Pelayanan Harold B. Lee
Laporan berikut mengenai kehidupan Presiden Harold B. Lee, ditulis oleh Penatua Gordon B. Hinckley, yang waktu itu adalah anggota Kuorum Dua Belas Rasul, diterbitkan dalam majalah Ensign edisi bulan November 1972 (“President Harold B. Lee: An Appreciation,” 2–11). Artikel tersebut membantu para anggota lebih mengenali Presiden Lee, yang baru-baru ini menjadi Presiden Gereja.
“Kisah mengenai Harold B. Lee, Presiden Gereja, dapat diceritakan dalam beberapa kalimat rangkuman: Lahir tanggal 28 Maret 1899, di Clifton, Idaho, putra dari pasangan Samuel Marion dan Louisa Emeline Bingham Lee, salah satu dari enam anak. Memperoleh pendidikan di sekolah setempat, Akademi Oneida dekat Preston, SPGN Albion di Albion, Idaho, dan kemudian kuliah di Universitas Utah. Mengawali karier mengajar pada usia 17 tahun, melayani sebagai kepala sekolah pada usia 18 tahun, dan kemudian kepala sekolah di dua sekolah di Salt Lake County, Utah. Menikah dengan Fern Lucinda Tanner pada tanggal 14 November 1923. Istrinya meninggal pada tanggal 24 September 1962. Menikah dengan Freda Joan Jensen pada tanggal 17 Juni 1963.
“Mengelola Foundation Press, Inc., 1928–1933. Melayani sebagai Komisaris Salt Lake City tahun 1933–1937, ketika dia menjadi direktur pelaksana program kesejahteraan Gereja. Dipilih sebagai anggota Dewan Dua Belas pada tanggal 6 April 1941, Presiden Dewan Dua Belas dan penasihat pertama dalam Presidensi Utama tanggal 23 Januari 1970, dan ditahbiskan serta ditetapkan sebagai Presiden Gereja tanggal 7Juli 1972.
“Demikianlah fakta sederhana dari kehidupannya. Tetapi kehidupannya itu patut diceritakan dengan lebih rinci lagi.
“Dibandingkan dengan kebanyakan kota-kota lainnya, Clifton adalah kota yang sangat kecil, dan tidak terletak di antara jalan utama atau lintasan kereta api. Tetapi dengan berlalunya waktu, kota tersebut akan lebih dikenal sebagai tempat kelahiran Presiden Gereja yang kesebelas.
“Ayah Presiden Lee, Samuel Marion, pindah ke kota Clifton dari kota lainnya, Panaca, di bagian selatan Nevada. Ibu Samuel (Nenek Presiden Lee) telah meninggal ketika dia berusia delapan hari, dan bayi yang prematur tersebut berukuran sangat kecil sehingga sebuah cincin dapat dimasukkan ke dalam tangan dan lengannya. Dia harus diberi makan dengan alat tetes mata. Saudara perempuan ibunya tinggal di Clifton, dan pada usia 18 tahun, anak lelaki tersebut pindah ke arah selatan untuk tinggal bersama keluarga bibinya.
“Di sana dia bertemu dengan Louisa Bingham gadis berambut hitam dan bermata gelap. Mereka menikah di Bait Suci Logan. Rumah yang mereka bangun dan tempat dimana keenam anaknya lahir terletak di ‘pinggir jalan, kira-kira lima kilometer di sebelah utara toko.’ Kebetulan toko tersebut merupakan lembaga komersial bagi kota tersebut. Jalan tempat rumah itu berada adalah jalan yang tidak beraspal,—berdebu pada musim panas, ditutupi salju pada musim dingin, dan berlumpur pada musim semi dan musim gugur ….
“Di sini, dengan kaki tanpa alas, dan berpakaian overall Harold dibesarkan, seorang anak lelaki di antara anak-anak lelaki desa lainnya. Dia senang berenang di Kolam milik Dudley, tetapi tidak pada hari Minggu. Ayahnya melayani dalam keuskupan, ibunya di [organisasi Remaja Putri],—dan hari Minggu adalah hari yang kudus. Di kolam serupa, di pertanian milik Bybees, Harold B. Lee dibaptiskan.
