Wanita dalam Kehidupan Kita
Betapa saya bersyukur, betapa kita semua harus berterima kasih, untuk para wanita dalam kehidupan kita.
Brother dan sister, di awal ceramah saya, jika Anda mau bersabar, saya ingin mengungkapkan beberapa gagasan pribadi. Enam bulan yang lalu, di akhir konferensi kita, saya mengatakan bahwa rekan terkasih saya yang berusia 67 tahun sakit parah. Dia meninggal dua hari kemudian. Saat itu tanggal 6 April, hari yang sangat penting bagi kita semua di Gereja ini. Saya ingin berterima kasih secara terbuka kepada para dokter yang penuh bakti dan para perawat yang luar biasa, yang merawatnya selama saat-saat terakhir dia sakit.
Anak-anak saya dan saya berada di sisinya ketika dengan damai dia menghembuskan napas terakhir. Saya memegang tangannya dan melihat kehidupan fana keluar dari jari-jarinya, saya akui saya sedih sekali. Sebelum menikahinya, dialah gadis impian saya, menggunakan lirik sebuah lagu yang dahulu populer. Dia adalah rekan terkasih saya selama lebih dari dua pertiga abad, kami setara dalam pandangan Allah, sungguh-sungguh pujaan hati saya. Dan sekarang di usia lanjut saya dia menjadi gadis impian saya lagi.
Tak lama setelah kematiannya, kami menerima curahan kasih yang luar biasa dari seluruh dunia. Karangan bunga yang jumlahnya sangat banyak dikirimkan. Kontribusi besar dibuat atas nama dia kepada Dana-tetap Pendidikan dan gelar kehormatan diberikan dari Universitas Brigham Young. Juga ratusan surat. Kami memiliki kotak yang berisi surat-surat itu dari orang-orang yang kami kenal dan banyak lagi yang tidak kami kenal. Mereka semua mengungkapkan kekaguman kepadanya, serta simpati dan kasih bagi kami yang ditinggalkannya.
Kami mohon maaf karena tidak dapat menjawab secara pribadi semua yang telah Anda berikan. Karena itu sekarang saya menggunakan kesempatan ini untuk berterima kasih kepada Anda semua atas kebaikan hati Anda kepada kami. Terima kasih banyak, dan mohon maafkan ketidaksanggupan kami untuk membalasnya. Tugas itu di luar kemampuan kami, namun ungkapan Anda telah memberi penghiburan di saat-saat kami berduka.
Saya bersyukur dapat mengatakan bahwa sepanjang kehidupan kami berdua saya tidak bisa mengingat satu pun percekcokan yang serius. Perbedaan-perbedaan kecil kadang-kadang memang ada, namun sifatnya tidak serius. Saya percaya pernikahan kami telah menjadi suatu pernikahan yang menyenangkan sebagaimana yang dapat dimiliki setiap orang.
Saya tahu banyak di antara Anda juga diberkati, dan saya sangat memuji Anda, karena jika semuanya telah dikatakan dan dilakukan, maka tidak ada hubungan yang lebih indah selain hubungan antara suami dan istri, dan tidak ada yang lebih menakjubkan bagi kebaikan maupun kejahatan selain dampak kekal dari pernikahan.
Saya melihat dampak itu secara langsung. Saya melihat keindahan dan tragedinya. Karena itu hari ini saya memilih untuk mengatakan beberapa patah kata mengenai wanita dalam kehidupan kita.
Saya mulai dengan Penciptaan dunia.
Kita membaca dalam Kitab Kejadian dan Kitab Musa mengenai usaha besar, luar biasa, dan menakjubkan itu. Yang Mahakuasa adalah arsitek penciptaan itu. Di bawah pengarahan-Nya, penciptaan itu dilaksanakan oleh Putra Tunggal-Nya, Yehova Agung, yang dibantu oleh Mikhael, sang malaikat.
Pertama-pertama adalah penciptaan langit dan bumi, diikuti dengan pemisahan terang dari gelap. Air dipisahkan dari daratan. Selanjutnya penciptaan tumbuh-tumbuhan, diikuti dengan binatang-binatang. Berikutnya adalah penciptaan tertinggi yaitu manusia. Kejadian mencatat bahwa: “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kejadian 1:31).
