Kehidupan dan Pelayanan Wilford Woodruff
Allah sungguh p’nuh misteri dengan mukjizat-Nya; laut tumpuan kaki-Nya, badai ditunggang-Nya.”1 Demikianlah awal dari nyanyian rohani kesukaan Presiden Wilford Woodruff, ”Allah Sungguh P’nuh Misteri.”
“Dia menyukai [nyanyian rohani itu],” tutur Presiden Heber J. Grant, yang melayani sebagai Rasul ketika Wilford Woodruff menjadi Presiden Gereja. “Kami menyanyikannya, saya yakin, kadang-kadang dua kali sebulan dalam pertemuan mingguan kami di Bait Suci, dan jarang sekali satu bulan itu berlalu tanpa Brother Woodruff meminta lagu itu untuk dinyanyikan. Dia percaya pada pekerjaan ini dengan segenap hati dan jiwanya, serta bekerja dengan segenap kekuatan yang Allah berikan kepadanya untuk kemajuannya.”2
Matthias F. Cowley, yang juga melayani bersama Presiden Woodruff, mengamati, “Mungkin tidak ada orang lain di Gereja yang lebih merasakan kuatnya kebenaran dari syair, ‘Allah sungguh p’nuh misteri dengan mukjizat-Nya’ daripada Wilford Woodruff. Dia sedemikian rohani, begitu dalam berbakti pada pelayanan Allah, sehingga sepanjang hidupnya perwujudan-perwujudan yang ajaib dari maksud Allah diberikan secara berlimpah. Dia tidak pernah mendasarkan imannya pada mukjizat, itu semua sekadar menegaskan apa yang dipercayainya dengan segenap hatinya dan mendukung gagasannya mengenai ajaran Tulisan Suci.”3
Sebagaimana diamati oleh Presiden Grant dan Brother Cowley, nyanyian rohani kesukaan Presiden Woodruff merupakan tema yang pantas bagi hidupnya. Itu juga mencerminkan kemajuan yang disaksikannya dalam Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Nyanyin rohani itu berlanjut:
Hai Orang Suci, tegarlah;
Kabut ‘kan berlalu
Belas kasih-Nya tercurah,
Berkat-Nya bagimu.
Tujuan-Nya matang cepat,
Tersingkap tiap saat;
Meskipun getir kuncupnya,
‘Kan manis bunganya.
Yang tak percaya ’kan gagal,
Tak paham karya-Nya;
Allah sang Penafsir tunggal,
‘Kan menjabarkannya.4
Wilford Woodruff adalah seorang peserta yang menonjol dalam banyak peristiwa penting dari sejarah awal Gereja, dan dia mengenal baik kelamnya kesengsaraan yang pada akhirnya menuntun pada berkat-berkat bagi yang setia. Dia turut merasakan kegetiran penganiayaan dan penderitaan, namun melalui itu semua dia juga menikmati manisnya dibimbing oleh tangan Allah. Dan ketika dia melihat Pemulihan Injil terungkap, dia memperoleh pemahaman yang jelas akan pekerjaan Allah.
Masa Kanak-Kanak dan Remaja Wilford Woodruff: Landasan Kuat yang Diletakkan di Rumah
Wilford Woodruff lahir pada tanggal 1 Maret 1807 di Farmington, Connecticut, dari pasangan Aphek Woodruff dan Beulah Thompson Woodruff. Ketika berusia 15 bulan, ibunya meninggal dunia karena demam yang disebabkan oleh sejenis kutu binatang. Kira-kira tiga tahun kemudian, Aphek menikah lagi. Wilford dan dua kakak lelakinya dibesarkan oleh ayah dan ibu tiri mereka, Azubah Hart Woodruff. Aphek dan Azubah memiliki enam orang anak lagi dari hasil pernikahan mereka, empat di antaranya meninggal ketika bayi atau semasa kanak-kanak.
Tulisan Wilford Woodruff menunjukkan bahwa dia tumbuh tidak berbeda dengan anak-anak lelaki lain sebayanya. Dia pergi ke sekolah dan bekerja di tanah pertanian keluarga. Dia juga bekerja di penggilingan ayahnya ketika masih kecil, menimba pengalaman yang kelak membantunya sebagai orang dewasa ketika dia sendiri mengelola sebuah penggilingan. Salah satu pengisi waktu senggang kesukaannya adalah memancing, dan dia beserta saudara-saudara lelakinya sering memancing ikan air tawar di sungai yang mengalir di dekat penggilingan ayah mereka.
Dia mengasihi keluarganya dan memiliki rasa hormat yang dalam bagi orang tuanya. Dengan rasa kagum dan syukur, dia menggambarkan ayahnya sebagai seorang pria kekar bersemangat yang selalu “banyak bekerja” serta merupakan “pria dengan kasih amal, kejujuran, integritas, dan kebenaran yang tinggi.”5 Dia juga mengenang bagaimana ajaran-ajaran Injil ibu tirinya telah membantu menuntunnya untuk mencari Gereja Tuhan yang sejati.6
Bahkan ketika dia tumbuh lebih dewasa, banyak sukacita terbesarnya dalam kehidupan berkaitan dengan orang tua dan kakak-adiknya. Dia bergabung dengan Gereja di hari yang sama dengan kakak lelakinya, Azmon. Dia bersukacita ketika dia dapat mengajar dan membaptiskan ayah dan ibu tirinya serta seluruh isi rumah mereka. Kelak dalam kehidupannya dia meyakinkan bahwa pekerjaan bait suci dilaksanakan bagi ibunya, suatu hak istimewa yang menurutnya cukup untuk menjadi upahnya bagi segala pekerjaan kehidupannya.7
“Perlindungan dan Belas Kasihan Allah”
Mengenang kembali masa kanak-kanak dan remajanya, Wilford Woodruff mengakui tangan Tuhan dalam menyelamatkan hidupnya berulang kali. Dalam sebuah artikel berjudul “Chapter of Accidents [Bab mengenai Kecelakaan],” dia menjabarkan beberapa kecelakaan yang telah dideritanya, dengan merasa takjub bahwa dia masih hidup untuk menceritakannya. Misalnya, dia menceritakan tentang pengalamannya di tanah pertanian keluarga, “Ketika berusia enam tahun, saya nyaris terbunuh oleh seekor sapi jantan yang ganas. Ayah saya dan saya sedang memberi makan kawanan sapi itu dengan labu, [dan] seekor sapi jantan yang ganas mengusir sapi saya dari potongan labu yang sedang dimakannya. Saya mengambil labu yang ditinggalkannya, yang membuat sapi jantan itu menyeruduk saya. Ayah saya memberitahu saya untuk menjatuhkan labu tersebut dan lari. Saya berlari menuruni bukit yang terjal, dan membawa labu itu bersama saya, dengan memiliki tekad bahwa sapi itu akan mendapatkan apa yang menjadi haknya. Sapi jantan itu mengejar. Sewaktu dia hampir berhasil mengejar saya, saya menginjak sebuah lubang tonggak dan terjatuh; sapi jantan itu melompat melampaui diri saya, mengejar labu tadi, dan merobek-robeknya dengan tanduknya, dan kemungkinan akan memperlakukan saya dengan cara yang sama, seandainya saya tidak terjatuh.”8
