Kehidupan dan Pelayanan Spencer W. Kimball
Pada suatu malam musim semi di awal tahun 1900-an, Orville Allen mampir ke rumah Andrew Kimball untuk mengantarkan beberapa buah labu. Sewaktu kedua pria itu menurunkan labu-labunya, mereka mendengar putra Andrew, Spencer, di kandang ternak, bernyanyi-nyanyi sewaktu dia memerah susu sapi. Brother Allen berkata kepada Andrew, “Putra Anda pastilah senang.” Andrew menjawab, “Ya, dia selalu senang. Dia adalah pemuda yang bersih dan patuh dan selalu menuruti apa yang saya minta dia lakukan. Saya telah menguduskannya kepada Tuhan dan kepada pelayanan-Nya. Dia akan menjadi orang yang hebat di Gereja.”1
Melalui tahun-tahun persiapan, Spencer akhirnya memang menjadi orang yang hebat. Tuhan “bukan sekadar sedang mempersiapkan seorang pelaku bisnis, atau pemimpin masyarakat, atau pembicara, atau penyair, atau pemusik, atau pengajar—meskipun dia bisa menjadi semua itu. Dia sedang mempersiapkan seorang ayah, seorang bapa bangsa bagi keluarganya, seorang rasul dan nabi, serta seorang presiden bagi Gereja-Nya.”2
Pusaka
Keluarga Spencer W. Kimball memiliki akar yang kuat dalam Gereja yang dipulihkan. Kakeknya dari kedua pihak adalah orang-orang terkemuka dalam sejarah awal pekerjaan zaman akhir. Heber C. Kimball dipanggil ke dalam Kuorum Dua Belas Rasul ketika kuorum itu diorganisasi pada tahun 1835. Dia kelak melayani sebagai Penasihat Pertama bagi Presiden Brigham Young selama lebih dari dua dekade dan adalah hamba Tuhan yang setia sepanjang masa pelayanannya. Edwin D. Woolley, kakek Spencer dari pihak ibunya, adalah mantan pengikut sekte Quaker Pennsylvania yang akhirnya memeluk Injil di zaman Joseph Smith. Dia adalah seorang uskup yang disegani di Lembah Salt Lake. Dia juga melayani dari waktu ke waktu sebagai manajer urusan bisnis pribadi Brigham Young. Keprihatinan Uskup Woolley bagi mereka yang membutuhkan dan tekadnya yang teguh terhadap Injil merupakan warisan yang abadi bagi keturunannya.
Nenek Spencer, Ann Alice Gheen Kimball adalah “seorang wanita yang setia, … pemalu di tengah masyarakat, tinggi dan berwajah biasa-biasa saja, dengan hati yang lembut bagi mereka yang lemah dan sakit.”3 Andrew Kimball adalah putranya yang ketiga. Nenek Spencer yang lain, Mary Ann Olpin Woolley, berasal dari Inggris dan menjadi ibu dari sebelas orang anak, dengan Olive sebagai anak keenamnya.
Andrew Kimball menikah dengan Olive Woolley pada tanggal 2 Februari 1882, di Salt Lake City, di mana mereka membina rumah tangga mereka. Kira-kira tiga tahun kemudian, Andrew menerima panggilan untuk meninggalkan rumahnya dan melayani di Misi Wilayah Indian, yang terletak di negara bagian yang dewasa ini dikenal sebagai Oklahoma. Setelah melayani selama setengah tahun sebagai misionaris penuh-waktu, dia kemudian dipanggil untuk memimpin misi tersebut. Meskipun demikian, panggilan barunya memungkinkannya untuk tinggal di rumahnya sendiri, dan dengan demikian selama 10 tahun berikutnya dia menetap di Utah bersama keluarganya sambil memimpin misi melalui surat dan perjalanan ke daerah pelayanannya.
Pelayanan Andrew selama 12 tahun di Misi Wilayah Indian segera diikuti oleh panggilan lainnya, kali ini untuk menetap di Lembah Gila di Arizona bagian tengah-selatan. Di sana dia harus memimpin sebagai presiden wilayah untuk permukiman-permukiman Orang Suci Zaman Akhir di daerah itu, yang diorganisasi sebagai Wilayah St. Joseph. Pada tahun 1898, Andrew dan Olive bersama enam anak mereka (termasuk Spencer yang berusia 3 tahun) mengemas barang-barang rumah tangga mereka dan melakukan perjalanan perpindahan 600 mil ke selatan Salt Lake City.
Masa Remaja
Spencer Woolley Kimball lahir tanggal 28 Maret 1895, putra keenam dari sebelas anak Andrew dan Olive Kimball.
Mengenang pemandangan Arizona dari masa remajanya, dia menulis, “Tanahnya gersang, namun banyak memberikan hasil melalui tangan para pekerja yang penuh tekad.”4 Dia lebih lanjut mengingat: “Kami tinggal di peternakan kecil di sisi selatan Thatcher, Arizona. Rumah kami terletak di sudut dengan tanah pertanian terbuka di bagian selatan dan timur. Di belakang rumah terdapat sumur, pompa, kincir angin, sebuah tangki kayu besar untuk persediaan air kami, gudang perkakas, dan agak jauh di belakang, tumpukan kayu yang amat besar. Kemudian ada kandang babi, lapangan berpagar tempat melepas ternak, tumpukan jerami, dan lumbung.”5
Spencer mempelajari pelajaran-pelajaran Injil yang berharga sejak dini dari orang tuanya. “Saya ingat sewaktu remaja,” katanya, “berjalan dengan ibu saya menyusuri jalanan berdebu menuju rumah uskup di hari ketika kami sering membayar persepuluhan dari hasil ternak dan tanaman kami. Sewaktu kami berjalan, saya berkata, ‘mengapa kita membawa telur ke uskup?’ Dia menjawab, ‘Karena ini adalah telur persepuluhan dan uskup menerima persepuluhan bagi Bapa Surgawi.’ Ibu saya kemudian mengisahkan bagaimana setiap malam ketika telur-telur dibawa masuk, yang pertama langsung diletakkan dalam keranjang kecil dan yang sembilan berikutnya ke dalam keranjang besar.”6
Teladan Andrew Kimball mengenai pelayanan yang penuh dedikasi berpengaruh besar terhadap Spencer, yang kelak berkata: “Kesan pertama saya mengenai kerja seorang presiden wilayah datang dari mengamati ayah saya sendiri .… Saya percaya bahwa ayah begitu melayani umatnya sehingga dia menggenapi berkat yang diberikan kepadanya oleh Presiden Joseph F. Smith, yang menjanjikan bahwa orang-orang di Lembah Gila akan ‘mencarinya bagaikan anak-anak kepada orang tua.’ Meskipun saya yakin saya ketika itu tidak sepenuhnya menghargai teladannya, standar yang ditegakkannya pantas bagi presiden wilayah mana pun.”7
Keluarga Kimball hidup dengan sederhana. “Kami tidak tahu kami miskin,” kenang Spencer. “Kami pikir kami hidup berkecukupan.”8 Pakaian mereka dijahit sendiri dan pakaian bekas yang diturunkan. Makanan mereka sangat mendasar, terdiri dari daging dan hasil tanaman yang ditanam di tanah milik mereka sendiri.
