Bantuan Jangka-Panjang Membantu Korban Tsunami di Sepanjang Jalan Menuju Pemulihan
Merupakan sebuah proses yang panjang bagi Sukardi dari Indonesia dan keluarganya untuk menemukan akhir dan harapan setelah tsunami tahun 2004 yang menghancurkan pesisir Asia Tenggara.
“Kami pikir itu adalah hari kiamat; tidak dapat dipercaya,” ujar Sukardi, mengenang 26 Desember 2004, hari ketika gempa bumi yang hebat di bawah laut melanda beberapa negara Asia termasuk Indonesia, mengakibatkan tsunami yang menewaskan lebih dari 225.000 orang di 11 negara. “Tetapi kami hidup, dan kami berkumpul, dan kami bahagia.”
Sukardi, seperti ribuan orang lainnya, kehilangan anggota keluarga dan teman-teman, rumah, tanah, dan nyaris kehilangan nyawanya. Ketika disapu oleh tsunami, dia berhasil berpegangan pada sebuah pohon kelapa dan memeluknya terus sampai banjir mereda.
Bersama para anggota keluarga, masing-masing dengan kisah selamat yang hampir sama, Sukardi sekarang tinggal di sebuah rumah yang dibangun dengan bantuan Latter-day Saint Charites, bantuan dari Layanan Kemanusiaan Gereja, sebagai bagian dari upaya Gereja untuk membantu para korban tsunami yang selamat.
Melakukan Pemulihan Jangka-Panjang
Upaya bantuan darurat Gereja selama beberapa bulan segera setelah tragedi itu menyediakan komoditi seperti makanan, perangkat kebersihan, perlengkapan medis, dan pakaian. Karena sumbangan yang signifikan dari para anggota, Gereja mulai merencanakan bantuan jangka-panjang. Sebagai bagian dari upaya jangka-panjang, nelayan dan tukang kayu diberi pekerjaan membuat lebih dari 130 perahu-nelayan pengganti. Para pria dipekerjakan untuk menggunakan sekop besar guna membantu membangun kembali tanggul di sekitar tambak udang. Mesin jahit, mesin tenun, traktor tangan, dan peralatan lain telah disumbangkan untuk mendorong kembalinya kemandirian.
“Selama tahun pertama difokuskan pada pembangunan kembali tempat tinggal dan menolong setiap orang kembali bekerja,” ujar Brett Bass, direktur Layanan Kemanusiaan Gereja. “Kemudian kami melihat pada sumber-sumber kami, mengenali kebutuhan yang paling mendesak, dan memfokuskan kembali upaya kami pada rekonstruksi permanen.”
Upaya Gereja meliputi pembangunan balai umum, rumah-rumah, sekolah-sekolah, klinik medis, dan sistem air bersih—semua dapat terjadi karena sumbangan luar biasa dari kemanusiaan yang murah hati. Pada saat dibutuhkan, para anggota Gereja dari seluruh dunia berperan serta membantu agar semua upaya ini terjadi.
Upaya besar Gereja di Indonesia berakhir di bulan Desember 2007. Proyek-proyek besar mencakup membangun 902 rumah dan 3 balai umum, membangun 15 sekolah, membangun 3 klinik kesehatan yang diperlengkapi, membangun kembali bangunan tambahan rumah sakit, dan menyelesaikan 24 proyek air di pedesaan.
Membangun Kembali Rumah dan Kehidupan
Abdul Samad tinggal di barak umum yang dibangun dengan tergesa-gesa selama dua setengah tahun sebelum dia dan keluarganya pindah ke rumah baru mereka. Dia kehilangan istri dan ibunya saat banjir tersebut namun sekarang dia berharap dapat menata kehidupan yang lebih baik bagi sisa keluarganya yang masih hidup, tiga anak perempuan dan seorang anak lelaki.
Setiap dari 902 rumah yang dibangun dan disumbangkan luasnya adalah 44 meter persegi. Ratusan penerima sering kali berkata bahwa mereka percaya rumah mereka adalah rumah terbaik yang dibangun, bahwa mereka akan mewariskannya kepada anak dan cucu mereka. Mereka menyukai warna yang digunakan dan ubin di lantai dan sangat bersyukur karena memiliki lagi sesuatu yang kuat dan dapat diandalkan dalam kehidupan mereka.
