2010–2019
Hakim yang Adil
Oktober 2016


10:24

Hakim yang Adil

Hanya ada satu cara untuk menghakimi secara saleh, sebagaimana yang Yesus Kristus lakukan, dan itu adalah menjadi sebagaimana Dia adanya.

Dalam kehidupan fana-Nya, Yesus Kristus adalah seorang hakim yang pengasih dan, luar biasa bijak, arif, dan sabar. Dia dikenal dalam tulisan suci sebagai “hakim yang adil [saleh]” (2 Timotius 4:8; Musa 6:57), dan nasihat-Nya kepada kita adalah juga: “hakimilah dengan penghakiman yang benar” (lihat Terjemahan Joseph Smith, Matius 7:1–2 [dalam Matius 7:1, catatan kaki a]) dan “taruhlah kepercayaanmu kepada Roh itu yang menuntun untuk melakukan yang baik … [dan] untuk menghakimi dengan benar” (A&P 11:12)

Nasihat ini kepada Dua Belas orang Nefi akan membantu kita menghakimi sebagaimana yang Tuhan lakukan: “Kamu akan menjadi hakim atas orang-orang ini, menurut penghakiman yang akan Aku berikan kepadamu, yang akanlah adil. Oleh karena itu, orang macam apa seharusnya kamu adanya? Sesungguhnya Aku berfirman kepadamu, bahkan seperti Aku” (3 Nefi 27:27; penekanan ditambahkan). Kita terkadang lupa bahwa ketika Dia memberikan nasihat untuk menjadi sebagaimana Dia adanya, itu adalah dalam konteks cara menghakimi secara benar.

Penghakiman yang Tidak Benar

Juruselamat dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat

Contoh memalukan dari penghakiman yang tidak benar datang dari perumpamaan domba yang hilang, ketika para orang Farisi dan ahli Taurat menghakimi secara tidak baik, baik Juruselamat maupun rombongan makan malamnya, mengatakan, “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka” (Lukas 15:2)—lupa akan kenyataan bahwa mereka sendiri adalah pendosa. Terkuasai hati yang mengecam, para ahli Taurat dan orang Farisi tidak pernah mengenal sukacita dari menyelamatkan domba yang hilang.

Juruselamat dengan perempuan yang kedapatan berbuat zina

Adalah juga “ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi” yang membawa “seorang perempuan yang kedapatan berbuat zina” (Yohanes 8:3) kepada Juruselamat untuk melihat apakah Dia akan menghakimi dia menurut Hukum Musa (lihat ayat 5). Anda tahu sisa kisahnya, bagaimana Dia merendahkan hati mereka karena penghakiman mereka yang tidak benar, dan bagaimana mereka “terhukum oleh suara hati mereka sendiri ” dan pergi “seorang demi seorang” (ayat 9; penekanan ditambahkan). Dia kemudian berfirman kepada perempuan tersebut, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang. Dan perempuan itu memuliakan Allah sejak saat itu, dan percaya pada nama-Nya” (Terjemahan Joseph Smith Yohanes 8:11 [dalam Yohanes 8:11, Catatan kaki c]).

Juruselamat berbicara dengan perempuan yang kedapatan berbuat zina

Lelaki dan perempuan alami dalam diri kita masing-masing memiliki kecenderungan untuk mengecam orang lain dan untuk menghakimi secara tidak benar, atau merasa benar sendiri. Itu bahkan terjadi kepada Yakobus dan Yohanes, dua di antara para Rasul Juruselamat. Mereka menjadi gusar ketika orang-orang dari sebuah desa Samaria memperlakukan Juruselamat tanpa respek (lihat Luke 9:51–54):

Juruselamat dengan para pengikut

“Ketika [mereka] melihat hal itu, mereka berkata, Tuhan, apakah Engkau mau, supaya kami menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan mereka [bahkan sebagaimana yang Elias lakukan]?