Spencer membantu dengan pekerjaan di sekitar peternakan. “Dahulu saya memompa air dengan tangan untuk menyiram kebun,” kenangnya, “dan juga saya belajar memerah susu sapi, memangkas pohon buah, memperbaiki pagar, dan semua pekerjaan lainnya. Saya memiliki dua orang kakak lelaki yang, saya yakini, mengambil semua pekerjaan yang mudah dan menyisakan untuk saya semua pekerjaan yang sulit. Tetapi saya tidak mengeluh; itu membuat saya menjadi kuat.”9 Mulai ketika dia berusia 9 tahun, Spencer menghafalkan Pasal-Pasal Kepercayaan, Sepuluh Perintah, dan sebagian besar nyanyian rohani dari buku nyanyian rohani Gereja sambil memerah susu sapi serta memberi minum kuda setiap hari.
Ketika Spencer berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Ini merupakan salah satu ujian terbesar dalam awal kehidupannya. Dia bertanya-tanya bagaimana keluarganya bisa melanjutkan kehidupan. “Tetapi saya temukan kemudian,” katanya, “seperti saya temukan berulang kali sesudahnya, bahwa seseorang dapat menanggung hampir segala sesuatu.”10 Dengan berlalunya waktu, Andrew Kimball menikah kembali, dan Josephine Cluff menjadi ibu tiri Spencer. “Josie,” sebagaimana dia biasa disapa teman-temannya, tidak dapat sepenuhnya mengambil alih tempat Olive dalam kehidupan Spencer, tetapi cara-caranya yang mampu dan sabar menambahkan kestabilan kepada keluarga Kimball.
Semasa mudanya, Spencer bukan saja mempelajari pekerjaan kasar mendasar di tanah yang keras, tetapi juga menimba beberapa keterampilan yang mempersiapkannya untuk memberi pelayanan yang lebih baik dalam hidupnya kemudian. Dia belajar untuk menyanyi dan memimpin lagu serta ditunjuk mejadi pemimpin lagu wilayah di usia 15 tahun. Meskipun dia memiliki jari-jari yang digambarkannya sebagai “pendek dan gempal,”11 dia menempa dirinya sendiri, belajar membaca musik dan memainkan piano. Dia berkembang hingga dia dapat memainkan nyanyian-nyanyian rohani dan berperan serta dalam sebuah orkes kecil. Bertahun-tahun kemudian, dia bergantian dengan Penatua Harold B. Lee sebagai pengiring untuk pertemuan mingguan Kuorum Dua Belas Rasul.
Spencer mulai bersekolah sedikit terlambat daripada anak-anak umumnya, sebagaimana dikisahkan dalam cerita berikut: “Ibu Spencer berpikir anak-anak belumlah cukup matang untuk sekolah sampai mereka berusia tujuh tahun, maka ketika Spencer mulai sekolah dia tertinggal satu tahun dari anak-anak lainnya .… Di tengah hari dia biasanya lari sepanjang tiga blok dari sekolah pulang ke rumah untuk memompa air bagi hewan-hewannya, memberi makan babi, dan menyantap makan siangnya. Suatu hari ibunya berkata, ‘Apa yang kamu lakukan di rumah saat istirahat? Ini belum tengah hari.’ Dia berlari kembali ke sekolah dalam kepanikan dan mendapati bahwa teman-teman sekelasnya sudah berada di dalam ruangan setelah waktu istirahat singkat itu. Semua tertawa—kecuali gurunya, yang mengambil kesempatan itu untuk memberi tahu anggota kelas bahwa Spencer lebih maju dari semua siswa lainnya di kelas dua dan akan dinaikkan agar berada bersama anak-anak sebayanya.”12
Setelah menyelesaikan sekolah dasar, Spencer masuk Akademi Gila milik Gereja. Di sana dia memperoleh nilai-nilai baik secara konsisten, berperan serta dalam olahraga, dan adalah seorang petugas sekolah.
Spencer juga tumbuh dalam pengalaman Gereja dan memiliki catatan kehadiran yang hampir sempurna. Memenuhi tugas keimamatan merupakan prioritas, sebagaimana digambarkan oleh kisah berikut: “Sebagai bagian dari tugas mereka, para diaken memasang kuda dan kereta setiap bulan sebelum hari puasa dan pergi dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan persembahan bagi yang miskin di Gereja. Sesudahnya mereka membawa hasil pengumpulan mereka ke uskup—botol-botol buah, tepung, labu, madu, terkadang uang sejumlah sekitar setengah dolar dalam bentuk recehan. Begitu bersemangatnya Andrew untuk mengajari putranya tentang kewajibannya sehingga tidak sesuatu pun mengganggu tugas pengumpulan Spencer pada hari itu. Kuda dan kereta keluarga Kimball tidak pernah terlalu sibuk untuk digunakan untuk pekerjaan kuorum diaken. Jika anak lelaki lainnya yang ditugaskan untuk mengumpulkan bersamanya tidak muncul, Spencer pergi sendirian dan menyelesaikan pekerjaan itu.”13
Di samping tanggung jawab rumah, sekolah, dan Gerejanya, Spencer bekerja sebagai sekretaris bagi ayahnya. Andrew menulis banyak surat, kira-kira enam pucuk setiap harinya. Spencer menerima dikte darinya dan kemudian mengetik surat-suratnya.
Pengalaman-pengalaman ini dari kehidupan masa muda Spencer mengajarkannya nilai pekerjaan, pelajaran yang diterapkan dan diajarkannya sepanjanng hidupnya. Bertahun-tahun kemudian sebagai seorang Rasul di usianya yang ke-70, dia kadang-kadang memiliki hari-hari ketika dia merasa lelah secara fisik. Mengenai satu hari seperti itu dia menulis: “Saya memulai dengan merasa amat tidak nyaman dan menemukan diri saya sendiri bertanya-tanya apakah saya dapat melalui hari itu, tetapi … saya tampaknya menjadi terbius dengan pekerjaan saya dan melupakan diri saya sendiri dan hari itu menjadi hari yang baik.”14
Pelayanan Misionaris
Pada tahun 1914, Spencer lulus dari Akademi Gila, berharap untuk meneruskan ke Universitas Arizona di musim gugur. Namun, di tengah latihan wisuda, Andrew Kimball mengumumkan bahwa Spencer akan dipanggil menjadi misionaris.
