Pertunjukan Bakat
“Tetapi kasih yang murni adalah kasih suci Kristus dan kasih itu bertahan untuk selamanya; dan barangsiapa kedapatan memiliki kasih itu pada hari terakhir, ia akan selamat” (Moroni 7:47).
Marie menatap keluar jendela mobil sewaktu dia dan kelas Pratamanya berkendara menuju panti jompo. Dia berharap tidak satu pun dari anak-anak perempuan itu melihat air mata yang memenuhi matanya.
Ketika Sister Gibson menyarankan pertunjukan bakat untuk kegiatan hari itu, itu tampak seperti gagasan yang baik. Setiap anak perempuan telah berusaha merencanakan bakat yang akan dia bagikan. Marie telah mencoba, namun dia tidak dapat menemukan apa pun untuk dilakukan.
Beberapa anak perempuan bermain piano. Seorang anak perempuan bermain biola, dan yang lain menyanyi. Yang lain membaca puisi yang telah ditulisnya, dan teman akrab Marie, Shelley, akan melakukan koprol belakang. Andrea tidak tampil, namun dia telah membuat biskuit untuk dinikmati semua orang setelah pertunjukan.
Semakin Marie memikirkan tentang pertunjukan bakat itu, semakin dia yakin bahwa dia tidak memiliki bakat apa-apa. Dia bahkan tidak yakin mengapa dia telah datang. Sister Gibson telah berusaha membuatnya merasa tenang, dengan mengatakan kepadanya bahwa dia belum menemukan bakat khususnya yang Bapa Surgawi telah berikan kepadanya. Namun sulit bagi Marie untuk memercayainya. Dia mengira tidak akan pernah dapat melakukan hal baik apa pun.
Ruang pertemuan di panti jompo itu tenang. Ada orang-orang lanjut usia di mana-mana, dan itu membuat Marie bahkan semakin gelisah. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada mereka atau bagaimana bertindak. Anak-anak perempuan lainnya seolah-olah juga merasakan hal yang sama. Mereka berkelompok-kelompok, dengan malu-malu melihat ke sekeliling sampai Sister Gibson menunjukkan kepada mereka di mana harus duduk.
Marie masih merasa tidak nyaman sewaktu program itu dimulai. Kemudian, setelah piano solo pertama, dia mendengar seseorang batuk di belakangnya. Marie menoleh ke belakang dan melihat seorang wanita beruban yang tubuhnya terguncang setiap kali batuk.
Marie berhenti berpikir mengenai dirinya sendiri dan mulai cemas dengan wanita itu. Dia dengan perlahan merogoh dari sakunya dan mengeluarkan permen serta pergi ke arah wanita itu. Dia meletakkan tangannya di bahu wanita itu dan memberikan hadiah kecil itu. Ketika tangan keriput itu meraih permen tersebut dan wanita itu tersenyum kepadanya, Marie merasakan kebahagiaan dan kedamaian.
Marie berada dekat wanita itu selama sisa program itu. Dia memegang tangan wanita itu dan kadang-kadang memberitahunya mengenai apa yang terjadi. Rasanya nyaman dapat melakukan sesuatu bagi orang lain, dan itu menjauhkannya dari merasa bersalah dengan diri sendiri.
Ketika saatnya untuk pergi, wanita itu memeluk Marie dan berbisik, “Terima kasih sudah bercakap-cakap dengan saya. Kamu memiliki sebuah bakat yang nyata untuk membuat orang lain merasa dikasihi.”
Dalam perjalanan kembali ke gereja, Marie bersyukur mengetahui bahwa dia memang memiliki bakat. Ketika dia melayani orang lain, dia merasakan kasih Bapa Surgawi, dan dia menolong orang lain juga merasakan kasih-Nya. Itu sungguh-sungguh sebuah bakat yang luar biasa untuk dimiliki.