Rumah Kita, Keluarga Kita
Mengajarkan Kesucian dan Kebajikan
Orang tua dapat menggunakan enam strategi ini untuk mengajar anak-anak mereka tentang keintiman seksual.
Saya telah memiliki kesempatan istimewa untuk bertemu dengan remaja dan dewasa muda dari setiap kelas sosial dan dari seluruh dunia. Pada satu kesempatan saya berbicara dengan sekelompok remaja yang sangat mengesankan mengenai kebajikan, kesucian, dan kehidupan moral. Setelah memberi tahu mereka betapa terkesan saya dengan komentar, keyakinan, penampilan, dan sikap mereka, saya bertanya, “Bagaimana Anda bisa begitu pandai berbicara, yakin dengan jawaban Anda, dan begitu nyaman dengan topik yang sensitif seperti ini?” Satu remaja putra mengatakan tanpa ragu sedikit pun, “Saya memiliki orang tua yang mengajari saya.” Yang lainnya menganggukkan kepala tanda setuju. Pengalaman yang sederhana namun mendalam ini menekankan pengaruh yang dimiliki orang tua terhadap kehidupan anak-anak mereka—khususnya dalam peran mereka mengajarkan kebajikan, kesucian, keintiman seksual, dan hubungan yang layak.
Sayangnya, banyak orang tua mungkin tidak mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang isu-isu seksual sebaik yang dapat mereka lakukan. Misalnya, dalam mensurvei lebih dari 200 lajang muda aktif Orang Suci Zaman Akhir, saya menemukan bahwa hanya 15 persen menganggap orang tua mereka sebagai sumber informasi utama mengenai isu-isu seksual. Para anggota muda ini mengatakan bahwa mereka belajar tentang topik yang penting ini dari teman-teman atau teman sebaya, Internet, media, hiburan, buku teks, keluarga dekat, atau pemimpin Gereja mereka.
Tentu saja, ini bukan pokok persoalan yang mudah untuk diajarkan. Tetapi saya percaya orang tua adalah guru terbaik untuk menyampaikan asas-asas sakral semacam itu. Strategi-strategi berikut akan menolong Anda mengembangkan asas-asas dan praktik-praktik sederhana, efektif, dan langgeng yang meningkatkan pembelajaran dan pengajaran yang efektif—khususnya dalam mengajar anak-anak Anda bagaimana menjalani hidup yang bajik dan suci.
Pengajaran dan pembelajaran hendaknya dimulai sejak dini. Orang tua yang secara efektif mengajari anak-anak mereka tentang topik-topik seksual memahami bahwa kebanyakan anak-anak menemukan topik-topik semacam itu pada usia yang jauh lebih muda daripada yang mereka atau orang tua mereka harapkan atau inginkan. Banyak di antara anak-anak menjadi terpapar pada muatan seksual di Internet pada usia 11 tahun dan bahkan ada yang lebih muda. Tempat-tempat hiburan, kegiatan olahraga, iklan, dan bahkan media sosial semakin dipenuhi dengan gambar-gambar dan sindiran seksual.
Sejumlah orang tua tentu saja bertanya, “Kapan saya seharusnya mulai berbicara mengenai isu-isu yang berhubungan dengan seksual?” Itu bergantung pada usia dan tingkat kematangan anak dan situasi khusus. Bimbingan rohani akan datang sewaktu orang tua dengan penuh doa dan hati-hati mengamati perilaku anak-anak mereka, dengan sengaja mendengarkan anak-anak mereka, dan meluangkan waktu untuk mempertimbangkan dan mengenali kapan serta apa yang harus diajarkan. Sebagai contoh, saya teringat putra saya menanyakan kepada saya mengenai anatomi ketika dia baru berusia lima tahun. Meskipun itu sedikit membuat saya gugup, jelas bahwa itu saat yang tepat untuk berbicara. Akan tetapi, sewaktu saya memikirkan mengenai bagaimana menjawabnya, tampaknya jelas bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk berbicara dengan putra saya mengenai setiap topik yang berhubungan dengan seksual.
Pengajaran dan pembelajaran hendaknya sering dilakukan. Pembelajaran adalah sebuah proses, bukan satu peristiwa tunggal. Ketika berbicara mengenai mengajari anak-anak mengenai keintiman seksual atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya, orang sering menyebutnya sebagai “pembicaraan.” Baik ini dimaksudkan atau tidak, istilah ini menyiratkan bahwa orang tua mengajarkan topik ini dalam satu pembicaraan tunggal. Itu bukan merupakan cara yang paling efektif bagi seorang anak untuk belajar. Juruselamat mengajarkan bahwa kita belajar “baris demi baris, ajaran demi ajaran” (2 Nefi 28:30). Kita akan memiliki pengajaran yang lebih berhasil sewaktu kita mengulangi topik bersama anak-anak kita saat mereka menginjak dewasa dan menjadi matang. Orang tua yang memahami asas ini mempersiapkan diri mereka secara mental, emosional dan rohani untuk mengajar anak-anak mereka mengenai topik-topik yang berhubungan dengan seksual selama masa kanak-kanak dan remaja mereka.