Akan tetapi Ia berpaling dan menegur mereka, [Kamu tidak tahu roh macam apa adanya dirimu.

Karena Putra manusia tidaklah datang untuk menghancurkan kehidupan manusia, melainkan untuk menyelamatkannya” (ayat 54–56).

Para “hakim umum” dewasa ini (A&P 107:74), hendaknya menghindari dorongan serupa apa pun untuk mengecam, seperti yang Yakobus dan Yohanes lakukan pada kesempatan itu. Seorang hakim yang adil akan menanggapi pengakuan dengan rasa iba dan pengertian. Orang muda yang khilaf, misalnya, hendaknya meninggalkan kantor uskup dengan merasakan kasih Juruselamat melalui uskup tersebut dan diselimuti dengan sukacita dan kuasa penyembuhan Pendamaian—jangan pernah dipermalukan atau dipandang rendah. Jika tidak, uskup dapat secara tak disadari semakin mendorong domba yang hilang lebih jauh ke dalam padang belantara (lihat Lukas 15:4).

Disiplin

Namun, rasa iba tidaklah menihilkan perlunya ada disiplin. Kata disiplin berasal dari kata Latin discere, “—belajar, atau discipulus, ”—pelajar, menjadikan seorang murid sebagai siswa dan pengikut. Mendisiplinkan dengan cara Tuhan artinya mengajar dengan penuh kasih dan dengan sabar. Dalam tulisan suci Tuhan sering menggunakan kata mendera ketika berbicara mengenai disiplin (lihat, misalnya, Mosia 23:21; A&P 95:1) Kata dera berasal dari kata Latin castus, artinya suci atau murni, dan mendera artinya “untuk memurnikan.”

Di dunia, seorang hakim di bumilah yang menghukum seseorang dan mengunci dia dalam penjara. Sebaliknya, Kitab Mormon mengajari kita bahwa ketika kita dengan sengaja berdosa, kita menjadi “hakim diri [kita] sendiri” (Alma 41:7) dan menjebloskan diri kita sendiri ke dalam penjara rohani. Ironisnya, hakim yang sama dalam kasus ini memegang kunci yang membukakan gerbang penjara; “karena dengan deraan Aku mempersiapkan sebuah jalan bagi pembebasan mereka dalam segala hal keluar dari godaan” (A&P 95:1; penekanan ditambahkan). Persidangan hakim yang adil adalah penuh belas kasihan, penuh kasih, dan bersifat menebus, bukan menghukum.

Joseph Smith muda mengalami pendisiplinan dengan empat tahun masa percobaan sebelum mendapatkan lempengan-lempengan emas, “karena engkau telah tidak menaati perintah-perintah Tuhan.” Belakangan, ketika Joseph kehilangan 116 halaman naskah, dia kembali mengalami pendisiplinan. Meski dia sungguh penuh penyesalan, Tuhan masih menarik privilesenya untuk suatu masa singkat, karena “yang Aku kasihi juga Aku dera agar dosa-dosa mereka boleh diampuni” (A&P 95:1).

Joseph berkata, “Malaikat itu bersukacita ketika dia memberikan kembali kepada saya Urim dan Tumim dan berkata bahwa Allah berkenan dengan kesetiaan dan kerendahan hati saya, serta mengasihi saya karena penyesalan saya dan ketekunan saya dalam doa.” Karena Tuhan ingin mengajari Joseph pelajaran yang mengubah hati, Dia mensyaratkan pengurbanan yang mengoyak hati darinya—pengurbanan sebagai bagian yang esensial dari pendisiplinan.