Dia juga bercerita mengenai sebuah kecelakaan yang dialaminya ketika berusia 17 tahun, “Saya sedang menunggang seekor kuda yang berwatak pemarah yang belum terlalu saya kenal; dan saat menuruni sebuah bukit berbatu yang terjal, kuda itu memanfaatkan tanah, dan mendadak melompat dari jalan, dan berlari menuruni bukit terjal itu, di antara bebatuan, dengan kecepatan penuh, serta terus menendang ke udara, dan berupaya untuk melempar saya melampaui kepalanya ke atas bebatuan; namun saya terjatuh tepat di atas kepalanya, memegang erat masing-masing telinganya dengan cengkraman kematian, menantikan saatnya akan dibenturkan ke bebatuan menjadi kepingan-kepingan kecil. Sementara dalam posisi seperti ini, duduk mengangkang di lehernya, tanpa tali kekang untuk mengendalikannya kecuali telinganya, dia terjun menuruni bukit dengan kecepatan penuh, sampai akhirnya menabrak sebuah batu, dan terhempas ke tanah. Saya terlempar melampaui kepala dan bebatuan itu, sejauh sekitar lima meter, dan menghantam tanah dalam posisi tegak dengan kaki saya, satu-satunya alasan yang tampaknya menyelamatkan hidup saya; karena, seandainya saya membentur tanah dengan bagian tubuh saya lainnya, pasti hal itu langsung membunuh saya; begitu pun, tulang-tulang saya terasa remuk di bawah beban tubuh saya seolah terbuat dari alang-alang. Kejadian itu mematahkan kaki kiri saya di dua tempat, dan mengeluarkan kedua pergelangan kaki saya dengan cara yang mengejutkan, dan kuda itu nyaris bergulung-gulung ke atas diri saya dalam upayanya untuk berdiri lagi. Paman saya, Titus Woodruff, melihat saya terjatuh, memanggil bantuan, dan menggotong saya ke dalam rumahnya. Saya terbaring dari pukul 14.00 sampai 22.00 tanpa bantuan medis; kemudian ayah saya tiba, membawa serta Dokter Swift, dari Farmington, bersamanya, yang membetulkan letak tulang-tulang saya, memasang penyangga anggota tubuh saya, dan membawa saya dalam keretanya sejauh delapan mil malam itu juga ke rumah ayah saya. Penderitaan saya sangat hebat. Meskipun demikian, saya mendapat perawatan yang baik, dan dalam waktu delapan minggu saya sudah berada di luar lagi dengan tongkat penopang saya.”9
Hidup Wilford Woodruff terus dilindungi, meskipun banyak kecelakaan yang dialami bahkan dalam usia dewasa. Pada usia 41 tahun, dia memberikan rangkuman dari segala kecelakaan yang telah dialaminya, dengan menyatakan syukur atas tangan Tuhan yang menyelamatkan.
“Saya telah mengalami patah tulang di kedua kaki—satu bahkan di dua tempat-kedua tangan, tulang dada dan tiga rusuk saya, dan terkilir di kedua pergelangan kaki. Saya pernah tenggelam, membeku, mengalami luka bakar, dan digigit oleh seekor anjing gila—pernah terjebak dalam dua roda air di bawah guyuran deras air—telah melalui beberapa penyakit parah, dan berhadapan dengan racun dalam bentuknya yang paling parah—pernah terhempas ke atas tumpukan puing-puing rel kereta api—pernah lolos tipis dari tembakan peluru, dan pernah melalui sejumlah lagi pengalaman antara hidup dan mati.
Tampak menakjubkan bagi saya, bahwa dengan segala cedera dan patah tulang yang pernah saya alami, saya tidak memiliki anggota tubuh yang lumpuh, namun telah dibuat mampu untuk mengerjakan pekerjaan, menghadapi cuaca, dan perjalanan yang paling berat-sering kali berjalan 40, 50, dan pernah satu kali, 60 mil per hari. Perlindungan dan belas kasihan Allah telah menyertai saya, dan kehidupan saya sejauh ini telah dilindungi; untuk berkat-berkat ini saya merasa perlu menyatakan rasa syukur hati saya kepada Bapa Surgawi saya, berdoa agar sisa hari-hari saya dapat dihabiskan dalam pelayanan-Nya dan dalam pembangunan Kerajaan-Nya.”10
Mencari dan Menemukan Gereja Tuhan yang Sejati
Wilford Woodruff berada dalam usia remaja ketika dia pertama kali berkeinginan untuk melayani Tuhan dan belajar mengenai-Nya. Dia berkata, “Di usia dini pikiran saya terarah pada topik-topik keagamaan.”11 Meskipun demikian, dia memilih untuk tidak bergabung dengan gereja mana pun. Melainkan, dia bertekad untuk menemukan satu-satunya Gereja Yesus Kristus yang sejati. Diilhami oleh ajaran orang tua dan teman-temannya yang lain serta oleh bisikan Roh, dia diyakinkan “bahwa Gereja Kristus berada di padang belantara [jauh dari dunia] bahwa telah terjadi kejatuhan dari agama yang murni dan tak bercacat di hadapan Allah dan bahwa sebuah perubahan besar akan terjadi.”12 Dia terutama termotivasi oleh ajaran seseorang bernama Robert Mason, yang bernubuat bahwa Wilford akan hidup untuk mencicipi buah Injil yang dipulihkan (lihat halaman 1–3 dalam buku ini).
