Tetapi Seandainya Tidak
Ujian terbesar kehidupan fana ini adalah untuk menghadapi pertanyaan “mengapa” dan membiarkannya begitu saja, dengan rendah hati percaya kepada janji Tuhan bahwa “segala hal harus terjadi pada waktunya.”
Beberapa kenangan berharga yang berkaitan dengan tugas-tugas mingguan untuk konferensi wilayah ialah ketika saya menemani presiden wilayah dalam kunjungan kepada para anggota di wilayahnya yang sedang berjuang menghadapi tantangan kehidupan ini dengan keberanian dan iman, khususnya mereka yang kehilangan anak atau yang berjuang dengan berani dalam merawat yang sakit atau lumpuh atau pun anak yang cacat. Saya tahu dari pengalaman pribadi yang menyedihkan bahwa tidak ada pencobaan sesulit seperti kehilangan seorang anak. Tidak ada pencobaan yang berlangsung sedemikian lama dan sedemikian melelahkan mental dan fisik seperti merawat anak yang lumpuh secara fisik dan mental. Para orang tua semacam itu dapat menekankan sepenuhnya kepada ayah si anak yang terkena “roh yang membisukan,” yang, ketika diperingatkan oleh Juruselamat untuk percaya, menanggapi dengan derita batin, “Tuhan, aku percaya; tolonglah aku yang tidak percaya ini” (lihat Markus 9:17, 23–24).
Demikian juga hari ini saya ingin berbicara kepada Anda sekalian yang sedang berjuang dalam ujian iman yang disebut kefanaan—dan khususnya kepada mereka yang sedang berduka, orang tua yang berbeban berat dan bersedih yang dengan pilu mempertanyakan, “Mengapa?”
Pertama, ketahuilah bahwa kesedihan adalah akibat alami dari kasih. Seseorang tidak dapat secara egois mengasihi orang lain dan tidak bersedih atas penderitaan atau kematiannya. Satu-satunya cara untuk menghindari kesedihan adalah dengan tidak merasakan kasih; dan adalah kasih yang memberi kehidupan kekayaan serta maknanya. Oleh karena itu, doa tulus orang tua yang sedang berduka yang diucapkan kepada Tuhan mungkin tidak menghilangkan kesedihan itu tetapi Tuhan dapat memberikan kepastian yang manis bahwa apa pun keadaan yang dihadapi orang tua, anak-anak mereka berada dalam perlindungan Bapa Surgawi yang penuh kasih.
Selanjutnya, jangan pernah meragukan kebaikan Allah, bahkan jika Anda tidak mengetahui “mengapa.” Pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang kesusahan dan berbeban berat adalah: Mengapa. Mengapa putri kami meninggal padahal kami berdoa terus menerus agar dia dapat hidup ketika dia menerima berkat imamat? Mengapa kami berjuang melawan ketidak beruntungan ini ketika yang lain menceritakan pengalaman-pengalaman penyembuhan yang menakjubkan bagi orang-orang yang mereka kasihi? Itu adalah pertanyaan lazim, pertanyaan yang dapat dipahami. Tetapi itu juga pertanyaan-pertanyaan yang biasanya terlontar tanpa jawaban dalam kehidupan fana ini. Tuhan telah mengatakan, “Tingginya jalan-[Ku] dari jalanmu, dan rancangan-[Ku] dari rancanganmu” (Yesaya 55:9). Karena kehendak Putra “ditelan oleh kehendak Bapa” (Mosia 15:7), demikian juga hendaknya kita.
Tetapi, kita manusia fana secara alami ingin mengetahui kata mengapa tersebut. Jika kita dengan sungguh-sungguh mencari jawabannya kita bisa melupakan alasan mengapa kita ada di sini. Kehidupan fana memiliki tujuan yang berbeda, lebih sempit penjelasannya: Sebuah tempat untuk ujian atau untuk tumbuh, masa untuk berjalan dengan iman, masa untuk mempersiapkan diri bertemu dengan Allah (lihat untuk contoh Abraham 3:24–25; 2 Nefi 31:15–16, 20; Alma 12:24; Alma 42:4–13). Adalah dengan kerendahan hati yang terpelihara (Alma 32:6–21) dan sifat tunduk (lihat Mosia 3:19) kita dapat memahami sepenuhnya pengalaman fana dan mempersiapkan diri kita secara jasmani dan rohani untuk menerima bisikan-bisikan Roh. Secara khusus, kerendahan hati dan sifat tunduk adalah ungkapan dari kesediaan sepenuhnya untuk membiarkan pertanyaan-pertanyaan “mengapa” berlalu tanpa jawaban untuk saat ini, atau barangkali bahkan untuk mempertanyakan, “Mengapa tidak?” Itu adalah “bertahan dengan baik” sampai akhir (lihat 2 Nefi 31:15–16; Alma 32:15; A&P 21:8) sehingga kita mencapai tujuan kehidupan ini. Saya percaya bahwa ujian terbesar kehidupan fana ini adalah untuk menghadapi pertanyaan “mengapa” dan membiarkannya begitu saja, dengan rendah hati percaya kepada janji Tuhan bahwa “segala hal harus terjadi pada waktunya” (A&P 64:32).