Dalam persiapan untuk misinya, Spencer bekerja di Globe, Arizona, sebagai tenaga pembantu pengolahan produk susu. Ini merupakan pengalaman pertamanya hidup di luar permukiman Orang Suci Zaman Akhir di Lembah Gila. Dia menemukan bahwa, tanpa mengompromikan standar pribadinya, dia dapat menyesuaikan diri berada di sekitar orang-orang yang standarnya tidak selalu sama dengan standarnya. Dia dihormati teman-teman sekerjanya. Di akhir musim panas, majikannya yang perokok cerutu dan bukan Orang Suci Zaman Akhir mengadakan sebuah pesta perpisahan bagi Spencer dan memberinya hadiah sebuah jam emas yang diukir.
Dari Oktober 1914 hingga Desember 1916, Spencer melayani sebagai misionaris penuh-waktu di Misi Central States, berkantor pusat di Independence, Missouri. Ini adalah daerah yang sama di mana ayahnya, ibu tirinya, dan salah seorang kakak lelakinya pernah melayani.
Pelayanan penuh-waktu Elder Kimball di ladang misi merupakan suatu masa pertumbuhan. Dia menghadapi tantangan-tantangan jasmani. Presiden misinya mengarahkan para elder untuk mencari makanan dan tempat bernaung dari mereka yang mereka temui. Akibatnya, Elder Kimball menghabiskan banyak malam yang tidak tenang dalam gubuk kecil di hutan-hutan Missouri, berbagi tempat tidur dengan kutu dan serangga sementara nyamuk mendengung di sekitarnya. Ada banyak hari-hari lapar, dan ketika makanan ditawarkan, dia menyantap apa pun yang disajikan di hadapannya.
Mencari simpatisan dari pintu ke pintu merupakan pekerjaan berat, dengan hasil yang terbatas. Sebuah kisah disampaikan mengenai pendekatan tidak lazim yang pernah digunakan Elder Kimball:
“Sementara mencari simpatisan di St. Louis dia melihat adanya piano melalui pintu yang separuh terbuka, dan dia berkata kepada wanita itu, yang baru saja akan menutup pintu di depan hidungnya, ‘Anda memiliki piano yang tampak bagus.’
‘Kami baru saja membelinya,’ ujar wanita itu, ragu.
‘Itu merek Kimball, bukan? Itu juga nama saya. Saya bisa memainkan sebuah lagu untuk Anda yang mungkin ingin Anda dengar.’
Terkejut, dia menjawab, ‘Tentu saja, masuklah.’
Duduk di kursi piano, Spencer bermain dan menyanyikan, ‘O, Bapaku.’
Sepanjang pengetahuan Spencer, dia tidak pernah bergabung dengan Gereja, tetapi itu bukan karena dia tidak berusaha.”15
Misi Spencer menegaskan kembali apa yang telah ditanamkan oleh pendidikan orang tuanya di Arizona: iman kepada Tuhan, kerja keras, dedikasi, pelayanan secara diam-diam, dan pengurbanan.
Pernikahan dan Keluarga
Pada musim panas 1917, sekitar 7 bulan setelah Spencer Kimball pulang dari misinya, dia melihat sebuah pengumuman di surat kabar setempat. Camilla Eyring, yang pindah ke Lembah Gila pada tahun 1912 bersama keluarganya, akan mengajarkan ekonomi keluarga di Akademi Gila. Sewaktu Spencer membaca dan membaca ulang artikel tersebut, dia memutuskan bahwa kelak dia akan menikahi Camilla Eyring. Secara “kebetulan,” dia bertemu dengannya ketika menunggu di halte bus dekat akademi tersebut dan memulai sebuah pembicaraan. Dia duduk bersamanya di bus, mereka terus berbicara, dan Spencer mendapatkan izin dari Camilla untuk meneleponnya.
Ibu Camilla amat menyukai Spencer Kimball muda. Dia mengundangnya untuk makan malam setiap kali dia bertandang menemui Camilla. Dan Brother Eyring, yang amat ketat sehubungan dengan mutu teman-teman kencan putrinya, juga tidak menyatakan keberatan. Setelah 31 hari, Spencer telah menjadi bagian dari rumah tangga keluarga Eyring. Pasangan itu memutuskan untuk menikah, namun rencana mereka terkena dampak dari berkecamuknya Perang Dunia I. Spencer diwajibkan untuk tinggal di Thatcher, Arizona, untuk menanti kemungkinan pemanggilan dalam angkatan bersenjata, sehingga mereka tidak dapat melakukan perjalanan panjang ke bait suci di Utah. Mereka akhirnya menikah secara sipil tanggal 16 November 1917, tetapi terus menantikan pemeteraian bait suci sesegera mungkin. Gol tersebut menjadi kenyataan pada bulan Juni berikutnya di Bait Suci Salt Lake.
Spencer dan Camilla akhirnya memiliki empat orang anak: tiga putra dan satu putri (Spencer Le Van, Andrew Eyring, Edward Lawrence, dan Olive Beth). Sebagai orang tua mereka menyediakan sebuah lingkungan yang membuat anak-anak mereka bukan saja merasa dikasihi dan didukung melainkan juga dipercaya untuk membuat keputusan perorangan. Salah seorang putra mereka kemudian mengenang:
“Ketika anak-anak mengadakan pertunjukan di sekolah, Gereja, atau di mana pun, orang tua saya pasti hadir, bahkan dengan pengurbanan pribadi. Mereka selalu memperlihatkan minat dan rasa bangga mereka kepada kami.
“Dalam keluarga kami, ada suatu rasa kebersamaan, bukan kepemilikan. Tanggung jawab utama untuk tindakan-tindakan kami ada di atas diri kami sendiri. Orang tua kami akan mendorong dan menuntun, tetapi tidak memerintah.”
Putra yang sama ini melanjutkan untuk mengatakan mengenai ayahnya:
“Saya tidak mengenal orang lain yang lebih murah hati dalam semangatnya daripada ayah saya. Dia baik hati dan penuh tenggang rasa, bahkan amat sangat hingga hampir menyerupai dosa. Anak-anak cenderung berpikir tentang orang tua mereka sebagai sosok penguasa yang keras, yang tidak tunduk pada kebutuhan biasa. Tetapi saya tahu betapa ayah saya menghargai suatu pujian tulus atau ungkapan penghargaan. Dan tidak ada pernyataan penghargaan atau kasih sayang yang senilai dengan yang datang dari keluarganya sendiri.
Saya tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih memberinya kepuasan—setelah merasa bahwa Tuhan merestui usahanya—daripada melihat keluarganya sendiri mengikuti teladannya dalam upaya untuk hidup dengan saleh.
