Kehidupan dan Pelayanan Lorenzo Snow
Ketika Lorenzo Snow yang berusia 21 tahun menunggang kudanya pergi jauh dari rumah orang tuanya suatu hari pada tahun 1835, dia menetapkan arahnya menuju Oberlin College [Perguruan Tinggi Oberlin] di Oberlin, Ohio. Dia tidak tahu bahwa dalam perjalanan yang singkat ini, dia akan memperoleh pengalaman yang akan mengubah jalan hidupnya.
Melewati jalan di kampung halamannya Mantua, Ohio, dia bertemu dengan seorang pria yang juga sedang menunggang kuda. Pria ini, bernama David W. Patten, baru saja ditahbiskan sebagai Rasul dari Tuhan Yesus Kristus. Dia dalam perjalanan kembali kepada para Orang Suci Zaman Akhir di Kirtland, Ohio, setelah melayani misi. Dua pria ini melakukan perjalanan bersama kira-kira 30 mil (50 kilometer). Lorenzo Snow belakangan menuturkan kembali:
“Percakapan kami mengarah pada agama dan filsafat, dan karena masih muda dan telah menikmati kesempatan mengenyam pendidikan, saya pada mulanya cenderung menganggap ringan pendapatnya, khususnya karena itu tidak selalu disampaikan dengan tata bahasa yang benar; tetapi sewaktu dia meneruskan dengan caranya yang sungguh-sungguh dan rendah hati untuk membukakan di hadapan pikiran saya rencana keselamatan, saya tampaknya tak sanggup untuk melawan pengetahuan bahwa dia adalah orangnya Allah dan bahwa kesaksiannya adalah benar.”1
Lorenzo Snow bukanlah anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir ketika dia bertemu dengan Penatua Patten, tetapi dia tidak asing dengan beberapa ajaran Gereja. Bahkan sebenarnya, Nabi Joseph Smith telah mengunjungi rumah keluarga Snow, dan ibu serta saudara perempuan Lorenzo, Leonora dan Eliza telah dibaptiskan dan dikukuhkan sebagai anggota Gereja. Meskipun demikian, Lorenzo telah menjadi, seperti yang dia katakan, “sibuk ke arah-arah yang lain” pada waktu itu, dan hal-hal seperti itu telah “sepenuhnya berlalu dari pikiran[nya].”2 Itu mulai berubah ketika dia berbicara dengan Penatua Patten. Merujuk pada pengalaman ini, dia berkata, “Ini adalah titik balik dalam kehidupan saya.”3 Dia menguraikan bagaimana perasaannya selama percakapan tersebut:
“Saya merasa tertusuk dalam hati saya. Ini tampaknya dia sadari, karena hampir hal terakhir yang dia katakan kepada saya setelah memberikan kesaksiannya, adalah agar saya hendaknya pergi kepada Tuhan sebelum tidur pada malam hari dan bertanya kepada-Nya bagi diri saya sendiri. Ini saya lakukan dengan hasil bahwa sejak hari saya bertemu dengan Rasul yang hebat ini, segala aspirasi saya telah diperluas dan diangkat dengan tak terhingga.”
“Ketulusan mutlak [Penatua Patten], kesungguhannya dan kuasa rohaninya” 4 memiliki pengaruh yang abadi pada seorang pemuda yang pada suatu hari akan melayani sebagai Rasul. Dan percakapan yang tenang itu menuntun pada pengalaman-pengalaman lainnya yang akan mempersiapkan Lorenzo Snow untuk menjadi Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir, juru bicara Allah di bumi.
Tumbuh dalam Rumah dengan Iman dan Bekerja Keras
Dua keluarga yang kuat, kaya dalam iman dan tradisi keagamaan, menjadi satu ketika Oliver Snow menikahi Rosetta Leonora Pettibone pada tanggal 6 Mei 1800. Mempelai laki-laki dan mempelai perempuan adalah keturunan dari beberapa pemukim Eropa awal di Amerika Serikat—pengembara Inggris yang telah menyeberangi Samudra Atlantik pada tahun 1600-an untuk meloloskan diri dari penganiayaan keagamaan. Oliver dan Rosetta melewatkan beberapa tahun pertama dari kehidupan pernikahan mereka di negara bagian Massachusetts, di mana putri mereka Leonora Abigail dan Eliza Roxcy lahir. Kemudian mereka pindah ke Mantua, Ohio, yang pada waktu itu adalah salah satu permukiman yang paling barat di Amerika Serikat. Mereka adalah keluarga kesebelas yang pindah ke area itu. Di Mantua, dua putri lagi, Amanda Percy dan Melissa, lahir ke dalam keluarga itu. Lorenzo, anak kelima dan putra pertama Oliver dan Rosetta, lahir di Mantua pada tanggal 3 April 1814. Dia belakangan dilengkapi dengan dua adik laki-laki: Lucius Augustus dan Samuel Pearce.5
Menimba dari tradisi keluarga-keluarga mereka, Oliver dan Rosetta mengajari anak-anak mereka pentingnya iman, kerja keras, dan pendidikan. Sewaktu mereka membagikan cerita tentang kesulitan yang telah mereka tanggung untuk menegakkan rumah mereka, anak-anak mereka belajar untuk mengatasi keputusasaan dan menghargai berkat-berkat dari Allah dalam kehidupan mereka. Eliza menulis: “Kami dapat benar-benar mengatakan tentang orang tua kami, integritas mereka tak dapat diragukan, dan mereka dapat dipercaya dalam segala hubungan sosial dan urusan bisnis dalam kehidupan; dan dengan saksama melatih anak-anak mereka dalam kebiasaan kerajinan, penghematan, dan moralitas yang ketat.”6 Lorenzo mengutarakan rasa syukur bahwa mereka selalu memperlakukannya dengan “kepedulian dan kelembutan.”7
Sewaktu Lorenzo tumbuh, dia bekerja dengan tekun dalam kesibukan jasmani dan intelektual. Ayahnya sering kali jauh dari rumah, melayani komunitas “untuk urusan publik.” Dalam ketidakhadiran Oliver, Lorenzo, sebagai putra tertua, diberi tanggung jawab atas tanah pertanian—tanggung jawab yang dia anggap serius dan laksanakan dengan penuh keberhasilan. Ketika Lorenzo tidak bekerja, dia biasanya membaca. “Bukunya,” kata Eliza, “adalah rekannya terus-menerus.”8
Menengok kebelakang tentang perkembangan kepribadian Lorenzo, Eliza mengamati, “Sejak awal masa kanak-kanak [dia] menunjukkan semangat dan keputusan karakter yang telah menandai kemajuannya dalam kehidupan berikutnya.”9
Bangkit di Atas Ambisi Masa Muda
Oliver dan Rosetta Snow mendorong penelaahan yang jujur tentang agama. Mereka memperkenankan anak-anak mereka untuk belajar tentang gereja-gereja yang berbeda, dengan membuka rumah mereka untuk “yang baik dan cerdas dari semua golongan agama.” Bahkan dengan dorongan ini, Lorenzo “membaktikan sedikit atau tidak ada perhatian sama sekali pada topik agama, setidaknya tidak cukup untuk memutuskan preferensi terhadap sekte tertentu apa pun.”10 Impiannya adalah untuk menjadi komandan militer, dan impian ini mengalahkan pengaruh lainnya dalam hidupnya, “bukan karena dia senang dengan pertikaian,” tulis sejarawan Orson F. Whitney, tetapi karena dia “terpikat dengan romansa dan kekesatriaan dalam karier militer.”11 Tetapi dia segera menggantikan ambisi ini dengan yang lainnya. Dia meninggalkan rumah dan mendaftar di Oberlin College [Perguruan Tinggi Oberlin] di dekat sana agar dia dapat mengejar “pendidikan perguruan tinggi.”12
Sewaktu Lorenzo belajar di Oberlin, dia mengembangkan minat baru dalam agama. Masih dipengaruhi oleh percakapannya dengan Penatua Patten, dia bukan saja merenungkan ajaran-ajaran tentang Injil yang dipulihkan tetapi membagikannya kepada orang lain di Oberlin—bahkan dengan mereka yang belajar untuk menjadi pendeta. Dalam sepucuk surat kepada kakak perempuannya, Eliza, yang telah berkumpul bersama para Orang Suci di Kirtland, dia menulis: “Di antara para pendeta dan calon pendeta saya telah memperoleh kesuksesan yang amat baik, saya yakinkan dirimu, dalam membela Mormonisme. Adalah benar saya belum mendapatkan banyak orang insaf, karena saya sendiri juga belum dibaptiskan, namun saya telah membuat sebagian dari mereka nyaris mengakui mereka telah melihat beberapa [kebijaksanaan] dalam ajaran-ajaranmu. Untuk menyingkirkan prasangka yang kuat terhadap Mormonisme dari pikiran seorang mahasiswa Oberlin adalah hal yang tidak mudah dicapai.”
Dalam surat yang sama ini, Lorenzo menanggapi undangan yang telah dia terima dari Eliza. Dia telah merencanakan bagi dia untuk tinggal bersamanya di Kirtland dan menelaah bahasa Ibrani dalam kelas yang menyertakan Nabi Joseph Smith dan beberapa anggota Kuorum Dua Belas Rasul. Dia berkata, “Saya senang mengetahui bahwa kamu menikmati begitu banyak kebahagiaan di Kirtland; walaupun pada saat ini saya tidak tertarik untuk menukarkan tempatku dengan tempatmu; namun jika keuntungan pembelajaran di sana adalah sama, saya pikir saya akan nyaris diyakinkan untuk mencoba pindah ke sana. Karena, jika tidak ada apa pun lagi, akan terbukti amat menarik bagi saya dan barangkali bukannya tidak bermanfaat untuk mendengarkan ajaran-ajaran itu dikhotbahkan yang telah lama saya ikhtiarkan untuk pertahankan dan dukung di sini di Oberlin.”
