Penatua Robert D. Hales: Kehidupan yang Terhormat
“Ah, seandainya saya memiliki suara dan sangkakala malaikat yang bisa saya katakan kepada seluruh umat manusia bahwa [Yesus Kristus] telah bangkit dan bahwa Dia hidup; bahwa Dia adalah Anak Allah, Putra Tunggal Bapa, Mesias yang dijanjikan, Penebus dan Juruselamat kita; bahwa Dia datang ke dunia ini untuk mengajarkan Injil melalui teladan. Misi ilahi-Nya ditujukan kepada Anda dan saya untuk datang kepada-Nya dan Dia akan membawa kita ke dalam kehidupan yang kekal.”1
Ketika Penatua Robert D. Hales bertugas sebagai pilot jet tempur di Angkatan Udara A.S. selama tahun 1950-an, anggota skuadronnya mengadopsi sebuah moto untuk mengilhami mereka dalam tugas mereka.
“Moto unit kami—yang ditampilkan di sisi pesawat kami—adalah ‘Kembali dengan Terhormat,’” Penatua Hales mengatakan kepada para pemegang imamat pada tahun 1990 saat melayani sebagai Uskup Ketua. “Moto ini adalah pengingat terus-menerus kami pada tekad kami untuk kembali ke markas kami dengan terhormat hanya setelah menggunakan seluruh usaha kami untuk berhasil menyelesaikan setiap aspek misi kami.”2
Penatua Hales, yang sering berbicara mengenai kembali dengan terhormat, percaya bahwa semua anak Bapa Surgawi dapat dibantu sepanjang jalan kekal mereka dengan menerapkan moto ini dalam kehidupan mereka. Karena setiap hari dalam kehidupan adalah sebuah misi, dia mengajarkan, “Kita perlu mengingat siapa kita dan tujuan kekal kita untuk ‘Kembali dengan Terhormat,’ bersama keluarga kita, ke hadirat Bapa Surgawi kita.”3
Dalam tugasnya sebagai suami dan ayah, eksekutif bisnis, dan Pembesar Umum Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir selama lebih dari 40 tahun, Penatua Hales ingat siapa dirinya dan bertindak sesuai dengannya. Dan melalui kesetiaan, ketaatan, ketekunan, dan pelayanannya, dia mencontohkan moto skuadronnya di sepanjang kehidupan fananya.
Keluarga Dekat
Robert Dean Hales lahir di New York City, AS, pada tanggal 24 Agustus 1932, anak ketiga dari tiga bersaudara yang lahir dari pasangan J. Rulon Hales dan Vera Marie Holbrook Hales. Robert dibesarkan di dekat Long Island di sebuah rumah yang berpusat pada Injil. Orangtuanya melayani dalam berbagai pemanggilan Gereja, termasuk sebagai misionaris pasak, dan setiap hari Minggu keluarga tersebut menempuh jarak 20 mil (32 km) untuk menghadiri Lingkungan Queens.
“Kami adalah keluarga dekat,” kenang Penatua Hales. Dia menyebut rumah masa kecilnya “tempat yang indah untuk tumbuh” dan keluarganya sebagai “sumber kekuatan.”4
Teladan baik yang diberikan oleh orangtuanya menjadi kenangan yang menuntun kehidupannya.5 “Mereka menjalankan Injil, menelaah tulisan suci, dan memberikan kesaksian tentang Allah Bapa dan Putra-Nya Yesus Kristus,” kata Penatua Hales. “Mereka juga memberikan kesaksian tentang Nabi Joseph Smith.”6
Pada usia muda dia belajar bahwa “kunci untuk memperkuat keluarga kita adalah dengan memiliki Roh Tuhan hadir di dalam rumah kita.”7
Ibunya, yang melayani lebih dari 30 tahun di Lembaga Pertolongan, mengajar Robert tentang kasih dan pelayanan saat dia membawanya untuk melayani orang miskin dan yang membutuhkan.8 Ayahnya, seorang pelukis profesional di New York City, mengajarkan kepada Robert pelajaran yang membekas tentang imamat dan Pemulihan. Pada suatu kesempatan, dia membawa Robert ke Sungai Susquehanna, tempat Joseph Smith dan Oliver Cowdery menerima Imamat Harun dari Yohanes Pembaptis. Pada kesempatan lain, dia membawa Robert ke Hutan Sakral.