“Ketika gempa bumi terjadi dan diikuti tsunami, hal pertama yang mereka lakukan, jika mereka berada dalam rumah mereka, adalah berlari keluar,” ujar Jeff McMurdo dari Organisasi Internasional untuk Migrasi, yang bekerja sama dengan Gereja untuk membangun rumah. “Sejak saat itu dimulai, mereka berlari. Jadi ketika mereka mendapatkan kunci rumah, mereka dapat mengambil langkah untuk menutup seluruh tragedi dari pengalaman tsunami.”
Membangun Sekolah dan Harapan
Gereja melanjutkan upaya pembangunan kembali melalui kerja sama dengan Islamic Relief dan Adventist Development and Relief Agency untuk membangun 15 sekolah, juga melatih guru-guru baru dan mengembangkan kurikulum serta sistem pendukung pendidikan.
Banyak di antara guru di daerah itu tewas dalam tsunami tersebut, yang mengakibatkan kelangkaan guru. Kamaruzzaman, seorang guru dari Banda Aceh, adalah salah seorang dari dua guru yang selamat dari sekolahnya. Dengan musnahnya bangunan, guru, dan anak-anak, sistem pendidikan dilaksanakan dengan cara yang sangat sulit sampai sekolah baru mereka dibangun.
“Mereka telah pergi ke bangunan sementara untuk bersekolah— balai umum dimana terdapat sekitar 40 siswa dalam ruangan,” ujar Kamaruzzaman, yang sekarang menjadi kepala sekolah di sekolah yang baru dibangun. “Para siswa sekarang memiliki sekolah yang lebih baik yang lebih berguna untuk belajar. Mereka sekarang memiliki masa depan yang penuh harapan.”
Setiap bangunan sekolah telah dilengkapi dengan meja, papan tulis, dan perpustakaan untuk menyediakan lingkungan belajar yang berkualitas bagi anak-anak. Apabila sudah ada lebih banyak guru, penekanan diletakkan pada pelatihan dan pengembangan kurikulum baru.
Herliana, koordinator pendidikan untuk Islamic Relief, mengatakan dia sangat bangga menjadi bagian dari proyek ini. “Tidak ada sekolah; hanya beberapa guru terlatih yang ada,” ujarnya. “Ini adalah kontribusi besar bagi masyarakat. Bersama-sama kita membuat perbedaan besar dalam kehidupan anak-anak, guru, orang tua, dan keluarga.”
Menyediakan Air Bersih
Fauziah, seorang wanita yang bersemangat dan murah senyum, sekarang adalah operator air untuk desa kecilnya dekat Bireuen di Provinsi Aceh. Dalam posisi ini, dia membuat catatan dan mengumpulkan biaya penggunaan air dari mereka yang menggunakan sistem air umum yang baru.
Dalam kerja sama dengan International Relief and Development, Gereja telah menyelesaikan 24 proyek air desa yang mencakup renovasi sumur-sumur, memasang tangki penyimpanan, memperbaiki sanitasi, dan meningkatkan sistem penyaluran. Upaya ini menyediakan air bersih untuk 20.000 orang.
“Sebelumnya, sangat sulit untuk mendapatkan air yang baik dan membutuhkan waktu lama untuk mendapatkannya,” ujar Fauziah ketika dia mengungkapkan rasa syukur karena memperoleh akses tepat di luar rumahnya. “Sekarang anak-anak kami akan menjadi lebih sehat dan memiliki masa depan yang lebih baik.”
Fasilitas MCK [mandi, cuci, kakus] juga dibangun di desa tersebut, dan penduduk mendapatkan pelatihan mengenai bagaimana merawat fasilitas tersebut dan menjaga kebersihannya.
Meningkatkan Pemeliharaan Kesehatan
Sementara setiap desa juga menerima pelatihan kesehatan pribadi, lebih banyak upaya besar untuk meningkatkan pemeliharaan kesehatan mengalami kemajuan dengan selesainya tiga klinik kesehatan yang lengkap dan pembangunan kembali bangunan tambahan rumah sakit.
“Ini sangat diperlukan,” ujar Syarman, seorang pemimpin masyarakat di daerah Bireuen, dimana akses untuk pemeliharaan medis sebelumnya harus berjalan kaki sejauh 15 kilometer. “Masyarakat dapat memperoleh bantuan medis yang dibutuhkan dekat rumah mereka. Ini lebih baik dari sebelumnya, dan kami sangat bersyukur.”