Walaupun Lorenzo terkesan dengan ajaran-ajaran Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir, dia ragu-ragu bergabung dengan Gereja. Tetapi dia tertarik. Dalam suratnya kepada Eliza, dia mengajukan beberapa pertanyaan tentang Gereja. Dia mengatakan bahwa para mahasiswa di Oberlin yang mempersiapkan diri untuk menjadi pendeta dituntut untuk “mengabdikan tujuh tahun atau lebih untuk penelaahan yang sulit sebelum mereka diperkenankan untuk memberi tahu orang kafir bahwa ada Allah di Surga, seperti ahli hukum yang harus memiliki kualifikasi tertentu sebelum dia dapat memperoleh izin untuk berbicara.” Sebaliknya, dia berkata kepada saudara perempuannya, “Orang-orangmu saya kira bergantung lebih banyak pada bantuan ilahi alih-alih pada apa yang diberikan dalam pembelajaran perguruan tinggi, ketika mengkhotbahkan ajaran-ajaranmu.” Dia mengutarakan hasrat untuk memahami cara kerja Roh, dengan menanyakan apakah Roh Kudus dapat dianugerahkan pada orang-orang “pada masa dunia ini.” Jika orang-orang dapat menerima Roh Kudus, dia bertanya, “apakah Allah selalu menganugerahkannya melalui perantaraan orang kedua?”13 Dengan perkataan lain, dia ingin tahu apakah wewenang imamat diperlukan untuk menerima Roh Kudus.
Lorenzo menghargai persahabatan dan pendidikan yang telah dia peroleh di Perguruan Tinggi Oberlin, tetapi dia menjadi bertambah tidak puas dengan pengajaran-pengajaran keagamaan di sana. Pada akhirnya dia meninggalkan perguruan tinggi tersebut dan menerima undangan kakak perempuannya untuk menelaah bahasa Ibrani di Kirtland. Dia mengatakan bahwa dia menghadiri kelas bahasa Ibrani hanya agar dia dapat bersiap untuk kuliah di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat sebelah timur.14 Namun, Eliza memerhatikan bahwa di samping mempelajari bahasa Ibrani, “pikirannya juga menyerap, dan hatinya menjadi terilhami oleh iman yang hidup dari Injil yang abadi.”15 Segera dia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah dia ajukan di Perguruan Tinggi Oberlin, dan pada bulan Juni 1836 dia dibaptis oleh Penatua John Boynton, salah seorang anggota pertama dari Kuorum Dua Belas Rasul dalam dispensasi ini. Dia juga dikukuhkan sebagai anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir.
Kira-kira dua minggu kemudian seorang teman bertanya kepadanya, “Brother Snow, apakah Anda telah menerima Roh Kudus sejak Anda dibaptis?” Dia mengingat, “Pertanyaan itu menyentak saya nyaris dengan keterkejutan. Kenyataannya adalah, sementara saya barangkali telah menerima semua yang saya perlukan, saya belum menerima apa yang telah saya antisipasi”—berarti bahwa walaupun dia telah dikukuhkan, dia belum menerima pernyataan khusus dari Roh Kudus. “Saya merasa tidak puas,” katanya, “bukan dengan apa yang telah saya lakukan, tetapi dengan diri saya sendiri. Dengan perasaan seperti itu saya pergi pada malam itu ke sebuah tempat di mana saya terbiasa untuk menyampaikan pengabdian saya kepada Tuhan.” Dia berlutut untuk berdoa dan dengan segera menerima jawaban atas doa-doanya. “Itu tidak akan pernah terhapuskan dari ingatan saya sepanjang ingatan bertahan,” dia belakangan menyatakan. “… Saya menerima pengetahuan yang sempurna bahwa ada seorang Allah, bahwa Yesus, yang mati di Kalvari, adalah Putra-Nya, dan bahwa Joseph sang Nabi telah menerima wewenang yang dia akui miliki. Kepuasan dan kemuliaan dari pernyataan itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata! Saya kembali ke penginapan saya. Sekarang saya dapat bersaksi kepada seluruh dunia bahwa saya tahu, dengan pengetahuan yang pasti, bahwa Injil Putra Allah telah dipulihkan, dan bahwa Joseph adalah Nabi Allah, yang diwenangkan untuk berbicara dalam nama-Nya.”16
Diperkuat oleh pengalaman ini, Lorenzo mempersiapkan dirinya untuk menjadi misionaris. Sebagaimana kakak perempuannya, Eliza katakan, keinsafannya menuntun pada suatu perubahan dalam ambisinya dan “membuka suatu dunia baru di hadapannya.” Dia mengamati, “Alih-alih kemasyhuran militer duniawi, dia sekarang memasuki arena kejuaraan bersama pasukan-pasukan surga.”17
Memenuhi Tantangan sebagai Misionaris Penuh-Waktu
Lorenzo Snow memulai pelayanan misionarisnya di negara bagian Ohio pada musim semi 1837. Seperti keputusannya untuk bergabung dengan Gereja, keputusannya untuk melayani sebagai misionaris penuh-waktu menuntut dia untuk mengubah pandangannya dan rencananya. Dia menulis dalam jurnalnya, “Pada tahun 1837 [saya] sepenuhnya melepaskan segala gagasan favorit saya.”18 Dia menghentikan rencananya untuk mengejar “pendidikan klasik” di perguruan tinggi di Amerika Serikat sebelah timur.19 Dia juga sepakat untuk melakukan perjalanan tanpa dompet dan tas—dengan perkataan lain, untuk pergi tanpa uang, bersandar pada kebaikan orang lain untuk menyediakan makanan dan tempat menginap. Ini khususnya sulit baginya karena dalam masa mudanya dia selalu merasa adalah penting untuk memenuhi semua kebutuhannya sendiri, dengan menggunakan uang dia telah bantu ayahnya dapatkan di tanah pertanian keluarga. Dia berkata, “Saya tidak terbiasa untuk bergantung pada siapa pun untuk makanan dan tempat menginap. Jika saya akan bepergian jauh ke mana pun, ayah saya akan memastikan bahwa saya memulainya dengan banyak uang untuk pengeluaran saya. Dan sekarang, untuk pergi ke luar dan meminta sesuatu untuk dimakan dan untuk tempat meletakkan kepala saya, adalah sangat sulit bagi saya, karena itu begitu berbeda dengan pelatihan saya sebelumnya.20 Dia “memutuskan untuk melakukannya,” tetapi hanya karena dia menerima “pengetahuan yang pasti bahwa Allah menuntutnya.”21
Beberapa dari paman, bibi, sepupu, dan teman Penatua Snow menghadiri pertemuan-pertemuan pertama yang dia adakan sebagai misionaris. Mengingat pertama kali dia berkhotbah, dia berkata, “Saya amat malu pada waktu itu, dan … adalah hal yang sangat sulit bagi saya untuk bangkit di sana dan berkhotbah kepada kaum kerabat dan tetangga saya yang dipanggil untuk datang. Saya ingat bahwa saya berdoa hampir sepanjang hari sebelum malam saat saya harus berbicara. Saya pergi keluar sendirian dan memohon kepada Tuhan untuk memberi saya sesuatu untuk dikatakan. Bibi saya memberi tahu saya sesudahnya bahwa dia hampir bergemetar ketika dia melihat saya bangkit untuk berbicara, tetapi saya membuka mulut saya, dan apa yang saya katakan saya tidak pernah tahu, tetapi bibi saya mengatakan bahwa saya berbicara dengan baik selama kira-kira tiga perempat jam.”22 Dengan rasa syukur dia mengenang, “Saya percaya dan merasakan keyakinan bahwa Roh ilham akan mendorong dan memberi saya penuturan. Saya telah berupaya melalui doa dan puasa—saya telah merendahkan hati saya di hadapan Tuhan, berseru kepada-Nya dalam doa yang amat kuat untuk memberikan kuasa dan ilham dari Imamat kudus; dan ketika saya berdiri di hadapan jemaat itu, walaupun saya tidak tahu satu kata pun yang dapat saya ucapkan, segera setelah saya membuka mulut saya untuk berbicara, Roh Kudus berdiam dengan amat kuatnya di atas diri saya, memenuhi benak saya dengan terang serta menyampaikan gagasan dan tutur kata yang patut untuk diberikan kepada mereka.”23 Pada waktu dia meninggalkan area itu, dia telah membaptis dan mengukuhkan seorang paman, seorang bibi, beberapa sepupu, dan beberapa teman.24
Setelah membagikan Injil kepada keluarga dan teman-temannya, Penatua Snow melanjutkan pekerjaan misinya di kota-kota besar dan kecil lainnya, dengan melayani selama kira-kira satu tahun. Dia melaporkan, “Sementara di misi ini, saya melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Negara Bagian Ohio, dan selama waktu itu membaptis banyak orang yang telah tetap setia pada kebenaran.”25
Lorenzo Snow belum lagi berada di rumah lama sejak misi pertamanya sebelum dia merasakan hasrat untuk mengkhotbahkan Injil kembali. “Semangat pemanggilan misionaris saya menekan dengan begitu kuatnya pada pikiran saya,” katanya, “sehingga saya rindu untuk terlibat dalam pekerjaannya.”26 Pada waktu ini dia mengkhotbahkan Injil yang dipulihkan di negara bagian Missouri, Kentucky, dan Illinois serta sekali lagi di Ohio.
Sebagian orang bersikap berseteru terhadap Penatua Snow dan pesan yang dia bagikan. Sebagai contoh, dia memberi tahu tentang sebuah pengalaman di Kentucky ketika sekelompok orang berkumpul di rumah seseorang untuk mendengarkan dia berkhotbah. Setelah dia berkhotbah, dia mendapat tahu bahwa sebagian orang berencana untuk mengeroyoknya segera setelah dia pergi. Dia mengenang bahwa “di tengah kerumunan yang saling mendorong” di rumah itu, salah seorang pria “secara kebetulan menggerakkan tangannya menyentuh salah satu saku bagian bawah jubah saya, yang membuat dia secara tiba-tiba merasa cemas.” Merasakan ada sesuatu yang keras dalam saku Penatua Snow, dia dengan segera memperingatkan teman-temannya bahwa misionaris itu diperlengkapi dengan pistol. Penatua Snow belakangan menulis, “Itu cukup—orang-orang calon-penjahat itu meninggalkan rancangan jahat mereka.” Dengan sedikit rasa tergelitik, Penatua Snow menambahkan, “Yang dikira pistol yang menyebabkan kegentaran mereka dan perlindungan saya, adalah Alkitab saku saya, suatu hadiah berharga untuk saya dari Bapa Bangsa terkasih, Bapa Joseph Smith [Sr.].”27
Orang-orang lain menyambut Penatua Snow dan memeluk pesan yang dia bagikan. Di suatu permukiman Missouri dia mengajar lima orang yang dibaptis di tengah musim dingin. Penatua Snow dan yang lainnya harus memotong es dari sebuah sungai agar dia dapat melaksanakan tata cara tersebut. Terlepas dari dinginnya, beberapa orang yang insaf “muncul dari air, bertepuk tangan, dan meneriakkan puji-pujian bagi Allah.”28
Dua misi pertama Penatua Snow mencakup periode dari musim semi 1837 sampai Mei 1840. Cuplikan dari surat-suratnya mencirikan waktu ini dalam pelayanan Tuhan: “Saya melewatkan sisa musim dingin [1838–1839] dalam perjalanan dan pengkhotbahan, … dengan berbagai keberhasilan, dan perlakuan—terkadang diterima dengan cara yang paling sopan dan didengarkan dengan minat yang kuat, dan, di waktu yang lain, dihina dengan kasar dan kurang ajar; tetapi tidak dalam kejadian apa pun diperlakukan lebih buruk daripada yang dialami Yesus, yang saya akui untuk ikuti.”29 “Ketika sekarang saya menengok kebelakang pada peristiwa-peristiwa yang telah saya lalui, … saya tercengang dan menjadi takjub.”30 “Tuhan berada bersama saya, dan saya amat diberkati dalam melaksanakan pekerjaan saya yang sulit.”31
Misi di Inggris
Pada awal Mei 1840, Lorenzo Snow bergabung dengan para Orang Suci di Nauvoo, Illinois, tetapi dia tidak lama tinggal di sana. Dia dipanggil untuk menyeberangi Samudra Atlantik dan melayani misi di Inggris, dan dia meninggalkan Nauvoo pada bulan yang sama itu. Sebelum dia berangkat, dia mengambil waktu untuk mengunjungi beberapa keluarga dari sembilan Rasul yang sedang melayani di Inggris.
