Pendakian Gunung Tambora
Sejak mengetahui bahwa salah satu kekayaan alam Indonesia, Gunung Tambora, melalui letusan dahsyatnya di tahun 1815, memiliki peran penting dalam skenario pemulihan dan hadirnya Kitab Mormon, keluarga Tandiman sudah lama memiliki mimpi untuk “berkenalan” dengan gunung tersebut, sebagai ungkapan rasa syukur bahwa Indonesia diperkenankan punya andil berperan di zaman akhir ini.
Hingar-bingar perayaan 50 tahun keberadaan Gereja di Indonesia mendorong kami segera merealisasikan mimpi itu. Karena waktu kumpul keluarga yang terbatas dan terbatasnya pula pengalaman keluarga sebagai pendaki, diputuskan untuk menggunakan jasa biro tur. Rencana pendakian kami, 3 hari, ditolak beberapa biro tur, karena terlalu singkat dan faktor cuaca yang sudah memasuki musim hujan. Beriman penuh bahwa jika Allah Bapa menghendaki, trip itu pasti akan terjadi, kami bersikukuh—hingga ada yang bersedia membantu meski dengan kemungkinan dibatalkan pada hari H, jika cuaca tidak mendukung.
Kami tiba di bandara Sumbawa Besar 19 Desember pagi. Pemandu kami, Joni dan Yudistira, sudah menanti. Perjalanan ke Ndorocanga pun dimulai—5 jam berkendara mobil melalui jalan berliku, nyaris mengelilingi separuh Pulau Sumbawa yang bersih, cantik, serta dikelilingi bebukitan dan laut.
Rombongan tiba di Ndorocanga, titik awal pendakian, sekitar pukul 3 sore, untuk registrasi dan ganti ke kendaraan jeep untuk perjalanan off-road. Saat itu terpantau jelas bahwa hujan sedang turun di puncak Tambora.
Rombongan akhirnya berangkat sekitar pukul 4 sore, ketika hujan di puncak tampak mereda. Perjalanan off-road menaiki lereng Tambora itu sangat seru—medannya cukup berat, tetapi diselingi pemandangan alam savana yang sangat indah.
Tiba di Pos 3 [1800 mdpl], menjelang gelap, cuaca sangat baik. Malam itu langit bersih dan bintang-bintang bertaburan dengan indahnya. Tenda pun disiapkan.
Sebelum tidur, kami makan malam bersama teman-teman baru, para pemandu dan sopir jeep kami. Saat itu Joni dan Yudistira bercerita bagaimana erupsi Tambora menyebabkan perubahan iklim dunia, hingga menyebabkan Napoleon memenangkan peperangan, juga kesulitan pangan bagi kuda menyebabkan ditemukannya sepeda, dst. Setelah itu, giliran kami untuk berbagi dengan mereka, bagaimana erupsi tersebut membantu munculnya Kitab Mormon! Luar biasa rasanya bisa berbagi kebenaran tersebut langsung di Gunung Tambora itu sendiri.
Pendakian ke puncak dimulai sebelum pukul 4 pagi, cukup intens, dan butuh waktu sekitar 3 jam untuk mencapai tepian kaldera yang luar biasa luas dan menakjubkan itu.
Kekaguman akan keindahan alam dan perasaan lega karena mencapai puncak, berbaur menjadi satu. Tetapi momen terindah adalah ketika kami duduk di tepi kaldera [2423 mdpl] sambil mendengarkan rekaman lagu Truth For Evermore, dan menyadari betapa diberkatinya kita karena kebenaran telah hadir di bumi Indonesia tercinta dan telah hadir pula dalam kehidupan kita!
Perjalanan turun dari puncak juga menarik, karena terlihat jelas derasnya hujan di kaki gunung, sementara kami menikmati cuaca yang baik sampai tiba kembali di Pos 3. Dan dalam perjalanan jeep kembali ke titik awal pendakian pun, kami pantau hujan kini kembali turun di puncak Tambora! Kami sadar sepenuhnya bahwa sepanjang berada di Gunung Tambora, kami selalu berkejar-kejaran dengan hujan—kebetulankah itu?
Malam itu kami beristirahat di sebuah hotel transit dekat bandara Sumbawa Besar, dan esoknya terbang kembali ke Jakarta, setelah menyerahkan dua jilid Kitab Mormon kepada kedua pemandu kami yang luar biasa.
Sekarang pertanyaannya, siapa pendaki Gunung Tambora berikutnya?