“Kami berdoa bersama di hutan dan mengungkapkan hasrat kami untuk teguh dan setia pada imamat yang kami pegang,” kenangnya. “Ayah kemudian melukis gambar tempat di mana kami berdoa dan memberikannya kepada saya sebagai pengingat akan janji-janji kami yang dibuat hari itu bersama-sama. Lukisan ini tergantung di kantor saya hingga hari ini dan berfungsi sebagai pengingat setiap hari akan pengalaman dan janji sakral yang dibuat bersama ayah duniawi saya dan juga Bapa Surgawi saya.”9
Sebagai seorang pemuda, Robert senang bermain bisbol, yang akhirnya bermain untuk Universitas Utah. Dalam perjalanan pulang ke rumah setelah pertandingan pertamanya di luar kota dengan tim utama SMA, siswa kelas sembilan ini terkejut dengan beberapa perilaku dan bahasa rekan satu timnya. Untuk memperkuat Robert, ayahnya menggambar untuknya sebuah gambar kesatria.
“Sementara dia menggambar dan membaca dari tulisan suci, saya belajar bagaimana menjadi pemegang imamat yang setia—untuk melindungi dan mempertahankan kerajaan Allah. Perkataan Rasul Paulus adalah penuntun saya” (lihat Efesus 6:13–17).
Merefleksikan pelajaran itu beberapa tahun kemudian, Penatua Hales mengajarkan, “Jika kita setia dalam imamat, perlengkapan senjata ini akan diberikan kepada kita sebagai karunia dari Allah. Kita membutuhkan perlengkapan senjata ini!”10
Penatua Hales mempelajari atribut penting lainnya dari teladan ayahnya.
“Saya belajar menghargai kedudukan wanita dari perhatian lembut ayah saya terhadap ibu saya, saudara perempuan saya, dan saudara-saudara perempuan ayah saya,” katanya. Setelah ibu Penatua Hales menderita stroke, “perawatan kasih sayang terhadap rekannya yang disayangi” oleh ayahnya dua tahun terakhir hidupnya menjadi teladan yang tidak pernah dia lupakan. “Dia mengatakan kepada saya bahwa itu adalah tindakan kecil dibandingkan lebih dari lima puluh tahun pengabdian penuh kasih ibu saya kepada dia.”11
Aset Terbesarnya
Sementara pulang dari perguruan tinggi pada tahun 1952, Robert bertemu dengan seorang wanita muda bernama Mary Crandall, yang keluarganya baru saja pindah ke New York dari California. Keduanya langsung saling menyukai.
“Setelah saya bertemu dengannya, saya tidak pernah pergi dengan orang lain,” kenang Penatua Hales.12
Saat musim panas berakhir, keduanya kembali ke Utah untuk sekolah. Robert kuliah di Universitas Utah sementara Mary ke Universitas Brigham Young, namun mereka tidak membiarkan jarak memisahkan mereka. Tak lama setelah tahun ajaran berakhir, mereka menikah di Bait Suci Salt Lake pada tanggal 10 Juni 1953. Selama lima tahun berikutnya mereka dikaruniai dua putra, Stephen dan David.
Setelah Robert lulus pada tahun 1954 dengan gelar dalam bidang Komunikasi dan Bisnis, dia melanjutkan tugas aktif di angkatan udara, yang bertugas sebagai pilot jet tempur. Ketika dinasnya berakhir hampir empat tahun berikutnya, dia memindahkan keluarganya dari Florida ke Massachusetts untuk mendapatkan gelar master dalam Administrasi Bisnis. Sementara di bawah tekanan dengan beban yang dia miliki di Harvard Business School, dia dipanggil sebagai presiden kuorum penatua. Inilah satu-satunya saat dalam hidupnya bahwa dia pernah bertanya-tanya apakah dia harus menerima pemanggilan Gereja.
“Ada kemungkinan saya akan gagal dalam kuliah saya jika saya menjadi presiden kuorum penatua,” katanya kepada Mary.
