Konferensi Umum
Karena Begitu Besar Kasih Allah bagi Kita
Konferensi umum April 2022


9:58

Karena Begitu Besar Kasih Allah bagi Kita

Begitu besar kasih Allah bagi kita sehingga Dia mengutus Putra Tunggal-Nya—bukan untuk menghukum kita melainkan untuk menyelamatkan kita.

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Pertama kali saya mencermati ayat ini, saya bukan berada di gereja atau di malam keluarga. Saya sedang menyaksikan acara olahraga di televisi. Tidak masalah stasiun apa yang saya tonton, dan tidak masalah pertandingan apa, setidaknya satu orang mengangkat poster yang bertuliskan “Yohanes 3:16.”

Saya juga jadi menyukai secara setara ayat 17: “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.”

Allah mengutus Yesus Kristus, Putra Tunggal-Nya dalam daging, untuk meletakkan nyawa-Nya bagi kita masing-masing. Ini dilakukan-Nya karena Dia mengasihi kita dan telah merancang sebuah rencana bagi kita masing-masing untuk pulang kepada-Nya.

Tetapi ini bukan jenis rencana yang bagaikan selimut, menampung semua, tepat atau tidak. Itu bersifat pribadi, ditetapkan oleh seorang Bapa Surgawi yang pengasih, yang mengenal hati kita, nama kita, dan apa yang Dia butuhkan agar kita lakukan. Mengapa kita percaya itu? Karena kita diajarkan itu dalam tulisan suci kudus.

Musa berulang kali mendengar bapa Surgawi memfirmankan kata-kata “Musa, putra-Ku” (lihat Musa 1:6; lihat juga ayat 7, 40). Abraham belajar bahwa dia adalah anak Allah, dipilih untuk misinya bahkan sebelum dia lahir (lihat Abraham 3:12, 23). Melalui tangan Allah, Ester ditempatkan pada posisi berpengaruh untuk menyelamatkan bangsanya (lihat Ester 4). Dan Allah memercayai seorang perempuan muda, seorang hamba, untuk bersaksi mengenai nabi yang hidup sehingga Naaman dapat disembuhkan (lihat 2 Raja-Raja 5:1–15).

Saya khususnya suka pria baik itu, yang bertubuh pendek, yang memanjat pohon untuk melihat Yesus. Juruselamat tahu dia berada di sana, berhenti, memandang ke arah dahan pohon, dan mengucapkan kata-kata ini: “Zakheus, segeralah turun” (Lukas 19:5). Dan kita tidak dapat melupakan pemuda berusia 14 tahun yang pergi ke hutan dan belajar betapa bersifat pribadinya rencana tersebut: “[Joseph,] inilah Putra Terkasih-Ku. Dengarlah Dia!” (Joseph Smith—Sejarah 1:17).

Brother dan sister, kita adalah fokus dari rencana Bapa Surgawi dan alasan bagi misi Juruselamat kita. Kita masing-masing, secara individu, merupakan pekerjaan Mereka dan kemuliaan Mereka.

Bagi saya, tidak ada kitab tulisan suci yang mengilustrasikan ini lebih jelas daripada penelaahan saya akan Perjanjian Lama. Pasal demi pasal kita temukan contoh bagaimana Bapa Surgawi dan Yehova secara akrab terlibat dalam kehidupan kita.

Kita baru-baru ini menelaah tentang Yusuf, putra terkasih Yakub. Sejak masa mudanya, Yusuf telah amat berkenan di hadapan Tuhan, namun dia mengalami pencobaan-pencobaan hebat di tangan kakak-kakaknya. Dua minggu lalu, banyak di antara kita tersentuh oleh bagaimana Yusuf mengampuni kakak-kakaknya. Dalam Ikutlah Aku kita membaca: “Dengan banyak cara, kehidupan Yusuf paralel dengan kehidupan Yesus Kristus. Meskipun dosa-dosa kita menyebabkan bagi-Nya penderitaan hebat, Juruselamat menawarkan pengampunan, membebaskan kita semua dari nasib yang jauh lebih buruk daripada kelaparan. Apakah kita perlu menerima pengampunan atau memberikannya—di satu titik kita semua butuh melakukan keduanya—teladan Yusuf mengarahkan kita kepada Juruselamat, sumber sejati penyembuhan dan rekonsiliasi.”1

Pelajaran yang saya sukai dalam kisah itu berasal dari kakak Yusuf, Yehuda, yang memainkan peran dalam rencana pribadi Allah bagi Yusuf. Ketika Yusuf dikhianati oleh kakak-kakaknya, Yehuda meyakinkan mereka untuk tidak mengambil nyawa Yusuf, melainkan untuk menjualnya ke dalam perbudakan (lihat Kejadian 37:26–27).