Jika saya memiliki pilihan oleh siapa dihakimi pada hari terakhir, tidak ada insan manusia yang akan saya pilih mendahului ayah saya.”16
Kehidupan Profesi, Pemanggilan dalam Gereja, dan Pelayanan Masyarakat
Dengan Camilla di sisinya dan tanggung jawab keluarga di hadapannya, Spencer memulai kehidupan profesinya sebagai juru tulis bank. Sewaktu tahun demi tahun berlalu, dia pindah dari perbankan ke asuransi jiwa dan pengembangan lahan real estat. Kekacauan ekonomi saat Masa Depresi Besar (1929–1939) menghantam keras bidang bisnis Spencer, namun keluarga itu berhasil mengatasi kesengsaraan tersebut.
Ayah Spencer meninggal dunia di tahun 1924, setelah melayani sebagai presiden wilayah selama hampir tiga dekade. Ketika Presiden Heber J. Grant, Presiden Gereja yang ketujuh, setelahnya mengorganisasi presidensi wilayah itu, Spencer yang berusia 29 tahun dipanggil untuk melayani sebagai penasihat kedua.
Di samping kehidupan keluarga, usaha profesi, dan pelayanan Gerejanya, Spencer adalah seorang kontributor yang aktif dalam masyarakat. Dia membantu mendirikan stasiun radio setempat yang pertama. Dia aktif sebagai anggota di Rotary Club, sebuah organisasi pelayanan, hingga akhirnya menduduki jabatan sebagai gubernur distrik.
Di tahun 1938 Wilayah St. Joseph dipecah, dan Spencer dipanggil menjadi presiden di Wilayah Mount Graham yang baru. Khawatir bahwa beberapa orang yang akan dipimpinnya mungkin memiliki perasaan tidak baik terhadapnya, Spencer dan Camilla mengunjungi siapa saja yang mungkin memiliki perasaan seperti itu untuk “menjernihkan suasana.” 17
Di bulan September 1941, dalam masa pelayanannya sebagai presiden wilayah, banjir bandang besar menerjang lingkungan masyarakat. Hujan yang terus-menerus menaikkan tinggi air Sungai Gila hingga melimpah ke jalan-jalan di beberapa wilayah permukiman. Rumah dan tanah pertanian tersapu oleh air. Para penduduk, sebagian besar anggota Gereja, amat membutuhkan bantuan. Mendengar tentang kerusakan itu, Spencer mengisi mobilnya dengan makanan yang diambil dari sumber-sumber Gereja dan pergi menuju kota-kota yang dilanda banjir. Dia mengatur agar pakaian yang kotor dibersihkan. Dia membantu petani mendapatkan pangan untuk ternak mereka. Segera satu truk penuh makanan dan pakaian tiba. Dalam waktu seminggu, mereka yang paling menderita terkena bencana banjir tersebut sudah mulai pulih. Anggota Gereja memperlihatkan kemurahan hati yang tak tertandingi. Spencer mengawasi penilaian kebutuhan dan pendistribusian sumber-sumber. Dalam semua ini, dia terus berhubungan erat dengan Penatua Harold B. Lee dari Kuorum Dua belas Rasul, yang tanggung jawabnya mencakup program kesejahteraan.
Kerasulan
Tanggal 8 Juli 1943, Presiden J. Reuben Clark Jr. dari Presidensi Utama menelepon Spencer di rumah. Dia mengatakan bahwa Spencer telah dipanggil untuk mengisi satu di antara dua kursi yang kosong dalam Kuorum Dua Belas Rasul. Terhadap hal ini, Spencer menanggapi, “Oh, Brother Clark! Bukan saya! Yang Anda maksud bukan saya? Pastilah ada kekeliruan. Saya pasti tidak mendengar Anda dengan benar … itu tampaknya begitu tidak mungkin. Saya begitu lemah dan kecil dan terbatas serta tidak mampu.”18 Spencer meyakinkan Preisden Clark bahwa hanya bisa ada satu tanggapan terhadap panggilan dari Tuhan, tetapi kesediaannya untuk melayani tidaklah serta-merta mengatasi perasaan ketidakmampuan dan ketidaklayakannya.
Perasaan itu semakin menjadi-jadi dalam beberapa hari berikutnya, sehingga Spencer nyaris tidak tidur. Ketika dia berada di Boulder, Colorado, untuk mengunjungi putranya, dia pergi berjalan-jalan di bebukitan di suatu pagi. Sewaktu dia mendaki semakin tinggi, dia merenungkan besar dan pentingnya jabatan kerasulan itu. Dia tersiksa oleh pikiran bahwa dia mungkin tidak dapat memenuhinya dengan baik, bahwa pemanggilannya mungkin merupakan kekeliruan. Dengan kerangka pikiran seperti itu, dia mendekati puncak bukit yang sedang didakinya, di mana dia terjatuh dalam doa dan meditasi. “Betapa saya berdoa!” kenangnya. “Betapa saya menderita! Betapa saya meratap! Betapa saya bergumul!” Sewaktu dia menderita seperti itu, sebuah mimpi datang kepadanya mengenai kakeknya Heber C. Kimball dan “pekerjaan besar yang telah dilakukannya.” Kesadaran ini menenangkan hati Spencer. “Sebuah perasaan yakin yang tenang menyelimuti diri saya, keraguan dan pertanyaan sirna. Seolah sebuah beban yang berat telah diangkat. Saya duduk dalam keheningan yang damai mengamati lembah yang indah itu, berterima kasih kepada Tuhan atas kepuasan dan jawaban yang meyakinkan atas doa-doa saya.”19 Pada tanggal 7 Oktober 1943, di usia 48 tahun, Spencer W. Kimball ditahbiskan sebagai seorang Rasul.
Pelayanan Penatua Kimball dalam Kuorum Dua Belas merentang selama tiga dekade. Selama waktu itu dia banyak melakukan perjalanan, menguatkan para anggota dan membantu pertumbuhan Kerajaan. Dengan penugasan khusus dari Presiden Goerge Albert Smith, Penatua Kimball menaruh minat khusus terhadap keturunan dari Nabi Lehi Kitab Mormon—penduduk asli Amerika Utara, Tengah, dan Selatan. Dia merupakan suara yang elok bagi kepentingan mereka dalam kuorum-kuorum senior Gereja dan di antara keanggotaan pada umumnya. Dia menentang semua pembedaan ras dan penekanan terhadap yang miskin.
Dalam khotbah-khotbahnya, Penatua Kimball dapat menjadi puitis dan berbicara apa adanya. Dia sering berurusan dengan topik-topik peka yang merupakan keprihatinan praktis dari anggota Gereja pada umumnya. Selain sejumlah besar ceramah, dia juga telah menulis buku The Miracle of Forgiveness [Mukjizat Pengampunan]. Buku ini muncul dari pengalaman panjang Penatua Kimball sebagai seorang Rasul, menasihati mereka yang telah menyerah terhadap pelanggaran yang serius. Dalam buku itu dia menguraikan harapan Tuhan terhadap diri kita, potensi ilahi kita, serta jalan yang harus kita ikuti untuk bertobat dan mendapatkan keyakinan akan pengampunan ilahi yang utuh. Penatua Kimball memberikan kesaksian kepada para pembaca bahwa Tuhan penuh belas kasihan dan akan mengampuni mereka yang bertobat dengan tulus.