Mary menanggapi dengan kata-kata yang akan membantunya sepanjang sisa hidupnya: “Bob, saya lebih suka memiliki pemegang imamat yang aktif daripada pria yang memegang gelar master dari Harvard.” Lalu dia memeluknya dan menambahkan, “Kita akan melakukannya berdua.”13
Dan mereka pun melakukannya.
Keesokan harinya Mary memasang dinding pemisah di sebuah bagian ruang bawah tanah yang belum selesai di apartemen mereka sehingga Robert bisa memiliki tempat untuk belajar tanpa terganggu.
“Saya menempatkan diri saya di tangan Tuhan saat membuat keputusan itu” untuk menerima pemanggilan tersebut, Penatua Hales mengatakan 30 tahun kemudian. “Keputusan itu jauh lebih sulit untuk dibuat daripada ketika, bertahun-tahun kemudian, saya menerima pemanggilan untuk melayani sebagai Asisten Dua Belas dan meninggalkan karier bisnis saya.”14
Bertahun-tahun kemudian, setelah keluarganya mapan secara finansial, Penatua Hales berencana membeli mantel mahal untuk Mary. Ketika dia bertanya kepada istrinya apa pendapatnya tentang rencana pembeliannya, dia bertanya, “Apakah kamu membeli ini untuk saya atau untuk dirimu?”
Penatua Hales menyebut pertanyaannya sebagai “sebuah pelajaran yang tak terlupakan.” Dia berkata, “Dengan kata lain, dia bertanya, ‘Apakah tujuan pemberian ini menunjukkan kecintaanmu kepada saya atau untuk menunjukkan kepada saya bahwa kamu adalah pemberi nafkah yang baik atau untuk membuktikan sesuatu kepada dunia?’ Saya merenungkan pertanyaannya dan menyadari bahwa saya kurang memikirkan tentang dia dan keluarga kami dan lebih tentang saya.”15
Penatua Hales mengakui bahwa istrinya adalah aset terbesarnya.16 “Saya tidak akan menjadi seperti apa saya adanya tanpa dia,” dia berkata. “Saya sangat mengasihinya. Dia memiliki karunia dari Roh. Kami menelaah tulisan suci bersama, dan banyak konsep yang saya ajarkan telah datang karena kami telah melakukan penelaahan dan doa bersama sebagai kerekanan. Itulah sebabnya saya menjadi sebagaimana adanya sekarang.”17
Penatua Hales menghubungkan banyak dari apa yang telah dia dan Mary capai dalam kehidupan karena hubungan tim mereka. “Kami selalu menjadi tim dan akan selalu demikian. Saya pikir mendengarkan istri saya, selain mendengarkan Roh Kudus, telah menjadi pengaruh terpenting dalam hidup saya.”18
“Anda Akan Memiliki Banyak Misi”
Setelah Robert lulus dengan gelar MBA pada tahun 1960, kesempatan profesional dengan cepat datang. Selama 15 tahun berikutnya dia menjabat sebagai eksekutif senior untuk beberapa perusahaan terkemuka di Amerika Serikat. Karier bisnisnya yang hebat membawa dia dan keluarganya ke beberapa kota di Amerika serta Inggris, Jerman, dan Spanyol. Perpindahan itu membawa pemanggilan kepemimpinan di Gereja, yang diterima Robert dengan sukarela.
Dia melayani dalam presidensi cabang di Spanyol, Jerman, dan di Amerika Serikat di Georgia dan Massachusetts. Dia melayani sebagai uskup di Frankfurt, Jerman, dan di Massachusetts dan Illinois, AS. Dia melayani sebagai anggota dewan tinggi di London, Inggris, dan Boston, Massachusetts, di mana dia juga melayani dalam presidensi pasak. Di Minnesota dan Louisiana, AS, dia melayani sebagai perwakilan regional.
Pada tahun 1975, saat menghadiri rapat dewan bisnis, Robert menerima sebuah catatan singkat bahwa Presiden Marion G. Romney (1897-1988), yang waktu itu Penasihat Kedua dalam Presidensi Utama, sedang menunggu di telepon. Ketika Robert menjawab teleponnya, Presiden Romney memanggil dia untuk melayani sebagai presiden misi. Robert menerima telepon tersebut, tetapi sebelum dia dapat menjalankan tugasnya pada tahun itu sebagai presiden Misi London Inggris, dia menerima telepon lagi dari Salt Lake City, kali ini dari Presiden Spencer W. Kimball (1895-1985).