Bertahun-tahun kemudian, Yehuda dan saudara-saudaranya perlu membawa adik bungsu mereka, Benyamin, ke Mesir. Awalnya ayah mereka menolak. Tetapi Yehuda berjanji kepada Yakub—dia akan membawa Benyamin pulang.

Di Mesir, janji Yehuda diuji. Benyamin muda secara keliru dituduh melakukan kejahatan. Yehuda, setia pada janjinya, menawarkan diri untuk dipenjarakan menggantikan Benyamin. “Sebab,” katanya, “masakan aku pulang kepada ayahku, apabila anak itu tidak bersama-sama dengan aku?” (lihat Kejadian 44:33–34). Yehuda bertekad untuk menepati janjinya dan membawa pulang Benyamin dengan selamat. Pernahkah Anda memiliki perasaan terhadap orang lain seperti perasaan Yehuda terhadap Benyamin?

Bukankah seperti ini perasaan orangtua terhadap anak-anak mereka? Bagaimana perasaan misionaris terhadap orang yang mereka layani? Bagaimana perasaan pemimpin Pratama dan remaja terhadap yang mereka ajar dan kasihi?

Tidak masalah siapa Anda atau keadaan Anda saat ini, seseorang memiliki perasaan persis seperti ini terhadap diri Anda. Seseorang ingin kembali kepada Bapa Surgawi bersama Anda.

Saya bersyukur atas mereka yang tidak pernah menyerah mengenai diri kita, yang terus mencurahkan jiwa mereka dalam doa bagi kita, dan yang terus mengajar dan membantu kita agar memenuhi syarat untuk pulang kepada Bapa kita di Surga.

Baru-baru ini seorang teman baik menghabiskan 233 hari di rumah sakit karena COVID-19. Selama waktu itu, dia dikunjungi oleh mendiang ayahnya, yang memohon agar sebuah pesan disampaikan kepada cucu-cucunya. Bahkan dari balik tabir, kakek yang baik ini berhasrat untuk membantu cucu-cucunya kembali ke rumah surgawi mereka.

Semakin banyak murid Kristus yang mengingat “Benyamin-Benyamin” dalam kehidupan mereka. Di seluruh dunia mereka telah mendengar seruan nyaring nabi Allah yang hidup, Presiden Russell M. Nelson. Remaja putra dan remaja putri terlibat dalam batalion remaja Tuhan. Individu dan keluarga menjangkau dalam semangat pemberian pelayanan—mengasihi, berbagi, dan mengundang teman serta tetangga untuk datang kepada Kristus. Remaja dan orang dewasa mengingat dan berupaya menepati perjanjian-perjanjian mereka—memenuhi bait suci Allah, mencari nama anggota keluarga yang telah meninggal, dan menerima tata cara atas nama mereka.

Mengapa rencana Bapa Surgawi yang bersifat pribadi bagi kita mencakup membantu orang lain kembali kepada-Nya? Karena inilah cara kita menjadi seperti Yesus Kristus. Pada akhirnya, kisah Yehuda dan Benyamin mengajari kita tentang pengurbanan Juruselamat bagi kita. Melalui Pendamaian-Nya, Dia memberikan nyawa-Nya untuk membawa kita pulang. Perkataan Yehuda mengekspresikan kasih Juruselamat: “Masakan aku pulang kepada ayahku, apabila [Anda] tidak bersama-sama dengan aku?” Sebagai para pengumpul Israel, itu juga dapat menjadi perkataan kita.