Ketika dia mengunjungi keluarga Brigham Young, dia melihat bahwa gubuk kayu gelondong mereka tidak memiliki penambal celah untuk menutup rapat celah antara kayu-kayu gelondong tersebut, menyebabkan mereka “terpapar angin dan badai.” Sister Young lelah karena dia baru kembali dari pencarian sapi penghasil susu keluarga yang tak membawa hasil. Terlepas dari keadaannya yang sulit, dia berkata kepada Penatua Snow, “Anda lihat situasi saya, tetapi beri tahu dia [suami saya] untuk tidak bersusah hati, atau cemas sedikit pun tentang saya—saya mengharapkan dia tetap berada di ladang pekerjaan misinya sampai dibebastugaskan dengan terhormat.” Tergugah oleh “kondisi kemiskinan yang amat parah” dari Sister Young, Penatua Snow ingin menolong. “Saya hanya memiliki sedikit uang—tidak cukup untuk membawa saya sepersepuluh jarak menuju ladang pekerjaan misi saya, dengan tidak ada harapan untuk mendapatkan sisa uang yang diperlukan, dan berada ketika itu pada malam sebelum memulai perjalanan. Saya merogoh dari saku saya sebagian dari sedikit uang saya, … tetapi dia menolak untuk menerimanya; sementara saya bersikeras sekali agar dia menerimanya, dan dia bersikukuh menolaknya—sebagian secara sengaja, dan sebagian secara kebetulan, uang itu terjatuh di lantai, dan bergemerincing melalui celah-celah di antara papan-papan yang longgar, yang mengakhiri perbantahan tersebut, dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya, saya meninggalkan uang itu agar dapat dia ambil di waktu luangnya.”32
Dari Illinois, Penatua Snow melakukan perjalanan ke New York, di mana dia menaiki kapal untuk berlayar menyeberangi Samudra Atlantik. Pada 42 hari pelayaran laut tersebut, tiga badai ganas menerjang kapal. Dikelilingi oleh sesama penumpang yang penuh ketakutan, yang menangis, Penatua Snow tetap tenang, percaya bahwa Allah akan melindunginya. Ketika kapal masuk ke dermaga di Liverpool, Inggris, hati Penatua Snow “penuh dengan rasa syukur yang terbesar kepada-Nya yang melindungi dan mendukung mereka yang Dia panggil dan utus sebagai para pelayan rohani keselamatan kepada bangsa-bangsa di bumi.”33
Setelah melayani sebagai misionaris di Inggris selama kira-kira empat bulan, Penatua Snow menerima tanggung jawab tambahan. Dia ditugasi untuk melayani sebagai presiden Konferensi London, sebuah pemanggilan yang serupa dengan presiden distrik dewasa ini. Dia melanjutkan mengkhotbahkan Injil, dan dia juga mengawasi pekerjaan para pemimpin imamat, seperti presiden cabang, di area itu. Sewaktu dia melayani dalam jabatan kepemimpinan ini, dia sering kali melapor kepada Penatua Parley P. Pratt, seorang anggota Kuorum Dua Belas dan presiden misi tersebut. Dia menulis tentang banyaknya orang yang “menanyakan jalan menuju keselamatan,” tentang sebuah ruangan “yang sesak sampai meluber” untuk pertemuan hari Minggu, dan tentang “kesukaan membaptis [orang-orang insaf] ke dalam kandang Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.” Antusias dan optimis tentang pekerjaan tersebut, dia berkata, “Walaupun dikelilingi dengan kejahatan tanpa timbang rasa terhadap orang lain dari segala jenis, Sion mulai menyeruak, dan, saya percaya, tidak lama lagi akan menjadi pelita yang bersinar di kota ini.”34
Konferensi London menikmati pertumbuhan yang signifikan bersama Penatua Snow sebagai presiden. Sementara Penatua Snow bersukacita dalam keberhasilan ini, dia juga bergumul dengan tanggung jawab kepemimpinan. Dalam sepucuk surat kepada Penatua Heber C. Kimball dari Kuorum Dua Belas, dia mengakui bahwa tantangan-tantangan ini telah menuntun dia untuk “mengambil jalan berbeda dalam pengelolaan daripada apa pun lainnya yang pernah saya ambil sebelumnya.”35 Dia memberi tahu Penatua Kimball, “Anda dan Penatua [Wilford] Woodruff mengatakan itu akan menjadi pembelajaran dari pengalaman, yang telah menjadi kenyataan .… Sejak saya datang ke sini sesuatu yang baru secara berkelanjutan telah terjadi di antara para Orang Suci. Baru saja satu hal berlalu maka yang lain akan muncul.” Dia berbagi suatu kebenaran yang telah dia pelajari dengan cepat dalam tanggung jawabnya yang baru, “Saya tidak dapat menghadapi kesulitan-kesulitan ini, [kecuali] Allah akan membantu saya dengan tingkatan yang sangat besar.” 36 Dia mengutarakan perasaan yang serupa dalam sepucuk surat kepada Penatua George A. Smith dari Kuorum Dua Belas: “Sedikit yang telah saya lakukan bukanlah berasal dari diri saya tetapi dari Allah. Satu hal yang telah saya pelajari sepenuhnya dalam pengalaman saya sementara berikhtiar untuk mengembangkan jabatan saya sebagai guru di Israel, yaitu, melalui diri saya sendiri saya tidak tahu apa pun tidak juga saya dapat melakukan apa pun: Saya juga melihat dengan jelas bahwa tidak ada Orang Suci yang dapat berhasil kecuali dia patuh pada petunjuk dan nasihat dari mereka yang ditempatkan untuk mengetuai dalam Gereja. Saya yakin bahwa sejauh saya menaati hukum-hukum-Nya, Tuhan Allah akan menyokong dan mendukung saya dalam jabatan saya .… Sejauh saya berjalan dalam kerendahan hati di hadapan-Nya, Dia akan memberi saya kuasa untuk memberi nasihat dalam kebenaran dan roh wahyu.”37
Di samping mengkhotbahkan Injil dan melayani sebagai presiden Konferensi London, Penatua Snow menulis brosur, atau pamflet keagamaan, untuk membantu para misionaris menjelaskan Injil yang dipulihkan. Brosur ini, disebut The Only Way to Be Saved (Satu-Satunya Cara untuk Diselamatkan), belakangan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa dan digunakan di sepanjang paruh kedua abad ke-19.
Penatua Snow melayani di Inggris sampai bulan Januari 1843. Sebelum dia pergi, dia memenuhi penugasan yang telah dia terima dari Presiden Brigham Young. Di sisi sebuah halaman dalam jurnalnya, dia menulis penyebutan satu-satunya mengenai penugasan ini: “Menyampaikan dua Kitab Mormon kepada Ratu Victoria dan Pangeran Albert atas permintaan Presiden B. Young.”38
Ketika Penatua Snow meninggalkan Inggris, dia memimpin sekelompok Orang Suci Zaman Akhir Inggris beremigrasi ke Nauvoo. Dia menulis dalam jurnalnya: “Saya memiliki tanggung jawab atas sebuah rombongan terdiri atas dua ratus lima puluh orang, yang banyak dari mereka adalah teman-teman dekat saya yang telah datang ke dalam perjanjian di bawah pelayanan saya. Situasi yang sekarang saya alami dalam menyeberangi kembali samudra dikelilingi oleh teman-teman adalah sesuatu yang patut membuat cemburu dibandingkan dengan yang sepi yang saya alami dua setengah tahun sebelumnya.”39 Pengalaman Penatua Snow di atas kapal Swanton memperlihatkan keterampilan kepemimpinannya dan imannya kepada Allah. Laporan berikut ini diambil dari jurnalnya:
“Saya memanggil [para Orang Suci] bersama dan dengan persetujuan bersama membentuk mereka ke dalam divisi dan subdivisi, menugasi para petugas yang tepat pada masing-masingnya, dan menegakkan aturan-aturan untuk pengaturan rombongan tersebut. Saya mendapati ada beberapa Imam Tinggi, dan kira-kira tiga puluh Penatua di antara kami, dan mengetahui keinginan alami bahwa banyak Penatua harus melakukan bahkan sesuatu yang kecil yang dengannya mereka bisa sedikit dibedakan, dan jika itu tidak dapat dilakukan dengan satu cara itu dilakukan dengan cara lain, oleh karena itu saya memutuskan adalah lebih aman jika saya menentukan sendiri bagaimana hendaknya mereka bertindak; sesuai dengan itu saya menugaskan sebanyak mungkin sebisa saya untuk suatu jabatan atau yang lainnya serta menjadikan mereka semua bertanggung jawab. Seluruh rombongan berkumpul tiap malam dalam minggu itu [untuk] berdoa. Kami mengadakan pengkhotbahan dua kali seminggu; pertemuan-pertemuan pada hari Minggu dan mengambil sakramen.