“Uang sangat sulit di masa itu. Ladang pertanian memberikan hasil panen berlimpah tetapi gandum dan kentang tidak menghasilkan banyak uang. Ayahnya menambah penghasilan keluarga dengan bekerja sebagai tenaga kontrak untuk memotong gandum sesuai permintaan pemilik, mengebor sumur, dan membangun saluran-saluran irigasi. Tetapi anak-anak keluarga Lee tidak tahu bahwa mereka miskin. Rumah dan Gereja memberikan kesempatan-kesempatan penghiburan. Harta paling berharga di rumah adalah piano. Seorang wanita keturunan Skotlandia, yang selalu memukul buku-buku jarinya jika mendengar bunyi suara piano yang dimainkan secara salah, mengajar dia cara bermain piano.
“Harold sangat mahir bermain piano. Adalah menarik untuk disimak bahwa kecintaan terhadap musik, yang dipupuk sejak usia dini itu, kemudian dibuktikan ketika dia melayani sebagai ketua Komite Musik Gereja ….
“Kereta kuda kecil, yang biasanya dikendarai oleh ibunya, digunakan untuk mengantar anak-anak pergi ke sekolah dengan menempuh perjalanan tiga kilometer pergi dan pulang. Kereta kuda ini tidak banyak memberikan perlindungan terhadap tiupan angin dingin bulan Januari yang bertiup dari utara, dan lumpur menjadi masalah ketika salju yang menutupi jalan mencair. Tetapi memang begitulah kehidupan di Clifton. Presiden Lee telah memberikan komentar, ‘Kami memiliki segala sesuatu yang tidak dapat dibeli dengan uang.’ Dan di antara hal-hal ini adalah beberapa hal yang sangat berharga sebagai pengganti hal-hal yang tidak kami miliki ini. Udara yang bersih, yang seolah-olah terasa manis. Air yang jernih bagaikan riak-riak tembus cahaya, dan mudah sekali melihat batu-batu berkilauan di dasar sungai. Bintang-bintang berkelap-kelip di malam hari tak terhitung banyaknya di langit,—dan anak-anak kagum atas hal-hal yang mereka lihat itu. Hujan di musim panas turun bagaikan mana yang jatuh di padang belantara, membawa kehidupan kepada tanah. Musim semi tiba dengan menghasilkan hamparan luas rumput-rumput hijau di atas tanah yang telah dibajak, diikuti dengan pelubangan tanah untuk menanam benih. Mesin-mesin uap yang bergemuruh dan berasap menghidupkan mesin-mesin penumbuk gandum yang menghasilkan berkarung-karung gandum ….
“Setelah nilai-nilai di sekolah lokal diberikan, anak-anak lelaki ‘meninggalkan rumah’ untuk sekolah di Akademi Oneida, sekolah menengah pertama yang dikelola Gereja di Preston yang jaraknya kira-kria 24 kilometer. Harold waktu itu berusia 13 tahun, dan di sinilah dia bertemu dengan Ezra Taft Benson [yang menjadi Presiden Gereja yang ke-13]. Dan setelah itu sekolah di SPGN Albion, di bagian lainnya di Idaho. Di sini, pada usia 17 tahun, Harold B. Lee memperoleh sertifikat mengajarnya. Itu adalah hari yang membanggakan baginya dan bagi keluarganya. Dewan pendidikan distrik menawarkan pekerjaan kepadanya sebagai guru di Sekolah Silver Star yang memiliki satu ruangan kelas kecil, antara Dayton dan Weston, ‘di pinggir jalan’ dari Clifton. Gaji yang dia peroleh adalah enam puluh dolar per bulan. Dia menempuh perjalanan sejauh kira-kira 16 kilometer dengan mengendarai kuda setiap akhir pekan.