Bertahun-tahun kemudian, percaya bahwa para Orang Suci Zaman Akhir lainnya dapat memetik manfaat dari pengalaman pribadinya,13 Presiden Wilford Woodruff sering menceritakan kisah pencariannya akan kebenaran. Dia menceritakan,
“Saya tidak dapat menemukan kepercayaan mana pun yang ajaran, iman, atau praktiknya, selaras dengan Injil Yesus Kristus, atau tata cara dan karunia yang diajarkan oleh para Rasul. Meskipun para pemuka agama pada zaman itu mengajarkan bahwa iman, karunia, kasih karunia, mukjizat, dan tata cara, yang dinikmati oleh para Orang Suci zaman dahulu, telah hilang serta tidak dibutuhkan lagi, saya tidak percaya bahwa hal itu benar, hanya sejauh itu semua ditiadakan karena ketidakpercayaan anak manusia. Saya percaya bahwa karunia, kasih karunia, mukjizat, dan kuasa yang sama akan dinyatakan pada satu zaman di dunia sebagaimana di zaman lainnya, sewaktu Allah memiliki Gereja di bumi, dan bahwa Gereja Allah akan ditegakkan kembali di atas bumi, dan bahwa saya akan hidup untuk melihatnya. Asas-asas ini tertanam dalam benak saya dari pembacaan Perjanjian Lama serta Perjanjian Baru, disertai dengan doa yang sungguh-sungguh agar Tuhan memperlihatkan kepada saya apa yang benar dan salah, serta menuntun saya di jalan keselamatan, tanpa memedulikan pendapat orang; dan bisikan Roh Tuhan selama kurun waktu tiga tahun mengajar saya bahwa Dia sedang bersiap untuk menegakkan Gereja dan Kerajaan-Nya di bumi pada zaman akhir.” 14
“Jiwa saya terpusat pada hal-hal ini,” katanya. “Pada awal usia dewasa saya, saya berdoa siang dan malam agar saya dapat hidup untuk melihat seorang nabi. Saya rela pergi 1.600 kilometer untuk melihat seorang nabi, atau seseorang yang dapat mengajarkan kepada saya hal-hal yang saya baca di Alkitab. Saya tidak dapat bergabung dengan gereja mana pun, karena saya tidak dapat menemukan gereja mana pun pada waktu itu yang mewakili asas-asas ini. Saya menghabiskan banyak waktu menjelang tengah malam, di tepian sungai, di pegunungan, dan di penggilingan saya …, berseru kepada Allah agar saya dapat hidup untuk melihat seorang nabi atau seseorang yang akan mengajarkan kepada saya hal-hal tentang Kerajaan Allah sebagaimana yang telah saya baca.”15
Pencarian Wilford Woodruff berakhir ketika dia berusia 26 tahun. Pada tanggal 29 Desember 1833, dia mendengar khotbah yang disampaikan oleh Penatua Zera Pulsipher, seorang misionaris Orang Suci Zaman Akhir. Dalam buku hariannya dia menggambarkan tanggapannya terhadap khotbah Penatua Pulsipher:
“Dia memulai pertemuan dengan beberapa kata sambutan dan kemudian berdoa. Saya merasakan Roh Allah bersaksi bahwa dia adalah hamba Allah. Kemudian dia mulai berkhotbah, dan itu pun dengan wewenang, dan ketika dia telah menyelesaikan ajarannya saya sungguh merasakan bahwa itu merupakan khotbah Injil pertama yang pernah saya dengar. Saya berpikir bahwa itulah yang selama ini saya cari. Saya tidak dapat merasakannya sebagai kewajiban saya untuk meninggalkan rumah itu tanpa bersaksi akan kebenaran itu di hadapan orang-orang. Saya membuka mata saya untuk melihat, telinga saya untuk mendengar, hati saya untuk memahami, dan pintu rumah saya untuk menjamu dia yang telah melayani kita.”16
Wilford Woodruff mengundang Penatua Pulsipher dan rekannya, Elijah Cheney, untuk bermalam di rumah keluarga Woodruff. Dua hari kemudian, setelah meluangkan waktu untuk membaca Kitab Mormon dan bertemu dengan para misionaris itu, Brother Woodruff dibaptiskan dan ditetapkan sebagai anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Sejak hari itu hidupnya berubah. Setelah menemukan kebenaran, dia membaktikan dirinya untuk membawa kebenaran itu kepada orang lain.
“Keinginan untuk Pergi dan Mengkhotbahkan Injil”
Bertekad untuk mematuhi perjanjian yang dibuatnya pada saat pembaptisan, Wilford Woodruff merupakan alat yang penurut dalam tangan Tuhan, selalu siap melakukan kehendak-Nya. Pada akhir tahun 1834 dia “memiliki keinginan untuk pergi dan mengkhotbahkan Injil,”17 dan menerima pemanggilan untuk melayani di Amerika Serikat bagian tenggara. Dia tahu bahwa pencobaan menantinya dan bahwa hidupnya dapat berada dalam bahaya sewaktu dia melakukan perjalanan, namun dia menemukan kekuatan dalam kesaksian dan imannya. Dia kemudian mengenang, “Saya tahu Injil yang telah Tuhan nyatakan kepada Joseph Smith adalah benar, dan sedemikian bernilainya sehingga saya ingin memberitahukannya kepada orang-orang yang belum pernah mendengarnya. Injil begitu luar biasa dan sederhana, rasanya saya dapat membuat orang memercayainya.”18
Ketika Wilford Woodruff memulai pekerjaan misionaris pertamanya, dia baru ditahbiskan menjadi seorang imam dalam Imamat Harun. Rekannya, yang telah ditahbiskan menjadi penatua, tinggal bersamanya menghadapi pencobaan-pencobaan awal dari pekerjaan misionaris mereka namun tak lama kemudian menjadi putus asa dan kembali ke rumahnya di Kirtland, Ohio. Ditinggal sendirian di tempat yang asing, Wilford berdoa memohon bantuan dan melanjutkan pekerjaan misionarisnya, menyeberangi rawa-rawa dan perairan. Akhirnya dia tiba di Kota Memphis, Tennessee, dalam keadaan “lelah dan lapar.”19 Dalam pengalaman misionaris pertamanya di sana, dia berbicara di hadapan banyak pendengar. Dia menceritakan,
“Saya pergi ke kedai minuman terbaik di tempat itu, yang dikelola oleh Tuan Josiah Jackson. Saya memberitahunya bahwa saya adalah orang asing, dan tidak memiliki uang. Saya bertanya kepadanya apakah dia mau memberi tumpangan untuk saya semalam saja. Dia menanyakan apa urusan saya. Saya memberitahunya bahwa saya adalah seorang pengkhotbah Injil. Dia tertawa, dan berkata bahwa saya tidak berpenampilan seperti seorang pengkhotbah. Saya tidak menyalahkannya, karena semua pengkhotbah yang pernah ditemuinya menunggang kuda yang bagus atau mengendarai kereta yang indah, mengenakan pakaian dari kain yang lembut dan mahal, serta memiliki gaji yang besar, dan akan membiarkan seluruh dunia terbenam dalam hukuman yang tidak berkesudahan sebelum mereka rela menyeberangi lumpur sepanjang 272 kilometer untuk menyelamatkan orang.
Si pemilik rumah menginginkan sedikit kesenangan, jadi dia mengatakan akan memberi tumpangan bila saya mau berkhotbah. Dia ingin melihat apakah saya dapat berkhotbah. Saya harus akui bahwa pada saat itu saya menjadi sedikit usil, dan memohon kepadanya agar tidak meminta saya berkhotbah. Semakin saya memohon, semakin Tuan Jackson bersikeras agar saya hendaknya berkhotbah .…
Saya duduk di sebuah ruangan besar untuk makan malam. Sebelum saya selesai, ruangan itu mulai dipenuhi oleh sebagian orang yang paling kaya dan parlente di Memphis, dibalut dengan kain linen dan sutra, sementara penampilan saya seperti yang dapat Anda bayangkan, setelah melakukan perjalanan melalui lumpur seperti yang saya lakukan. Ketika saya telah selesai makan, meja itu diangkut ke luar ruangan melewati kepala orang-orang. Saya ditempatkan di sudut ruangan, dengan sebuah mimbar dengan Alkitab, buku nyanyian rohani, dan lilin di atasnya, dikelilingi oleh selusin pria, dengan si pemilik rumah berada di tengah. Ada sekitar lima ratus orang lagi yang datang bersama, bukan untuk mendengarkan khotbah Injil melainkan untuk mencari kesenangan .… Bagaimana perasaan Anda dalam posisi seperti ini? Dalam pelayanan misionaris Anda yang pertama, tanpa seorang rekan atau teman, dan diminta untuk berkhotbah di depan jemaat seperti itu? Bagi saya itu merupakan salah satu saat yang paling menyenangkan dalam hidup saya, meskipun saya merasa bahwa sebenarnya saya lebih menyukai keberadaan seorang rekan.