Tantangan Kesehatan
Sepanjang perjalanan kehidupannya, Spencer W. Kimball menderita beragam luka dan penyakit. Dua tantangan kesehatan besar terbentuk dengan jelas dalam tahun-tahunnya sebagai seorang Rasul. Penyakit yang pertama meninggalkan tanda yang tetap pada Penatua Kimball yang tampak setiap kali dia berbicara. Di akhir 1956, dia merasakan keparauan dalam suaranya. Diagnosisnya adalah kanker tenggorokan. Sebuah operasi di bulan Juli 1957 berakhir dalam pengangkatan satu pita suara dan sebagian dari pita lainnya. Sesudahnya, dia mengistirahatkan suaranya untuk memberinya penyembuhan yang sebaik mungkin. Melalui malam-malam tanpa tidur, Penatua Kimball bertanya-tanya apakah dia akan pernah berbicara lagi.
Enam bulan setelah operasinya, para dokter menyatakan bahwa tenggorokan Penatua Kimball telah sembuh. Penatua Boyd K. Packer dari Kuorum Dua Belas Rasul mengisahkan bagaimana Penatua Kimball menggunakan humor untuk memperkenalkan kepada para pendengarnya suara barunya.
“Kemudian tibalah ujiannya. Dapatkah dia berbicara? Dapatkah dia berkhotbah?
Dia pulang ke rumah [ke Arizona] untuk ceramah perdananya .… Di sana, dalam sebuah konferensi Wilayah St. Joseph, … dia berdiri di mimbar.
‘Saya telah pulang ke sini,’ katanya, ‘untuk berada di antara kerabat saya sendiri. Di lembah inilah saya memimpin sebagai presiden wilayah.’ Mungkin dia berpikir bahwa jika dia gagal, dia akan ada di antara mereka yang paling mengasihinya dan akan memahami.
“Terdapat curahan kasih yang besar. Ketegangan dari menit-menit yang dramatis ini mencair ketika dia melanjutkan, ‘Saya harus memberi tahu Anda apa yang terjadi pada saya. Saya pergi ke Timur, dan sementara berada di sana saya jatuh ke tangan para penggorok leher .…’ Setelah itu tidak masalah apa yang dikatakannya. Penatua Kimball sudah kembali!”20
Suaranya yang baru itu lembut, dalam, dan penuh wibawa. Suaranya itu, dalam perkataan Penatua Packer, “sebuah suara yang tenang, membujuk, lembut, sebuah suara buatan, suara yang menarik, suara … yang dikasihi oleh para orang Suci Zaman Akhir.”21
Penatua Kimball juga mengalami masalah-masalah jantung yang serius. Setelah menjadi Rasul, dia menderita serangkaian serangan jantung. Di tahun 1972, sewaktu melayani sebagai Penjabat Presiden Kuorum Dua Belas, dia menjalani sebuah operasi berisiko tinggi. Dr. Russell M. Nelson adalah dokter ahli jantung Presiden Kimball kala itu. Di kemudian hari, sebagai anggota Kuorum Dua Belas Rasul, Penatua Nelson mengisahkan apa yang terjadi selama operasi itu: “Saya tidak akan pernah lupa perasaan yang saya miliki ketika jantungnya kembali berdetak, melonjak-lonjak dengan kuasa dan semangat. Pada saat itu, Roh memberi tahu saya bahwa pasien yang istimewa ini akan hidup untuk menjadi nabi Allah di bumi.”22
Presiden Gereja
Pada malam tanggal 6 Desember 1973, Presiden Harold B. Lee, Presiden Gereja yang kesebelas, meninggal secara mendadak. Selaras dengan urutan penggantian kerasulan dalam Gereja, pada tanggal 30 Desember 1973, Spencer W. Kimball, sebagai anggota senior dari Kuorum Dua belas, menjadi Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir.
Ini menjadi suatu kejutan bagi para anggota Gereja—dan terutama bagi Presiden Kimball. Dia telah ditahbiskan menjadi seorang Rasul dua setengah tahun setelah Harold B. Lee. Karena Presiden Kimball empat tahun lebih tua daripada Presiden Lee dan, tampaknya, dalam kondisi kesehatan yang lebih buruk, Presiden Kimball sepenuhnya mengantisipasi bahwa dia tidak akan hidup untuk menjadi pengganti Presiden Lee. Sebagaimana dikisahkannya kemudian: “Saya merasa amat pasti bahwa saya akan meninggal, ketika waktu saya tiba, sebagai presiden dari Kuorum Dua Belas .… Saya mengatakan pada pemakaman Presiden Lee bahwa tidak ada yang berdoa lebih keras daripada Sister Kimball dan saya untuk kesembuhannya ketika dia sedang sakit dan bagi kelanjutannya ketika dia sedang sehat.”23
Presiden Kimball didukung oleh para anggota Gereja dalam konferensi umum bulan April 1974. Dia tidak pernah menginginkan jabatan ini, tetapi Tuhan telah memilihnya untuk menjadi nabi, pelihat, dan pewahyu-Nya serta untuk memimpin Gereja dan kerajaan-Nya di bumi.
Sehubungan dengan konferensi umum bulan April tersebut, Presiden Kimball memberikan ceramah mengenai pekerjaan misionaris dalam sebuah pertemuan bagi para pemimpin Gereja. Penatua William Grant Bangerter, yang kelak menjadi anggota Presidensi Tujuh Puluh, adalah seorang wakil regional saat itu dan hadir untuk pertemuan tersebut. Dia kelak mengenang dampak dari perkataan Presiden Kimball.
“Kami menyadari bahwa Presiden Kimball sedang membuka jendela-jendela rohani dan memberikan tanda kepada kami untuk datang serta menatap bersamanya rencana-rencana kekekalan. Seolah-olah dia membuka tirai yang menutupi maksud tujuan Yang Mahakuasa dan mengundang kami untuk memandang bersamanya tujuan akhir Injil dan visi pelayanannya.
Saya ragu apakah ada orang yang hadir hari itu yang akan pernah melupakan peristiwa tersebut. Saya sendiri jarang membaca kembali ceramah Presiden Kimball tersebut sejak itu, tetapi inti dari apa yang dikatakannya tertoreh sedemikian nyatanya dalam benak saya sehingga saya dapat melafalkan sebagian besar darinya pada saat ini dari ingatan.