“ … Tahun berikutnya, dewan pendidikan memilih dia untuk menjadi kepala sekolah di Sekolah Oxford yang memiliki empat ruangan kelas. Itu merupakan kesempatan besar bagi anak lelaki yang berusia 18 tahun. Dia menempuh perjalanan pulang-pergi sejauh kira-kira enam kilometer setiap hari, baik dalam keadaan hujan maupun hari yang cerah, dalam keadaan cuaca baik maupun buruk. Dengan bakat musik yang telah terbentuk sejak kecil dan kemampuan olahraga dalam bidang bola basket, dia menggunakan waktu luangnya untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Adalah pada tahun-tahun inilah, ketika ayahnya menjabat sebagai uskup Harold memiliki pengetahuan pertama mengenai program kesejahteraan Gereja. Sebagaimana dahulu sampai sekarang, uskup bertanggung jawab untuk mengurus mereka yang membutuhkan. Uskup Lee mengelola gudang penyimpanan sendiri, barang-barang yang berasal dari rumahnya sendiri. Pada malam hari, keluarga melihat sang ayah membawa sekarung terigu, entah dibawa ke mana, karena kerahasiaan mengenai mereka yang berada dalam kesulitan harus dijaga ketat, kalau tidak akan ada cerita-cerita yang akan membuat mereka yang membutuhkan bantuan merasa malu.
“Sebagaimana dahulu dan sekarang, adalah hak prerogatif dan tanggung jawab uskuplah untuk merekomendasikan remaja putra agar melayani misi. Harold kini berusia 21 tahun, telah mengajar selama empat tahun. Sebuah panggilan datang dari Presiden Heber J. Grant untuk melayani di Misi Negara-negara Bagian Barat.
“Dalam arsip-arsip terkunci di Departemen Misionari Gereja terdapat sebuah laporan kepada Presidensi Utama mengenai Penatua Lee. Laporan ini dibuat pada tanggal 30 Desember 1922, dan ditandatangani oleh Presiden John M. Knight. Laporan ini berisikan periode pelayanannya—11 November 1920 sampai 18 Desember 1922. Kemudian berbagai pertanyaan dijawab: ‘Persyaratan—Sebagai pembicara, “Sangat Baik.” Sebagai pemimpin, “Baik.” Apakah dia telah memiliki pengetahuan yang baik mengenai Injil? “Sangat Baik.”
Apakah dia memiliki semangat untuk melayani? “Ya, Sangat bersemangat.” Apakah dia bijaksana dan apakah dia memiliki pengaruh yang baik? “Ya.” Catatan: “Penatua Lee memimpin Konferensi Denver dengan sangat baik dari tanggal 8 Agustus 1921 sampai 18 Desember 1922. Seorang misionari yang luar biasa.” ‘
“Di saat dia melayani di ladang misi, pada waktu yang bersamaan seorang wanita muda dari Salt Lake City, Fem Lucinda Tanner juga melayani. Dia dianggap oleh rekan-rekannya sebagai misionari yang cerdas, cantik, dan memiliki kemampuan yang luar biasa dalam bidang tulisan suci. Setelah Penatua Lee dibebastugaskan, dia kembali ke Clifton hanya untuk sementara dan kemudian pergi ke Salt Lake City untuk mencari dan mengencani gadis yang telah dia kagumi dari kejauhan sejak di ladang misi. Mereka menikah di Bait Suci Salt Lake kira-kira sebelas bulan setelah dia selesai misi.
“Dari hasil pernikahan itu lahir dua anak perempuan cantik, Helen [yang kemudian menjadi Nyonya L. Brent Goates] dan Maurine [yang kemudian menjadi Nyonya Ernest J. Wilkins]. Rumah keluarga Lee adalah tempat berkumpul bagi anak-anak remaja di daerah tersebut. Cara Sister Lee menangani situasi-situasi sulit dengan lembut dan terampil membuat semua orang kagum terhadapnya. Pada suatu kesempatan dia berhasil membuat dua orang terkemuka yang mengkritik salah seorang rekan mereka menjadi terdiam, ketika dia mengatakan, ‘Dalam segala upaya Anda untuk bersikap adil, janganlah lupa untuk bersikap baik’ ….