Saya membacakan syair sebuah nyanyian rohani, dan meminta mereka untuk bernyanyi. Tidak seorang pun mau menyanyikan sepatah syair pun. Saya memberitahu mereka bahwa saya tidak memiliki karunia untuk bernyanyi; namun dengan bantuan Tuhan, saya akan berdoa dan berkhotbah. Saya berlutut untuk berdoa, dan orang-orang di sekeliling saya pun segera berlutut. Saya berdoa kepada Tuhan untuk memberi saya Roh-Nya dan untuk memperlihatkan kepada saya hati orang-orang itu. Saya berjanji kepada Tuhan dalam doa saya bahwa saya akan menyampaikan kepada jemaat itu apa pun yang akan diberikan-Nya kepada saya. Saya bangkit berdiri dan berbicara selama satu setengah jam, dan itu merupakan salah satu khotbah yang terbaik dalam hidup saya.
Kehidupan jemaat dibukakan pada penglihatan pikiran saya, dan saya memberitahu mereka akan perbuatan keji mereka dan ganjaran yang akan mereka dapatkan. Orang-orang yang mengelilingi saya menundukkan kepala mereka. Tiga menit setelah saya menutup, saya adalah satu-satunya orang yang masih tinggal di ruangan itu.
Saya segera diantar ke sebuah tempat tidur, di sebuah kamar yang bersebelahan dengan kamar yang lebih besar dimana di dalamnya berkumpul banyak orang yang mendengarkan khotbah saya. Saya dapat mendengar pembicaraan mereka. Satu orang berkata dia ingin tahu bagaimana pemuda Mormon itu mengetahui kehidupan masa lalu mereka. Tak lama kemudian mereka mulai berdebat mengenai beberapa asas ajaran. Salah seorang menyarankan untuk memanggil saya agar memutuskan masalah itu. Si pemilik rumah berkata, ‘Tidak; sekali ini kita sudah menerima cukup.’
Pada pagi harinya, saya mendapat sarapan yang baik. Si pemilik rumah mengatakan bahwa jika saya lewat di situ lagi agar singgah di rumahnya, dan dapat tinggal selama mungkin sesuka saya.”20
Pada bulan November 1836, Wilford Woodruff menyelesaikan pekerjaan misionarisnya di Amerika Serikat bagian tenggara. Dia mencatat dalam buku hariannya bahwa dalam tahun 1835 dan 1836 dia telah melakukan perjalanan sejauh 15.688 kilometer, mengadakan 323 pertemuan, mengorganisasi 4 cabang Gereja, membaptis 70 orang dan menetapkan 62 orang, melakukan 11 tata cara keimamatan, serta menyembuhkan 4 orang dengan penumpangan tangan dan bahwa dia telah diselamatkan dari tangan 6 kelompok perusuh yang berbeda.21 Dia ditahbiskan menjadi penatua pada bulan Juni tahun 1835 serta menjadi Tujuh Puluh pada bulan Mei tahun 1836.
Ketika Penatua Woodruff kembali ke Kirtland, dia mendapati bahwa banyak anggota Gereja di sana telah jatuh dalam kemurtadan dan berbicara menentang Nabi Joseph Smith. “Saat terjadi kemurtadan di Kirtland,” dia kemudian mengatakan, “Joseph Smith nyaris tidak mengetahui ketika bertemu dengan seseorang, kecuali Roh Allah mengungkapkannya kepadanya, apakah dia teman atau musuh. Kebanyakan dari orang-orang yang memimpin menentangnya.”22
Bahkan “di tengah kegelapan itu,”23 Wilford Woodruff tetap setia kepada Nabi dan setia pada tekadnya untuk mengkhotbahkan Injil. Dia dipanggil ke Kuorum Pertama Tujuh Puluh, dan dalam jabatannya itu dia terus bersaksi mengenai kebenaran, melakukan perjalanan ke konferensi-konferensi di daerah itu. Setelah dia berada di Kirtland selama kurang dari satu tahun, dia mengikuti sebuah bisikan untuk melayani sebagai misionaris penuh-waktu ke Pulau Fox, di lepas pantai negara bagian Maine. Dia berkata,
“Roh Allah mengatakan kepada saya, ‘Engkau pilihlah seorang rekan dan pergilah langsung ke Pulau Fox.’ Ya, sebenarnya saya tidak tahu banyak mengenai apa yang ada di Pulau Fox daripada apa yang ada di Kolob. Namun Tuhan menyuruh saya untuk pergi, dan saya pergi. Saya memilih Jonathan H. Hale, dan dia pergi bersama saya. Kami mengusir beberapa roh jahat di sana, mengkhotbahkan Injil dan melakukan beberapa mukjizat .… Saya tiba di Pulau Fox, dan melakukan pekerjaan yang baik di sana.”24 Ketika Penatua Woodruff tiba di Pulau Fox, dia menemukan “sekelompok umat yang menginginkan ketertiban hal-hal zaman dahulu.” Kemudian dia melaporkan, “Tanpa membesar-besarkannya, saya akan mengatakan bahwa saya membaptiskan lebih dari 100 orang ketika berada di sana.”25
Melanjutkan Pelayanan Misionaris sebagai Rasul Tuhan Yesus Kristus
Ketika Penatua Woodruff melayani sebagai misionaris di Pulau Fox tahun 1838, dia menerima pemanggilan yang memperpanjang pelayanan misionarisnya selama seluruh sisa hidupnya. “Pada tanggal 9 Agustus, saya menerima sepucuk surat,” katanya, “dari Thomas B. Marsh, yang saat itu menjadi Presiden Dua Belas Rasul, yang memberitahu saya bahwa Joseph Smith, sang Nabi, telah menerima wahyu, menyebutkan nama orang-orang yang telah dipilih untuk mengisi tempat mereka yang telah terjatuh: John E. Page, John Taylor, Wilford Woodruff, dan Willard Richards.
Presiden Marsh menambahkan, dalam suratnya, ‘Maka ketahuilah, Brother Woodruff, melalui ini, bahwa Anda telah ditunjuk untuk menggantikan salah seorang dari Dua Belas Rasul, dan bahwa ini selaras dengan firman Tuhan, yang diberikan baru-baru ini, bahwa Anda hendaknya datang secepatnya ke Far West, dan pada tanggal 26 April yang akan datang, mengucapkan selamat tinggal kepada para Orang Suci di sini serta berangkat menuju iklim yang lain menyeberangi samudra yang dalam.’”