Namun prosesnya belum selesai.
“Karena Adam tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu rusuknya, lalu menutup tempat itu dengan daging.
Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu.
Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan” (Kejadian 2:20–23).
Demikianlah Hawa menjadi ciptaan Allah, bagian terakhir yang luar biasa dari semua pekerjaan besar yang telah dilakukan sebelumnya.
Meskipun penciptaan wanita menjadi hal yang amat penting, selama berabad-abad dia ditempatkan pada kedudukan yang lebih rendah. Dia dinomorduakan. Dia diremehkan. Dia diperbudak. Dia diperundung. Namun beberapa tokoh wanita terkemuka dalam tulisan suci adalah wanita yang berintegritas, berprestasi, dan beriman.
Kita mengenal Ester, Naomi, dan Rut dari Perjanjian Lama. Kita mengenal Saria dari Kitab Mormon. Kita mengenal Maria, ibu Juruselamat dunia. Kita mengenal dia, sebagai wanita pilihan Allah yang diuraikan oleh Nefi sebagai, “seorang gadis yang paling cantik dan elok melebihi semua gadis lain” (1 Nefi 11:15).
Dialah wanita yang membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan nyawa-Nya dari amarah Herodes. Dialah wanita yang merawat-Nya semasa kanak-kanak dan ketika Dia dewasa. Dia berdiri di hadapan-Nya ketika tubuh-Nya yang penuh luka di paku di atas salib di Kalvari. Dalam penderitaan-Nya, Dia berkata kepadanya, “Ibu, inilah anakmu!” Dan kepada murid-murid-Nya dalam permohonan agar merawat ibu-Nya, Dia berkata, “Inilah ibumu” (Yohanes 19:26–27).
Melihat peristiwa-peristiwa dalam kehidupan-Nya kita mengenal Maria dan Marta, serta Maria Magdalena. Dialah yang datang ke kubur pada pagi hari Paskah. Dan kepada wanita itulah, pertama kali Dia menampakkan diri sebagai Tuhan yang telah bangkit. Mengapa meski Yesus menempatkan wanita dalam posisi amat penting, banyak pria, yang mengaku percaya kepada-Nya, gagal melakukan hal itu?
Dalam rancangan besar-Nya, ketika pertama kali Allah menciptakan manusia, Dia menciptakan pasangan dua jenis kelamin. Ungkapan tertinggi dari pasangan dua jenis kelamin itu terdapat dalam pernikahan. Yang seorang melengkapi yang lainnya. Sebagaimana Paulus menyatakan: “Dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki, dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan” (1 Korintus 11:11).
Tidak ada rencana lain yang memenuhi tujuan-tujuan ilahi Yang Mahakuasa. Pria dan wanita adalah ciptaan-Nya. Mereka adalah rancangan-Nya. Hubungan dan fungsi mereka yang saling melengkapi adalah dasar dari tujuan-tujuan-Nya. Yang satu tidak akan sempurna tanpa yang lain.
Saya tahu bahwa kita memiliki banyak wanita luar biasa yang tidak berkesempatan untuk menikah. Tetapi mereka juga membuat kontribusi-kontribusi yang luar biasa. Mereka melayani Gereja dengan setia dan cakap. Mereka mengajar di organisasi-organisasi. Mereka melayani sebagai pemimpin.
Saya melihat hal yang sangat menakjubkan pada kesempatan lainnya. Para Pembesar Umum sedang mengadakan pertemuan, dan presidensi Lembaga Pertolongan ada bersama kami. Para wanita yang cakap ini berdiri di ruang Pembesar Umum dan membagikan kepada kami asas-asas kesejahteraan dan bantuan kepada mereka yang ditimpa kemalangan. Posisi kami di Gereja ini tidaklah direndahkan dengan yang mereka lakukan. Kemampuan kami untuk melayani malah ditingkatkan.
Terdapat beberapa pria yang, dengan bangganya, berpikir mereka berkedudukan lebih tinggi dibanding para wanita. Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa mereka tidak akan ada tanpa ibu yang melahirkan mereka. Ketika mereka menunjukkan kesombongan mereka artinya mereka merendahkan ibu mereka. Telah dikatakan, “Pria tidak bisa merendahkan wanita tanpa dirinya sendiri direndahkan; dia tidak dapat mengangkat wanita itu tanpa pada saat yang sama mengangkat dirinya sendiri” (Alexander Walker, dalam Elbert Hubbard’s Scrap Book [1923], hlm. 204).
