Dua Kali Diberkati
Hidup saya berubah selamanya ketika suami saya dan saya pergi ke dokter untuk mengecek jenis kelamin dan pertumbuhan bayi kami yang belum lahir. Saya berseru penuh sukacita ketika kami mengetahui bahwa saya mengandung anak kembar. Namun air mata saya berubah menjadi air mata kesedihan ketika dokter menjelaskan bahwa serangkaian komplikasi yang terjadi sepertinya bahwa bayi kembar kami tidak akan bertahan hidup sampai dilahirkan. Dokter menyarankan menghentikan kehamilan ini. Dia mengatakan melahirkan akan sangat berbahaya dan saya harus dirawat di rumah sakit karenanya.
Meskipun bahaya itu mengancam, kami memutuskan untuk melanjutkan kehamilan tersebut.
Dalam perjalanan pulang saya menyadari gentingnya situasi ini. Saya bingung bagaimana saya dapat meninggalkan suami dan ketiga anak saya dan dirawat inap di rumah sakit selama kurun waktu tertentu. Mengetahui bahwa bayi kami cenderung akan lahir sebelum waktunya [prematur]—dan mungkin tidak hidup—membuat saya gundah. Saya tidak yakin saya dapat menanggung pencobaan ini.
Hanya setelah saya menerima sebuah berkat keimamatan dari ayah saya dan ayah mertua saya, saya merasa tenang. Saya sadar bahwa terlepas dari apa pun hasilnya, keluarga saya dan saya akan baik-baik saja. Saya merasakan kasih Juruselamat saya dan tahu bahwa Dia akan menyertai kami dalam suka dan duka.
Beberapa saat kemudian, saya berpamitan kepada keluarga saya dan masuk ke rumah sakit untuk rawat inap untuk waktu yang tak terbatas. Detak jantung bayi dimonitor terus-menerus untuk memastikan bayi-bayi tersebut selamat. Sulit bagi saya untuk melihat detak jantung mereka menurun, dan saya bertanya-tanya apakah mereka akan bertahan sampai gol kelahiran 34 minggu. Pada 25½ minggu, salah satu jantung bayi itu turun sampai pada tingkat yang kritis, nyaris berhenti. Para dokter memutuskan bahwa jika jantungnya tidak mau berdenyut secara normal, kedua bayi itu akan dilahirkan melalui operasi cesar dalam beberapa menit. Saya panik ketika mendengar perawat memanggil suami saya dan memberitahunya bahwa saya sedang dipersiapkan untuk operasi itu dan bahwa tim pemberi napas pada bayi yang baru lahir sudah siap di situ.
Saya tahu bahwa untuk melewati pencobaan ini, saya membutuhkan bantuan Bapa Surgawi. Saya berdoa di dalam hati, memohon agar bayi kami akan pulih, sehingga mengizinkan bayi kembar ini memiliki lebih banyak waktu untuk tumbuh dalam rahim. Saya juga memohon penghiburan. Sekali lagi saya merasa tenang, sama seperti yang saya rasakan ketika saya menerima berkat keimamatan. Saya tidak tahu apakah bayi kami akan hidup atau meninggal, namun saya tahu jika saya berpaling kepada Tuhan, Dia akan membantu menanggung beban saya. Hasilnya, detak jantung bayi kembali normal, dan operasi tidak diperlukan lagi.
Saya dirawat inap di rumah sakit selama dua bulan berikutnya, dan ada banyak waktu kami khawatir mengenai perkembangan detak jantung bayi kami. Namun untungnya, tidak satu pun dari jantung bayi kembar kami turun serendah sebelumnya. Putra kami, John dan Jacob, dilahirkan pada usia kandungan 33 minggu. Tali pusar mereka terjalin dengan delapan ikatan, dan John—yang detak jantungnya turun sangat rendah—tali pusarnya melilit dua kali di sekitar lehernya. Putra kembar kami di rawat inap di rumah sakit secara intensif agar suhu tubuh mereka dan pernapasan mereka dapat diatur. Meskipun menghadapi masalah potensial terkait dengan kelahiran dini mereka, John dan Jacob dapat dibawa pulang setelah 19 hari.
Bayi kembar kami sekarang sudah balita, dan mereka tidak lagi memiliki dampak negatif dari dilahirkan secara dini. Saya bersyukur bahwa apa yang dimulai sebagai sebuah pencobaan menjadi suatu berkat terbesar dalam kehidupan saya. Saya diberi dua putra yang sehat, dan kesaksian saya tentang kuasa pemberkatan imamat dan doa diperkuat. Saya juga bersyukur dapat mengingat kedamaian dan kasih yang saya rasakan dalam mengetahui bahwa Tuhan peduli terhadap keadaan saya. Saya belajar sejak itu, dengan bantuan Tuhan, kita akan memiliki kekuatan untuk menanggung pencobaan-pencobaan kita.