Pembelajaran dan pengajaran yang efektif bergantung pada hubungan antara guru dan pembelajar. Ketika berbicara tentang mengajar anak-anak mengenai topik-topik yang berhubungan dengan seksual, sebagian besar orang tua khawatir hampir selalu mengenai apa yang seharusnya mereka katakan. Meskipun ini penting, pengajaran dan pembelajaran yang efektif lebih dari sekadar berbicara dan menceritakan mengenai isinya. Pada kenyataannya, cara orang tua menggunakan metoda pengajaran untuk anak-anak mereka mungkin lebih penting daripada apa yang sesungguhnya mungkin mereka katakan. Riset mendukung kesimpulan bahwa orang tua yang paling banyak memengaruhi anak-anak mereka ketika menghadapi isu-isu seksual adalah mereka yang berkomunikasi secara terbuka, mengungkapkan kasih dan kepedulian, dan terlibat aktif dalam kehidupan anak-anak mereka.1
Komentar-komentar dari survei tidak resmi saya mengenai para Orang Suci Zaman Akhir muda berulang kali terpusat pada keinginan agar orang tua mereka lebih terbuka atau bersedia berbicara mengenai topik-topik yang berhubungan dengan seksual. Para dewasa muda ini mengungkapkan bahwa mereka tidak saja menginginkan orang tua mereka untuk terlibat dalam prosesnya, tetapi mereka juga ingin orang tua mereka bersedia “berbicara dengan mereka bukan berbicara pada mereka.” Mereka merindukan pembicaraan yang “wajar,” “normal,” “nyaman,” dan tidak terlalu “kaku.” Ini hendaknya memotivasi orang tua untuk bekerja lebih keras lagi untuk menjadi orang tua yang dapat didekati, selalu ada, wajar, dan tidak gugup oleh topik, situasi, atau bahkan waktunya. Jika ada harga yang harus dibayar bagi orang tua untuk mengajar anak-anak mereka secara efektif mengenai hal-hal yang paling penting itu, adalah tugas orang tualah untuk bertindak dengan cara yang membantu anak-anak mereka merasa nyaman dan aman saat berbicara mengenai semua pokok persoalan—khususnya hal-hal yang lebih pribadi.
Pengajaran dan pembelajaran adalah paling efektif ketika pokok persoalannya berhubungan dan nyata. Bergantung pada pendekatan Anda, mengajar mengenai keintiman seksual bisa membuat Anda merasa kikuk, tidak realistis, tidak praktis, atau bahkan seperti orang berkhotbah. Kunci bagi keberhasilannya adalah menyadari bahwa kebanyakan pertanyaan dan kekhawatiran yang dimiliki anak-anak adalah reaksi terhadap situasi dan pengamatan dalam kehidupan nyata. Sewaktu kita memberikan perhatian, mendengarkan, dan mengamati anak-anak kita, kita akan mengenali apa yang perlu kita ajarkan.
Misalnya film, gaya, mode, program televisi, iklan, atau lirik musik memberikan banyak kesempatan untuk berbicara mengenai standar-standar moral. Kesempatan-kesempatan lain akan datang sewaktu kita mengamati hubungan dan interaksi anak-anak kita dengan orang lain, cara mereka dan teman-temann sebaya mereka berpakaian, bahasa yang mereka gunakan, seberapa bergantung mereka merasa pada lawan jenis, maupun berbagai interpretasi terhadap kesucian dan standar moral dalam masyarakat. Ada banyak kesempatan kehidupan nyata untuk dibicarakan dengan anak-anak mengenai moralitas dan kebajikan.
Mungkin aspek paling penting mengenai pengajaran kehidupan nyata dilakukan ketika orang tua memberi contoh untuk kesucian, kesopanan, dan kebajikan dalam kehidupan mereka sendiri. Anak-anak akan lebih siap mendengarkan dan mengikuti nasihat orang tua mereka ketika nasihat seperti itu dilandaskan pada teladan baik orang tua mereka.