Kapten kami, yang dengannya saya ingin membina persahabatan yang baik, tampaknya sangat menjaga jarak dan tertutup .… Saya dapat dengan mudah mengenali bahwa pikirannya telah berprasangka terhadap kami.—Kami telah berada di laut kira-kira dua minggu, yang selama itu tidak ada hal serius apa pun terjadi lebih daripada apa yang biasanya terjadi di laut, ketika kejadian berikut terjadi.
Pramugara kapten itu, seorang pemuda Jerman, mengalami kecelakaan yang mengancam nyawanya. Sebagai pemuda yang sangat bermoral, bersungguh-sungguh dan dapat diandalkan, setelah berada bersama kapten itu [dalam] beberapa pelayaran, dia telah amat berhasil dalam mendapatkan kasih sayang kapten tersebut, petugas dan kru; para Orang Suci telah menjadi sangat akrab dengannya. Oleh sebab itu kemungkinan kematiannya … menciptakan perasaan dukacita dan kesedihan yang mendalam di seluruh kapal.
Dia mengeluarkan darah dari mulutnya, disertai dengan kejang-kejang dan gangguan saraf yang parah. Pada akhirnya, setelah mengusahakan berbagai pertolongan dengan tanpa hasil, semua harapan bagi nyawanya berhenti. Para pelaut, sebelum mereka pergi tidur, diminta oleh kapten untuk pergi ke kabinnya satu demi satu untuk mengucapkan selamat berpisah kepadanya; yang kemudian dilakukan karena tidak ada sedikit pun pengharapan untuk melihatnya hidup pagi berikutnya. Banyak mata yang basah oleh air mata sewaktu mereka kembali dari kabin itu.
Sister Martin [salah satu dari para Orang Suci Zaman Akhir di dalam kapal] saat sedang duduk sendirian di dekat tempat tidur pramugara itu mengutarakan kepada dia keinginannya agar saya boleh dipanggil serta memberkatinya dan barangkali dia bisa disembuhkan. Terhadap hal ini dia dengan riang memberikan persetujuannya. Saya sedang tertidur di tempat tidur saya di kapal ketika pesan tersebut datang, itu kira-kira jam dua belas malam. Saya bangkit dengan segera dan melangkah menuju kabin itu, [dan] dalam perjalanan bertemu dengan orang kedua yang berkuasa di kapal, yang baru saja menengoknya. Segera setelah dia melewati saya, dia bertemu dengan Brother Staines dan memberi tahu dia bahwa Tuan Snow akan menumpangkan tangan kepada pramugara itu. ‘Tetapi,’ katanya (dalam suara yang penuh dukacita), ‘ini semua tidak ada gunanya sama sekali; segalanya telah berlalu bagi teman yang malang ini sekarang.’ ‘Ah,’ kata Penatua Staines, ‘Tuhan dapat menyembuhkannya melalui penumpangan tangan.’ ‘… Apakah begitu menurut Anda?’ jawab pelaut itu dengan kesederhanaan hatinya.
Sewaktu saya berjalan saya bertemu kapten di pintu kabin, yang tampaknya telah menangis. ‘Saya senang Anda telah datang, Tuan Snow,’ katanya, ‘walaupun ini tidak ada gunanya, karena ini mestilah segera berlalu bagi pramugara itu.’ Saya melangkah ke dalam kamarnya dan duduk di dekat tempat tidurnya. Napasnya sangat pendek dan terlihat sedang sekarat. Dia tidak dapat berbicara keras, tetapi menyampaikan keinginannya [agar] saya hendaknya memberkatinya. Tampaknya dia memiliki istri dan dua anak di Hamburg, Jerman, yang bergantung kepadanya untuk tunjangan mereka. Dia tampak sangat mencemaskan mereka.
Saya menumpangkan tangan ke atas kepalanya, dan segera setelah mengakhiri pemberkatan maka dia bangkit ke posisi duduk, menepukkan tangannya, meneriakkan puji-pujian bagi Tuhan karena telah disembuhkan; segera setelah itu, dia bangkit dari tempat tidurnya [dan] pergi keluar kabin dan berjalan-jalan di dek.
Pagi berikutnya setiap orang tercengang melihat pramugara itu hidup, dan kagum melihat dia mampu berkeliling melakukan kegiatannya seperti biasanya. Para pelaut secara pribadi dan bersama-sama bersumpah bahwa itu adalah mukjizat; para Orang Suci mengetahui itu memang demikian, bersukacita dan memuji Tuhan; kapten itu memercayainya dengan teguh dan merasa amat bersyukur, dan hatinya menjadi terajut dengan hati kami sejak waktu itu dan seterusnya. Dia mengabulkan bagi kami setiap pertolongan dan kegemaran yang ada dalam kuasanya untuk berikan, dan secara terus-menerus mencemaskan kenyamanan kami; menghadiri semua pertemuan kami, membeli dan membaca buku-buku kami. Teman-teman pelautnya juga melakukan hal yang sama, dan ketika kami meninggalkan mereka di New Orleans [Louisiana,] membuat janji kepada saya bahwa mereka akan dibaptis. Saya menerima sepucuk surat kira-kira setahun sesudahnya dari pelaut kepala, yang memberi tahu saya bahwa mereka telah … memenuhi janji mereka. Kapten itu juga menyatakan maksudnya untuk menerima Injil di suatu waktu mendatang dan tinggal bersama para Orang Suci. Pramugara itu dibaptis ketika kami sampai di New Orleans; dan ketika berpisah dengannya memberi saya hadiah sebuah Alkitab, yang sekarang saya simpan.”40
Penatua Snow menulis: “Beberapa pelaut tersebut menangis ketika kami akhirnya meninggalkan Swanton. Sebenarnya, kami semua memiliki perasaan yang sangat khusyuk.”41 Dari New Orleans, Penatua Snow dan para rekan Orang Sucinya menaiki kapal feri dan berlayar menyusuri Sungai Mississippi. Mereka tiba di Nauvoo pada tanggal 2 April 1843.
Melanjutkan Pengabdian pada Pekerjaan Tuhan
Setelah melayani sebagai misionaris penuh-waktu selama hampir keseluruhan tujuh tahun, Lorenzo Snow melihat kesempatannya untuk pelayanan berubah untuk suatu masa. Pada musim dingin 1843–1844, pengelola uang dari sebuah sekolah setempat menawarkan kepadanya pekerjaan sebagai guru. Dia menerima tawaran itu, meskipun dia tahu banyak siswa “menyombongkan diri mereka sendiri dalam hal memperlakukan guru dengan kasar dan merusak bangunan sekolah.” Dia memutuskan bahwa cara untuk memenangkan rasa hormat para siswa adalah dengan memperlihatkan rasa hormat kepada mereka. Saudara perempuannya, Eliza menuturkan kembali: “Dia berbicara dengan para siswa itu seakan-akan mereka adalah pria terhormat .… Dia berusaha keras untuk memengaruhi mereka dengan suatu rasa ketertarikan yang dia rasakan untuk kepentingan mereka” dan hasratnya untuk “membantu mereka maju dalam pembelajaran mereka .… Dengan cara ini, dengan kebaikan hati dan bujukan, perasaan mereka terhibur—kepercayaan mereka dimenangkan, dan dengan pengerahan upaya yang sabar dan berkelanjutan, para preman bengis itu berubah menjadi siswa yang penuh rasa hormat; dan jauh sebelum akhir semester tersebut, dengan kemajuan yang mengejutkan, mereka telah menjadi terbiasa belajar keras.”42
Pada tahun 1844 dia menerima penugasan Gereja yang baru. Dia ditugaskan untuk melakukan perjalanan ke Ohio dan mengawasi kampanye untuk memilih Joseph Smith sebagai presiden Amerika Serikat. Nabi telah menjadi kecewa dengan cara para Orang Suci Zaman Akhir diperlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat, dan dia telah menulis surat kepada para calon presiden terkini untuk menentukan sikap mereka terhadap Gereja. Tidak puas dengan jawaban mereka, dia telah memutuskan untuk mencalonkan diri untuk jabatan presiden.
Kuorum Dua Belas menugasi Lorenzo Snow dan yang lainnya untuk “membentuk organisasi politik di seluruh negara bagian Ohio untuk mempromosikan Joseph bagi jabatan Presiden.”43 Dengan melakukannya, mereka meningkatkan kesadaran tentang cara di mana hak-hak konstitusi para Orang Suci telah dilanggar. Lorenzo mengatakan bahwa dia memperoleh “waktu yang sangat menarik.”44 Sebagian orang dengan keras menentang pencalonan Nabi, sementara yang lainnya merasa bahwa Joseph Smith dapat memimpin bangsa tersebut menuju keberhasilan dan kemakmuran.
“Di tengah-tengah pertentangan yang hebat ini,” kenang Lorenzo Snow, “kemajuan saya secara tiba-tiba terhenti, oleh laporan yang telah dikonfirmasi dengan baik tentang pembantaian terhadap Nabi dan saudara laki-lakinya Hyrum.” 45 Dia kembali ke Nauvoo “dengan hati yang sedih.”46
Bahkan selama waktu tragedi ini, para Orang Suci bekerja dengan tekun untuk membangun kerajaan Allah. Sebagaimana yang belakangan Lorenzo amati, “Di bawah bimbingan Yang Mahakuasa, kerajaan bergerak maju.”47 Mereka melanjutkan untuk mengkhotbahkan Injil serta memperkuat satu sama lain, dan mereka bekerja bersama untuk menyelesaikan membangun sebuah bait suci di kota mereka.
Ketika Lorenzo Snow berkumpul dengan para Orang Suci di Nauvoo, dia telah memutuskan bahwa dia tidak akan pernah menikah, melainkan memilih untuk mendedikasikan hidupnya untuk mengkhotbahkan Injil. Kakak perempuannya, Eliza belakangan mengamati, “Mengabdikan waktunya, bakatnya, segalanya bagi pelayanan merupakan hasratnya yang menyerap segalanya.” Dia merasa bahwa kehidupan keluarga bagaimanapun akan “mengurangi kegunaan dirinya” dalam pekerjaan Tuhan.48
Pandangan Lorenzo tentang pernikahan dan keluarga mulai berubah pada tahun 1843 ketika dia berbicara sendirian dengan Nabi Joseph Smith di tepi Sungai Mississippi. Nabi bersaksi tentang wahyu yang telah dia terima perihal pernikahan jamak. Dia memberi tahu Lorenzo, “Tuhan akan membuka jalan Anda untuk menerima dan mematuhi hukum Pernikahan Selestial.”49 Dengan nasihat ini, Lorenzo mulai memahami bahwa pernikahan adalah suatu perintah dari Tuhan dan suatu bagian yang amat penting dari rencana kebahagiaan Bapa Surgawi.