Gereja juga mengatur pelatihan untuk para dokter dan staf medis serta menyediakan peralatan medis yang dibutuhkan.
Melakukannya dengan Cara Tuhan
Bagi Bill dan Linda Hamm dari Anchorage, Alaska, Amerika, pekerjaan ini memberikan tantangan pribadi: mereka dipanggil untuk melayani sebagai misionaris kemanusiaan untuk mengawasi upaya bantuan tsunami di Indonesia. “Kami sangat gembira dengan tantangan ini dan tersentuh dengan kesempatan ini,” ujar Brother Hamm.
Kesempatan ini berlanjut pada Jim dan Karen Greding dari Thousand Oaks, Kalifornia, Amerika, pasangan yang dipanggil untuk mengawasi penyelesaian proyek-proyek setelah Brother dan Sister Hamm mengakhiri 18 bulan misinya. Dengan tugas untuk melaksanakan dan memeriksa pekerjaan yang sedang dilakukan, mereka berperan sebagai perwakilan bukan hanya bagi Gereja, namun juga bagi banyak orang yang telah memberikan kontribusi.
“Kami mengawasi kualitas pekerjaan dan memastikan uang yang dialokasikan untuk proyek-proyek digunakan sebagaimana mestinya,” ujar Sister Greding. Perwakilan Gereja ada di setiap tahap dari proses tersebut, tindakan yang, dipadukan dengan metode pendanaan mereka, membedakan Gereja dari organisasi lainnya.
“Kami menganggap keuangan kami sebagai dana kudus dan melakukan setiap upaya untuk memastikan dana ini digunakan secara efisien dan tidak sia-sia,” ujar Bill Reynolds, ketua operasi lapangan untuk bantuan tsunami. “Banyak organisasi menyediakan dana dan menunggu untuk melihat apa yang terjadi melalui laporan yang tidak rutin. Kami menyediakan pendanaan secara bertahap yang bergantung pada tanda pengharapan yang kami lihat secara pribadi. Organisasi dimana kami bekerja mengetahui bahwa jika kami berkata kami ingin melakukan sesuatu dan dalam cara yang pasti, mereka perlu memenuhi harapan tersebut.”
Memulihkan Harapan
Fokus Gereja untuk menolong Indonesia dan masyarakatnya memerlukan langkah sederhana ke depan, satu langkah keluar dari tragedi dan penderitaan, sebuah langkah menuju perbaikan hidup. Sementara upaya ini hanya berperan kecil di antara banyak pribadi dan organisasi yang menawarkan bantuan kepada korban tsunami, para misionaris dapat membagikan kasih mereka, kasih dari para anggota, dan kasih murni Kristus.
“Kami tidak diizinkan untuk mencari jiwa, namun kami mewakili Tuhan dan mencoba untuk membagikan kesaksian kami melalui pekerjaan kami dengan menjadi baik, sopan, atau sekadar tersenyum,” ujar Sister Hamm. “Kadang-kadang kami memiliki kesempatan untuk menjelaskan dari mana dana itu berasal, dan kami memberitahukan mengenai nabi kami dan bagaimana dia dipanggil untuk berpuasa selama 24 jam, dan uang yang seharusnya digunakan untuk makanan disumbangkan untuk dana khusus. Saya pikir Roh Kudus memberikan kesaksian dan mereka mengerti bahwa ada individu-individu di seluruh dunia yang mengasihi mereka.”
Bukti-bukti dari tsunami masih sangat jelas, namun orang-orang tersebut merasa sangat bersyukur atas setiap upaya yang telah dilakukan bagi mereka.
“Ini adalah pengalaman yang tidak dapat Anda lupakan, dan siapa pun yang datang ke daerah ini tidak akan bisa melewatkan bukti-bukti kehancuran dimana daratan menjadi lautan secara permanen, dimana begitu banyak orang kehilangan nyawa dan orang-orang terkasih,” ujar Sister Greding. “Namun banyak yang mencurigai orang-orang Kristen telah mengubah hati mereka. Beberapa menatap kami, namun kebanyakan dengan bahasa Inggris yang terbatas mengatakan kepada kami, ‘Terima kasih, tuan.’ Kami sering kali mendengar itu.”