Sampai Kita Bertemu Lagi
Tak Ternoda dari Dunia
Saya bertanya-tanya mengapa saya berada di bait suci untuk membersihkan ketika tidak ada yang kotor. Namun saya segera menyadari bahwa pembersihan bukanlah maksud sebenarnya.
Beberapa tahun lalu, saya tiba di Bait Suci Bountiful untuk memenuhi tugas membersihkan tengah malam. Mereka yang mendapat tugas itu luar biasa, dan saya bingung selama sesaat apakah ada yang akan disuruh pulang. Saya lebih dari siap untuk menjadi sukarelawan yang harus pulang awal. Lalu dengan sinisnya saya berpikir sendiri, “Tentu saja mereka tidak akan membiarkan kami pergi lebih awal.” Mereka akan menemukan pekerjaan yang membosankan untuk kami semua, berpikir adalah tugas mereka untuk menahan kami di sini selama dua jam. Saya ingat tugas sebelumnya dimana waktu itu saya harus membersihkan debu selama lebih dari satu jam, hanya untuk mengembalikan kain lap yang terlihat sebersih semula ketika kain itu diberikan kepada saya. Saya mempersiapkan diri saya untuk meluangkan waktu dua jam membersihkan segala sesuatu yang tampaknya tidak memerlukan pembersihan. Jelaslah, saya telah datang ke bait suci malam itu lebih karena kewajiban daripada hasrat untuk melayani.
Kelompok kami dibimbing ke sebuah kapel kecil untuk kebaktian. Penjaga yang memimpin kebaktian mengatakan sesuatu yang akan selamanya mengubah cara pandang saya akan tugas membersihkan bait suci. Setelah menyambut kami, dia mulai menjelaskan bahwa kami ada di sana bukan untuk membersihkan hal-hal yang tidak perlu dibersihkan namun untuk memelihara rumah Tuhan dari kemungkinan menjadi kotor. Sebagai penjaga dari salah satu tempat paling sakral di bumi, kita memiliki kewajiban untuk menjaganya tak ternoda.
Pesannya menembus hati saya, dan saya mulai membersihkan area penugasan saya dengan antusiasme baru untuk melindungi rumah Tuhan. Saya menghabiskan waktu dengan kuas lembut, membersihkan lekukan-lekukan kecil di kusen pintu, panel kayu di dinding, dan kaki-kaki meja serta kursi. Seandainya saya telah diberi tugas ini pada kunjungan sebelumnya, saya mungkin mengira itu konyol dan dengan sembarangan menyikat area-area itu dalam upaya agar terlihat sibuk. Namun kali ini, saya memastikan bulu-bulu lembut kuasnya menjangkau ke dalam celah-celah terkecil.
Karena pekerjaan ini tidaklah berat secara fisik maupun mental, saya diberkati dengan waktu untuk merenung sementara saya bekerja. Saya awalnya menyadari bahwa saya tidak pernah memerhatikan detail-detail kecil semacam itu di rumah saya sendiri namun membersihkan area-area yang akan orang lain lihat pertama kali, dengan mengabaikan hal-hal yang diketahui hanya oleh anggota keluarga saya dan saya.
Saya kemudian menyadari bahwa ada saat-saat ketika saya telah menjalankan Injil dengan cara yang serupa—menjalankan asas-asas itu dan memenuhi tugas itu yang paling jelas bagi mereka yang berada di sekitar saya sementara mengabaikan hal-hal yang tampaknya diketahui hanya oleh keluarga dekat saya atau saya. Saya menghadiri gereja, memiliki pemanggilan, memenuhi tugas, melakukan pengajaran berkunjung—semuanya dapat dilihat oleh para anggota lingkungan kami—namun mengabaikan pergi ke bait suci secara teratur, mengadakan penelaahan tulisan suci dan doa pribadi serta keluarga, dan mengadakan malam keluarga. Saya mengajarkan pelajaran dan berceramah di gereja namun terkadang kurang memiliki kasih amal sejati dalam hati saya ketika berinteraksi dengan orang lain.
Malam itu di bait suci, saya memeriksa sikat di tangan saya dan bertanya kepada diri saya sendiri, “Apakah celah-celah kecil dalam kehidupan saya yang memerlukan lebih banyak perhatian?” Saya memutuskan bahwa alih-alih merencanakan untuk secara berulang-kali membersihkan area-area dalam kehidupan saya yang memerlukan perhatian, saya akan berusaha lebih keras untuk tidak pernah membiarkannya menjadi kotor.
Saya ingat pelajaran membersihkan bait suci saya setiap kali kami diingatkan untuk menjaga diri kita “tak ternoda dari dunia” (Yakobus 1:27).