“Apakah Anda keberatan jika kami meminta Anda untuk melayani lebih dari tiga tahun?” Presiden Kimball bertanya. Setelah Robert mengatakan bahwa dia tidak keberatan, Presiden Kimball memanggilnya sebagai asisten Kuorum Dua Belas Rasul.
“Presiden Kimball mengatakan kepada saya bahwa dia tahu saya kecewa karena saya ingin pergi sebagai presiden misi,” kata Penatua Hales. Namun Presiden Kimball meyakinkan dia, “Jangan khawatir; Anda akan memiliki banyak misi.”19
Setahun kemudian, Penatua Hales dipanggil ke Kuorum Pertama Tujuh Puluh. Dalam kapasitas itu tiga tahun kemudian, dia dipanggil kembali untuk melayani sebagai presiden Misi London Inggris dan kemudian sebagai penyelia area di Eropa, bekerja dengan Penatua Thomas S. Monson untuk menegakkan Injil di negara-negara yang telah ditutup bagi Gereja dan untuk mengejar pembangunan sebuah bait suci di Jerman Timur.20
“Salah satu sukacita besar pelayanan Gereja saya datang dalam tiga tahun pertama sebagai Pembesar Umum saat saya membantu merencanakan dua puluh tujuh konferensi area,” kata Penatua Hales. “Saya suka bepergian dengan para anggota Presidensi Utama, para Rasul, Pembesar Umum, dan para pemimpin lainnya dan mengenal mereka dan istri mereka. Menyaksikan nabi, pelihat, dan pewahyu yang bersaksi tentang kebenaran Injil kepada para Orang Suci dari satu negara ke negara lainnya adalah luar biasa.”21
Pada tahun 1985, Penatua Hales dipanggil sebagai Uskup Ketua Gereja. Pengalaman profesionalnya, gaya manajemen dan negosiasi yang terhormat, dan kasihnya kepada orang-orang membuat dia sangat cocok untuk pemanggilan tersebut.
Presiden Henry B. Eyring, Penasihat Pertama dalam Presidensi Utama, melayani dalam Keuskupan Ketua bersama Penatua Hales. Dia menyebut Penatua Hales sebagai seorang pengusaha yang bijak, bersahaja, loyal yang peka terhadap orang-orang dan tahu bagaimana menyelesaikan sesuatu. “Dia membawa kualitas yang sama itu pada kepemimpinan Keuskupan Ketua,” kata Presiden Eyring.22
“Dia sama sekali bukan orang yang licik,” kata istrinya, Mary. “Dia memiliki hati yang murni dan hanya ingin melakukan hal yang benar.”23
Di antara ajaran yang Penatua Hales tekankan sebagai Uskup Ketua adalah asas kesejahteraan. “Engkau mengangkatku, dan aku akan mengangkatmu, dan kita akan naik bersama,” dia sering berkata, mengutip salah satu peribahasa favoritnya.24
Dia berdoa agar para Orang Suci “dapat menyadari bahwa kita memiliki kuasa dan tanggung jawab untuk membantu mereka yang membutuhkan, sebagai malaikat yang melayani bagi Tuhan Yesus Kristus, bahwa kita akan dikasihi karena kita mengasihi, dihibur karena kita memiliki rasa iba, diampuni karena kita telah menunjukkan kemampuan untuk mengampuni.”25
Ajaran dan Kesaksian
Ketika Penatua Hales didukung pada jabatan dalam Kuorum Dua Belas Rasul sembilan tahun kemudian, pada tanggal 2 April 1994, pemanggilan barunya sangat membuatnya terbebani.
“Saya sekarang berusia enam puluh satu dan sekali lagi menjadi anak lelaki,” katanya saat berbicara dalam konferensi umum pertamanya sebagai seorang Rasul. Ada pria yang duduk di mimbar ini yang telah menjadi Rasul dan Presidensi Utama selama setengah usia saya.”
