2002
Teladan untuk Diikuti
November 2002


Teladan untuk Diikuti

Kita sekalian yang hidup di dunia zaman sekarang memerlukan nilai-nilai yang dapat mengukur perilaku kita—yaitu teladan untuk diikuti.

Beberapa tahun yang lalu saya mengagumi sampul terbitan Gereja yang menyajikan reproduksi lukisan menakjubkan karya Carl Bloch. Gambaran itu disimpan di dalam benaknya dan kemudian—dengan sentuhan tangan yang terampil—dituangkannya ke dalam kanvas, yang menggambarkan Elisabet, istri Zakharia, sedang menyambut Maria, ibu Yesus. Keduanya melahirkan anak lelaki—kelahiran ajaib.

Putra yang dilahirkan Elisabet dikenal sebagai Yohanes Pembaptis. Baik Yesus maupun Yohanes—keduanya memiliki catatan terbatas mengenai masa muda mereka. Sebuah kalimat mengungkapkan kepada kita semua bahwa kita mengetahui kehidupan Yohanes dari kelahiran sampai pada pelayanan-Nya secara umum: “Ada pun anak itu bertambah besar dan makin kuat rohnya. Dan ia tinggal di padang gurun sampai kepada hari ia harus menampakkan diri kepada Israel.”1

Pesan Yohanes sangat singkat. Dia berkhotbah tentang iman, pertobatan, pembaptisan dengan pencelupan serta karunia Roh Kudus melalui wewenang yang lebih besar daripada yang dimiliki oleh dirinya sendiri. “Aku bukan Mesias,” dia memberitahu para muridnya yang setia, “tetapi … aku diutus untuk mendahului-Nya.”2 “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa daripadaku akan datang … Ia akan membaptis kamu dengan Roh Kudus dan dengan api.”3

Maka dilakukanlah pembaptisan Kristus oleh Yohanes Pembaptis. Kemudian Yesus bersaksi, “Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar daripada Yohanes Pembaptis.”4

Kita sekalian yang hidup di dunia zaman sekarang memerlukan nilai-nilai yang dapat mengukur perilaku kita—yaitu teladan untuk diikuti. Yohanes Pembaptis memberi kita teladan yang sempurna akan kerendahan hati yang sejati, karena dia senantiasa patuh terhadap Orang yang harus diikuti—Juruselamat umat manusia.

Belajar mengenai orang-orang yang percaya kepada Allah dan mengikuti ajaran-Nya menolong kita merasakan Roh yang berbisik kepada kita, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah.”5 Ketika mereka bertekad untuk mematuhi perintah-Nya dan percaya kepada-Nya, mereka diberkati. Ketika kita mengikuti teladan mereka, kita juga akan diberkati di zaman kita. Setiap orang harus menjadi teladan untuk diikuti.

Kita semua menyukai kisah indah dari Alkitab mengenai Abraham dan Ishak. Sungguh sangat sulit bagi Abraham, dalam kepatuhan terhadap perintah-perintah Allah, membawa putranya yang terkasih Ishak ke tanah Moria, di sana dia mempersembahkan putranya kepada-Nya sebagai kurban bakaran. Dapatkah Anda membayangkan betapa pedih hatinya ketika dia mengumpulkan kayu bakar untuk membuat api serta pergi menuju tempat yang telah ditentukan? Pasti rasa sakit itu menyelimuti sekujur tubuhnya dan berkecamuk dalam benaknya ketika dia “mengikat Ishak … serta membaringkannya di atas mezbah kayu. Dan … mengulurkan tangannya, serta mengambil pisau untuk membunuh putranya.” Suara mulia yang muncul melegakan hatinya: “Jangan bunuh anak itu dan jangan kauapa-apakan dia, sebab telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku.”6

Tanpa diragukan lagi Abraham memenuhi syarat sebagai teladan kepatuhan.

Jika ada di antara kita yang merasa bahwa tantangan-tantangannya di luar kemampuannya untuk mengatasinya, biarlah dia membaca kisah tentang Ayub. Dengan melakukan hal itu, akan muncul perasaan, “Jika Ayub bisa bertahan dan mengatasi masalahnya, maka saya pun bisa.”

Ayub adalah “orang yang saleh dan jujur” yang “takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.”7 Meski dia sangat menghormati Tuhan, serta orang yang kaya, tetapi Ayub menghadapi ujian yang dapat menghancurkan siapa saja. Harta miliknya diambil, dia dijauhi oleh teman-temannya, menderita secara jasmani, hatinya pedih karena kehilangan keluarganya, dia diminta untuk “[me]ngutuk Allah[nya], dan mati!”8 Dia menolak godaan ini dan menyatakan dari lubuk hatinya yang mulia, “Ketahuilah, sekarang pun juga, Saksiku ada di surga, Yang memberi kesaksian bagiku ada di tempat yang tinggi.”9 “Aku tahu penebusku hidup.”10

Ayub menjadi teladan kesabaran yang tak terbatas. Sampai saat ini kita merujuk pada orang-orang yang panjang sabar yang memiliki ketekunan seperti Ayub. Dia memberikan teladan bagi kita untuk diikuti.

“Seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya,” seorang yang “hidup bergaul dengan Allah,”11 ialah nabi Nuh. Ditahbiskan pada keimamatan pada usia muda, “dia menjadi pengkhotbah akan kebenaran dan mengabarkan Injil Yesus Kristus, … mengajarkan iman, pertobatan, pembaptisan, serta penerimaan Roh Kudus.”12 Dia memperingatkan bahwa gagal mengindahkan pesan-Nya akan mendatangkan air bah bagi mereka yang mendengarkan suaranya, tetapi mereka mengeraskan hati terhadap perkataannya.

Nuh mengindahkan perintah Allah untuk membangun sebuah bahtera, supaya dia serta keluarganya dapat terhindar dari kemusnahan. Dia mengikuti petunjuk Allah untuk mengumpulkan ke dalam bahteranya satu pasang dari setiap makhluk hidup, sehingga mereka juga dapat diselamatkan dari bencana air bah.

Presiden Spencer W. Kimball mengatakan: “Karena tidak adanya bukti hujan dan banjir … Peringatan [Nuh] dianggap tidak masuk akal … Betapa bodoh membangun sebuah bahtera di tanah yang kering dengan matahari bersinar cerah dan hidup yang berjalan secara wajar! Tetapi waktu berlalu cepat … Air bah itu tiba-tiba datang. Mereka yang tidak patuh … tenggelam. Mukjizat bahtera memberkati mereka yang patuh di dalam bahtera itu.”13

Nuh telah memiliki iman yang teguh terhadap perintah-perintah Allah. Semoga kita berbuat seperti itu. Semoga kita mengingat bahwa kebijaksanaan Allah kadang-kadang tampak seperti hal yang bodoh di mata manusia; tetapi pelajaran paling besar yang dapat kita pelajari dalam kefanaan ini ialah bahwa ketika Allah berbicara dan kita patuh, kita akan senantiasa menjadi benar.

Teladan ideal kewanitaan adalah Rut. Merasakan kepedihan hati ibu mertuanya, Naomi, yang berduka atas kematian dua orang putra terkasihnya, merasakan rasa sakit dan kesepian yang menyelimuti jiwa Naomi, Rut mengungkapkan apa yang kemudian menjadi pernyataan klasik tentang kesetiaan: “Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku.”14 Tindakan Rut menunjukkan ketulusan kata-katanya.

Melalui kesetiaan Rut yang tak tergoyahkan kepada Naomi, dia bersedia menikah dengan Boas, melalui mana dia—orang asing serta perempuan Moab—menjadi buyut perempuan Daud dan, karena itu, menjadi leluhur Juruselamat kita Yesus Kristus.

Sekarang saya beralih kepada nabi besar Kitab Mormon—yaitu Nefi, putra Lehi dan Saria. Dia setia dan patuh kepada Allah, gagah serta berani. Ketika diberi tugas sulit untuk mendapatkan lemping-lemping kuningan dari Laban, dia tidak menggerutu, melainkan berkata, “Aku akan pergi dan melakukan hal yang telah Tuhan perintahkan, karena aku tahu bahwa Tuhan tidak memberi perintah kepada anak-anak manusia tanpa Ia mempersiapkan sebuah jalan bagi mereka agar mereka dapat melaksanakan hal yang telah diperintahkan-Nya kepada mereka.”15 Barang kali tindakan pemberani ini mengilhami seseorang untuk menulis bait-bait nasihat bagi kita yang tertulis dalam nyanyian rohani, “The Iron Rod”:

Nefi, sang Pelihat di zaman dahulu,

Menerima penglihatan dari Allah ….

Berpeganglah pada pegangan besi;

Pegangan yang kuat, terang, dan benar.

Pegangan besi adalah firman Allah;

Yang akan menuntun kita dengan selamat.16

Nefi adalah teladan dari orang yang memiliki tekad yang bulat.

Belum lengkap penjelasan mengenai teladan yang patut diikuti tanpa menyertakan Joseph Smith, nabi pertama pada masa kelegaan ini. Ketika berusia 14 tahun, pemuda yang pemberani ini masuk ke dalam hutan, yang kemudian disebut hutan kudus, dan menerima jawaban atas doanya yang sungguh-sungguh.

Joseph terus mengalami penganiayaan menyusul penglihatan pertama yang dia ceritakan kepada orang lain. Tetapi, meskipun dia dicemooh serta dicaci-maki, dia tetap berdiri kukuh. Dia mengatakan, “Aku telah melihat sebuah penglihatan; aku mengetahuinya dan aku tahu bahwa Allah pun mengetahuinya, dan aku tidak dapat atau pun berani menyangkalnya.”17

Secara bertahap, meski hampir selalu menghadapi pertentangan dan selalu dibimbing oleh tangan Tuhan, Joseph akhirnya mengorganisasi Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Dia membuktikan keberaniannya dalam segala hal yang dilakukannya.