Pada tahun 1845, Lorenzo Snow masuk ke dalam pernikahan jamak, sebagaimana pada waktu itu dipraktikkan dalam Gereja, dengan menikahi Charlotte Squires dan Mary Adaline Goddard. Dia belakangan dimeteraikan kepada wanita-wanita tambahan. Pengabdiannya kepada para istri dan anaknya menjadi bagian dari pengabdiannya pada pekerjaan Tuhan.
Para Orang Suci melanjutkan untuk membangun kerajaan Allah di Nauvoo, tetapi penganiayaan juga terus berlangsung. Pada bulan Februari 1846, dalam dinginnya musim dingin, gerombolan perusuh memaksa mereka meninggalkan rumah-rumah mereka dan bait suci mereka. Mereka memulai perjalanan panjang ke arah barat menuju tempat tinggal yang baru.
Menolong Para Orang Suci Berkumpul di Lembah Salt Lake
Walaupun Lorenzo Snow dan keluarganya meninggalkan Nauvoo bersama seluruh Orang Suci, mereka tidak tiba di Lembah Salt Lake sampai lebih dari setahun setelah rombongan para pionir yang pertama. Seperti sebagian besar pionir Orang Suci Zaman Akhir terdahulu, mereka tinggal di permukiman sementara di sepanjang jalan. Lorenzo dan keluarganya tinggal untuk waktu yang singkat di permukiman Iowa yang disebut Garden Grove, di mana mereka membangun gubuk kayu gelondong bagi para Orang Suci yang akan mengikuti mereka. Dari sana mereka pindah ke permukiman yang disebut Mount Pisgah, juga di Iowa.
Di Mount Pisgah, Lorenzo bekerja bersama keluarganya dan para Orang Suci lainnya, sekali lagi menyediakan untuk kebutuhan mereka dan untuk kebutuhan dari mereka yang akan mengikuti mereka dalam perjalanan ke Lembah Salt Lake. Mereka membangun rumah-rumah kayu gelondong dan bahkan menanam serta mengolah tanaman, dengan mengetahui bahwa orang lainlah yang mungkin akan menuai panen. Selama sebagian waktu mereka di Mount Pisgah, Lorenzo dipanggil untuk mengetuai permukiman itu. Sewaktu dukacita, penyakit, dan kematian menyengsarakan orang-orang tersebut, termasuk keluarganya sendiri, dia bekerja dengan tekun untuk menolong orang-orang menemukan harapan, saling memperkuat, dan tetap patuh pada perintah-perintah Tuhan.50
Pada musim semi 1848, Presiden Brigham Young menginstruksikan Lorenzo Snow untuk meninggalkan Mount Pisgah dan melakukan perjalanan ke Lembah Salt Lake. Lorenzo sekali lagi diberi jabatan kepemimpinan, kali ini sebagai kapten atas rombongan-rombongan pionir. Rombongan-rombongan itu tiba di Lembah Salt Lake pada bulan September 1848.
Pelayanan sebagai Anggota Kuorum Dua Belas
Pada tanggal 12 Februari 1849, Lorenzo Snow menerima pesan bahwa dia harus menghadiri pertemuan Kuorum Dua Belas Rasul. Dia dengan segera menghentikan apa yang sedang dia lakukan dan pergi ke pertemuan tersebut, yang telah memulai sesi. Dalam perjalanan, dia bertanya-tanya mengapa dia telah dipanggil ke hadapan Kuorum Dua Belas. Dia bingung—apakah dia dituduh telah melakukan kekeliruan? Menyadari bahwa dia telah setia dalam melakukan tugasnya, dia membuang kecemasan itu. Tetapi dia tidak dapat membayangkan apa yang tersimpan baginya. Ketika dia tiba, dia terkejut mengetahui bahwa dia telah dipanggil untuk melayani sebagai anggota kuorum. Dalam pertemuan yang sama itu, dia bersama tiga orang lainnya—Penatua Charles C. Rich, Penatua Franklin D. Richards, dan Penatua Erastus Snow, sepupu jauhnya—ditahbiskan sebagai Rasul.51
Penahbisan Lorenzo Snow pada kerasulan mendefinisikan sisa hidupnya. Pemanggilannya sebagai salah seorang “saksi khusus bagi nama Kristus” (A&P 107:23) memengaruhi segala sesuatu yang dia lakukan. Dia belakangan mengutarakan perasaannya tentang tanggung jawab individu seorang Rasul:
“Pertama, seorang Rasul harus memiliki pengetahuan Ilahi, melalui wahyu dari Allah, bahwa Yesus hidup—bahwa Dia adalah Putra dari Allah yang hidup.
Kedua, dia mesti diwenangkan secara ilahi untuk menjanjikan Roh Kudus; suatu asas Ilahi yang mengungkapkan apa yang dari Allah, menyingkapkan kehendak dan tujuan-Nya, menuntun pada segala kebenaran, dan memperlihatkan apa yang akan datang, sebagaimana dimaklumkan oleh Juruselamat.
Ketiga, dia diberi kewenangan melalui kuasa Allah untuk melaksanakan tata cara-tata cara sakral Injil, yang dikukuhkan kepada setiap individu oleh suatu kesaksian Ilahi. Ribuan orang sekarang berdiam di lembah-lembah pegunungan ini, yang menerima tata cara-tata cara ini melalui pelayanan saya, adalah saksi hidup tentang kebenaran dari pernyataan ini.”52
Di samping tanggung jawab individu pemanggilannya, Penatua Snow memiliki keyakinan akan apa maknanya menjadi anggota Kuorum Dua Belas, “Kami, Dua Belas, berketetapan hati untuk melepaskan segala sesuatu yang akan menarik perhatian kami dari jalan kewajiban, agar kami boleh menjadi satu sebagaimana Presidensi [Utama] adalah satu, dan terikat bersama oleh asas kasih yang mengikat Putra Allah dengan Bapa.”53
Dengan pemahaman ini tentang pemanggilan pribadinya dan misi dari Kuorum Dua Belas, Penatua Lorenzo Snow mendedikasikan hidupnya untuk membantu pembangunan kerajaan Allah di bumi. Dia menjawab panggilan untuk melayani dalam banyak cara berbeda dan di banyak tempat berbeda.
Misi Italia
Pada saat konferensi umum Oktober 1849, Penatua Snow dipanggil untuk mendirikan misi di Italia. Walaupun dia merasa asing dengan negeri tersebut dan budaya serta bahasanya, dia tidak ragu-ragu untuk menerima pemanggilan ini. Kurang dari dua minggu setelah konferensi tersebut, dia siap untuk pergi, setelah melakukan yang terbaik untuk mengatur bantuan bagi para istri dan anaknya selama ketidakhadirannya.
Sewaktu dia dan para misionaris lainnya melakukan perjalanan ke Amerika Serikat sebelah timur, di mana mereka akan menaiki kapal menyeberangi Samudra Atlantik, pikirannya beralih kepada keluarganya dan juga kepada orang-orang yang akan segera dia layani. Dalam sepucuk surat kepada kakak perempuannya, Eliza, dia menulis: “Banyak perasaan yang bertentangan menguasai dada saya .… Kami bergegas semakin jauh dan semakin jauh lagi dari magnet yang amat kuat tersebut—RUMAH! tetapi kami tahu bahwa pekerjaan dimana kami terlibat adalah untuk membawa terang kepada mereka yang duduk dalam kegelapan, dan di Lembah Bayangan Kematian, dan dada kami dipenuhi dengan kasih, dan air mata kami pun diseka.”54
Penatua Snow dan para rekan misinya sampai di Genoa, Italia, pada bulan Juli 1850. Mereka dapat melihat bahwa pekerjaan Tuhan akan maju dengan lambat. Penatua Snow menulis: “Saya sendirian dan orang asing di kota yang besar ini, delapan ribu mil (12.875 kilometer) dari keluarga saya terkasih, dikelilingi oleh orang-orang yang cara hidup dan kebiasaannya tidak saya kenal. Saya telah datang untuk menerangi pikiran mereka, dan memberi mereka petunjuk tentang asas-asas kebenaran; tetapi saya melihat tidak ada kemungkinan sarana untuk mencapai sasaran ini. Semua harapan tampak gelap.” Prihatin tentang “tindakan bodoh, … kejahatan, kegelapan besar, dan takhayul” dari orang-orang yang kepadanya dia telah dipanggil untuk layani, dia menulis: “Saya memohon kepada Bapa Surgawi untuk memandang orang-orang ini dalam belas kasihan. Ya Tuhan, biarkan mereka menjadi sasaran dari rasa iba-Mu, agar mereka boleh tidak semuanya binasa. Ampunilah dosa-dosa mereka, dan biarkan aku dikenal di antara mereka, agar mereka boleh mengenal Engkau, dan mengetahui bahwa Engkau telah mengutusku untuk menegakkan Kerajaan-Mu .… Tidakkah Engkau memiliki beberapa orang yang terpilih di antara orang-orang ini kepada siapa aku telah diutus? Tuntunlah aku kepada yang demikian, dan nama-Mu akan memiliki kemuliaan melalui Yesus Putra-Mu.”55
Penatua Snow menemukan “orang-orang yang terpilih” ini di antara sekelompok orang yang disebut orang-orang Waldensia. Orang-orang Waldensia tinggal di sebuah lembah pegunungan di daerah Piedmont, tepat di selatan perbatasan Italia-Swiss dan di timur perbatasan Italia-Prancis. Leluhur mereka telah dianiaya dan dihalau dari tempat ke tempat karena mereka percaya pada wewenang para Rasul zaman dahulu dan ingin mengikuti ajaran-ajaran para Rasul alih-alih bergabung dengan agama-agama zaman itu.
Dalam sepucuk surat kepada Presiden Brigham Young, Penatua Snow menuliskan bahwa orang-orang Waldensia telah menderita melalui masa “kegelapan dan kekejaman” dan “telah berdiri tak tergoyahkan, hampir, seperti batu karang yang dihantam ombak dalam samudra yang penuh badai.” Tetapi tepat sebelum para misionaris Orang Suci Zaman Akhir tiba di Italia, orang-orang Waldensia mulai menikmati “periode ketenangan mendalam,” dan mereka tampaknya memiliki lebih banyak kebebasan beragama daripada orang-orang lain di Italia. “Demikianlah,” dia amati, “jalan telah dibukakan hanya satu periode yang singkat sebelum penunjukan misi tersebut, dan tidak ada bagian Italia lain yang diatur dengan hukum-hukum yang begitu baik.”
