Pulang ke Rumah
Sudah empat tahun sejak pembaptisan saya, dan saya menjadi tidak aktif hampir selama waktu itu. Saya minum minuman keras, merokok, dan sangat putus asa. Suami saya, Ian, sedang berlayar, meninggalkan saya di rumah sendirian dengan dua anak yang masih kecil-kecil. Sekarang kapal selamnya mengalami kerusakan berat dan sedang diperbaiki di negeri seberang. Setiap malam selama enam minggu telepon akan berdering, dan Ian akan mengatakan, “Kami dapat berlayar kembali besok.” Namun besok tak kunjung datang, dan pelayaran yang dijanjikan selalu tertunda.
Satu-satunya harapan saya adalah para pengajar ke rumah, pengajar berkunjung saya yang hebat, yang secara rutin mengunjungi saya dan membagikan kasih serta penemanan mereka. Saya harus mengakui saya tidak selalu sopan dan kadang-kadang bersikap sangat kasar. Walaupun demikian, saya tahu saya dapat mengangkat telepon kapan saja dan mereka bersedia membantu. Para pengajar ke rumah saya konsisten dalam kepercayaan mereka bahwa seandainya saya kembali ke gereja, Ian akan dibaptis—namun saya pertama-tama saya harus menjadi contoh. Namun saya tidak pernah merasa berkeinginan untuk menguji iman pengajar ke rumah saya. Kerohanian saya terlalu rendah.
Suatu malam setelah berbicara dengan Ian dan mengetahui bahwa kapal selamnya tidak lagi bisa berlayar untuk pulang ke rumah, saya sedih dan menangis, merasa benar-benar putus asa. Lalu saya mulai berdoa, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sejak lama.
Saat saya akan tidur malam itu, saya menyadari sesuatu yang tidak saya perhatikan sebelumnya—bau yang sangat menyengat, meskipun bukan bau yang tidak menyenangkan. Itu membuat saya memikirkan sesuatu yang sudah lama saya lupakan. Saya harus berpikir sejenak sebelum saya mengenali bahwa itu mengingatkan saya akan gedung Gereja tempat saya dibaptiskan. Ketika saya menyadari hal ini, saya merasakan suatu kehangatan, penghiburan menyelimuti diri saya dan timbul keinginan untuk kembali ke Gereja.
Saya menelepon Tony, salah satu pengajar ke rumah saya. Segera dia dan istrinya, Rosie, tiba di rumah, dan kami bercakap-cakap karena kami belum pernah melakukannya. Semua masalah sirna. Saya kembali ke Gereja.
Saya hampir tidak dapat menunggu telepon Ian berikutnya. Kali ini dia ditemui dengan kegembiraan dariapda kesedihan. Diluar dugaan, reaksinya terhadap cerita saya adalah menyarankan agar ketika dia pulang ke rumah kami hendaknya pergi ke Gereja bersama keluarga.
Hari Minggu berikutnya Tony dan Rosie menjemput anak-anak dan saya serta membawa kami ke Gereja. Saya terkejut melihat seorang misionaris yang diutus kembali ke daerah itu selama beberapa saat. Dia pernah ke rumah kami sebelumnya bersama yang lainnya, namun gagal membuat Ian atau saya terkesan untuk pergi ke Gereja. Sekarang dia menyapa saya dengan hangat dan memberitahu bahwa dia datang kembali ke daerah kami untuk membaptis Ian. Saya merasa ragu dan tertawa, namun selama minggu-minggu berikutnya Ian akhirnya pulang ke rumah. Sebagaimana yang telah dia janjikan, dia datang ke Gereja hari Minggu berikutnya. Elder Paskett menghampirinya pada kunjungan pertama itu dan membuat janji untuk datang bersama rekannya, Elder Brown, dan mengajar Ian pembahasan. Dalam waktu dua minggu Ian telah menerima ajakan untuk dibaptis. Semua proses itu memakan waktu kurang dari satu bulan, dan tidak lama kemudian para misionaris itu pindah dari cabang kami ke daerah lain.
Selama minggu-minggu itu pencurahan kasih melalui Roh Kudus dan dari para anggota di cabang kami sangatlah melimpah. Kemudian kami membuat tekad bahwa jika kami mau menjalankan Injil, kami akan mematuhi seutuhnya. Tidak lama setelah pembaptisannya, Ia dipanggil sebagai presiden Remaja Putra, dan saya dipanggil untuk melayani di Pratama. Kehidupan Gereja kami menjadi penuh dan menyenangkan. Selama tahun-tahun itu keluarga kami diberkati dengan bertambahnya anak dari dua menjadi lima anak yang lucu. Kami dimeteraikan di Bait Suci London Inggris tahun 1982, dengan dihadiri Tony dan Rosie.
Injil telah menyentuh setiap bagian dalam kehidupan kami sejak saat itu. Kami telah mengalami pasang- surutnya kehidupan namun tidak pernah menyesalkan keputusan kami untuk melayani Tuhan. Kami sungguh-sungguh telah menemukan sebuah rumah di dalam Gereja-Nya.
Judith A. Deeney adalah anggota di Cabang Lerwick, Misi Edinburgh Skotlandia.