Betapa benar sekali hal itu. Kita melihat akibat yang menyedihkan dari peremehan itu dalam kehidupan kita. Perceraian adalah salah satu akibatnya. Kejahatan ini terus berlanjut tanpa bisa dihentikan dalam masyarakat kita. Itu adalah akibat tidak menghormati pasangan nikah kita. Hal itu terlihat jelas dalam pengabaian, kritikan, perundungan, dan penolakan. Kita anggota Gereja ini tidak terluput dari hal itu.
Yesus berfirman, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6).
Kata “manusia” digunakan dalam arti umum, namun kenyataannya adalah bahwa secara dominan kata manusia itulah yang menyebabkan kondisi-kondisi yang menuntun pada perceraian.
Setelah menangani ratusan situasi perceraian selama bertahun-tahun, saya yakin bahwa penerapan suatu asas tertentu akan lebih membantu daripada asas lain mana pun untuk mengatasi masalah yang serius ini.
Jika setiap suami dan setiap istri setiap saat mau melakukan apa saja yang mungkin untuk memastikan kenyamanan dan kebahagian pasangannya maka akan, jika ada, sangat sedikit perceraian. Perselisihan tidak akan pernah terdengar. Fitnahan tidak akan pernah ada. Luapan amarah tidak akan terjadi. Melainkan, kasih dan perhatian yang akan menggantikan perundungan serta keburukan.
Ada sebuah lagu populer yang kita nyanyikan beberapa tahun silam, yang liriknya berbunyi:
‘Ku ingin bahagia
Tapi ‘ku tak bahagia
Sampai ‘ku buat kau bahagia.
(Irving Caesar, “I Want to Be Happy” [1924]).
Ini memang benar.
Setiap wanita adalah putri Allah. Anda tidak bisa menyakitinya tanpa menyakiti Dia. Saya memohon kepada para pria di Gereja ini untuk menjaga dan memelihara keilahian yang ada dalam diri pasangan mereka. Tingkat keharmonisan, kedamaian, pemerkayaan dalam kehidupan keluarga, serta memelihara kasih itu bergantung pada seberapa banyak para suami memelihara keilahian yang ada dalam diri istri mereka.
Bukankah Presiden McKay mengingatkan kita bahwa: “Tidak ada keberhasilan dalam hidup yang dapat menggantikan kegagalan dalam rumah tangga” (dikutip dari J. E. McCulloch, Home: The Savior of Civiliazation [1924]; dalam Conference Report, April 1935, 116).
Juga, kebenaran yang Presiden Lee ingatkan kepada kita: “Pekerjaan terbesar yang akan pernah Anda lakukan adalah di dalam rumah Anda sendiri” (“Maintain Your Place as a Woman,” Ensign, Februari 1972, 51).
Obat bagi kebanyakan masalah pernikahan bukan terdapat pada perceraian. Itu terdapat pada pertobatan dan pengampunan, dalam ungkapan kebaikan dan kepedulian. Itu harus ditemukan dalam penerapan Hukum Emas.
Sungguh pemandangan yang sangat indah ketika seorang remaja putra dan remaja putri bergandengan tangan di altar dalam mengikat janji di hadapan Allah bahwa mereka akan saling menghormati dan mengasihi. Lalu bagaimana dengan gambaran suram ketika beberapa bulan kemudian, atau beberapa tahun kemudian, muncul pernyataan-pernyataan yang menyinggung perasaan, kata-kata kejam dan menyakitkan, amarah, fitnahan keji.
Seharusnya itu tidak terjadi, brother dan sister. Kita dapat menjadikan lebih baik “unsur-unsur yang merendahkan dan melemahkan” ini dalam kehidupan kita (lihat Galatia 4:9). Kita dapat mencari dan mengenali sifat-sifat ilahi dalam diri satu sama lain yang datang kepada kita sebagai anak-anak Bapa di Surga. Kita dapat hidup bersama menurut pola pernikahan yang telah diberikan Allah dalam memenuhi hal itu semampu kita, jika kita mau menjalankan disiplin diri dan berhenti berusaha mendisiplinkan pasangan kita.