Presiden Woodruff kemudian berkomentar, “Isi surat ini telah diwahyukan kepada saya beberapa minggu sebelumnya, namun saya tidak membeberkannya kepada siapa pun.”26
Perintah untuk “berangkat menuju iklim yang lain menyeberangi samudra yang dalam” merujuk pada perintah Tuhan bahwa Dua Belas hendaknya melayani pekerjaan misionaris di Inggris Raya. Segera setelah ditahbiskan menjadi Rasul pada tanggal 26 April 1839, Penatua Wilford Woodruff berangkat menuju Inggris Raya sebagai salah seorang “saksi khusus akan nama Kristus di seluruh dunia” (A&P 107:23).
Penatua Woodruff kemudian melayani pekerjaan-pekerjaan misionaris lainnya di Amerika Serikat dan di Inggris Raya. Dia dikenal sebagai salah seorang misionaris terhebat dalam sejarah Gereja. Buku ini mencakup banyak laporan dari pengalaman misionarisnya.
Membantu Orang Suci Berkumpul Bersama
Dewasa ini Orang Suci Zaman Akhir diimbau untuk membangun Kerajaan Allah di daerah-daerah di mana mereka tinggal, dengan demikian memperkuat Gereja di seluruh dunia. Pada masa awal Gereja, para misionaris Orang Suci Zaman Akhir mendorong anggota baru untuk berimigrasi ke pusat Gereja, baik itu di Kirtland, Ohio, atau Jackson County, Missouri, atau Nauvoo, Illinois, atau Salt lake City, Utah.
Sekitar dua tahun setelah mati syahidnya Joseph dan Hyrum Smith, para Orang Suci dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka di Nauvoo, dengan membentuk tempat permukiman ketika di Winter Quarters, Nebraska. Penatua Woodruff, yang telah melayani sebagai misionaris di Inggris, kembali ke tengah-tengah kumpulan umat Gereja. Berangkat dari Winter Quarters, dia membantu memimpin para Orang Suci dalam perpindahan mereka yang paling terkenal: perjalanan mereka melintasi dataran dan pegunungan Amerika Serikat menuju tanah perjanjian mereka di Lembah Salt Lake. Sebagai bagian dari rombongan pionir yang pertama, dia mengangkut Presiden Brigham Young, yang sedang sakit, di akhir perjalanan itu. Penatua Woodruff hadir ketika Presiden Young bangun dari tempat tidurnya di atas kereta gerobak, memeriksa tanah di hadapan mereka, dan mengatakan, “Sudah cukup. Inilah tempat yang tepat. Terus maju.”27
Penatua Woodruff terus membantu para Orang Suci berkumpul ke tanah mereka yang dijanjikan. Dalam salah satu pekerjaan misionarisnya, dia dan keluarganya meluangkan dua setengah tahun di Kanada dan Amerika Serikat bagian timur laut, membantu para anggota Gereja pindah ke Lembah Salt Lake. Dia berada dengan rombongan terakhir dari Orang Suci ini ketika dia memperoleh pengalaman berikut, yang memperlihatkan kepekaannya akan bisikan Roh:
“Saya melihat sebuah kapal uap sedang bersiap untuk berlayar. Saya pergi menemui kaptennya dan menanyakan berapa penumpang yang dimilikinya. ‘Tiga ratus lima puluh.’ ‘Dapatkah Anda mengangkut seratus orang lagi?’ ‘Ya.’ Saya baru saja akan memberitahu dia bahwa kami ingin naik ketika Roh mengatakan kepada saya, ‘Jangan naik kapal uap itu, engkau maupun rombonganmu.’ Baiklah, kata saya. Saya telah mempelajari sesuatu mengenai suara yang lembut itu. Saya tidak jadi naik kapal uap itu, namun menunggu hingga esok pagi. Dalam tiga puluh menit setelah kapal itu berangkat, kapal itu terbakar. Kapal itu memiliki tambang dan bukan rantai sebagai kendali, dan mereka tidak dapat merapat ke tepi. Itu merupakan malam yang kelam, dan tidak seorang pun selamat. Jika saya tidak mematuhi pengaruh dari pemantau yang ada di dalam diri saya, saya sendiri pun akan berada di sana, bersama dengan seluruh rombongan.”28
Pelayanan di Lembah Salt Lake
Setelah para Orang Suci menetap di Lembah Salt Lake, tugas Penatua Woodruff berubah. Dia tidak lagi diutus ke luar negeri untuk pekerjaan misionaris penuh-waktu. Melainkan kegiatannya mencakup membantu lebih banyak Orang Suci pindah ke pusat Gereja, bertemu dengan mereka yang mengunjungi daerah itu, melayani sebagai pejabat legislatif, bekerja untuk mengairi dan menggarap tanah, serta mengembangkan tanaman dan metode pertanian. Dia sering mengunjungi tempat-tempat permukiman para Orang Suci Zaman Akhir di Utah, Arizona, dan Idaho, mengkhotbahkan Injil serta menyemangati para Orang Suci dalam kewajiban-kewajiban mereka.
Wilford Woodruff melayani sebagai Asisten Sejarawan Gereja dari tahun 1856 sampai 1883 dan sebagai Sejarawan Gereja dari tahun 1883 sampai 1889, suatu kurun waktu yang meliputi sebagian besar dari masa pelayanannya dalam Kuorum Dua Belas Rasul. Meskipun tanggung jawab ini menuntut waktu yang cukup banyak, dia menganggapnya sebagai suatu hak istimewa, dengan percaya bahwa “sejarah Gereja ini akan bertahan sepanjang waktu dan dalam kekekalan.”29 Pelayanannya sebagai seorang sejarawan merupakan kelanjutan dari pekerjaan yang telah ditekuninya sejak tahun 1835, ketika dia mulai menulis buku harian—sebuah catatan pribadi tentang kehidupannya dan tentang sejarah Gereja (lihat halaman 141–143).