Tetapi Tuhan tidak meninggalkan kita tanpa penghiburan atau tanpa jawaban apa pun. Sebagaimana dengan penyembuhan terhadap yang sakit, Dia dengan jelas mengatakan: “Dan lagi, akan terjadi bahwa dia yang beriman kepada-Ku untuk disembuhkan dan tidak ditetapkan untuk mati, akan disembuhkan” (A&P 42:48, cetak miring ditambahkan). Terlalu sering, kita berfokus pada janji bahwa orang itu akan disembuhkan, “tidak ditetapkan untuk mati” (“atau,” kita dapat menambahkan, “untuk sakit atau cacat”). Tolong jangan sedih ketika doa-doa tulus yang telah Anda mohonkan dan berkat-berkat keimamatan telah diberikan dan orang-orang yang Anda kasihi tidak sembuh atau bahkan meninggal dunia. Hiburlah diri Anda dalam pengetahuan bahwa Anda telah berbuat semampu Anda. Iman, puasa serta berkat semacam itu tidak akan sia-sia! Bahwa anak Anda tidak sembuh padahal semuanya telah dilakukan untuk dia, itu seharusnya menjadi dasar untuk kedamaian dan keyakinan bagi semua orang yang mengasihi-Nya! Tuhan—yang memberikan berkat-berkat dan yang mendengar setiap doa yang sungguh-sungguh—memanggil anak itu pulang ke haribaan-Nya. Semua pengalaman doa, puasa serta iman mungkin akan lebih bermanfaat bagi kita daripada bagi anak itu.
Lalu, bagaimana kita seharusnya mendekati Bapa Surgawi sewaktu kita memohon dengan sungguh-sungguh bagi orang yang kita kasihi dan meletakkan tangan kita ke atas kepalanya untuk memberikan berkat melalui wewenang imamat? Bagaimana kita dengan benar dapat menjalankan iman kita? Nabi Joseph Smith menjelaskan asas utama daripada injil sebagai “iman kepada Tuhan Yesus Kristus” (Pasal-pasal Kepercayaan 4, cetak miring ditambahkan). Adalah di dalam kalimat—“kepada Tuhan Yesus Kristus”—itulah mengapa kita kadang-kadang lupa. Terlalu sering, kita mengucapkan doa atau melaksanakan penyembuhan lalu menunggu dengan harap-harap cemas untuk mengetahui apakah permohonan kita akan dikabulkan, seolah-olah persetujuan itu memberikan bukti akan keberadaan-Nya. Itu bukan iman! Iman, secara sederhana, adalah suatu keyakinan kepada Tuhan. Dalam kata-kata Mormon, itu adalah “berpikiran tetap dalam setiap bentuk hidup yang saleh” (Moroni 7:30, huruf miring ditambahkan). Tiga anak bangsa Ibrani menyatakan kepercayaan mereka bahwa Tuhan akan membebaskan mereka dari kobaran api, “tetapi seandainya tidak,” mereka berkata kepada raja, “kami tidak akan memuja dewa tuanku” (Daniel 3:18; cetak miring ditambahkan). Sebenarnya, bukan tiga, melainkan empat, orang yang terlihat di tengah-tengah kobaran api, dan “yang keempat itu rupanya seperti anak dewa” (Daniel 3:25).
Demikian juga dengan kita. Adalah lazim di dalam dunia kita untuk mengatakan bahwa “melihat adalah mempercayai.” Betapa pun berharganya asas dasar ini dalam kegiatan hidup sehari-hari, pepatah itu tidak dapat diterapkan dalam hal-hal rohani. Cara Tuhan diuraikan dengan paling baik melalui pepatah yang berbeda, “Mempercayai adalah melihat.” Iman kepada Tuhan adalah asas dasar, bukan kesimpulan. Kita tahu Dia hidup; oleh karena itu, kita percaya kepada-Nya untuk memberkati kita menurut kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Keyakinan seperti anak kecil kepada Tuhan ini dikenal di dalam tulisan suci sebagai “pengurbanan” dari “hati yang patah dan jiwa yang penuh sesal” (A&P 59:8).