Dia mengatakan bahwa menjadi seorang Rasul Yesus Kristus adalah sebuah proses—“sebuah proses pertobatan dan kerendahan hati, untuk melihat ke dalam seperti yang telah diinstruksikan kepada kita dan meminta pengampunan dan kekuatan untuk menjadi apa yang seharusnya saya menjadi.” Dia meminta doa para Orang Suci sehingga dia bisa “menempa kekuatan rohani yang dibutuhkan agar suara dan kesaksian saya terhadap Tuhan Yesus Kristus menembus hati orang-orang yang akan mendengar.”26
Selama lebih dari 20 tahun, kesaksian kerasulan Penatua Hales tentang Juruselamat dan kesaksiannya tentang Injil yang dipulihkan menembus hati para Orang Suci Zaman Akhir di seluruh dunia. Khotbahnya mencakup tema seperti keluarga dan iman, cobaan dan kesaksian, kasih dan panjang sabar, pelayanan dan ketaatan, integritas dan hak pilihan.
Dalam mengajarkan tentang penggunaan hak pilihan yang bijaksana, Penatua Hales berbagi kisah tentang seorang teman yang bertugas bersamanya di angkatan udara.
“Saat berlatih menjadi pilot jet tempur, … saya berlatih memutuskan kapan melompat keluar dari pesawat terbang jika lampu peringatan kebakaran menyala dan saya mulai kehilangan kendali,” kenangnya. “Saya ingat seorang teman terkasih yang tidak membuat persiapan seperti ini. Dia akan mencari cara untuk menghindari pelatihan dalam simulator, lalu pergi untuk main golf atau berenang. Dia tidak pernah mempelajari prosedur keadaan daruratnya! Beberapa bulan kemudian, api memercik dalam pesawatnya, dan pesawat berputar ke arah tanah dalam keadaan terbakar. Melihat lampu peringatan kebakaran, rekannya yang lebih muda, yang telah mempelajari keterampilan menanggapi sinyal, mengetahui kapan harus melompat dari pesawat terbang dan menggunakan parasut dengan selamat. Namun teman saya yang tidak siap untuk membuat keputusan itu berada di dalam pesawat dan tewas dalam kecelakaan.”
Mengetahui bagaimana bertindak dan kapan harus bertindak saat pilihan penting muncul dapat memiliki konsekuensi kekal, Penatua Hales menambahkan.27
“Sebagai anak lelaki New York, saya dibesarkan sebagai satu dari hanya dua atau tiga anggota Gereja di sebuah sekolah menengah atas di antara beberapa ribu siswa. Pada reuni 50 tahun baru-baru ini, mantan teman sekelas saya ingat bagaimana saya hidup sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan saya. Saya menyadari waktu itu bahwa satu pelanggaran saja terhadap Firman Kebijaksanaan atau pelanggaran terhadap nilai-nilai moral akan berarti bahwa saya tidak pernah dapat mengatakan, ‘Inilah yang saya percayai’ dan dipercaya oleh teman-teman saya.
“Kita dapat membagikan Injil hanya sejauh kita menjalaninya.”28
Selama tahun-tahun terakhir pelayanan Penatua Hales, dia mengimbau para Orang Suci untuk hidup layak bagi “karunia Roh Kudus yang luar biasa.”29 Dia juga mengimbau anggota Gereja untuk meningkatkan kemuridan mereka dengan menjadi orang Kristen yang lebih baik, memiliki keberanian sebagai orang Kristen, dan berdiri teguh di tempat-tempat suci.
“Inilah seruan Kristus kepada setiap orang Kristen dewasa ini: ‘Gembalakanlah domba-domba-Ku .… Gembalakanlah domba-domba-Ku’—bagikan Injil-Ku baik kepada mereka yang muda maupun tua, mengangkat, memberkati, menghibur, mendorong, dan membangun mereka, terutama mereka yang berpikir dan percaya secara berbeda dengan kita,” dia mengajarkan.30
Mengenai orang-orang yang “ingin kita turun dari tempat yang tinggi dan bergabung dengan mereka dalam pergumulan teologis dalam lumpur,” Penatua Hales menasihati para Orang Suci untuk menanggapi dengan kesaksian mereka dan untuk berdiri dengan Juruselamat.