Dalam upayanya yang berkesinambungan untuk memperkuat Gereja, melayani di masyarakat, dan memenuhi kebutuhan keluarganya, Wilford Woodruff mengikuti asas-asas yang dipelajarinya dari ayahnya yang adalah seorang pekerja keras. Penatua Franklin D. Richards dari Kuorum Dua Belas Rasul berkata bahwa Penatua Woodruff “disegani karena kegiatan, ketekunan, dan ketahanan jasmaninya. Meskipun tidak berbadan besar, dia mampu melakukan pekerjaan yang dapat merontokkan seseorang yang memiliki keadaan fisik yang biasa.”30
Buku harian Penatua Woodruff penuh dengan catatan tentang hari-hari kerja keras yang panjang. Pernah dia bercerita tentang kejadian ketika, pada usia 67 tahun, dia menaiki tangga setinggi sekitar 3,7 meter bersama putranya, Asahel, untuk mengumpulkan buah persik dari pohon persik. Asahel mulai kehilangan keseimbangannya. Dalam usaha menyelamatkan Asahel, Penatua Woodruff sendiri pun terjatuh. Dia menulis, “Saya terjatuh ke bawah tangga sejauh sekitar 3 meter dan menghantam bahu serta pinggul kanan saya dan itu amat menyakiti diri saya. Asahel tidak begitu kesakitan. Saya merasa amat nyeri dan lemas sepanjang malam.”31 Keesokan harinya dia mencatat, “Saya masih merasa nyeri dan lemas hari ini, namun saya pergi juga ke ladang dan baru pulang ke rumah malam hari.”32 Berkomentar tentang kejadian ini, Matthias Cowley berkata, “Seseorang tentunya bertanya-tanya mengenai apa yang sedang dilakukan oleh orang seusianya di atas pohon. Pertama-tama, dengan Penatua Woodruff masalah usia tidak pernah dipertanyakan ketika dia melihat sesuatu yang menurutnya perlu dilakukan, jika masih mungkin baginya untuk melakukannya. Dia ada di mana-mana …. Dia siap menghadapi keadaan darurat apa pun dan kapan pun. Jika dia melihat sebuah batang di ujung pohon apel yang seharusnya dipotong, tanpa berpikir panjang dia sudah berada di atas pohon itu, dan baginya adalah selalu sulit untuk meminta orang lain untuk melakukan sesuatu yang dapat dilakukannya sendiri.”33
Pembangunan Bait Suci dan Pekerjaan Bait Suci
Setiap kali para Orang Suci tinggal untuk jangka waktu yang lama di satu tempat, mereka membangun bait suci. Mereka mengikuti pola ini di Kirtland, di Nauvoo, dan akhirnya di Kota Salt Lake. Dalam melakukan ini, mereka setia pada wahyu Tuhan melalui Nabi Joseph Smith—sebuah wahyu yang dicatat oleh Penatua Woodruff dalam buku hariannya,
“Apa tujuan dari mengumpulkan orang-orang Yahudi, atau umat Allah di zaman kapan pun di dunia? Tujuan utamanya adalah untuk membangun bagi Tuhan sebuah rumah dimana Dia dapat mewahyukan kepada umat-Nya tata cara-tata cara rumah-Nya dan kemuliaan Kerajaan-Nya serta mengajarkan kepada orang jalan keselamatan. Karena ada tata cara-tata cara dan asas-asas tertentu yang, ketika diajarkan dan dipraktikkan, harus dilakukan di sebuah tempat atau rumah yang dibangun untuk tujuan itu. Inilah yang dimaksudkan dalam benak Allah sebelum dunia diciptakan, dan untuk tujuan inilah Allah merancang untuk sering mengumpulkan orang-orang Yahudi, namun mereka menolak. Untuk tujuan yang sama pulalah Allah mengumpulkan orang-orang di zaman akhir-untuk membangun bagi Tuhan sebuah rumah untuk mempersiapkan mereka bagi tata cara-tata cara dan endowmen, penyucian serta pengurapan, dan sebagainya.”34
Penatua Woodruff sering sekali menasihati sesamanya Orang Suci untuk mengambil bagian dalam berkat-berkat yang tersedia di bait suci. Dia berkata, “Saya menganggap bahwa pembangunan bait suci merupakan salah satu hal penting yang disyaratkan oleh Tuhan dari para Orang Suci pada masa kelegaan kegenapan zaman, agar kita dapat pergi ke bait suci-bait suci itu dan bukan saja menebus yang hidup namun juga menebus orang-orang kita yang telah meninggal.”35 Dengan ketekunan yang menjadi ciri khasnya, dia memberikan teladan mengenai pekerjaan bait suci, memastikan bahwa pekerjaan dilaksanakan bagi ribuan leluhurnya.
Seperti banyak nabi lainnya pada zamannya, Penatua Woodruff bernubuat bahwa waktunya akan tiba ketika akan ada bait suci di seluruh dunia.36 Dia bersukacita dalam kesempatan untuk melihat nubuat itu mulai digenapi, ketika empat bait suci dibangun dan dikuduskan di Wilayah Utah selama 46 tahun pertama setelah para Orang Suci tiba di Lembah Salt Lake—di kota-kota St. George, Logan, Manti, dan Salt Lake.
Presiden Woodruff mengucapkan doa pengudusan bagi bait suci di Manti dan Salt Lake. Dalam sebuah pesan kepada semua anggota Gereja, dia beserta para penasihatnya dalam Presidensi Utama bersaksi tentang berkat-berkat yang datang kepada mereka yang menghadiri pengudusan bait suci dalam roh ibadat yang tulus, “Bisikan Roh Kudus yang manis akan diberikan kepada mereka dan harta Surga, kebersamaan dengan para malaikat, akan ditambahkan dari waktu ke waktu, karena janji [Tuhan] telah diucapkan dan hal itu tidak akan dilanggar!”37 Dia menulis mengenai salah satu pengalaman seperti itu, yang dialaminya saat pengudusan Bait Suci Logan:
“Ketika menghadiri pengudusan bait suci ini, suatu bayangan datang kepada saya mengenai banyaknya jam yang telah saya lalui dalam doa pada awal masa kedewasaan saya dalam seruan kepada Allah untuk memperkenankan saya hidup di bumi untuk melihat Gereja Kristus ditegakkan dan sekelompok umat dibentuk yang mau menerima Injil zaman dahulu serta memeluk iman yang pernah disampaikan kepada para Orang Suci. Tuhan berjanji kepada saya bahwa saya akan hidup untuk menemukan umat Allah serta memiliki nama dan tempat … di dalam rumah-Nya, sebuah nama yang lebih baik daripada anak lelaki atau perempuan, sebuah nama yang tidak akan disingkirkan. Dan hari ini saya bersukacita dalam memiliki satu nama dengan umat-Nya serta membantu dalam pengudusan sebuah bait suci lagi bagi nama-Nya yang kudus. Terpujilah Allah dan Anak Domba selamanya.”38
Pelayanan Wilford Woodruff sebagai Presiden Gereja
Ketika Presiden John Taylor meninggal pada tanggal 25 Juli 1887, Kuorum Dua Belas Rasul menjadi badan yang memimpin Gereja, dengan Presiden Woodruff sebagai pejabat pimpinan. Merasakan beban dari memimpin seluruh Gereja, Presiden Woodruff mencatat pemikiran berikut dalam buku hariannya, “Ini menempatkan saya dalam posisi yang amat ganjil, suatu jabatan yang tidak pernah saya cari sepanjang kehidupan saya. Namun dalam pemeliharaan Allah, ini diletakkan di atas diri saya, dan saya berdoa agar Allah Bapa Surgawi saya memberi saya kasih karunia yang sepadan dengan kewajiban saya. Ini merupakan jabatan yang tinggi dan penuh tanggung jawab untuk dijalani oleh siapa pun dan jabatan yang membutuhkan hikmat yang besar. Saya tidak pernah mengira akan hidup lebih lama dari Presiden Taylor .… Namun hal itu telah terjadi .… Saya hanya dapat berkata, Ajaiblah cara-cara-Mu, ya Tuhan Allah yang Mahakuasa, karena Engkau sesungguhnya telah memilih yang lemah dari dunia ini untuk melaksanakan pekerjaan-Mu di bumi. Semoga hamba-Mu, Wilford, siap untuk apa pun yang menantinya di bumi dan memiliki kekuatan untuk melakukan apa pun yang dituntut dari tangannya oleh Allah Surga. Saya meminta berkat ini dari Bapa Surgawi saya di dalam nama Yesus Kristus, Putra Allah yang Hidup.”39 Presiden Woodruff didukung sebagai Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir pada tanggal 7 April 1889. Dia adalah Presiden keempat Gereja pada masa kelegaan ini.