“Sifat-sifat yang telah menjadikan [Harold B. Lee] kepala sekolah di dua sekolah pada saat dia berusia 18 tahun kembali diakui. Sewaktu melanjutkan pendidikannya di Universitas Utah, dia dipilih sebagai kepala sekolah, pertama di Sekolah Whittier dan kemudian di Sekolah Woodrow Wilson di Salt Lake County ….
“Setelah menikah dia tinggal di Wilayah Pioneer, dimana dia menerima banyak tugas Gereja. Kemudian pada tahun 1929, dia diminta untuk menjadi penasihat dalam presidensi wilayah. Tahun berikutnya dia dipanggil sebagai presiden wilayah. Waktu itu dia berusia 31 tahun, merupakan presiden wilayah termuda di Gereja.
“Depresi ekonomi melanda negara dan dunia. Harga saham turun drastis. Kredit perbankan tidak lagi dikucurkan. Bank-bank tutup dan jutaan dolar tabungan lenyap. Pengangguran meningkat tajam. Hasil kerja selama bertahun-tahun lenyap sehingga banyak orang yang bunuh diri. Dimana-mana terdapat dapur umum dengan antrian banyak orang untuk memperoleh sup dan roti. Keputusasaan dan tragedi menghinggapi masyarakat. Di Wilayah Pioneer lebih dari setengah anggota Gereja menganggur.
“Di sinilah tantangan muncul, sebuah tantangan yang sangat mengerikan bagi presiden wilayah yang masih muda ini. Dia merasa cemas, dia menangis, dia berdoa, sementara dia melihat para pria yang dahulunya memiliki martabat dan hidup makmur, kini menganggur sampai pada tahap dimana mereka tidak lagi dapat memberi makan bagi keluarga mereka. Kemudian datang ilham untuk mendirikan gudang penyimpanan dimana makanan dan barang-barang dapat dikumpulkan dan yang daripadanya dapat dibagikan makanan dan barang-barang kepada orang-orang yang membutuhkan. Proyek-proyek kerja dilaksanakan, bukan saja untuk memperbaiki masyarakat, namun terlebih penting lagi agar para pria memiliki kesempatan untuk bekerja sebagai imbalan atas bantuan makanan yang mereka peroleh. Sebuah bangunan tua yang dipergunakan untuk kegiatan bisnis dibongkar dan materinya digunakan untuk membangun sebuah gedung olahraga wilayah guna menyediakan sarana sosial dan rekreasi bagi orang-orang.
“Wilayah-wilayah lain terlibat dalam proyek-proyek yang serupa, dan pada bulan April 1936 mereka dikoordinasi untuk membentuk apa yang disebut Presiden Heber J. Grant sebagai program keamanan Gereja yang pertama, yang kini dikenal sebagai program kesejahteraan Gereja.
“Harold B. Lee, pemimpin muda di Wilayah Pioneer, dipanggil untuk memimpin program yang baru diorganisasi tersebut di saat mereka mengalami keputusasaan dan keadaan yang sulit. Persoalan yang mereka hadapi sangat berat. Mengumpulkan ladang pertanian guna menghasilkan makanan dan membangun sarana-sarana untuk mengolah dan menyimpan makanan saja sudah cukup sulit. Terlebih sulit lagi menghadapi sikap orang-orang yang mengkritik apa yang sedang diupayakan Gereja dan yang merasa bahwa kesejahteraan seharusnya berada di bawah kendali pemerintah.
“Tetapi dengan doa dan bujukan, dengan keringat dan air mata, dan dengan restu dari orang yang dia percaya sebagai nabi, dia mengadakan perjalanan di seluruh wilayah di Sion, dan program tersebut terbentuk dan tumbuh serta menjadi makmur.
