Mei 1990, 37.

  5. Hugh Nibley, dalam “Hugh Nibley, dalam Black and White,” 37–38.

  6. Charles J. Chaput, “The Great Charter at 800: Why It Still Matters,” First Things, 23 Januari 2015, firstthings.com/web-exclusives/2015/01/the-great-charter-at-800; see also Tad Walch, “At BYU, Catholic Archbishop Seeks Friends, Says U.S. Liberty Depends on Moral People,” Deseret News, 23 Januari 2015, deseretnews.com/article/865620233/At-BYU-Catholic-archbishop-seeks-friends-says-US-liberty-depends-on-moral-people.html. Uskup Agung Chaput juga mengatakan bahwa “sebagian lembaga Katolik kami yang terbaik telah kehilangan maupun banyak melunakkan identitas keagamaannya .… Brigham Young adalah universitas yang luar biasa … karena itu adalah pusat pembelajaran yang diperkaya dengan identitas keagamaannya. Jangan pernah kehilangan itu” (“The Great Charter at 800”).