Bersaksi tentang Pekerjaan Tuhan di Zaman Akhir
Dalam pesannya kepada para anggota Gereja, Presiden Woodruff berulang kali bersaksi tentang Pemulihan Injil, seperti yang dilakukannya di sepanjang masa pelayanannya. Namun, dia memberikan kesaksian dengan rasa mendesak yang semakin meningkat dalam enam tahun terakhir dari kehidupannya. Dia adalah orang terakhir yang masih hidup yang pernah melayani sebagai Rasul bersama Joseph Smith, dan dia merasakan kebutuhan yang mendesak untuk meninggalkan sebuah kesaksian yang jelas dan kekal mengenai Nabi Pemulihan itu. Sekitar satu tahun sebelum dia meninggal, dia mengatakan:
“Ada banyak hal yang tidak saya pahami, dan salah satunya adalah mengapa saya berada di sini di usia saya saat ini. Saya tidak memahami mengapa saya telah dibiarkan hidup selama ini ketika begitu banyak Rasul dan Nabi telah dipanggil pulang .… Saya merupakan satu-satunya orang yang masih hidup dalam daging yang menerima endowmen di bawah tangan Nabi Joseph Smith. Saya satu-satunya orang dalam daging yang berada bersama Dua Belas Rasul ketika dia menyerahkan Kerajaan Allah kepada mereka dan memberikan kepada mereka perintah untuk melanjutkan tanggung jawab dari kerajaan ini. Dia berdiri selama sekitar tiga jam di sebuah ruangan menyampaikan kepada kami pengajarannya yang terakhir. Ruangan itu dipenuhi dengan api yang membara. Wajahnya sejernih batu amber [permata transparan dengan warna coklat muda kekuningan]’ perkataannya bagaikan petir yang nyata bagi kami. Itu merasuk ke dalam setiap bagian tubuh kami dari puncak kepala kami sampai ujung kaki kami. Dia berkata, ‘Saudara sekalian, Tuhan yang Mahakuasa telah memeteraikan ke atas kepala saya setiap imamat, setiap kunci, setiap kuasa, setiap asas yang menjadi milik dari masa kelegaan kegenapan zaman yang terakhir, dan dari pembangunan Kerajaan Allah. Saya telah memeteraikan ke atas kepala Anda semua asas, imamat, kerasulan, dan kunci Kerajaan Allah itu, dan saat ini Anda harus menegakkan bahu Anda dan mengemban tanggung jawab kerajaan ini atau Anda akan dikutuk.’ Saya tidak melupakan perkataan itu-saya tidak akan pernah, selama saya hidup. Itu adalah ceramah terakhir yang disampaikannya dalam daging. Tak lama sesudahnya dia mati syahid dan dipanggil pulang dalam kemuliaan.”40
Sebagai Presiden Gereja, Presiden Woodruff mendorong para Orang Suci untuk mencari dan mengikuti bimbingan Roh Kudus, setia pada perjanjian-perjanjian mereka, mengkhotbahkan Injil di negeri sendiri dan di luar negeri, jujur dalam tanggung jawab-tanggung jawab duniawi mereka, serta tekun dalam pekerjaan bait suci dan sejarah keluarga. Nasihatnya menggemakan sebuah pernyataan yang dibuatnya ketika dia menjadi anggota Kuorum Dua Belas, “Betapapun baiknya kita hendaknya sasaran kita adalah untuk terus meningkatkan dan menjadi lebih baik. Kita telah mematuhi hukum dan Injil yang berbeda dengan apa yang telah dipatuhi orang lain, dan kita memiliki kerajaan yang berbeda dalam pandangan, dan sasaran kita hendaknya selaras lebih tinggi di hadapan Tuhan Allah kita, dan kita hendaknya mengatur serta mengendalikan diri kita sesuai dengan itu, dan saya berdoa kepada Allah Bapa Surgawi saya agar Roh-Nya dapat berada di atas kita serta memungkinkan kita untuk melakukannya.”41
Mengeluarkan Manifesto
Diperkuat oleh tangan Tuhan yang membimbing, Presiden Woodruff memimpin para Orang Suci melalui salah satu masa yang paling bergejolak dalam masa kelegaan ini. Di akhir tahun 1880-an Gereja terus menerapkan perkawinan jamak dalam kepatuhan terhadap perintah Tuhan kepada Nabi Joseph Smith. Namun, pemerintah Amerika Serikat ketika itu baru saja mengeluarkan undang-undang menentang praktik itu, dengan beberapa hukuman berat bagi pelanggaran undang-undang tersebut, termasuk penyitaan tanah milik Gereja dan penyangkalan terhadap hak-hak sipil dasar bagi anggota Gereja, seperti hak untuk memilih [memberikan suara]. Perkembangan ini juga membuka saluran hukum bagi penuntutan terhadap para Orang Suci Zaman Akhir yang mempraktikkan perkawinan jamak. Gereja mengajukan permohonan hukum, namun sia-sia.