Roh Tuhan berada di atas Presiden Kimball dan Roh itu memancar darinya kepada kami sebagai suatu kehadiran yang nyata, yang sekaligus mengharukan dan mengejutkan. Dia menyingkapkan pandangan kami pada sebuah visi yang agung.”24
Ceramah Presiden Kimball pada kesempatan itu menyuarakan tema utama dari pelayanannya sebagai Presiden Gereja:
“Saudara-saudara saya sekalian, saya bertanya-tanya apakah kita melakukan segala yang dapat kita lakukan. Apakah kita puas dalam pendekatan kita untuk mengajar seluruh dunia? Kita sekarang telah mencari jiwa-jiwa selama 144 tahun. Apakah kita siap untuk memperlebar langkah kita? Untuk memperluas visi kita? ….
Saya tidak berangan-angan, saudara sekalian, untuk berpikir bahwa ini akan menjadi hal yang mudah tanpa upaya keras atau bahwa itu dapat dilakukan sehari semalam, tetapi saya memiliki iman ini bahwa kita dapat bergerak maju dan berkembang lebih cepat daripada yang kita lakukan sekarang ….
… Saya berpikir bahwa jika kita semua memiliki satu pikiran dan satu hati dan satu tujuan bahwa kita dapat bergerak maju serta mengubah citra yang tampaknya adalah bahwa ‘Kita sudah cukup baik. Janganlah kita “mengguncang perahunya.”’”25
Maka dimulailah suatu dekade pertumbuhan dan perubahan yang menakjubkan. Meskipun pekerjaan misionaris merupakan penekanan awalnya, segera jelaslah bagi keanggotaan Gereja bahwa Presiden Kimball tidak berminat untuk berdiam diri dalam bidang upaya kebenaran apa pun.
Pekerjaan Misionaris
Presiden Kimball berupaya untuk membuka pintu negara-negara bagi pengkhotbahan Injil. Pemisahan yang disebut “Perang Dingin” antara pemerintahan demokratis dan pemerintahan komunis menghalangi usaha mencari jiwa di banyak negara Eropa dan Asia. Juga, kebijakan Gereja berkaitan dengan penahbisan pada imamat membatasi upaya misionaris di Afrika, bagian-bagian dari Amerika Selatan, dan Kepulauan Karibia. Presiden Kimball mencari setiap kesempatan untuk memperluas jangkauan geografis Gereja.
Pada saat yang sama, dia menekankan bahwa kesempatan yang lebih besar untuk mengajar negara-negara tersebut bergantung pada kesediaan anggota Gereja untuk merangkul kesempatan-kesempatan tersebut. Bagi para pemuda yang layak dan sepenuhnya siap, pelayanan misionaris bukanlah dipandang sebagai suatu pilihan melainkan sebagai tugas dan kesempatan yang ilahi. Kewajiban ini diemban para pemuda terlepas dari di mana mereka tinggal. Para pemudi juga dapat melayani sebagai misionaris tetapi tidak berada di bawah tuntutan kewajiban yang sama seperti para pemuda. Selain itu, pasangan usia senja pun diimbau untuk melayani dalam balatentara misionaris. Ketika Spencer W. Kimball memulai pelayanannya sebagai Presiden Gereja, 17.000 misionaris penuh-waktu sedang melayani di seluruh dunia. Ketika dia meninggal sekitar 12 tahun kemudian, jumlah tersebut telah meningkat hingga hampir mencapai 30.000. Upaya misionaris yang meningkat itu menghasilkan buah yang berarti: keanggotaan Gereja meningkat dari 3,3 juta menjadi hampir 6 juta jiwa.
Berbicara kepada sekelompok anggota Gereja yang muda di tahun 1975, Presiden Kimball berkata: “Tahukah Anda apa yang telah Tuhan lakukan bagi Anda para remaja putra? Anda adalah pemuda-pemuda yang cakap. Anda tampak kuat dan sejahtera dan bahagia. Siapa yang memberi Anda kesehatan Anda? Siapa yang memberi Anda mata Anda? Siapa yang memberi Anda telinga Anda? Siapa yang memberi Anda suara Anda? Pernahkan Anda memikirkan hal itu? Seseorang pastilah telah menyediakan bagi Anda semua kepemilikan yang tak ternilai ini.”
Kemudian dia menjabarkan pengalamannya melalui operasi tenggorokan dan bagaimana itu menyisakan baginya hanya sebagian dari suaranya. Melanjutkan, dia berkata: “Perkenankan saya bertanya berapa banyak dari Anda bersedia untuk kehilangan suara Anda? Apakah Anda membelinya atau menukarnya dengan sesuatu? Apakah seseorang memberikannya kepada Anda? Apakah Tuhan telah memberi Anda suara agar Anda dapat mengekspresikan diri Anda sendiri? Kalau demikian mengapa Anda tidak pergi ke seluruh dunia dan menceritakan kisah yang terhebat di dunia, dan memberi tahu orang-orang bahwa kebenaran telah dipulihkan; bahwa Tuhan memiliki kelanjutan nabi dari Adam hingga sekarang; dan bahwa Anda sendiri memiliki kuasa imamat yang kudus, dan bahwa Anda akan meningkatkannya sepanjang hari-hari kehidupan Anda? Beritahukan kepada dunia hal itu! Mereka membutuhkannya!
“Karena itu saya bertanya kepada Anda lagi, siapa yang memberi Anda suara Anda? Mengapa?—hanya supaya Anda dapat bernyanyi atau berbicara atau bersenang-senang dengan orang lain? Atau Dia memberi suara itu kepada Anda agar Anda dapat mengajarkan Injil? ….
Sekarang saya pikir kita sebaiknya masuk ke ladang misi, bukankah demikian?—setiap pemuda yang layak.”26
Pekerjaan Bait Suci
Sebagai Presiden Gereja, Spencer W. Kimball mengawasi peningkatan yang berarti dalam pembangunan bait suci. Pada awal pelayanannya, 15 bait suci sedang beroperasi; ketika dia meninggal dunia sekitar 12 tahun kemudian, jumlah itu telah meningkat mencapai 36 buah, lebih dari dua kalinya. Presiden Gordon B. Hinckley, Penasihat Kedua dalam Presidensi Utama, bersaksi, “Dorongan kuat dalam pembangunan bait suci ini diberikan oleh Presiden Kimball di bawah wahyu dari Tuhan.” 27
Mengenai pekerjaan bait suci, Presiden Kimball berkata: “Harinya hampir tiba dan tidaklah terlalu jauh di depan kita ketika semua bait suci di bumi ini akan bekerja siang dan malam .… Akan ada rombongan pekerja siang dan malam bahkan sampai ke titik kelelahan, karena pentingnya pekerjaan itu serta besarnya jumlah orang yang tertidur dalam kekekalan dan yang mendambakan, membutuhkan, berkat-berkat yang dapat datang kepada mereka.”28
Pemerintahan Gereja
Selama tahun 1975 dan 1976, Presiden Kimball memimpin suatu pengorganisasian kembali dan perluasan pemerintahan Gereja untuk diselaraskan dengan pertumbuhan Gereja. Sebagai bagian dari dikembangkannya organisasi dan tanggung jawab para Pembesar Umum, Kuorum pertama Tujuh Puluh ditetapkan dan sampai Oktober 1976 meliputi 39 orang. “Dengan gerakan ini,” Presiden Kimball menjelaskan, “ketiga kuorum Gereja yang memimpin sebagaimana didefinisikan dalam wahyu,—Presidensi Utama, Kuorum Dua Belas, dan Kuorum Pertama Tujuh Puluh,—telah ditegakkan di tempatnya masing-maisng sebagaimana telah diwahyukan oleh Tuhan. Ini akan memungkinkan untuk menangani secara efisien beban pekerjaan yang berat dewasa ini dan untuk bersiap bagi perluasan dan percepatan pekerjaan yang terus bertambah, menantikan harinya ketika Tuhan akan kembali untuk mengambil alih pimpinan dari Gereja dan kerajaan-Nya,”29 Wahyu dari Tuhan ini kepada nabi-Nya sejak itu telah menuntun pada perubahan-perubahan lainnya dalam pemerintahan Gereja sebagaimana dituntut oleh “pekerjaan dalam kebun anggur” (A&P 107:96).