Berkenginan untuk belajar lebih banyak tentang orang-orang ini, Penatua Snow pergi ke perpustakaan untuk menemukan buku tentang mereka. Dia menuturkan kembali, “Pustakawan kepada siapa saya bertanya memberi informasi kepada saya bahwa dia memiliki karya tulis tentang uraian yang saya perlukan, tetapi itu baru saja dipinjam. Dia baru saja menyelesaikan kalimatnya ketika seorang wanita masuk dengan buku itu. ‘Wah,’ katanya, ‘ini kejadian yang luar biasa, tuan ini baru saja menanyakan buku itu.’ Saya segera diyakinkan bahwa orang-orang ini layak untuk menerima pemakluman pertama Injil di Italia.”56
Penatua Snow dan para rekan misinya sangat berhasrat mengkhotbahkan Injil di daerah Piedmont, tetapi mereka merasa mereka hendaknya melangkah dengan waspada, membina persahabatan dan memperlihatkan orang-orang mereka dapat dipercaya. Ketika mereka merasa mereka telah membina hubungan baik dengan orang-orang tersebut, mereka mendaki gunung di dekat sana, menyanyikan “puji-pujian bagi Allah surga,” dan mengucapkan doa, mendedikasikan negeri Italia untuk pekerjaan misi. Mereka juga mengutarakan dedikasi individu mereka pada pekerjaan tersebut, dan Penatua Snow memberikan berkat-berkat imamat kepada para rekannya untuk menolong mereka dalam tanggung jawab mereka. Diilhami oleh pengalaman mereka di gunung, Penatua Snow menyebut tempat itu Gunung Brigham.57
Bahkan setelah pengalaman ini, hampir dua bulan berlalu sebelum seseorang mengutarakan hasrat untuk bergabung dengan Gereja. Pada tanggal 27 Oktober 1850, para misionaris bersukacita karena akhirnya melihat pembaptisan dan pengukuhan pertama di Italia.58 Penatua Snow belakangan melaporkan: “Pekerjaan di sini lambat dan membosankan .… Walaupun demikian, Gereja telah ditegakkan. Pohon telah ditanam dan sedang menyebarkan akar-akarnya.”59
Suatu malam Penatua Snow mendapat mimpi yang menolong dia memahami kodrat misinya di Italia. Dalam mimpi tersebut, dia sedang memancing bersama teman-temannya. “Kami senang melihat kumpulan ikan yang besar dan indah pada permukaan air, semua berkitar, ke jarak yang jauh,” katanya. “Kami melihat banyak orang menebarkan jala dan tali mereka; tetapi mereka tampaknya semua tidak bergerak; sedangkan, kami berada dalam gerakan berkelanjutan. Saat melewati salah seorang dari mereka, saya mendapatkan seekor ikan telah tersangkut di kail saya, dan saya pikir itu mungkin, barangkali, mengganggu perasaan pria ini karena itu telah tertangkap, seakan-akan, diambil dari tangannya; walaupun demikian, kami berjalan terus, dan tiba di tepian. Kemudian saya menarik masuk tali saya, dan amat terkejut dan dipermalukan karena kecilnya tangkapan saya. Saya pikir itu amatlah aneh bahwa, di antara sedemikian besarnya kerumunan ikan yang tampak hebat dan unggul, saya hanya memperoleh tangkapan yang begitu kecil. Tetapi semua kekecewaan saya lenyap ketika saya menemukan bahwa kualitasnya adalah dari karakter yang sangat luar biasa.”60
Mimpi Penatua Snow bersifat nubuat. Dia tidak melihat sejumlah besar orang yang insaf di Italia, dan, sebagaimana misionaris lain belakangan mengamati, mereka yang menerima Injil “bukanlah yang kaya dan mulia.”61 Meskipun demikian, Penatua Snow dan rekan-rekannya merupakan alat dalam tangan Tuhan dalam membawa orang-orang yang baik, yang setia ke dalam kerajaan Allah—orang-orang yang mengutarakan rasa syukur bahwa mereka telah “mulai berjalan di jalan kehidupan yang baru dan tanpa akhir.”62 Dan sebagai hasil dari kepemimpinan Penatua Snow, Kitab Mormon diterjemahkan ke dalam bahasa Italia.
Hampir satu setengah abad kemudian, Rasul yang lain, Penatua James E. Faust, berbicara tentang para pria dan wanita yang bergabung dengan Gereja karena pekerjaan Penatua Snow dan para rekannya, “Sebagian berada dalam rombongan gerobak tangan pertama yang datang ke Lembah Salt Lake .… Banyak dari keturunan mereka mengurus kebun-kebun anggur dari gereja yang baru dipulihkan dan dewasa ini memberikan sumbangan tunggal yang luar biasa ke gereja seluruh dunia, memercayai, seperti yang dilakukan nenek moyang mereka, bahwa para Rasul memegang kunci-kunci yang tidak pernah rusak.”63
Membangun Gereja
Penatua Snow belakangan melayani di misi-misi lain, mengembangkan pemanggilannya sebagai anggota Kuorum Dua Belas untuk bekerja “di bawah arahan Presidensi [Utama] Gereja … untuk membangun gereja, dan mengatur segala urusan dari yang sama di segala bangsa” (A&P 107:33).
Pada tahun 1853 Presiden Brigham Young memanggil Lorenzo Snow untuk memimpin sekelompok keluarga ke permukiman di Utah sebelah utara, Box Elder County. Permukiman yang ada kecil, tak terorganisasi, dan melemah. Penatua Snow dengan segera pergi bekerja, dengan mengorganisasi orang-orang menurut asas-asas hukum persucian sebagaimana diajarkan oleh Nabi Joseph Smith. Orang-orang tersebut menegakkan sebuah kota yang berkembang dengan baik, yang Penatua Snow namai Brigham City sebagai penghormatan kepada Presiden Young. Bekerja bersama dan saling mendukung, warga membangun sistem sekolah, pabrik, sistem irigasi, organisasi dagang, dan bahkan lembaga teatrikal. Walaupun mereka tidak menjalankan hukum persucian sepenuhnya, mereka dibimbing oleh asas-asasnya, dan mereka memperlihatkan apa yang dapat dicapai suatu komunitas dengan kerja sama dan kerja keras. “Tidak ada pemalas di Brigham City,” tulis putri Presiden Snow, Leslie. “Suatu periode keaktifan dan kemakmuran terjadi yang mungkin tidak pernah ada kesetaraannya dalam sejarah permukiman lain mana pun di negara bagian tersebut.” 64
Penatua Snow dan keluarganya tinggal di Brigham City selama bertahun-tahun. Dia mengetuai para Orang Suci di sana, dari waktu ke waktu pergi melayani misi-misi singkat di tempat lain. Pada tahun 1864, dia pergi selama kira-kira tiga bulan, melayani misi singkat di Kepulauan Hawaii. Dia pergi bersama Penatua Ezra T. Benson, yang juga adalah anggota Kuorum Dua Belas, dan Penatua Joseph F. Smith, Penatua Alma Smith, dan William W. Cluff.65 Pada tahun 1872–1873, Penatua Snow dan yang lainnya menyertai Presiden George A. Smith, Penasihat Pertama dalam Presidensi Utama, dalam perjalanan sembilan bulan melalui bagian-bagian Eropa dan Timur Tengah, termasuk kunjungan ke Tanah Suci. Mereka pergi atas permintaan Presiden Brigham Young, yang berharap agar pengaruh saleh mereka akan menolong mempersiapkan bangsa-bangsa lain untuk menerima Injil yang dipulihkan.66 Pada tahun 1885, Penatua Snow dipanggil untuk mengunjungi beberapa kelompok Indian Amerika di Amerika Serikat barat laut dan negara bagian Wyoming. Dimulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Oktober, dia mendirikan misi-misi di sana dan mengorganisasi para pemimpin Gereja untuk menolong mereka yang telah dibaptis dan dikukuhkan.
Pekerjaan Bait Suci
Presiden Heber J. Grant, Presiden ketujuh Gereja, mengamati bahwa Presiden Lorenzo Snow “mengabdikan hidupnya selama bertahun-tahun untuk bekerja di Bait Suci.”67 Kasih untuk pekerjaan bait suci ini dimulai pada masa awal keinsafan Presiden Snow dan diperdalam selama pelayanannya sebagai seorang Rasul. Dia menghadiri pertemuan-pertemuan di Bait Suci Kirtland segera setelah dia dibaptis dan dikukuhkan. Belakangan dia dengan antusias menerima panggilan untuk mengumpulkan sumbangan untuk membangun bait suci di Nauvoo. Setelah Bait Suci Nauvoo dibangun, dia melayani sebagai petugas ofisiator di sana, menolong para Orang Suci Zaman Akhir menerima tata cara pemberkahan dan pemeteraian sebelum eksodus mereka ke Barat. Tanggung jawabnya di bait suci berlanjut dan berkembang ketika dia dipanggil untuk melayani sebagai Rasul. Dia berbicara pada kebaktian pendedikasian di Bait Suci Logan Utah. Setelah Presiden Wilford Woodruff mendedikasikan Bait Suci Manti Utah, Presiden Snow membacakan doa pendedikasian dalam sesi-sesi pada hari-hari berikutnya. Ketika batu puncak ditempatkan pada pucuk menara tertinggi Bait Suci Salt Lake, dia memimpin jemaat yang besar dalam Teriakan Hosana. Setelah Bait Suci Salt Lake didedikasikan, dia melayani sebagai presiden bait suci pertama di sana.