Keadaan ini amat membebani Presiden Woodruff. Dia berusaha mencari kehendak Tuhan dalam hal ini dan pada akhirnya menerima sebuah wahyu bahwa para Orang Suci hendaknya menghentikan praktik perkawinan jamak. Patuh pada perintah Tuhan, dia menerbitkan apa yang dikenal sebagai Manifesto—sebuah pernyataan terilhami yang tetap menjadi dasar dari pernyataan resmi Gereja mengenai masalah perkawinan jamak. Dalam pernyataan publik ini, tertanggal 24 September 1890, dia menyatakan maksudnya untuk tunduk pada hukum negara. Dia juga bersaksi bahwa Gereja telah berhenti mengajarkan praktik perkawinan jamak.42 Pada tanggal 6 Oktober 1890, dalam sebuah sesi konferensi umum, para Orang Suci Zaman Akhir mendukung pernyataan nabi mereka, dengan suara bulat mendukung pernyataan bahwa dia “diwenangkan sepenuhnya dalam jabatannya untuk mengeluarkan Manifesto.”43
Menegaskan Sifat Kekal Keluarga
Kira-kira tiga bulan sebelum Nabi Joseph Smith mati syahid, dia memberikan ceramah kepada sekelompok besar Orang Suci. Penatua Wilford Woodruff, yang mencatat sinopsis ceramah itu, mengatakan bahwa Nabi berbicara mengenai “salah satu topik paling penting dan menarik yang pernah disampaikan kepada para Orang Suci.”44 Sebagai bagian dari khotbah ini, Nabi bersaksi tentang sifat kekal keluarga. Dia berbicara mengenai perlunya dimeteraikan kepada orang tua kita dan untuk meneruskan tata cara-tata cara pemeteraian itu mencakup generasi-generasi kita:
“Inilah roh Elia, bahwa kita menebus orang-orang kita yang telah meninggal dan menghubungkan diri kita sendiri dengan para leluhur kita yang berada di surga dan memeteraikan orang-orang kita yang telah meninggal untuk tampil dalam kebangkitan pertama, dan di sini kita menginginkan kuasa Elia untuk memeteraikan mereka yang hidup di bumi kepada mereka yang tinggal di surga .… Pergi dan meteraikanlah di bumi para putra dan putri Anda kepada diri Anda sendiri serta diri Anda sendiri kepada para leluhur Anda dalam kemuliaan kekal.”45
Selama beberapa dekade berikutnya, para Orang Suci Zaman Akhir tahu bahwa akan ada “suatu hubungan yang erat antara para ayah dengan anak” (A&P 128:18). Namun, prosedurnya belum ditertibkan sepenuhnya; sebagaimana diamati oleh Presiden Woodruff, Nabi Joseph Smith tidak sempat hidup cukup lama untuk “memberitahukan lebih lanjut mengenai hal-hal ini.”46 Bertindak sesuai dengan “segala terang dan pengetahuan yang [mereka] miliki,”47 mereka sering memeteraikan, atau “mengadopsikan,” diri mereka sendiri kepada Joseph Smith, Brigham Young, atau pemimpin Gereja lainnya di zaman mereka daripada kepada ibu dan ayah mereka sendiri. Sebagai Presiden Gereja, Presiden Woodruff merujuk pada praktik ini, mengatakan, “Kita belum melaksanakan asas-asas itu menurut penggenapan wahyu Allah kepada kita, dalam memeteraikan hati para ayah kepada anak, dan para anak kepada ayah. Saya belum merasa puas, begitu pula Presiden [John] Taylor, begitu pula siapa pun sejak Nabi Joseph yang telah menghadiri tata cara-tata cara pengadopsian di bait suci Allah kita. Kami merasa bahwa masih ada yang harus diwahyukan mengenai masalah ini daripada yang telah kami terima.”48
Tambahan wahyu itu datang kepada Presiden Woodruff pada tanggal 5 April 1849.49 Tiga hari sesudahnya, dalam sebuah ceramah konferensi umum, dia memberitahukan mengenai wahyu tersebut, “Ketika saya datang ke hadapan Tuhan untuk mengetahui kepada siapa saya hendaknya diadopsikan …, Roh Allah berkata kepada saya, ‘Tidakkah engkau memiliki seorang ayah, yang telah memperanakkanmu?’ ‘Ya, ada.’ ‘Lalu mengapa tidak menghormati dia? Mengapa tidak diadopsikan kepadanya?’ ‘Ya,’ kata saya, ‘Itu benar.’ Saya pun diadopsikan kepada ayah saya, dan hendaknya memeteraikan ayah saya kepada ayahnya, dan begitu seterusnya; dan tugas yang saya inginkan dipastikan dilakukan oleh setiap orang yang memimpin bait suci sejak hari ini dan selamanya, kecuali Tuhan yang Mahakuasa memerintahkan hal lain, adalah, biarlah setiap orang diadopsikan kepada ayahnya .… Itulah kehendak Allah bagi umat-Nya. Saya ingin semua orang yang memimpin bait suci-bait suci ini di pegunungan Israel untuk mengingat ini di benaknya. Apa urusan saya mengambil hak keturunan siapa pun? Hak apa yang dimiliki siapa pun untuk melakukan ini? Tidak; saya berkata biarlah setiap orang diadopsikan kepada ayahnya; dan kemudian Anda akan melakukan persis apa yang Allah katakan ketika Dia menyatakan Dia akan mengirimkan Elia sang Nabi di zaman akhir [lihat Maleakhi 4:5–6] .…
Kami ingin para Orang Suci Zaman Akhir dari masa ini untuk mencari silsilah mereka sejauh mereka dapat, dan untuk dimeteraikan kepada para ayah serta ibu mereka. Meteraikanlah anak kepada orang tua mereka, dan hubungkanlah rantai keturunan ini sejauh yang dapat Anda peroleh ….
Saudara sekalian, hayatilah hal-hal ini dalam hati Anda. Marilah kita lanjutkan catatan-catatan kita, mengisinya dalam kebenaran di hadapan Tuhan, serta melaksanakan asas ini, dan berkat-berkat Allah akan menyertai kita, dan mereka yang ditebus akan memberkati kita di hari-hari yang akan datang. Saya berdoa kepada Allah agar sebagai suatu umat mata kita akan dibukakan untuk melihat, telinga kita untuk mendengar, dan hati kita untuk memahami pekerjaan yang besar serta luar biasa yang diletakkan di atas bahu kita, dan yang Allah Surga tuntut dari tangan kita.”50
“Kami Doa S’lalu bagi Nabi”
Pada tanggal 1 Maret 1897, para Orang Suci Zaman Akhir memenuhi Tabernakel Salt Lake untuk memperingati ulang tahun ke-90 Presiden Wilford Woodruff. Di sana mereka mendengar sebuah nyanyian rohani baru, “Kami Doa S’lalu bagi Nabi.” Evan Stephens telah mengambil musik dari sebuah nyanyian rohani yang telah ada dan menuliskan lirik baru untuk memberikan penghormatan kepada Nabi Gereja yang terkasih.
Kami doa s’lalu bagi nabi,
Agar Allah s’lalu memberkati;
Walau telah lanjut usiamu,
S’moga terang pancaran jiwamu,
Tetap terang pancaran jiwamu.
Kami doa s’lalu s’penuh hati,
Agar tugas dapat kaujalani;
Membimbing, menasihati kami,
Limpahkan t’rang suci pada kami,
Limpahkan t’rang suci pada kami.
Kami doa s’lalu, s’penuh kasih,
Dan Allah pasti mendengar kami,
Agar kau selalu diberkati,
Yang terbaik bagimu kau diberi,
Yang terbaik bagimu kau diberi.51
Delapan belas bulan kemudian, tanggal 2 September 1898, Presiden Wilford Woodruff meninggal dunia, akhirnya bergabung dengan para rekan Orang Sucinya yang telah mendahuluinya dalam kematian. Di upacara pemakamannya, yang dilakukan di Tabernakel Salt Lake, sebuah “semangat damai … menyelubungi seluruh persiapan, dan menyelimuti semua hadirin serta merasuk untuk menyejukkan perasaan semua orang.” Bagian dalam Tabernakel “dibungkus secara artistik dengan warna putih,” dengan rangkaian-rangkaian bunga serta ikatan-ikatan berkas gandum yang “besar dan menakjubkan.” “Di setiap sisi organ terdapat angka 1847 dan ikatan besar semak sage dan bunga matahari [serta] bagian puncak pohon pinus,” mengenang kembali masuknya para pionir ke Lembah Salt Lake pada bulan Juli tahun 1847. Di atas sebuah foto besar Presiden Woodruff, pernyataan “Dia masih berbicara, setelah meninggal” diterangi cahaya, suatu penghormatan kepada seorang Nabi Allah yang ajaran dan teladannya akan terus mengilhami para Orang Suci Zaman Akhir dalam usaha mereka untuk membantu membangun Kerajaan Allah.52