Tulisan Suci
Pada tahun 1976, Presiden Kimball mengarahkan agar dua wahyu, satu kepada Nabi Joseph Smith dan satunya lagi kepada presiden Joseph F. Smith, ditambahkan dalam kumpulan tulisan suci (lihat Joseph Smith—Penglihatan mengenai Kerajaan Selestial, dan Joseph F. Smith—Penglihatan mengenai Penebusan Orang yang Telah meninggal). Di bawah arahan Presiden Kimball, sebuah Alkitab Raja James edisi OSZA diterbitkan di tahun 1979, dan sebuah edisi baru triple combination (Kitab Mormon, Ajaran dan Perjanjian, serta Mutiara yang Sangat Berharga) diterbitkan di tahun 1981. Merujuk pada munculnya edisi-edisi kitab standar tersebut, Penatua Boyd K. Packer mengatakan, “Sewaktu generasi-generasi terus bergulir, ini akan dipandang, dalam perspektif sejarah, sebagai pencapaian puncak dalam pelayanan Presiden Spencer W. Kimball.”30
Selama masa kepemimpinan Presiden Kimball, tulisan suci juga menjadi landasan dari kurikulum Sekolah Minggu Gereja.
Penyederhanaan
Sewaktu ukuran dan lingkup operasi Gereja meluas, Presiden Kimball dan para pemimpin Gereja lainnya menyadari kebutuhan untuk menyederhanakan beragam program Gereja agar yang paling penting dapat siap tersedia dalam suatu bentuk bagi mereka di dalam cabang-cabang terbaru seperti juga bagi mereka dalam lingkungan-lingkungan yang telah lama terbentuk. Presiden Kimball berkata:
“Misi Gereja bagi para anggotanya adalah untuk menyediakan asas-asas, program-program, dan imamat yang melaluinya mereka dapat mempersiapkan diri mereka sendiri bagi permuliaan. Keberhasilan kita, secara perorangan dan sebagai Gereja, sebagian besar akan ditentukan oleh seberapa setianya kita berpusat pada menjalankan Injil di dalam rumah tangga. Hanya sewaktu kita melihat dengan jelas tanggung jawab setiap orang serta peranan keluarga dan rumah tangga, dapatlah kita dengan benar memahami bahwa kuorum imamat dan organisasi pelengkap, bahkan lingkungan dan wilayah, ada terutama untuk membantu para anggota menjalankan Injil di dalam rumah tangga. Kemudian kita dapat memahami bahwa umat adalah lebih penting daripada program, dan bahwa program Gereja hendaknya selalu mendukung dan tidak pernah mengalihkan dari kegiatan keluarga yang berpusat pada Injil .…
“Komitmen kita terhadap penghayatan Injil yang berpusat dalam rumah tangga hendaknya menjadi pesan yang jelas dari setiap program imamat dan organisasi pelengkap, mengurangi, di mana dibutuhkan, beberapa dari kegiatan pilihan yang dapat mengalihkan dari fokus yang tepat pada keluarga dan rumah tangga.”31
Satu perubahan penting dalam masa pelayanan Presiden Kimball adalah pengenalan jadwal pertemuan blok 3 jam pada hari Minggu. Ini menggabungkan beragam pertemuan tengah minggu dan hari Minggu ke dalam rangkaian pertemuan yang sederhana dan lebih efisien pada hari Minggu. Pengenalan jadwal terkonsolidasi ini di tahun 1980 amat mengurangi penggunaan waktu dan uang oleh para anggota Gereja agar mereka dapat berperan serta dalam keseluruhan program Tuhan.
Wahyu mengenai Imamat
Salah satu perubahan penting yang terjadi dalam masa kepresidenan Spencer W. Kimball adalah wahyu mengenai imamat (lihat Official Declaration [Pernyataan Resmi] 2 dalam Ajaran dan Perjanjian edisi Inggris).
Pada tanggal 1 Juni 1978, Presiden Kimball, bersama para anggota lainnya dari Presidensi Utama dan Kuorum Dua Belas Rasul, bertemu di ruangan atas di dalam Bait Suci Salt Lake. Presiden Gordon B. Hinckley, yang hadir pada kesempatan itu sebagai anggota dari Kuorum Dua Belas Rasul, kemudian melaporkan:
“Pertanyaan mengenai penyampaian berkat-berkat imamat kepada yang berkulit hitam telah berada dalam benak banyak Pemimpin selama kurun waktu bertahun-tahun. Hal ini berulang kali dibahas kembali oleh para Presiden Gereja. Ini telah menjadi masalah yang amat memprihatinkan bagi Presiden Spencer W. Kimball.
Selama kurun waktu yang cukup panjang dia telah berdoa mengenai pertanyaan yang serius dan sulit ini. Dia telah menghabiskan berjam-jam di ruangan atas tersebut dalam bait suci sendirian berdoa dan bermeditasi.
“Pada kesempatan ini dia mengajukan pertanyaan di hadapan para Pemimpin—para Penasihatnya dan para Rasul. Setelah pembahasan ini kami bergabung dalam doa dalam keadaan yang paling sakral. Presiden Kimball sendiri menjadi pembicara dalam doa tersebut .… Roh Allah hadir di sana. Dan melalui kuasa Roh Kudus datanglah kepada Nabi itu suatu keyakinan bahwa hal yang telah dia doakan adalah benar, bahwa waktunya telah tiba, dan bahwa kini berkat-berkat menakjubkan dari imamat hendaknya disampaikan kepada pria yang layak di manapun terlepas dari garis keturunan mereka.
Setiap orang di dalam lingkaran tersebut, melalui kuasa Roh Kudus, mengetahui hal yang sama.