Para wanita dalam kehidupan kita adalah makhluk-makhluk yang dianugerahi sifat-sifat tertentu, sifat-sifat ilahi, yang menyebabkan mereka dapat menjangkau dengan kebaikan dan kasih kepada orang-orang yang ada di sekitar mereka. Kita dapat mendukung uluran tangan mereka jika kita mau memberi mereka kesempatan untuk mengembangkan bakat-bakat serta kecenderungan-kecenderungan alami yang ada dalam diri mereka. Di usia senja kami, suatu sore pasangan terkasih saya mengatakan dengan lembut kepada saya, “Kamu selalu memberi saya sayap untuk terbang, dan saya mengasihi kamu karena hal itu.”
Saya pernah mengenal seorang pria, yang telah meninggal dunia, dan dia bersikeras membuat semua keputusan bagi istri dan anak-anaknya. Mereka tidak bisa membeli sepatu tanpa dia. Mereka tidak bisa ikut pelajaran piano. Mereka tidak bisa melayani di Gereja tanpa izin dari dia. Saya pernah melihat akibat dari sikapnya itu, dan akibat itu tidaklah baik.
Ayah saya selalu siap memberikan pujian kepada ibu saya. Kami anak-anak tahu bahwa dia mengasihinya karena caranya memperlakukan ibu. Dia menghormati ibu. Dan saya akan selalu bersyukur karena teladannya. Banyak di antara Anda telah diberkati karena hal itu.
Sekarang saya ingin melanjutkan, namun itu tidak penting. Saya hanya ingin memberi penekanan pada kebenaran besar bahwa kita semua adalah anak-anak Allah, anak lelaki dan perempuan, saudara lelaki dan perempuan.
Sebagai seorang ayah, apakah saya lebih mengasihi anak-anak perempuan saya ketimbang anak-anak lelaki saya? Tidak. Jika saya bersalah karena ketidakseimbangan, itu karena saya lebih mengasihi anak-anak perempuan saya. Saya telah mengatakan bahwa ketika seorang pria sudah tua, lebih baik dia tinggal dengan anak perempuannya. Mereka sangat baik dan penuh perhatian. Saya pikir saya dapat mengatakan anak-anak lelaki saya juga cakap dan bijak. Anak-anak perempuan saya cerdik dan baik hati. Dan “piala saya penuh berlimpah” karena ini (Mazmur 23:5).
Wanita adalah bagian penting dari “rencana kebahagiaan” yang telah Bapa Surgawi tetapkan bagi kita. Rencana itu tidak dapat terlaksana tanpa mereka.
Saudara-saudara, ada banyak ketidakbahagiaan di dunia ini. Ada terlalu banyak kepedihan dan kepiluan serta patah hati. Ada begitu banyak air mata menetes dari para istri dan anak-anak peremuan yang dirundung duka. Ada begitu banyak pengabaian dan perundungan serta kekejaman.
Allah telah memberi kita imamat, dan imamat itu tidak dapat dijalankan “hanya oleh bujukan kesabaran, kebaikan dan kelemahlembutan serta oleh kasih sayang yang sejati; oleh kebaikan hati dan pengetahuan yang sejati, yang akan sangat membesarkan jiwa tanpa kemunafikan dan tanpa tipu daya” (A&P 121:41–42).
Betapa saya bersyukur, betapa kita semua harus berterima kasih, untuk para wanita dalam kehidupan kita. Allah memberkati mereka. Semoga kasih-Nya yang besar mengalir kepada mereka dan memahkotai mereka dengan keanggunan dan keindahan, kasih karunia serta iman. Dan semoga Roh-Nya mengalir kepada kita, sebagai pria, dan menuntun kita untuk selalu merengkuh mereka dalam rasa hormat, dan rasa syukur, dalam memberikan semangat, kekuatan, pemeliharaan, dan kasih, yaitu inti Injil Juruselamat dan Tuhan kita. Untuk hal ini saya berdoa dengan rendah hati, dalam nama kudus Yesus Kristus, amin.