“Kita memperlihatkan kasih-Nya, yang merupakan satu-satunya kekuatan yang dapat menenangkan si jahat dan menjawab para penuduh kita tanpa balik menuduh mereka. Itu bukanlah kelemahan. Itu adalah keberanian Kristiani.”31
Sama seperti Juruselamat “dihina dan dihindari orang,” (Yesaya 53:3; Mosia 14:3), para Orang Suci Zaman Akhir mungkin juga mengalami kesalahpahaman, kritik, dan tuduhan palsu. “Adalah kesempatan istimewa sakral kita untuk berdiri bersama-Nya!” Penatua Hales mengatakan.32
Menantikan Tuhan
Ketika Penatua Hales berbicara tentang menantikan Tuhan, dia tahu permasalahannya dengan baik. Masalah jantung, operasi besar, dan tantangan kesehatan baru yang mencegahnya berbicara dalam konferensi umum April 2011 menuntut beban fisik namun memberinya wawasan rohani.
Setelah pulih dari tiga operasi besar pada tahun 2000, dia mengatakan kepada para Orang Suci: “Dalam dua tahun terakhir, saya telah menantikan Tuhan bagi pelajaran-pelajaran fana diajarkan kepada saya melalui periode rasa sakit fisik, kepedihan batin, dan perenungan. Saya belajar bahwa rasa sakit yang terus-menerus, yang intens merupakan suatu pemurni menguduskan yang hebat yang merendahkan hati kita dan membawa kita lebih dekat kepada Roh Allah.”33
Kita tidak perlu menghadapi tantangan sendirian karena kita dapat memohon kepada “pengasuh tertinggi,” Penatua Hales mengajarkan.34 “Dan pada saat tertentu, sewaktu Tuhan menghendakinya, saya dihibur oleh kunjungan utusan surgawi yang mendatangkan penghiburan dan kepastian kekal di saat saya membutuhkannya.”35
Meskipun kita mungkin tidak tahu kapan atau bagaimana doa kita akan dijawab, Penatua Hales bersaksi, jawaban akan datang menurut cara Tuhan sendiri dan menurut waktu-Nya. “Untuk sejumlah jawaban, kita mungkin harus menunggu sampai di kehidupan yang akan datang .… Janganlah kita menyerah berharap kepada Tuhan. Berkat-berkat-Nya adalah kekal, bukan sementara.”36
Murid yang Setia
Sebagai Uskup Ketua, Penatua Hales memberikan kesaksian yang membangkitkan ingatan terhadap Alma yang Muda. Dia menyatakan: “Ah, seandainya saya memiliki suara dan sangkakala malaikat yang bisa saya katakan kepada seluruh umat manusia bahwa [Yesus Kristus] telah bangkit dan bahwa Dia hidup; bahwa Dia adalah Anak Allah, Putra Tunggal Bapa, Mesias yang dijanjikan, Penebus dan Juruselamat kita; bahwa Dia datang ke dunia ini untuk mengajarkan Injil melalui teladan. Misi ilahi-Nya ditujukan kepada Anda dan saya untuk datang kepada-Nya dan Dia akan membawa kita ke dalam kehidupan yang kekal.”37
Dalam ceramah konferensi umum pertamanya setelah dipanggil di Kuorum Dua Belas Rasul, dia mengutip Mormon, membuat kesaksian nabi kuno itu miliknya sendiri: “Lihatlah, aku adalah murid Yesus Kristus, Putra Allah. Aku telah dipanggil oleh-Nya untuk memaklumkan firman-Nya di antara umat-Nya, agar mereka boleh memperoleh kehidupan abadi” (3 Nefi 5:13).38
Selama hampir empat dasawarsa sebagai Pembesar Umum, Penatua Robert D. Hales dengan berani dan kuat menyatakan perkataan Juruselamat melalui ceramah dan teladan kehidupannya. Dan dia ingat nasihatnya sendiri dalam kehidupan pribadinya, profesional, dan gerejawi: “Melalui ketaatan yang setia dan bertahan sampai akhir, suatu hari nanti kita dapat kembali secara terhormat ke hadirat Bapa Surgawi kita dan Putra-Nya Yesus Kristus.”39
Bagi para Orang Suci Zaman Akhir yang berbagi iman yang sama dengannya kepada Juruselamat, Penatua Hales tidak hilang. Sebaliknya, dia telah kembali ke rumah—dan dia telah melakukannya secara terhormat.