Saya Teringat Para Pionir
Ketika saya berusia 19 diminta masuk di tentara Swedia. Sebagai ahli komunikasi dengan perwira artileri, saya melayani dalam staf dan peleton pemimpin Eight Company.
Pada pukul 04.00 suatu pagi di bulan Januari, para perwira kami memerintahkan kami untuk berpakaian dengan senjata lengkap dan berkumpul di luar dalam waktu 20 menit. Lelah dan lapar dari kegiatan di hari sebelumnya, saya merasa seolah-olah baru tersadar dari tidur saya, dan di sini saya kembali mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian baru. Saya masih ingat bagaimana rasanya, keluar dari barak yang hangat ke tempat yang dinginnya tak terkatakan.
Sebuah bus militer yang besar tiba untuk menjemput kami, dan kami diberi tahu akan pergi ke Stockholm untuk sebuah ujian besar untuk melihat apakah kami memenuhi syarat untuk melanjutkan pelatihan kami. Setibanya di kota, kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok, dengan peta yang berbeda dan tujuan terpisah.
Kami menyusuri jalan-jalan di Stockholm, dipersenjatai lengkap dengan senapan, amunisi, dan perlengkapan lainnya. Di setiap pos pemeriksaan kami diharuskan melakukan ujian fisik, seperti menghadapi penyanderaan, pertempuran di jalan, berlari menyusuri lorong dan gedung, dan pertolongan pertama. Setelah setiap ujian kami tidak memiliki waktu untuk istirahat sebelum melanjutkan ke pos pemeriksaan berikutnya.
Aspal yang beku membuat kaki saya mati rasa, dan bahu saya sakit karena beban berat peralatan. Namun saya terus berjalan dan berusaha untuk tidak mengeluh. Kelompok kami mengalami cuaca yang buruk dan cobaan yang sulit, namun kami masih berjalan sebagai saudara. Di sepanjang perjalanan, kami melihat orang-orang sipil yang merasa heran yang tertawa, menuding-nuding, dan meneriaki kami.
Saya lelah, dingin, kotor, dan sakit ketika kami tiba di tujuan akhir kami dan bus menjemput kami. Selama perjalanan kembali ke kamp, saya merenungkan mengenai kesulitan yang peleton saya dan saya telah alami dan bertanya pada diri saya sendiri apakah pelatihan ini sepadan di samping medali yang dianugerahkan pada akhirnya. Saya bertanya pada diri saya sendiri adakah orang lain di samping kami yang harus mengalami kesulitan ini sebagaimana yang kami hadapi hari itu.
Tiba-tiba, saya memikirkan tentang kesulitan dan pengurbanan dari para pionir pada masa awal Gereja. Saya teringat kembali kisah tentang kelaparan, kedinginan, dan rasa sakit mereka; dicemooh; dan berjalan bermil-mil jauhnya—hal yang sama telah saya alami hari itu. Perbedaannya yang mencolok adalah bahwa saya harus menahan hal ini hanya satu hari. Para pionir melakukan perjalanan dalam dingin dan salju, hujan dan panas, berjalan melewati lumpur dan debu. Mereka berjalan dengan bahan-bahan perlindungan yang minim, hanya memiliki iman bahwa Tuhan akan melindungi mereka. Para pionir berjalan untuk menemukan Sion karena Tuhan memiliki pekerjaan yang menakjubkan bagi para anggota ini untuk dilaksanakan.
Tiba-tiba, tanpa berpikir, saya mulai menyanyikan “Mari, Mari Orang-Orang Suci” (Nyanyian Rohani, no. 15), dan di sana di dalam bus saya mulai merasakan suatu perbedaan dalam diri saya. Kehangatan dan kebahagiaan yang besar mengaliri tubuh saya. Saya tidak aktif di Gereja pada saat itu dan saya telah berpikir bahwa saya tidak akan pernah kembali, namun tiba-tiba sebuah perasaan membisiki saya, “Kembalilah ke Gereja.”
Ketika saya sampai di markas, saya menelepon orang tua saya dan mengatakan kepada mereka bahwa saya mengasihi mereka dan ingin kembali ke Gereja. Hari Minggu berikutnya merupakan sebuah ujian yang besar bagi saya untuk melihat apakah saya memiliki keberanian untuk kembali karena saya sudah tidak aktif sekian lama. Kembali ke Gereja tidaklah mudah, namun itu sepadan. Keluarga saya dan para anggota lainnya membantu saya merasa disambut.
Saya mulai mempersiapkan diri untuk melayani di misi dan dua tahun kemudian menerima panggilan misi untuk melayani di Misi Praia Cape Verde. Ketika saya tiba di Salt Lake City dalam perjalanan saya ke Pusat Pelatihan Misionaris, saya melihat pekerjaan luar biasa yang dilakukan oleh para pionir dalam membangun bait suci yang megah dan merencanakan sebuah kota yang indah. Saya berkata dalam hati, “Terima kasih.”
Saat ini, ketika saya bertanya pada diri sendiri apakah ujian militer saat itu bernilai sesuatu, saya menjawabnya ya, di setiap hal, karena pada momen dengan wawasan besar di dalam bus dengan peleton yang terdiri dari sesama tentara, saya menyadari betapa penting pekerjaan Tuhan itu. Itu bernilai karena saya datang kembali kepada Tuhan dan sekarang saya melakukan pekerjaan dan kehendak-Nya.