“Sumber-sumber program kesejahteraan—yang banyak terdapat di Gereja sekarang: ladang pertanian yang produktif, pabrik-pabrik pengolahan dan pengalengan, lumbung-lumbung gandum dan penggilingan, dan proyek-proyek lainnya yang tersebar di banyak bagian Amerika: adalah kelanjutan yang lebih baik dan mengesankan dari upaya-upaya awal tersebut. Sementara program-program bantuan pemerintah terus menerus diserang, program Gereja terus mendapat pujian dari orang-orang di seluruh dunia. Jutaan dolar uang pembayar pajak telah dihemat karena beban kesejahteraan yang ditanggung oleh Gereja. Pekerjaan yang menguntungkan telah disediakan bagi ribuan pria dan wanita, termasuk banyak penyandang cacat yang telah diberikan kesempatan untuk memperoleh uang yang mereka butuhkan. Mereka yang telah mengambil bagian sebagai penerima dari program ini telah dibebaskan dari ‘kutukan kemalasan dan bahayanya menerima uang sedekah.’ Martabat dan harga diri mereka tetap terpelihara. Dan ribuan pria dan wanita yang tidak secara langsung menjadi penerima, tetapi yang telah berperan serta dalam menanam dan mengolah makanan dan dalam banyak kegiatan yang berhubungan dengan itu, memberikan kesaksian akan sukacita yang mereka terima dari melakukan pelayanan yang tidak mementingkan diri kepada orang lain.
“Tidak seorang pun yang menyaksikan program ini dalam implikasinya yang sangat luas dan dalam konsekuensinya yang sangat besar dapat meragukan roh wahyu yang telah memulainya dan yang telah memperbesar daya praktisnya untuk kebaikan. Bagi Presiden Harold B. Lee, direktur pelaksana program ini yang pertama dan ketua Komite Kesejahteraan Gereja untuk jangka waktu yang lama, harus diberikan penghargaan atas pengarahan yang diilhami ini. Dalam kerendahan hati dia menolak penghargaan tersebut dan dia menganggap itu sudah sepantasnya karena dia akan memberikan penghargaan kepada Tuhan. Tuhan, dalam meningkatkan hamba-Nya, telah menghargai pengabdian dan imannya ….
“Setelah berhasil mengatasi ujian pada saat-saat sulit ketika merintis program kesejahteraan Gereja, Penatua Lee dipanggil kepada jabatan kerasulan oleh Presiden Heber J. Grant dan didukung sebagai anggota Dewan Dua Belas pada tanggal 6 April 1941.
“Pada saat pengangkatannya Penatua John A. Widtsoe menulis dalam sebuah artikel majalah mengenai rekan barunya: ‘Dia memiliki iman yang penuh terhadap Tuhan; kasihnya berlimpah-limpah terhadap sesama manusia; setia kepada Gereja dan Negara; lupa akan dirinya dalam pengabdiannya kepada Injil; dianugerahi dengan kecerdasan, enerji, dan inisiatif; dan memiliki bakat luar biasa untuk mengajarkan firman dan kehendak Allah. Tuhan yang kepada-Nya dia memohon bantuan akan menjadikan dia sebagai alat yang perkasa dalam melaksanakan rencana kekal keselamatan manusia …. Dia akan diberikan kekuatan melampaui kekuatan apa pun yang dikenalnya, sewaktu doa orang-orang dipanjatkan kepada Tuhan atas namanya.’ (Improvement Era, Mei 1941, hlm. 288.)
“Ini adalah kata-kata penghargaan yang tulus, dan kata-kata nubuat.
“Kisah dirinya … adalah kisah mengenai kesetiaan terhadap kepercayaan kudus yang besar seorang rasul, yang panggilan khususnya adalah untuk menjadi saksi khusus bagi ‘nama Kristus di seluruh dunia’ [A&P 107:23].
“Dalam melaksanakan tanggung jawab itu, dia telah mengadakan perjalanan untuk mengemban tugas yang diberikan Presidensi Utama ke banyak bagian di bumi, mengangkat suaranya dengan kelancaran berbicara, untuk memaklumkan tentang keilahian Penebus umat manusia.