Pada hari ulang tahun ke-80 Presiden Snow, surat kabar setempat menyertakan penghormatan ini: “Pada pengujung hidupnya, [dia] masih sibuk dan bersungguh-sungguh dalam perkara yang besar yang padanya dia telah memberikan tahun-tahunnya sebelumnya, dia melanjutkan di dalam lingkungan Bait Suci yang sakral pekerjaan mulia yang padanya dia dan teman-teman sejawatnya telah mempersucikan diri mereka—pekerjaan yang memiliki nilai penting yang sedemikian besarnya bagi dunia yang disengsarakan dosa dan kematian ini.”68
Melayani Individu-Individu
Sewaktu Presiden Snow melakukan perjalanan dari tempat ke tempat, mengajar kelompok-kelompok besar orang, dia mengambil waktu untuk melayani individu dan keluarga. Sebagai contoh, pada bulan Maret 1891, ketika dia melayani sebagai Presiden Kuorum Dua Belas, dia berbicara pada sebuah konferensi di Brigham City. Di tengah khotbahnya, sebuah pesan singkat ditaruh di mimbar. Seorang saksi mata mengatakan, “dia menghentikan bicaranya, membaca pesan singkat itu dan kemudian menjelaskan kepada para Orang Suci bahwa itu adalah panggilan untuk mengunjungi beberapa orang yang sedang dalam dukacita yang dalam.” Dia minta untuk diizinkan pergi dan melangkah pergi dari mimbar.
Catatan itu adalah dari seorang penduduk Brigham City yang bernama Jacob Jensen. Diberitakan bahwa putri Jacob, Ella telah meninggal pada hari itu setelah penderitaan panjang selama berminggu-minggu karena scarlet fever [penyakit jengkering]. Brother Jensen telah menulis pesan singkat tersebut sekadar untuk memberi tahu Presiden Snow tentang kematian itu dan untuk meminta dia merencanakan pemakaman. Tetapi Presiden Snow ingin mengunjungi keluarga itu dengan segera, meskipun itu menuntutnya untuk mempersingkat ceramahnya dan meninggalkan pertemuan yang dia ketuai. Sebelum Presiden Snow meninggalkan pertemuan, dia memanggil Rudger Clawson, yang pada waktu itu adalah presiden Pasak Box Elder, untuk menyertainya.
Jacob Jensen menuturkan kembali apa yang terjadi ketika Presiden Snow dan Presiden Clawson tiba di rumahnya:
“Setelah berdiri di sisi tempat tidur Ella satu atau dua menit, Presiden Snow menanyakan apakah kami memiliki minyak yang telah dipersucikan di rumah itu. Saya amat terkejut, tetapi memberi tahu dia ya dan mengambilnya untuk dia. Dia menyerahkan botol minyak itu kepada Brother Clawson dan meminta dia untuk mengurapi Ella. [Presiden Snow] kemudian menjadi pembicara dalam mengukuhkan pengurapan itu.
Selama pemberkatan itu saya secara khusus terkesan dengan beberapa kata yang dia gunakan dan dapat mengingatnya dengan baik sekarang. Dia berkata, ‘Ella tersayang, aku memerintahkanmu, dalam nama Tuhan, Yesus Kristus, untuk kembali dan hidup, misimu belum berakhir. Kamu masih akan hidup untuk melaksanakan misi yang besar.’
Dia mengatakan Ella masih akan hidup untuk membangun sebuah keluarga besar dan menjadi penghibur bagi orang tua dan teman-temannya. Saya mengingat dengan baik perkataan ini .…
… Setelah Presiden Snow menyelesaikan pemberkatan tersebut, dia berpaling kepada istri saya dan saya serta berkata, ‘Sekarang jangan berduka atau bersedih lagi. Semua akan baik-baik saja. Brother Clawson dan saya sedang sibuk dan mesti pergi, kami tidak dapat tinggal, tetapi Anda bersabarlah dan tunggulah saja, dan jangan berduka, karena semua akan baik-baik saja’ .…
Ella tetap berada dalam kondisi ini selama lebih dari satu jam setelah Presiden Snow memberkatinya, atau lebih dari tiga jam seluruhnya setelah dia meninggal. Kami duduk di sana memerhatikan di sisi tempat tidur, ibunya dan saya sendiri, ketika secara serentak dia membuka matanya. Dia melihat-lihat sekeliling ruangan, melihat kami duduk di sana, tetapi masih mencari seseorang yang lain, dan hal pertama yang dia katakan adalah: ‘Di mana dia? Di mana dia?’ Kami bertanya, ‘Siapa? Di mana, siapa?’ ‘Oh, Brother Snow,’ dia menjawab. ‘Dia memanggil saya kembali.’”69
Ketika Ella telah berada di dunia roh, dia telah merasakan kedamaian dan kebahagiaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak ingin untuk kembali. Tetapi dia mematuhi suara Presiden Snow. Sejak hari itu juga, dia menghibur anggota keluarga dan teman-teman, menolong mereka memahami bahwa mereka tidak perlu berduka nestapa bagi orang-orang yang mereka kasihi yang telah meninggal.70 Belakangan dia menikah, memiliki delapan anak, dan melayani dengan setia dalam panggilan Gerejanya.71
Memimpin Gereja sebagai Nabi, Pelihat, dan Pewahyu Tuhan
Pada tanggal 2 September 1898, Presiden Wilford Woodruff meninggal setelah melayani sebagai Presiden Gereja selama lebih dari sembilan tahun. Presiden Lorenzo Snow, yang pada waktu itu melayani sebagai Presiden Kuorum Dua Belas Rasul, berada di Brigham City ketika dia mendengar berita itu. Dia naik kereta api ke Salt Lake City sesegera yang dapat dia lakukan, mengetahui bahwa tanggung jawab kepemimpinan Gereja sekarang berada pada Kuorum Dua Belas.
Merasa tak memadai tetapi siap untuk mengikuti kehendak Tuhan, Presiden Snow pergi ke Bait Suci Salt Lake dan berdoa. Sebagai jawaban terhadap doanya, dia dikunjungi oleh Tuhan Sendiri. Presiden Snow belakangan bersaksi bahwa dia “dengan sebenar-benarnya melihat Juruselamat … di dalam Bait Suci, dan berbicara dengan-Nya berhadapan muka.” Tuhan memberi tahu dia untuk segera mulai dengan pengorganisasian kembali Presidensi Utama, tidak menunggu seperti yang pernah dilakukan ketika para Presiden Gereja sebelumnya meninggal.72 Presiden Snow didukung oleh Kuorum Dua Belas sebagai Presiden Gereja pada tanggal 13 September 1898, yang setelah itu dia mulai melayani sebagai Presiden. Dia didukung oleh keanggotaan umum Gereja pada tanggal 9 Oktober dan ditetapkan sebagai Presiden kelima Gereja pada tanggal 10 Oktober.
Melalui teladan Presiden Snow dan melalui wahyu-wahyu yang dia terima, para Orang Suci Zaman Akhir akhirnya mengenal dia sebagai Nabi mereka. Mereka yang dari kepercayaan lain juga jadi menghormati dia sebagai orangnya Allah yang sejati.
Interaksi dengan Para Orang Suci Zaman Akhir
Presiden Snow sering kali mengetuai di konferensi-konferensi pasak ketika dia adalah Presiden Gereja. Sewaktu dia bertemu dengan para Orang Suci, dia mengutarakan kasih dan rasa hormatnya bagi mereka. Perkataan dan tindakannya memperlihatkan bahwa sementara dia mengakui kesakralan pemanggilannya, dia tidak menempatkan dirinya melebihi orang-orang yang dia layani.
Pada suatu konferensi pasak, Presiden Snow menghadiri sesi khusus bagi anak-anak pasak itu. Anak-anak diundang untuk membentuk antrean yang teratur sehingga mereka dapat mendekati nabi satu demi satu dan menjabat tangannya. Sebelum mereka melakukannya, dia berdiri dan berkata, “Ketika saya berjabatan tangan dengan kalian saya ingin kalian memandang wajah saya, agar kalian bisa selalu mengingat saya. Sekarang, saya tidaklah lebih baik daripada banyak orang lainnya, tetapi Tuhan telah menaruh tanggung jawab besar ke atas diri saya. Sejak itu Tuhan menyingkapkan diri-Nya kepada saya, dengan cara yang sempurna seperti yang Dia lakukan, saya telah berikhtiar untuk melaksanakan setiap tugas yang ada pada diri saya. Karena jabatan tinggi yang saya dudukilah maka saya ingin kalian mengingat saya, mengingat bahwa kalian telah berjabatan tangan dengan Presiden Gereja Yesus Kristus. Saya harap kalian tidak akan lupa untuk berdoa bagi saya dan bagi para penasihat saya, Presiden Cannon dan Presiden Smith, dan bagi para Rasul.”73
Putra Presiden Snow LeRoi membagikan laporan berikut dari suatu konferensi pasak di Richfield, Utah, “Presiden Lorenzo Snow dan Francis M. Lyman [dari Kuorum Dua Belas] hadir di konferensi pasak di Richfield. Setelah nyanyian pembuka presiden pasak menanyakan kepada Brother Lyman siapa yang akan dia minta untuk mengucapkan doa pembuka. Brother Lyman berkata, ‘Tanyalah Presiden Snow,’ yang artinya menanyakan kepada Presiden Snow siapa yang akan mengucapkan doa. Meskipun demikian, alih-alih, presiden pasak meminta Presiden Snow untuk mengucapkan doa. Presiden Snow dengan ramah menanggapi dan sebelum memulai doa dia mengutarakan kesenangannya diminta untuk berdoa dan mengatakan telah lama sekali dia tidak diberikan kesenangan ini. Diceritakan bahwa dia mengucapkan doa pembuka yang mengagumkan.”74
Interaksi dengan Mereka dari Kepercayaan Lain
Pengaruh Presiden Snow meluas hingga melampaui sesamanya para Orang Suci Zaman Akhir. Ketika orang-orang dari kepercayaan lain menemuinya, mereka jadi menghormatinya dan Gereja yang dia wakili. Pendeta W. D. Cornell, seorang pendeta dari gereja lain, mengunjungi Salt Lake City dan memiliki kesempatan untuk meluangkan waktu bersama Presiden Snow. Dia menulis:
“Saya dibawa ke hadapannya yang mengesankan oleh sekretarisnya yang sopan dan berpengalaman, dan mendapati diri saya berjabatan tangan dengan salah seorang pria yang paling menyenangkan dan menarik yang pernah saya temui—seorang pria yang memiliki kemampuan istimewa untuk segera menghilangkan keresahan orang di hadapannya—seorang ahli dalam seni percakapan, dengan kecerdasan pikiran yang langka, memungkinkan dia untuk menjadikan Anda merasakan sambutan yang menenangkan di hadapannya.