Perjanjian Lama dipenuhi dengan mukjizat dan belas kasihan lembut yang merupakan markah rencana Bapa Surgawi. Dalam 2 Raja-Raja 4, frasa “pada suatu hari” digunakan tiga kali untuk menekankan kepada saya bahwa peristiwa penting terjadi menurut jadwal Allah, dan tidak ada detail yang terlalu kecil bagi-Nya.

Teman baru saya Paul bersaksi akan kebenaran ini. Paul tumbuh dalam rumah tangga yang terkadang bersifat merundung dan selalu tidak toleran terhadap agama. Sementara menghadiri sekolah di pangkalan militer di Jerman, dia mencermati dua sister yang tampaknya memiliki terang rohani. Bertanya mengapa mereka berbeda mendatangkan jawaban bahwa mereka anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir.

Segera Paul mulai bertemu dengan misionaris dan diundang ke gereja. Hari Minggu berikutnya, saat dia turun dari bus, dia mencermati dua pria mengenakan kemeja putih dan dasi. Dia bertanya kepada mereka, apakah mereka penatua Gereja. Mereka mengiyakan, maka Paul pun mengikuti mereka.

Dalam kebaktian, seorang pengkhotbah menunjuk kepada orang-orang di jemaat dan mengundang mereka untuk bersaksi. Di akhir setiap kesaksian, seorang pemain drum memberikan sambutan drum dan jemaat menyerukan, “Amin.”

Ketika pengkhotbah itu menunjuk kepada Paul, dia berdiri dan berkata, “Saya tahu Joseph Smith adalah seorang nabi dan Kitab Mormon adalah benar.” Tidak ada sambutan drum dan seruan amin. Paul akhirnya menyadari bahwa dia telah pergi ke gereja yang keliru. Segera, Paul menemukan jalannya ke tempat yang benar dan dibaptiskan.

Pada hari pembaptisan Paul, seorang anggota yang tidak dia kenal memberi tahu dia, “Anda menyelamatkan hidup saya.” Beberapa minggu sebelumnya, orang ini memutuskan untuk mencari gereja lain dan menghadiri kebaktian dengan drum dan seruan amin. Ketika pria itu mendengar Paul memberi kesaksiannya mengenai Joseph Smith dan Kitab Mormon, dia menyadari bahwa Allah mengenal dia, mengetahui pergumulannya, dan memiliki rencana baginya. Bagi Paul dan pria tersebut, sungguh itu terjadi “pada suatu hari”!

Kita juga tahu bahwa Bapa Surgawi memiliki rencana kebahagiaan yang pribadi bagi kita masing-masing. Karena Allah mengutus Putra Terkasih-Nya bagi kita, mukjizat yang kita butuhkan akan terjadi “[tepat] pada suatu hari” yang diperlukan agar rencana-Nya digenapi.

Saya bersaksi bahwa tahun ini kita akan belajar lebih banyak mengenai rencana Allah bagi kita dalam Perjanjian Lama. Tulisan sakral itu mengajarkan peranan para nabi di masa-masa yang tak menentu dan tentang tangan Allah di dunia yang bimbang dan seringkali berselisih. Itu juga mengenai orang-orang percaya yang rendah hati yang setia menanti-nantikan kedatangan Juruselamat kita, sama seperti kita menanti-nantikan dan bersiap bagi Kedatangan-Nya yang Kedua—kedatangan-Nya kembali yang agung, yang telah lama dinubuatkan.

Hingga tibanya hari itu, kita mungkin tidak melihat dengan mata alami kita rancangan Allah bagi semua aspek kehidupan kita (lihat Ajaran dan Perjanjian 58:3). Tetapi kita dapat mengingat tanggapan Nefi ketika menghadapi sesuatu yang tidak dia pahami: sementara dia tidak mengetahui arti segala sesuatu, dia tahu bahwa Allah mengasihi anak-anak-Nya (lihat 1 Nefi 11:17).

Inilah kesaksian saya pada pagi Sabat yang indah ini. Semoga kita menuliskannya di hati kita dan memperkenankannya memenuhi jiwa kita dengan kedamaian, harapan, dan sukacita kekal: Begitu besar kasih Allah bagi kita sehingga Dia mengutus Putra Tunggal-Nya—bukan untuk menghukum kita melainkan untuk menyelamatkan kita. Dalam nama Yesus Kristus, amin.