“Dia sering mengutip perkataan Paulus kepada orang Korintus: ‘Jika nafiri tidak mengeluarkan bunyi yang terang, siapakah yang menyiapkan diri untuk berperang?’ (1 Korintus 14:8). Tidak ada yang tidak pasti mengenai pesan Harold B. Lee. Tanpa berdalih, dan dengan kepastian yang datang dari keyakinan yang teguh, dia telah memberikan kesaksian kepada mereka baik yang berstatus tinggi maupun rendah di bumi …. Dia tidak pernah merasa gentar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah dalam memberikan kesaksian mengenai kebenaran. Para misionari telah termotivasi untuk berusaha dengan lebih sungguh-sungguh, para anggota Gereja telah menjadi lebih berketetapan hati untuk hidup sesuai dengan injil, hati para simpatisan telah menjadi terharu ketika dia memberikan kesaksiannya. Dia tidak memiliki waktu bagi dirinya sendiri dan selalu memiliki jadwal yang ketat meskipun itu membahayakan kesehatannya. Orang-orang yang dekat dengannya mengetahui bahwa selama periode berbulan-bulan dia jarang tanpa mengalami kesakitan …. Keadaannya yang sakit-sakitan telah menajamkan kepekaannya terhadap penderitaan orang lain. Dia adalah orang yang telah mengadakan perjalanan yang jauh dan dekat untuk memberikan semangat dan memberkati para Orang Suci. Orang-orang di banyak negara telah memberikan penghargaan kepadanya dengan bersaksi tentang kuasa mukjizat imamat yang telah terjadi terhadap mereka berkat hamba Tuhan ini.
“Dia juga peka terhadap kesepian, ketakutan, tantangan-tantangan yang dihadapi para pria yang sedang dalam dinas militer. Pada tahun-tahun ketika terjadi Perang Dunia II, Perang Korea, dan perang di [Vietnam], dia memimpin program Gereja bagi para anggota dinas tentara. Dia senantiasa menyatakan kepada para saudaranya seiman mengenai perlunya memberikan program Gereja sepenuhnya kepada mereka yang berada dalam dinas militer, dengan segala berkat dan kesempatan yang mengalir daripadanya. Dia telah mengadakan perjalanan ke daratan dan lautan untuk bertemu dengan para anggota Gereja dalam dinas militer. Pada tahun 1955, dia mengunjungi Korea ketika negara tersebut sebagian besar masih merupakan tempat dalam keadaan siaga perang, dengan berpakaian tentara …. Mereka yang dia jumpai tidak akan pernah melupakan kebaikan, kepedulian, atau kesaksiannya mengenai kuasa pimpinan Allah dalam hal-hal yang berhubungan dengan manusia. Dia menghibur mereka, memberikan keyakinan kepada mereka, dia menyelamatkan banyak orang dari terjerumus ke dalam keadaan-keadaan yang menyedihkan.
“Dia telah menghibur mereka yang berduka. Dari pengalaman pribadi dia mengenal kesedihan atas kehilangan orang-orang yang dikasihi. Dia sedang berada jauh dari Salt Lake City untuk menghadiri sebuah konferensi wilayah ketika istrinya yang terkasih berada dalam keadaan antara hidup dan mati. Pada malam harinya dia pulang, bergegas ke sisi tempat tidur istrinya, dia tiba hanya mendapati istrinya sudah meninggal. Mereka yang dekat dengannya pada hari-hari kelabu setelah kematian istrinya sedikit merasakan kesedihan yang dialaminya. Hal itu terjadi pada tahun 1962. Pada tahun 1966 putrinya yang terkasih Maurine meninggal sementara Penatua Lee berada di Hawaii dalam rangka menunaikan tugas Gereja. Maurine meninggalkan empat anak.
“Pengalaman-pengalaman yang menyakitkan ini, yang sulit untuk ditanggung, justru meningkatkan kepekaannya terhadap beban orang lain. Mereka yang telah mengalami kehilangan-kehilangan yang serupa mendapati dirinya sebagai seorang teman yang penuh pengertian dan orang yang imannya sendiri telah teruji sebagai sumber kekuatan bagi mereka.
“Pada tahun 1963 dia menikah dengan Freda Joan Jensen, yang telah mengisi kehidupannya dengan cara yang luar biasa. Dia adalah seorang wanita yang berpendidikan dan berbudi halus, yang dibesarkan dari lingkungan yang sangat baik. Dia adalah wanita yang memiliki prestasi yang luar biasa. Terdidik sebagai pengajar, dia mengajar di sekolah, kemudian kariernya berkembang melalui tanggung jawab - tanggung jawab administratif untuk melayani sebagai pengawas sekolah dasar di Distrik Sekolah Jordan di Salt Lake City. Dia juga melayani dalam dewan umum Perkumpulan Pratama. Rumah yang dia kelola telah menjadi tempat yang damai bagi suaminya dan sebuah tempat yang penuh keramahan bagi semua yang pernah memasukinya.