Pengurbanan

“Di zaman dahulu, pengurbanan berarti menjadikan sesuatu atau seseorang kudus,” menautkannya, secara saling berkaitan, dengan definisi dari kata dera—“memurnikan.” Demikian pula, di Israel zaman dahulu, pengampunan datang melalui persembahan dosa atau pelanggaran, atau kurban. Kurban tersebut bukan saja “menunjuk pada kurban yang besar dan terakhir itu” (Alma 34:14) tetapi membantu melahirkan rasa syukur yang lebih mendalam bagi Pendamaian Juruselamat. Ketidaksediaan untuk berkurban sebagai bagian dari penyesalan kita mengejek atau meremehkan kurban-Nya yang lebih besar bagi dosa yang sama dan menyepelekan penderitaan-Nya—suatu tanda tak berperasaan dari sikap tidak bersyukur.

Di sisi lain, melalui ironi manis pengurbanan, kita sebenarnya memperoleh sesuatu yang bernilai kekal—belas kasihan dan pengampunan-Nya dan akhirnya “segala yang Bapa miliki” (A&P 84:38). Sebagai bagian dari proses pertobatan, pengurbanan juga bertindak sebagai balsam penyembuh untuk membantu menggantikan “penyesalan suara hati” (Alma 42:18) dengan “kedamaian suara hati” (Mosia 4:3). Tanpa pengurbanan, seseorang mungkin mendapati sulit untuk memaafkan diri sendiri, karena kesadaran yang menggantung dari sesuatu yang tidak dibeberkan.

Orangtua sebagai Hakim yang Adil

Sementara beberapa dari kita akan dipanggil untuk menjadi hakim umum, asas penghakiman yang adil [atau saleh atau benar] berlaku bagi kita semua, khususnya bagi orangtua yang memiliki kesempatan setiap hari untuk menggunakan asas-asas ini dengan anak-anak mereka. Secara efektif mengajar seorang anak merupakan inti dari pengasuhan orangtua yang baik, dan mendisiplinkan dengan penuh kasih adalah inti dari menjadi hakim yang adil.

Presiden Joseph F. Smith mengajarkan, “Jika anak-anak memberontak dan sulit dikendalikan, bersabarlah dengan mereka sampai Anda dapat menaklukkan mereka melalui kasih, … dan kemudian Anda dapat membentuk watak mereka sebagaimana yang Anda inginkan.”

Adalah penuh wawasan bahwa dalam mengajarkan cara mendisiplinkan, para nabi tampaknya selalu merujuk pada atribut-atribut seperti Kristus. Ajaran dan Perjanjian memberi kita nasihat yang terkenal berikut mengenai pendisiplinan:

“Tidak ada kuasa atau pengaruh dapat atau seharusnya dipertahankan melalui kebajikan keimamatan, kecuali dengan bujukan, dengan kepanjangsabaran, dengan kelemahlembutan dan kelembutan hati, dan dengan kasih yang tidak dibuat-buat;

Dengan kebaikan hati, dan pengetahuan yang murni, yang akan teramat memperluas jiwa tanpa kemunafikan, dan tanpa tipu daya—

Menegur pada waktunya dengan ketajaman, ketika digerakkan oleh Roh Kudus; dan kemudian memperlihatkan sesudahnya peningkatan kasih” (A&P 121:41–43).

Tulisan suci ini mengajari kita untuk menegur “ketika digerakkan oleh Roh Kudus,” bukan ketika digerakkan oleh amarah. Roh Kudus dan amarah tidak sejalan, karena “dia yang memiliki semangat perselisihan bukanlah dari-Ku, tetapi dari iblis, yang adalah bapa perselisihan, dan dia menghasut hati manusia untuk berselisih dengan amarah” (3 Nefi 11:29). George Albert Smith mengajarkan bahwa “hal-hal yang kasar biasanya tidak diucapkan di bawah ilham Tuhan. Roh Tuhan adalah roh kebaikan hati; adalah roh kesabaran; adalah roh kasih amal dan kasih dan penahanan diri serta kepanjangsabaran .…

… Namun jika kita memiliki semangat untuk mencari-cari kesalahan … dengan cara yang menghancurkan, itu tidak pernah merupakan akibat dari kerekanan dari Roh Bapa Surgawi kita dan adalah selalu berbahaya.

