“Api Pemurnian dari Penderitaan,” Liahona, Maret/April 2022.
Api Pemurnian dari Penderitaan
Saya berdoa agar kita masing-masing akan menjadi dekat kepada Bapa Surgawi dan Juruselamat kita melalui kemalangan pribadi kita.
Kemalangan dalam kehidupan seharusnya tidak mengagetkan kita. Entah itu timbul akibat dosa dan kesalahan kita sendiri atau sesuatu yang lain, kemalangan adalah fakta kehidupan fana. Beberapa orang berpikir mereka seharusnya dikecualikan dari kemalangan apa pun jika mereka menaati perintah-perintah Allah, akan tetapi adalah “dalam dapur kesengsaraan” (Yesaya 48:10; 1 Nefi 20:10) kita dipilih. Bahkan Juruselamat pun tidak terkecuali:
“Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya;
Dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya” (Ibrani 5:8–9).
Bagi kita semua yang dapat bertanggung jawab, kesulitan sering kali merupakan elemen penting untuk “mencapai kesempurnaan” kita pada akhirnya. Itulah yang menjadikan kehidupan lebih dari sekadar ujian pilihan ganda sederhana. Allah tidak hanya berminat pada apa yang kita lakukan atau tidak lakukan tetapi pada apa kita akan menjadi. 1 Jika kita bersedia, Dia akan mengajari kita untuk bertindak sebagaimana Dia bertindak daripada hanya sekadar ditindaki oleh dorongan lain (lihat 2 Nefi 2:14–16). Kita harus belajar untuk menjadi saleh dalam semua keadaan atau, sebagaimana yang Presiden Brigham Young (1801–1877) katakan, bahkan “dalam kegelapan.” 2
Saya percaya bahwa tantangan untuk mengatasi dan tumbuh dari kemalangan menarik bagi kita ketika Allah menyajikan rencana penebusan-Nya dalam dunia prafana. Kita hendaknya melakukan pendekatan terhadap tantangan tersebut sekarang dengan mengetahui bahwa Bapa Surgawi kita akan mendukung kita. Tetapi adalah sangat penting agar kita berpaling kepada-Nya. Tanpa Allah, pengalaman-pengalaman kelam dari penderitaan dan kemalangan cenderung mengarah pada patahnya semangat, keputusasaan, dan bahkan kegetiran.
Dengan bantuan ilahi, penghiburan menggantikan kepedihan, kedamaian menggantikan kekalutan, dan pengharapan menggantikan dukacita. Allah akan mengubah cobaan menjadi berkat dan, dalam perkataan Yesaya, “untuk mengaruniakan … perhiasan kepala ganti abu.”(Yesaya 61:3). Janji-Nya adalah bukan untuk mengecualikan kita dari konflik tetapi untuk memelihara dan menghibur kita dalam penderitaan kita dan mempersucikannya demi keuntungan kita (lihat 2 Nefi 2:2; 4:19–26; Yakub 3:1).
Sementara Bapa Surgawi tidak akan memaksakan bantuan dan berkat-berkat-Nya terhadap kita, Dia akan bertindak melalui belas kasih dan kasih karunia dari Putra Terkasih-Nya serta kuasa Roh Kudus untuk mendukung kita sewaktu kita mencari Dia. Kita menemukan banyak contoh dari dukungan tersebut di sekitar kita serta dalam catatan tulisan suci.
Contoh Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama kita melihat Abraham yang patuh dengan sabar menunggu selama bertahun-tahun untuk janji-janji Allah kepadanya—tanah warisan dan keturunan yang saleh—untuk digenapi. Melalui wabah kelaparan, ancaman terhadap kehidupannya, kesedihan, dan ujian, Abraham percaya kepada dan melayani Allah terus-menerus dan pada waktunya didukung oleh-Nya. Kita sekarang menghormati Abraham sebagai “bapa dari yang setia.” 3
Cucu Abraham, Yakub, melarikan diri dari rumah, sendirian dan tampaknya hanya dengan sedikit pakaian, untuk menghindar dari ancaman pembunuhan dari saudaranya, Esau. Selama 20 tahun berikutnya, Yakub melayani pamannya, Laban. Meskipun Laban memberi Yakub perlindungan yang aman dan akhirnya dua orang putrinya dalam pernikahan, dia dengan sengaja memperdaya Yakub, mengubah upahnya serta kesepakatan mereka berkali-kali ketika Yakub tampak mengalami kemajuan (lihat Kejadian 31:41).
Sewaktu mereka akhirnya berpisah, Yakub memprotes ayah mertuanya, “Seandainya Allah ayahku … tidak menyertai aku, tentulah engkau sekarang membiarkan aku pergi dengan tangan hampa” (Kejadian 31:42). Akan tetapi, karena Allah menyertainya, Yakub pulang ke rumah berubah dari seorang pengungsi yang miskin menjadi seorang suami dan ayah dari sebuah keluarga besar. Dia mempunyai cukup banyak pelayan dan diberkati secara melimpah dengan harta kekayaan zaman itu—kawanan ternak, lembu sapi, dan unta (lihat Kejadian 32).