“Presiden David O. McKay, yang mengenal prestasi Penatua Lee melalui program-program Gereja dan keterampilan administratif yang telah dia buktikan, mengangkat dia menjadi ketua sebuah komite korelasi untuk mengkoordinasi seluruh kurikulum Gereja Sebagai hasilnya komite ini telah melakukan penelaahan yang mendalam terhadap kursus-kursus pengajaran yang telah digunakan selama bertahun-tahun, disertai dengan analisa mengenai semua organisasi dan sarana pengajaran. Upaya besar yang dilakukan di bawah pengarahannya telah menghasilkan kurikulum terpadu yang dirancang untuk menanamkan pengetahuan tentang setiap tahap kegiatan dan doktrin Gereja dan untuk membangun kerohanian para anggota. Kekuatan kepemimpinannya telah terbukti dalam pelaksanaan tugas ini. Dia adalah orang yang memiliki komitmen, tujuan-tujuan yang dia jabarkan adalah jelas. Seluruh Gereja memperoleh manfaat dari pelayanannya.
“Setelah kematian Presiden McKay dan Joseph Fielding Smith menggantikannya sebagai Presiden Gereja, Penatua Lee menjadi Presiden Dewan Dua Belas dan dipilih oleh Presiden Smith untuk menjadi penasihat pertamanya. Sementara hal ini mengharuskan dia dibebastugaskan dari jabatannya sebagai ketua dari beberapa kegiatan terdahulunya, tujuan-tujuan yang sama diupayakan di bawah kepemimpinan umumnya. Program-program dilaksanakan untuk meningkatkan keahlian para guru di seluruh Gereja. Program pelatihan uskup mulai dilaksanakan. Program misionari seluruh dunia diperkuat ….
“Setelah Presiden Joseph Fielding Smith meninggal dengan tenang pada malam tanggal 2 Juli 1972, tidak ada keraguan lagi di dalam pikiran para anggota Dewan Dua Belas siapa yang akan menggantikan dia sebagai Presiden Gereja. Pada Jumat pagi tanggal 7 Juli, mereka mengadakan pertemuan bersama di tempat kudus di Bait Suci Salt Lake. Di tempat yang tenang dan kudus tersebut, dengan hati yang rendah hati, mereka mencari bisikan dari Roh. Semua hati seolah-olah menjadi satu dalam menanggapi bisikan-bisikan tersebut. Harold Bingham Lee, dipilih oleh Tuhan, yang sejak kecil dididik dalam asas-asas injil yang telah dipulihkan, memiliki budi pekerti yang luhur dan dengan pengalaman selama tiga puluh satu tahun melayani dalam kerasulan, dipilih sebagai Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir dan Nabi, Pelihat, dan Pewahyu. Tangan-tangan semua yang hadir ditumpangkan ke atas kepalanya, dan dia ditahbiskan sebagai orang yang diurapi Tuhan kepada pemanggilan yang tinggi dan tak ada bandingannya ini.
“Didukung oleh iman dan doa para Orang Suci di seluruh dunia, dia berdiri sebagai imam besar pimpinan dalam kerajaan Allah di bumi.”
Presiden Harold B. Lee melayani sebagai nabi Tuhan selama 17 bulan dan 19 hari. Selama periode perubahan dan pengembangan ini, Presiden Lee mengawasi terciptanya wilayah-wilayah pertama di Cili dan di daratan Asia di Korea. Dia memimpin atas konferensi-konferensi area pertama yang diselenggarakan di Mexico City, Meksiko, dan Munich, Jerman. Dia mengembangkan program pelayanan kesejahteraan Gereja di seluruh dunia. Dia meninggal pada tanggal 26 Desember 1973, pada usia 74.