… Kebaikan hati adalah kekuatan yang telah Allah berikan kepada kita untuk membuka hati yang keras dan menundukkan jiwa yang keras kepala.”

Identitas Sejati Anak-Anak Kita

Ketika Juruselamat mengunjungi orang-orang Nefi, Dia melakukan sesuatu yang luar biasa dengan anak-anak tersebut:

Juruselamat dengan anak-anak orang Nefi

“Dan terjadilah bahwa Dia mengajar dan melayani anak-anak dari khalayak ramai …, dan Dia melenturkan lidah mereka, dan mereka berbicara kepada bapa mereka hal-hal yang besar dan menakjubkan ….

… Dan mereka melihat maupun juga mendengar anak-anak ini; ya, bahkan bayi-bayi membuka mulut mereka dan menuturkan apa yang menakjubkan” (3 Nefi 26:14, 16).

Mungkin lebih daripada membukakan mulut bayi, Tuhan sedang membukakan membukakan mata dan telinga orangtua mereka yang terperanjat. Para orangtua itu telah diberi karunia luar biasa pandangan sekilas ke dalam kekekalan dan melihat identitas sejati serta perawakan prafana anak-anak mereka. Tidakkah itu akan selamanya mengubah cara orangtua tersebut melihat dan memperlakukan anak-anak mereka? Saya suka variasi berikut dari kutipan Goethe: “Cara Anda memandang [seorang anak] adalah cara Anda memperlakukan mereka, dan cara Anda memperlakukan mereka adalah mereka akan menjadi apa mereka kelak.” Mengingat identitas sejati seorang anak adalah karunia tinjauan masa depan yang secara ilahi mengilhami visi seorang hakim yang adil.

Penutup

Presiden Thomas S. Monson telah mengajarkan kepada kita, “Jangan biarkan sebuah persoalan yang harus diselesaikan menjadi lebih penting daripada orang yang harus dikasihi.” Betapa pentingnya asas itu dalam menjadi hakim yang adil, khususnya dengan anak-anak kita sendiri.

Hanya ada satu cara untuk menghakimi secara saleh, sebagaimana yang Yesus Kristus lakukan, dan itu adalah menjadi sebagaimana Dia adanya. Oleh karena itu, “orang [pria dan wanita] macam apa seharusnya kamu adanya? Sesungguhnya Aku berfirman kepadamu, bahkan seperti Aku” (3 Nefi 27:27). Dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. Lihat “disciple,” etymonline.com.

  2. Lihat Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 11th ed. (2003), “chasten.”

  3. Karen Lynn Davidson and others, eds., Histories, Volume 1: Joseph Smith Histories, 1832–1844, jilid 1 dari Histories series of The Joseph Smith Papers (2012), 83.

  4. Ajaran-Ajaran Presiden Gereja: Joseph Smith (2007), 82; penekanan ditambahkan.

  5. Penuntun bagi Tulisan Suci, “Kurban,” scriptures.lds.org.

  6. Lihat Bible Dictionary, “Sacrifices.”

  7. Kurban yang kita persembahkan di atas mezbah meja sakramen setiap minggu adalah hati yang hancur dan jiwa yang menyesal (lihat 2 Nefi 2:7; 3 Nefi 9:20; Ajaran dan Perjanjian 59:8). Hati yang hancur adalah hati yang bertobat; roh yang menyesal adalah roh yang patuh (lihat D. Todd Christofferson, “Jikalau Engkau Sudah Insaf,” Liahona, Mei 2004, 12).

  8. Ajaran-Ajaran Presiden Gereja: Joseph Smit: Joseph F. Smith (1998), 312.

  9. Ajaran-Ajaran Presiden Gereja: Joseph Smith (2011), 254–255, 257; penekanan ditambahkan.

  10. Didedikasikan kepada Johann Wolfgang von Goethe, brainyquote.com.

  11. Thomas S. Monson, “Menemukan Sukacita dalam Perjalanan,” Liahona, November 2008, 86.