Yusuf putra Yakub adalah teladan klasik dari seseorang yang secara konsisten berjaya dalam kemalangan dengan memercayai Allah ketika orang lain mungkin telah merasa ditinggalkan oleh-Nya. Pertama, dia dijual menjadi budak oleh saudara-saudaranya sendiri. Kemudian, ketika dia naik jabatan dan harkat di rumah tuannya orang Mesir, Potifar, Yusuf dituduh secara keliru oleh istri Potifar dan dipenjarakan meski secara harfiah dia telah melarikan diri dari dosa. Meskipun demikian, Yusuf terus memercayai Allah. Bahkan di dalam penjara dia menjadi makmur dan kemudian dilupakan oleh mereka yang telah dia tolong terlepas dari janji-janji mereka. (Lihat Kejadian 37; 39–41). Pada akhirnya, sebagaimana kita ketahui, Yusuf dipahalai dengan jabatan tinggi serta sarana untuk menyelamatkan keluarga ayahnya (serta seluruh Mesir) dalam suatu masa kelaparan.
Bertahan dengan Sabar
Ini dan contoh-contoh lainnya memperlihatkan kepada kita bahwa kemalangan biasanya teratasi seiring waktu. Ada kebutuhan untuk menanggung dan bertahan. Namun, Bapa Surgawi kita mengawasi dan membantu kita di sepanjang jalan penanggungan tersebut—Dia tidak menunggu hingga akhir.
Penatua Neal A. Maxwell (1926–2004) dari Kuorum Dua Belas Rasul pernah mengamati: “Dengan sendirinya, tentu saja, perjalanan waktu tidak mendatangkan kemajuan otomatis. Melainkan, seperti anak yang hilang, kita sering membutuhkan ‘proses waktu’ untuk sampai pada indra rohani kita. (Lukas 15:17). Pertemuan kembali yang menyentuh hati antara Yakub dan Esau di padang gurun, bertahun-tahun setelah persaingan antarsaudara kandung mereka, adalah sebuah contoh klasik. Kemurahan hati dapat menggantikan permusuhan. Perenungan dapat mendatangkan sudut pandang. Namun perenungan dan introspeksi membutuhkan waktu. Begitu banyak buah rohani membutuhkan kebenaran-kebenaran yang menyelamatkan untuk dipadukan dengan waktu, membentuk ramuan pengalaman, yang menjadi obat mujarab bagi begitu banyak hal.” 4
Presiden M. Russell Ballard, Penjabat Presiden Kuorum Dua Belas Rasul, menyatakan:
“Menanti-nantikan Tuhan tidak berarti menunggu waktu seseorang. Anda hendaknya tidak pernah merasa seperti berada di ruang tunggu.
Menanti-nantikan Tuhan menyiratkan tindakan. Saya telah belajar selama bertahun-tahun bahwa harapan kita kepada Kristus meningkat ketika kita melayani orang lain .…
Pertumbuhan pribadi yang dapat dicapai seseorang sekarang selagi menantikan-nantikan Tuhan dan janji-janji-Nya adalah elemen yang tak ternilai dan sakral dari rencana-Nya bagi kita masing-masing.” 5
Bertahan dengan sabar adalah sebuah bentuk sikap berpaling kepada dan memercayai Allah. Dalam ayat-ayat yang secara langsung mengawali nasihatnya untuk bertanya kepada Allah jika kita kekurangan hikmat, Yakobus mengatakan ini tentang kesabaran:
“Anggaplah semuanya sukacita ketika kamu jatuh ke dalam banyak kesengsaraan;
sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan.
Dan biarlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh, [tak kekurangan] suatu apa pun” (Terjemahan Joseph Smith, Yakobus 1:2, Apendiks Terjemahan Joseph Smith; Yakobus 1:3–4).
Dimurnikan oleh Penderitaan
Ketika kita memperoleh bantuan Bapa Surgawi kita, kemalangan dan penderitaan kita akan memurnikan alih-alih mengalahkan kita (lihat Ajaran dan Perjanjian 121:7–8). Kita akan muncul sebagai makhluk yang lebih bahagia dan lebih kudus. Dalam sebuah wahyu kepada [saat itu] Presiden Kuorum Dua Belas Rasul, Thomas B. Marsh, Tuhan memfirmankan ini mengenai para Rasul-Nya: “Dan setelah cobaan mereka, dan banyak kesukaran, lihatlah, Aku, Tuhan, akan menyelami mereka, dan jika mereka tidak mengeraskan hati mereka, dan tidak mendegil menentang-Ku, mereka akan diinsafkan, dan Aku akan menyembuhkan mereka (Ajaran dan Perjanjian 112:13).
Kita dapat berkata bahwa dalam kemalangan kita jadi mengenal “satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah [Dia] utus“ (Yohanes 17:3). Dalam kemalangan, kita berjalan bersama Mereka dari hari ke hari. Menjadi direndahkan hati, kita belajar untuk memandang kepada Mereka “dalam setiap pemikiran” (Ajaran dan Perjanjian 6:36). Mereka akan memberikan pelayanan kepada kita dalam proses kelahiran kembali secara rohani. Saya percaya tidak ada jalan lain.
Saya berdoa agar kita masing-masing akan menjadi dekat kepada Bapa Surgawi dan Juruselamat kita melalui kemalangan pribadi kita. Pada saat yang sama, semoga kita belajar untuk memberikan pelayanan kepada orang lain dalam kemalangan mereka sesuai dengan pola Allah. Adalah melalui “menderita rasa sakit dan kesengsaraan dan cobaan dari setiap jenis” Juruselamat menjadi “mengetahui secara daging bagaimana menyokong umat-Nya menurut kelemahan mereka”.(Alma 7:11–12). Dan bagi kita, “ketika, untuk saat ini, kita sendiri tidak sedang diregangkan di atas salib tertentu, kita seharusnya berada di kaki orang lain—penuh dengan empati dan menawarkan penyegaran rohani.” 6