Tidak Membakar Minyak Tengah Malam
Ketika tiba saatnya lulus dari perguruan tinggi, saya mendapati bahwa asas-asas Injil telah memberkati kehidupan duniawi—seperti juga kehidupan rohani—saya.
Bahkan ketika saya masih gadis belia, kebanyakan pemanggilan saya di Gereja melibatkan mengajar anak Pratama, dan ini memengaruhi keputusan saya untuk mengejar gelar dalam pendidikan dasar. Tetapi pilihan jurusan bukanlah satu-satunya cara ajaran Gereja memengaruhi pendidikan saya. Itu menjadi sangat jelas ketika saya bersiap untuk lulus.
Proyek terakhir yang harus saya rampungkan adalah tesis terakhir yang akan saya pertahankan dalam suatu ujian lisan di hadapan sidang dengan tim penguji yang beranggotakan tiga orang. Para penguji adalah beberapa guru yang telah mengajar kelas-kelas saya.
Setelah menyelesaikan tesis saya dengan cermat, saya meluangkan sebagian malam sebelum sidang tersebut dengan keluarga pacar saya. Ketika saya berangkat pulang, ibunya mengatakan bahwa dia berharap semuanya akan beres dan mengutip, “Kalau kamu telah siap, jangan kamu takut” (A&P 38:30).
Hari berikutnya tiba. Sejumlah kenangan mengisi benak saya. Saya teringat bagaimana saya memutuskan untuk meninggalkan kota tempat saya tumbuh untuk melanjutkan pendidikan saya; saya teringat semua pengurbanan yang keluarga saya lakukan untuk membiayainya. Saya tidak dapat mengecewakan mereka. Sidang akhir saya harus berhasil.
Rekan-rekan kelas saya juga menunggu untuk sidang mereka. Kami semua khawatir mengenai pertanyaan yang mungkin akan diajukan tim penguji, tetapi saya merasa aman karena saya telah berdoa meminta bantuan dan mengetahui bahwa Allah tahu segala upaya yang telah saya kerahkan untuk mengatur, meneliti, dan menulis tesis saya tersebut.
Giliran saya tiba. Setelah menjelaskan tesis saya kepada tim penguji, saya mulai menjawab pertanyaan. Setelah mengajukan beberapa pertanyaan mengenai topik yang saya liput, salah seorang penguji bertanya, “Seberapa banyak upaya yang Anda masukkan ke dalam tesis ini?”
“Sangat banyak,” jawab saya. “Saya memberinya segala kemampuan saya karena saya ingin itu menjadi inovatif.”
“Sempat membakar minyak tengah malam?”
“Tidak, saya biasanya tidak bekerja sampai larut malam untuk melakukan pekerjaan sekolah,” kata saya. “Saya mengatur hari-hari saya supaya pekerjaan saya selesai semua.”
Wajah para penguji jelas-jelas memperlihatkan keterkejutan. Penguji yang sama bertutur, “Saya menganggap aneh bahwa Anda mengakui Anda tidak bekerja sampai larut malam. Kami tahu rekan-rekan sekelas Anda melakukannya, bermalam-malam.”
Salah seorang penguji yang lain berkata, “Biar saya beri tahu mengenai siswa yang satu ini. Dia punya waktu untuk segalanya. Saya dapat berkata demikian karena saya kenal dia. Dia punya waktu untuk studinya, teman-temannya, keluarganya, dan dia bahkan pergi ke Gereja.”
“Oh ya?” penguji yang lain kembali terkejut. “Gereja mana yang Anda ikuti?”
“Saya anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir.”
“Oh, ya, saya tahu Gereja apa itu,” kata yang seorang.
“Dan kami diajar untuk tidur cepat agar kami dapat disegarkan pada keesokan harinya.”
Saya merasa tenang dan aman berbicara tentang Injil, meskipun saya terkejut ditanya mengenainya dalam sebuah ujian profesi.
“Tesis Anda ditulis dengan perasaan yang dalam. Bagus sekali. Saya rasa ini juga karena kebiasaan yang ditanamkan dalam diri Anda oleh Gereja Anda.”
“Ya,” kata saya. “Saya diajari di Gereja cara mengajar anak-anak, dan itu benar-benar telah membantu studi saya.”
“Anda menyelaminya bagaikan ikan dengan air,” canda salah seorang penguji. “Kami harap Anda tidak akan berhenti ke Gereja, karena Anda berutang banyak pada nilai-nilai yang Anda peroleh di sana.”
Segera saya diizinkan meninggalkan ruangan agar para penguji dapat membuat keputusan. Dua menit kemudian mereka memanggil saya masuk kembali.
“Tidaklah sulit bagi kami untuk mencapai kata sepakat. Mempertimbangkan perilaku Anda yang patut diteladani, nilai-nilai Anda yang baik, dan tesis yang Anda pertahankan hari ini, keputusan kami untuk meluluskan Anda adalah dengan suara bulat, dengan sebutan terhormat. Selamat!”
Ketika saya memberi tahu keluarga saya, mereka menangis dengan sukacita.
Saya bersaksi bahwa ketika Bapa Surgawi memerintahkan kita untuk “tidurlah sore-sore agar kamu tidak letih; bangunlah pagi-pagi, agar tubuh dan pikiranmu dapat dikuatkan” (A&P 88:124), Dia melakukannya dengan suatu maksud untuk memberkati kita. Saya bersyukur kepada-Nya karena memperkenankan Injil mendatangkan kebahagiaan dalam semua bidang kehidupan kita.