Itu merupakan kesempatan yang tenang dan agung .…
… Tidak seorang pun dari kami yang hadir pada kesempatan itu masih tetap sama adanya setelah itu. Demikian pula Gereja tidaklah sama sesudahnya.”32
Pengumuman mengenai wahyu tersebut dituangkan dalam bentuk sepucuk surat tertanggal 8 Juni 1978 kepada semua pejabat imamat umum dan setempat dalam Gereja: “Setiap pria yang setia, yang layak dalam Gereja boleh menerima imamat kudus, dengan kuasa untuk melaksanakan wewenang ilahinya, dan menikmati bersama orang-orang yang dikasihinya setiap berkat yang mengalir darinya, termasuk berkat-berkat bait suci” (A&P edisi bahasa Inggris, Official Declaration 2).
Presiden Hinckley mengenang: “Surat itu disebarkan ke seluruh Gereja dan ke seluruh dunia. Saya tidak perlu memberi tahu Anda dampak elektris yang dirasakan baik di dalam Gereja maupun di luar. Ada banyak ratapan, dengan air mata syukur bukan saja dari mereka yang sebelumnya telah ditahan dari imamat dan yang menjadi penerima manfaat langsung dari pengumuman ini, tetapi juga oleh para pria dan wanita Gereja di seluruh dunia yang merasa sebagaimana yang kami rasakan mengenai hal ini.”33
Kira-kira tiga bulan kemudian, Presiden Kimball menyatakan, merujuk pada wahyu tersebut: “Salah seorang Pemimpin berkata kemarin bahwa kini telah terjadi salah satu perubahan dan berkat terbesar yang pernah dikenal .… Selain beberapa orang yang selalu ingin bertentangan, orang-orang di dunia telah menerima perubahan ini dengan rasa syukur mereka .… Maka kami amat, amat berbahagia mengenai ini, terutama bagi mereka yang telah tertahan dari berkat-berkat ini sebelumnya.”34
Kasih bagi Umat dan bagi Pekerjaan Tuhan
Menggambarkan Presiden Kimball, Penatua Neal A. Maxwell dari Kuorum Dua Belas Rasul berkata: “Ada kehangatan yang mengundang dalam pelayanan pria ini. Pandangan matanya yang penuh kasih namun merasuk, rangkulannya, ciumannya yang kudus, kelembutannya—dirasakan oleh begitu banyak orang—semuanya menciptakan suatu aura yang pantas di sekitar orang ini, bukan aura yang seolah tidak dapat didekati, melainkan aura kehangatan yang istimewa. Kasihnya meliputi semua orang; tidak seorang pun merasa dibedakan. Setiap Pembesar Umum dapat beranggapan bahwa dia adalah kesukaan Presiden Kimball, karena dia begitu mengasihi kami masing-masing! Bagaimana mungkin orang berpikiran lain?”35
Presiden Kimball memberi tahu para anggota Gereja, “Saya ingin dikenal sebagai seseorang yang mengasihi para saudara dan saudarinya.”36 Para Orang Suci Zaman Akhir sebaliknya merasakan dan menyatakan kasih baginya, yang karenanya dia sangat bersyukur. Dia berkata: “Saya selalu memberi tahu orang-orang ketika mereka mengatakan mereka mengasihi saya, ‘Nah, itu bagus sekali, karena itu yang membuat saya bertahan hidup.’ Dan saya maksudkan itu secara harfiah.”37
Dengan caranya yang penuh kasih namun penuh tekad, Presiden Kimball mendesak para Orang Suci Zaman Akhir untuk merentang diri mereka sendiri lebih jauh dalam pelayanan kepada Tuhan, mengatasi rasa puas diri, dosa, atau masalah lainnya yang menahan mereka dari bergerak maju. Dalam kehidupannya sendiri, dia melayani sebagai teladan dari pergerakan maju dalam pelayanan Tuhan, tidak peduli apa batu sandungannya.
Penatua Robert D. Hales, ketika itu anggota Kuorum Pertama Tujuh Puluh, berkata mengenai Presiden Kimball: “Dia adalah orang yang bertindak, ditunjukkan oleh tanda sederhana di atas mejanya yang berbunyi, ‘Lakukanlah.’ … Teladan dan kasihnya memotivasi mereka yang mengikuti teladannya untuk mencapai gol-gol yang lebih tinggi dan memperlebar langkah mereka menuju kemuliaan.”38
Dalam sebuah ceramah yang diberikan dalam konferensi umum Oktober 1979, Presiden Kimball menceritakan kisah Perjanjian Lama tentang Kaleb, yang, ketika dihadapkan dengan tantangan sehubungan dengan memasuki tanah perjanjian, berkata, “Berikanlah kepadaku pegunungan [ini]” (Yosua 14:12). Merujuk pada perkataan ini, Presiden Kimball bertutur:
“Inilah perasaan saya bagi pekerjaan ini pada saat ini. Ada tantangan-tantangan besar di depan kita, kesempatan-kesempatan raksasa yang harus dihadapi. Saya menyambut peluang yang menarik itu dan merasa harus berkata kepada Tuhan, dengan rendah hati, ‘Berikanlah kepada saya pegunungan [ini],’ berikanlah kepada saya tantangan-tantangan ini.
Dengan rendah hati, saya memberikan janji bakti saya kepada Tuhan dan kepada Anda, para saudara dan saudari saya yang terkasih, para mitra kerja dalam pekerjaan Kristus yang sakral ini: Saya akan bergerak maju, dengan iman kepada Allah Israel, mengetahui bahwa Dia akan membimbing dan mengarahkan kita, serta menuntun kita, pada akhirnya, menuju pencapaian akan tujuan-tujuan-Nya dan menuju tanah perjanjian kita serta berkat-berkat kita yang dijanjikan …
Dengan sungguh-sungguh dan tulus saya mengimbau agar Anda masing-masing mengerahkan janji bakti dan upaya yang sama––setiap pemimpin imamat, setiap wanita di Israel, setiap remaja putra, setiap remaja putri, setiap anak lelaki dan perempuan.”39
Pada tanggal 5 November 1985, setelah hampir 12 tahun melayani sebagai Presiden Gereja, Spencer W. Kimball meninggal dunia. Pada saat kematiannya, penasihat Presiden Kimball, Presiden Gordon B. Hinckley, menyatakan: “Merupakan hak istimewa dan kesempatan yang besar bagi saya untuk bekerja di sisi Presiden Kimball dalam kendali pekerjaan Tuhan. Pada satu kesempatan saya berusaha untuk memperlambatnya sedikit, dan dia berkata, ‘Gordon, hidup saya adalah seperti sepatu saya––untuk dipakai hingga habis dalam pelayanan.’ Demikianlah dia hidup. Demikianlah dia meninggal. Dia telah berpulang ke dalam penemanan Dia yang bagi-Nya dia melayani sebagai hamba, yaitu Tuhan Yesus Kristus, mengenai Siapa dia memberikan saksi dan kesaksian.”40