Presiden Snow adalah seorang yang berbudaya, dalam pikiran dan jiwa serta tubuh. Tutur katanya pilihan, diplomatis, ramah, berpendidikan. Perangainya memperlihatkan keanggunan pembelajaran di sekolah. Kualitas dasar rohnya selembut seorang anak. Anda diperkenalkan kepadanya. Anda senang dengannya. Anda bercakap-cakap dengannya, Anda menyukainya. Anda berkunjung kepadanya dalam waktu yang lama, Anda mengasihinya.” Berbicara dengan para pembacanya, yang kelihatannya memiliki gagasan penuh prasangka tentang Gereja, Pendeta Cornel berkomentar, “Namun, dia adalah ‘orang Mormon!’ Nah, jika ‘Mormonisme’ pernah berhasil menjadikan seorang yang kasar, yang biadab dari Presiden Snow, tentunya banyak yang masih harus dilakukan. Jika ‘Mormonisme’ telah menjadi kekuatan pembentuk yang telah memberikan kepada dunia seseorang yang tenang dalam roh, sedemikian disiplinnya seperti dia, dan berhasil dalam kecerdasan, tentunya pastilah ada sesuatu yang juga baik dalam ‘Mormonisme’.”75
Pendeta yang lain, Pendeta Prentis, juga menulis tentang sebuah pertemuan dengan Presiden Snow: “Wajahnya yang berbicara tentang suatu jiwa di mana Pangeran Kedamaian memerintah merupakan kesaksiannya yang terbaik. Adakalanya dalam hidup yang dilewatkan dalam penelaahan tentang manusia, saya telah menemukan saksi yang sedemikian. Seperti itulah wajah yang saya lihat hari ini .… Saya telah mengharapkan untuk menemukan intelektualitas, kebaikan hati, kewibawaan, ketenangan dan kekuatan yang tergambarkan dari wajah Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir; tetapi ketika saya diperkenalkan kepada Presiden Lorenzo Snow, selama sedetik saya terkejut .… Wajahnya adalah kekuatan kedamaian; kehadirannya adalah doa kedamaian. Dalam kedalaman yang tenang dari matanya bukan hanya ada ‘rumah doa yang hening,’ tetapi tempat tinggal kekuatan rohani. Sewaktu dia berbicara tentang ‘perkataan nubuat yang lebih pasti’ dan kepastian harapan yang adalah miliknya, dan iman yang bertahan yang telah menaklukkan pencobaan dan kesulitan hidup yang tragis, saya memerhatikan permainan emosi dan menelaah dengan perhatian terpesona bayangan ekspresi halus yang berbicara dengan begitu gamblangnya tentang cara kerja jiwanya; dan perasaan yang paling aneh datang kepada diri saya, bahwa saya ‘berdiri di atas tanah yang kudus:’ bahwa orang ini tidak bertindak dengan motivasi umum berupa kebijakan, kepentingan, atau kearifan, tetapi dia ‘bertindak dari suatu pusat yang jauh berbeda.’ … Jika Gereja Mormon dapat menghasilkan saksi yang demikian, itu tidak akan terlalu perlu pena dari penulis yang siap atau kefasihan lidah dari pengkhotbah yang hebat.”76
Wahyu tentang Persepuluhan
Presiden Lorenzo Snow barangkali paling dikenal karena wahyu yang dia terima tentang hukum persepuluhan. Pada bulan Mei 1899 dia merasakan terdorong untuk melakukan perjalanan ke St. George, Utah, bersama para pemimpin Gereja lainnya. Walaupun dia tidak tahu mengapa mereka harus pergi, dia dan para saudaranya menanggapi dorongan ini dengan cepat, dan dalam waktu kira-kira dua minggu mereka telah berada di St. George. Pada tanggal 17 Mei, setelah tiba di St. George, Presiden Snow menerima wahyu bahwa dia hendaknya mengkhotbahkan hukum persepuluhan. Hari berikutnya dia membuat maklumat berikut kepada para Orang Suci: “Firman Tuhan kepada Anda bukanlah sesuatu yang baru; itu secara sederhana adalah ini: WAKTUNYA SEKARANG TELAH TIBA BAGI SETIAP ORANG SUCI ZAMAN AKHIR, YANG MEMPERHITUNGKAN UNTUK SIAP BAGI MASA DEPAN DAN UNTUK MENAHAN KAKINYA KUAT DI ATAS LANDASAN YANG TEPAT, UNTUK MELAKUKAN KEHENDAK TUHAN DAN MEMBAYAR PERSEPULUHANNYA SECARA PENUH. Itulah firman Tuhan kepada Anda, itu akan menjadi firman Tuhan kepada setiap permukiman di seluruh tanah Sion.”77
Setelah menyampaikan pesan ini di St. George, Presiden Snow dan para rekan seperjalanannya membagikan pesan yang sama di kota-kota Utah sebelah selatan dan di komunitas-komunitas lain antara St. George dan Salt Lake City. Pada waktu mereka kembali tanggal 27 Mei, mereka telah mengadakan 24 pertemuan dimana Presiden Snow telah menyampaikan 26 khotbah dan berjabatan tangan dengan 4.417 anak. Mereka telah melakukan perjalanan 420 mil (676 kilometer) naik kereta api dan 307 mil (494 kilometer) naik kuda dan pedati.78 Presiden Snow disemangati oleh pengalaman itu dan bersemangat untuk terus mengkhotbahkan hukum persepuluhan di seluruh Gereja. “Saya begitu senang atas hasil dari kunjungan ini,” katanya, “sehingga saya mempertimbangkan melakukan perjalanan melewati seluruh pasak di Sion, dalam waktu dekat.”79 Dia mengetuai di banyak konferensi pasak, di mana dia menjanjikan kepada para Orang Suci bahwa kepatuhan pada hukum ini akan mempersiapkan para anggota Gereja untuk menerima berkat-berkat duniawi dan rohani.80 Dia juga menjanjikan bahwa kepatuhan pada hukum persepuluhan akan memungkinkan Gereja untuk terbebas dari utang.81
Di seluruh Gereja, para anggota menanggapi nasihat Presiden Snow dengan dedikasi yang diperbarui. Pada tahun 1904, sejarawan Orson F. Whitney, yang belakangan akan melayani sebagai anggota Kuorum Dua Belas, menulis: “Dampak gerakan ini seketika itu juga. Persepuluhan dan persembahan datang tercurah dengan ketepatan waktu dan Kelimpahruahan yang tak dikenal selama bertahun-tahun, dan dalam banyak hal kondisi Gereja membaik dan prospeknya menjadi cerah. Presiden Snow sebelumnya telah mendapatkan kasih dan kepercayaan umatnya, dan sekarang perasaan yang baik ini ditingkatkan dan diintensifkan.”82 Presiden Heber J. Grant, yang adalah anggota Kuorum Dua Belas ketika Presiden Snow menerima wahyu tentang persepuluhan tersebut, belakangan menyatakan, “Lorenzo Snow masuk ke dalam presidensi Gereja ketika dia berusia delapan puluh lima tahun, dan apa yang dia capai selama tiga tahun berikutnya dalam hidupnya menakjubkan sekali untuk direnungkan .… Dalam tiga tahun yang singkat orang ini, yang telah melampaui usia berkemampuan dalam penilaian dunia, orang ini yang belum pernah terlibat dalam urusan-urusan keuangan, yang telah mengabdikan hidupnya selama bertahun-tahun untuk bekerja di Bait Suci, memegang keuangan Gereja Kristus, di bawah ilham dari Allah yang hidup, dan dalam tiga tahun itu mengubah segala sesuatu, secara keuangan, dari kegelapan menuju terang.”83
Memberikan Kesaksian pada Hari-Hari Terakhir Pelayanannya
Pada tanggal 1 Januari 1901, Presiden Snow menghadiri pertemuan khusus di Tabernakel Salt Lake untuk menyambut abad ke-20. Orang-orang dari segala agama diundang untuk hadir. Presiden Snow telah mempersiapkan pesan untuk peristiwa itu, tetapi dia tidak dapat membacanya sendiri karena dia menderita flu yang parah. Setelah nyanyian pujian pembuka, doa pembuka, dan lagu yang dinyanyikan oleh Paduan Suara Tabernakel, putra Presiden Snow, LeRoi berdiri dan membacakan pesan tersebut, yang berjudul “Salam untuk Dunia oleh Presiden Lorenzo Snow.”84 Kata-kata penutup dari pesan ini menungkapkan perasaan Presiden Snow tentang pekerjaan Tuhan:
“Dalam usia saya yang ke delapan puluh tujuh tahun di bumi, saya merasa penuh dengan hasrat yang sungguh-sungguh demi manfaat kemanusiaan .… Saya mengangkat tangan saya dan memintakan berkat surga ke atas para penghuni bumi. Semoga sinar matahari dari atas tersenyum ke atas diri Anda. Semoga harta di tanah dan buah-buahan dari tanah dihasilkan dengan bebas demi kebaikan Anda. Semoga terang kebenaran menghalau kegelapan dari jiwa Anda. Semoga kesalehan meningkat dan kedurhakaan berkurang .… Semoga keadilan menang dan kebusukan dipadamkan. Dan semoga kebajikan dan kesucian serta kehormatan berjaya, sampai yang jahat akan dikalahkan dan bumi akan dibersihkan dari kejahatan. Biarlah perasaan ini, sebagai suara dari ‘orang-orang Mormon’ di pegunungan Utah, pergi ke seluruh dunia, dan biarlah semua orang tahu bahwa keinginan kita dan misi kita adalah untuk berkat serta keselamatan seluruh ras umat manusia .… Semoga Allah dimuliakan dalam kemenangan yang akan datang atas dosa dan dukacita dan kegetiran serta kematian. Semoga kedamaian berada di atas diri Anda semua!”85
Pada tanggal 6 Oktober 1901, Presiden Lorenzo Snow berdiri untuk berbicara kepada sesamanya para Orang Suci dalam sesi penutup konferensi umum. Dia telah amat sakit selama beberapa hari, dan ketika dia sampai di mimbar, dia berkata, “Brother dan sister terkasih, agak menakjubkan bagi saya bahwa saya berani mencoba untuk berbicara kepada Anda siang ini.” Dia membagikan pesan singkatnya tentang kepemimpinan dalam Gereja. Kemudian dia mengucapkan kata-kata terakhir yang keanggotaan umum Gereja akan dengar darinya, “Semoga Allah memberkati Anda. Amin.”86
Empat hari kemudian, Presiden Snow meninggal karena radang paru-paru. Setelah suatu upacara pemakaman di Tabernakel Salt Lake, tubuhnya dikuburkan di sebuah permakaman di Brigham City-nya yang terkasih.