Hal yang sebaliknya juga berlaku. Seperti yang dikatakan oleh Penatua Robert D. Hales dari Kuorum Dua Belas Rasul, “Dalam banyak hal, tindakan kita memiliki pengaruh yang lebih besar daripada perkataan kita. Presiden Brigham Young (1801–1877) mengajarkan, ‘Kita hendaknya memberikan [kepada anak-anak kita] teladan yang kita ingin mereka tiru. Apakah kita menyadari hal ini? Seberapa sering kita melihat orang tua menuntut kepatuhan, perilaku yang baik, kata-kata yang baik, penampilan yang menyenangkan, suara yang lembut dan ekspresi yang menyenangkan dari seorang anak atau anak-anak ketika mereka sendiri penuh dengan kegetiran dan kemaranan! Hal ini tidak konsisten dan tidak masuk akal!’ Anak-anak kita akan memerhatikan hal yang tidak konsisten semacam ini dalam diri kita dan mungkin menemukan pembenaran untuk bertindak dengan cara-cara yang sama.”2
Pembelajar belajar dengan paling baik ketika mereka memahami apa yang diajarkan oleh guru. Terlalu banyak remaja dan dewasa muda mengungkapkan rasa frustrasi mereka di mana orang tua mereka dan bahkan pemimpin gereja cenderung menggunakan “kata-kata yang tidak jelas” dan pesan-pesan tersirat yang sesungguhnya menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban dan lebih tegang daripada melegakan. Hal ini terutama sekali berlaku ketika berhubungan dengan topik-topik seksual.
Sewaktu melayani sebagai uskup sebuah lingkungan dewasa lajang muda, saya sering ditanya apa yang dimaksud dengan “bercumbu.” Para anggota lingkungan saya yang penuh iman telah diajari bahwa mereka tidak seharusnya terlibat dalam percumbuan, tetapi mereka tidak pernah diajari apa yang sesungguhnya dimaksud dengan percumbuan. Adalah sulit bagi mereka untuk mematuhi petunjuk yang tidak mereka pahami.
Presiden Marion G. Romney (1897–1988), Penasihat Pertama dalam Presidensi Utama, menjelaskan bahwa tidaklah cukup untuk mengajar dengan cara agar orang lain akan memahami, tetapi kita juga harus mengajar sedemikian rupa sehingga tidak seorang pun akan salah dalam memahami.3 Daripada berbicara dengan bahasa yang tidak jelas atau bahkan bahasa prokem, kita akan lebih berhasil jika kita menggunakan istilah-istilah yang benar dan tepat. Ini menciptakan pemahaman dan memupuk rasa hormat.
Pertimbangkanlah bagaimana Penatua Richard G. Scott dari Kuorum Dua Belas Rasul mengajarkan dengan efektif asas-asas dan standar-standar moral. Dia berkata, “Keintiman seksual apa pun di luar ikatan pernikaian—yang saya maksud adalah kontak apa pun secara sengaja dengan bagian-bagian yang sakral, pribadi dari tubuh orang lain, dengan atau tanpa pakaian—adalah dosa dan dilarang oleh Allah. Merangsang emosi-emosi ini dengan sengaja dalam tubuh Anda sendiri juga merupakan pelanggaran.”4
Untuk mengajar secara efektif, kita harus memastikan bahwa mereka yang kita ajar memahami pesannya. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti “Apakah ini menjawab pertanyaan Anda?” atau “Apakah saya telah menjelaskannya dengan baik?” atau “Apakah Anda memiliki pertanyaan-pertanyaan lain?” adalah sangat membantu.
Pembelajar diinsafkan ketika guru menghubungkan pesan dengan asas-asas dan standar-standar abadi. Daripada memfokuskan hanya pada “fakta-fakta kehidupan” yang relevan, pengajaran Injil yang efektif terjadi ketika kita menghubungkan fakta-fakta tersebut dengan “fakta-fakta kehidupan kekal.” Ketika berbicara mengenai tubuh kita, misalnya, kita dapat berbicara mengenai bagaimana Bapa Surgawi yang penuh kasih menciptakan tubuh kita dan bagaimana kita hendaknya memperlakukan ciptaan-Nya dengan rasa hormat dan sesuai dengan harapan-harapan-Nya.
Sementara dunia dipenuhi dengan amoralitas, masih ada harapan bagi generasi-generasi masa depan. Harapan ini terpusat pada orang tua yang mengabdikan upaya-upaya terbaik mereka untuk mengajar generasi muda untuk menjadi bajik dan suci. Orang tua yang mengajar anak-anak mereka untuk menjalani kehidupan yang bajik dan suci berusaha meningkatkan pemahaman mereka dan meningkatkan keterampilan mengajar mereka. Dalam melakukan hal ini, mereka menjadi sadar bahwa “Tuhan akan mengembangkan [mereka] sewaktu [mereka] mengajar dengan cara yang telah Dia firmankan.” Bagaimanapun juga, ini “adalah pekerjaan kasih—sebuah kesempatan untuk membantu orang lain menjalankan hak pilihan mereka dengan benar, datang kepada Kristus, dan menerima berkat-berkat kehidupan kekal.”5