Min-Jun Adalah Layak
Penulis tinggal di Colorado, AS.
“Yesus kawan pengasih .… Setiap anak dikasihi” (Children’s Songbook, 58, diterjemahkan secara bebas).
Min-Jun memandang ke luar jendela pada awan-awan. “Tampaknya besok akan hujan,” ujarnya.
Kakek memandang melewati surat kabarnya dan mengangguk. Itu adalah akhir musim panas di Seoul, Korea Selatan, dan musim hujan telah dimulai.
Min-Jun menyiapkan payung di samping pakaiannya untuk hari Minggu. “Saya pikir kita harus pergi lebih awal besok.”
Kakek tersenyum. “Ide bagus. Kita harus melewati jalan yang lebih jauh, jika jalan yang rendah banjir.”
“Apakah Kakek pikir gedung Gereja akan baik-baik saja?” Min-Jun bertanya. Tahun lalu ruang bawah tanah kebanjiran selama musim hujan.
“Ya,” ujar Kakek. “Namun tidak pernah salah untuk berdoa.”
“Kalau begitu saya akan berdoa untuk gereja malam ini. Dengan demikian kita dapat selamat tiba di sana. Jal-ja-yo (selamat malam).” Min-Jun membungkuk dan pergi tidur.
Pagi harinya mereka meninggalkan apartemen lebih awal. Min-Jun memandang ke atas pada awan gelap yang memenuhi langit.
“Milikilah iman,” Kakek berkata.
Min-Jun mengikuti Kakek menapaki tangga sempit di bukit dekat apartemen mereka. Mereka berhenti sejenak di puncak untuk mengambil napas. Baju putih mereka sudah basah karena udara yang sangat lembab.
Kakek mengangkat tangannya untuk merasakan tetesan pertama hujan. “Apakah kau merasakan itu? Hujan mulai turun.”
Mereka membuka payung mereka. Pada saat mereka tiba di tangga berikutnya, hujan turun dengan cepat. Min-Jun memicingkan mata untuk melihat setiap langkah melewati hujan. “Aduh!” dia menjerit sewaktu dia tergelincir dan jatuh pada lututnya.
“Apakah kamu terluka?” Kakek bertanya. Dia membungkuk untuk melihat lubang di celana Min-Jun.
“Itu hanya goresan,” Min-Jun berkata, suaranya bergetar.
“Kita bisa memperbaikinya di gereja,” ujar Kakek.
Min-Jun dan Kakek menaiki sisa tangga dan tiba di jalan yang lebih tinggi.
“Angin lebih kencang di atas sini,” ujar Kakek, menggenggam erat payungnya. Min-Jun hampir tidak dapat mengendalikan payungnya. Tiba-tiba angin berhembus kencang dan membalikkan serta merobek payung itu pada bagian jahitannya. Bahu Min-Jun terkulai.
Kakek mengangkat payungnya. “Mari, ke bawah payung Kakek. Kita hampir sampai.”
Min-Jun dan Kakek berbagi payung, tetapi itu hanya bisa sedikit melindungi dari hujan yang berkelanjutan. Sewaktu mereka tiba di dekat gereja, Min-Jun mendengar musik dimainkan.
“Mereka sudah mulai!” Min-Jun berlari ke pintu depan. Kemudian dia melihat bayangannya di kaca. Rambutnya kusut dan lepek, celananya robek, dan sepatunya berlumpur. Dia menjauh dari pintu dan kembali ke tangga.
“Saya … Saya tidak dapat masuk,” Min-Jun tergagap.
“Kamu baik-baik saja,” Kakek berkata.
“Tetapi saya kotor semua dan basah!”
Kakek memandang Min-Jun, kemudian memandang pengukur hujan yang terikat di pagar.
“Adalah mudah untuk mengukur hujan, Min-Jun, tetapi bagaimana kita mengukur diri kita sendiri?”
Min-Jun berkedip pada Kakek.
“Kamu melihat sepatu berlumpur, lutut yang tergores, dan rambut yang berantakan, dan kamu berpikir kamu tidak cukup layak,” ujar Kakek. “Tetapi Yesus Kristus memiliki cara yang lebih baik untuk mengukur. Dia melihat hati kamu dan mengetahui bahwa kamu melakukan yang benar. Jika kamu mengukur dirimu sendiri dengan cara-Nya, kamu akan melihat alat pengukur itu meluap.”
Min-Jun memandang ke arah pengukur hujan. Itu terus naik dengan setiap tetesan air. Dia berpikir tentang betapa keras dia berusaha untuk tiba di gereja dan betapa hangat dan senangnya dia merasa ketika dia ada di sana. Dia memikirkan tentang betapa besar dia mengasihi Juruselamat dan betapa besar Juruselamat mengasihi dia.
Min-Jun memeluk Kakek, dan bersama-sama mereka memasuki gereja.