Saya memberikan ini sebagai kesaksian yang saya peroleh dari ujian iman saya dalam kehidupan ini. Putra kedua kami, Adam, lahir ketika saya meninggalkan keluarga saya untuk berada di hutan belantara dan di persawahan di Vietnam. Saya masih merasakan sukacita menerima telegram yang memberitahukan kelahirannya. Adam adalah anak lelaki yang bermata biru, berambut pirang dengan penampilan yang ceria. Ketika dia berusia lima tahun, Adam ingin sekali bersekolah. Kemudian, wabah penyakit melanda masyarakat California selatan, dan Adam terjangkit penyakit itu. Kecuali mengkhawatirkan kesenangannya, kami tidak cemas. Penyakitnya tampak tidak serius. Tiba-tiba suatu pagi dia tidak bangun dari tempat tidurnya; dia dalam keadaan koma. Kami membawanya ke rumah sakit, di mana dia dimasukkan ke dalam ruang ICU. Sejumlah dokter ahli dan perawat memeriksanya. Ibunya dan saya menunggu dengan cemas di ruang tunggu terdekat.
Saya menelepon presiden wilayah kami, teman semasa kecil dan sekarang menjadi rekan sejawat dalam Tujuh Puluh, Penatua Douglas L. Callister, dan menanyakan apakah dia bersedia datang ke rumah sakit dan bergabung dengan saya untuk memberikan berkat keimamatan kepada Adam. Dalam beberapa menit dia sudah ada di sana. Ketika kami memasuki ruangan kecil yang penuh dengan peralatan medis di mana tubuh mungil Adam terbaring tak berdaya, tempat tidurnya dikelilingi oleh alat monitor dan alat-alat medis lainnya, dokter dan perawat dengan khidmat melangkah mundur dan melipat tangan mereka. Ketika kata-kata berkat keimamatan yang sudah lazim dan menghibur itu diucapkan dengan iman dan permohonan yang sungguh-sungguh, saya diliputi dengan suatu perasaan lega bahwa Orang lain juga hadir di sana. Saya diliputi dengan pikiran seandainya saja saya membuka mata saya maka saya akan melihat Juruselamat berdiri di sana! Saya bukan satu-satunya orang yang ada di ruangan itu yang merasakan Roh tersebut. Kebetulan kami mengetahui beberapa bulan kemudian bahwa salah seorang perawat yang hadir di sana pada hari itu sedemikian tersentuh sehingga dia mencari para misionari dan kemudian dibaptiskan.
Meskipun semuanya telah dilakukan, Adam tidak mengalami kemajuan. Kondisinya tidak berubah sedikit pun selama beberapa hari kemudian ketika kami memohon kepada Tuhan untuk mengembalikan dia kepada kami. Akhirnya, suatu pagi setelah malam yang melelahkan, saya berjalan sendirian menyusuri koridor rumah sakit. Saya berbicara kepada Tuhan dan memberitahu-Nya bahwa kami menginginkan putra kami segera sembuh, tetapi walaupun demikian apapun yang menjadi keinginanan kami adalah kehendak-Nyalah yang terjadi dan bahwa kami—Pat dan saya—akan menerima hal itu. Adam menghembuskan nafas terakhir tidak lama kemudian.
Sesungguhnya, kami masih berduka atas putra kami, meskipun pelayanan lembut Roh dan seiring berlalunya tahun telah menyirnakan kepedihan kami. Fotonya menghiasi ruang tamu kami disamping foto anak-anak serta cucu-cucu kami lainnya. Tetapi Pat dan saya tahu bahwa jalannya melalui kehidupan fana ini ditetapkan oleh Bapa Surgawi untuk berlangsung lebih pendek dan lebih mudah daripada jalan kami dan bahwa sekarang dia akan menyambut kedatangan kami ketika kami akhirnya meninggalkan kehidupan ini.
Ke air yang dalam Aku memanggilmu,
Tak ‘kan tenggelam dalam deritamu.
Kesukaranmu akan menguatkan, dan murnikan engkau,
Dan murnikan engkau, dan murnikan engkau lewat cobaan.
Jikalau cobaan berat menimpa,
Karuniaku bagimu tersedia.
Api penyuci tak ‘kan menyakiti, bahkan akan membuat,
Bahkan akan membuat, bahkan akan membuat jiwamu murni.
Jiwa yang bersandar kepada Yesus,
Tak ‘kan Kubiarkan jatuh ke musuh;
Meskipun neraka menggoncangkannya, tidak akan Aku,
Tidak akan Aku, tidak akan Aku melupakannya
(“Teguhlah Landasan,” Nyanyian Rohani, no. 28).
Dalam nama Yesus Kristus, amin.