Hingga akhir hayatnya, ketika dia dimasukkan bersama saudara lelakinya Hyrum ke dalam Penjara Carthage, dia dengan berani dan tanpa ragu-ragu menghadapi apa yang akan terjadi padanya, dan dia memeteraikan kesaksiannya dengan darahnya.

Ketika kita menghadapi ujian kehidupan, kita mungkin pernah berusaha menandingi keberanian yang tak tergoyahkan yang diteladankan oleh Nabi Joseph Smith.

Di depan kita sekarang ini berdiri seorang nabi Allah lainnya—yaitu Presiden Gordon B. Hinckley yang terkasih. Dia memimpin Gereja yang besar ini—baik dalam jumlah keanggotaan maupun jumlah lokasi Gereja beroperasi—dalam sejarah kita. Dia telah mengunjungi negara-negara yang tidak pernah dikunjungi sebelumnya dan telah berbincang-bincang dengan para pemimpin pemerintahan serta anggota di seluruh dunia. Kasihnya bagi orang-orang tidak dibatasi oleh rintangan bahasa dan kebudayaan.

Melalui penglihatan kenabian, dia membentuk Dana-tetap Pendidikan, yang menolong para anggota keluar dari jurang kemiskinan di banyak tempat di dunia dan memberi keterampilan serta pelatihan yang menjadikan para remaja putra dan putri memenuhi syarat untuk memperoleh pekerjaan dengan gaji yang layak. Rencana yang terilhami ini memberi harapan bagi mereka yang merasa tidak memiliki keterampilan dan kemampuan tetapi yang sekarang berkesempatan untuk memiliki masa depan yang lebih cerah.

Presiden Hinckley telah bekerja tanpa lelah untuk mendatangkan berkat-berkat kudus ini kepada para anggota Gereja di seluruh dunia dengan menyediakan bait suci-bait suci yang berada di dalam jangkauan mereka. Dia memiliki kemampuan untuk mengangkat orang-orang ke tempat yang lebih tinggi tanpa mempedulikan latar belakang atau keadaan mereka. Dia adalah teladan dari orang yang memiliki kemantapan optimisme, dan kita menghormatinya sebagai nabi, pelihat, serta pewahyu.

Sifat-sifat unik yang dimiliki oleh para pria dan wanita yang telah saya sebutkan tadi dapat menjadi bantuan berharga bagi kita ketika kita menghadapi masalah dan kesulitan yang kita hadapi. Perkenankan saya mengilustrasikannya dengan menceritakan pengalaman keluarga Jerome Kenneth Pollard dari Oakland, California.

Bulan Mei lalu, ketika Elder Taavili Joseph Samuel Pollard mengadakan perjalanan ke kantor misi pada hari terakhir misinya di Zimbabwe, mobil misi yang dikendarainya kehilangan kendali dan menabrak sebuah pohon. Seseorang yang lewat di situ dapat menyelamatkan rekan Elder Pollard, tetapi Elder Pollard, yang tak sadarkan diri, terjebak di dalam mobil yang sudah terbakar. Elder Pollard tewas. Ibunya meninggal delapan tahun sebelumnya; sejak itu ayahnya membesarkan keluarga itu sendirian. Seorang saudara lelakinya melayani di Misi India Barat.

Ketika kabar kematian Elder Pollard didengar ayahnya, orang yang rendah hati ini—yang telah kehilangan istrinya—menelepon putranya yang sedang melayani di Misi India Barat untuk memberitahukan mengenai kematian saudara lelakinya. Melalui jalur telepon jarak jauh itu, Brother Pollard serta putranya, dengan hati yang tabah dan kuat, menyanyikan bersama lagu, “Aku Anak Allah.”18 Sebelum menutup telepon, si ayah mengucapkan doa kepada Bapa Surgawi, berterima kasih kepada-Nya atas berkat-berkat-Nya serta mencari penghiburan ilahi dari-Nya.

Brother Pollard kemudian berkomentar bahwa dia tahu keluarganya akan baik-baik saja, karena mereka memiliki kesaksian yang kuat mengenai injil dan Rencana Keselamatan.

Saudara dan saudari sekalian, pada masa kelegaan kegenapan zaman yang menakjubkan ini, ketika kita hidup di dunia dan menghadapi kesulitan serta tantangan masa depan, semoga kita mengingat teladan yang harus diikuti yang telah saya ulas pagi ini. Semoga kita memiliki kerendahan hati Yohanes Pembaptis yang tak tergoyahkan, kepatuhan Abraham yang tak diragukan lagi, kesabaran Ayub yang tak terbatas, iman Nuh yang teguh, kesetiaan Rut yang mantap, kebulatan tekad Nefi, keberanian Nabi Joseph Smith yang tak tergoyahkan, serta kemantapan optimisme Presiden Hinckley. Mengembangkan sifat-sifat semacam itu akan menjadi benteng kekuatan bagi kita di dalam kehidupan kita.

Semoga kita senantiasa dibimbing oleh Teladan Agung, yaitu putra Maria, Juruselamat Yesus Kritus—yang kehidupannya memberikan teladan yang sempurna untuk diikuti.

Dilahirkan di kandang, dibaringkan dalam palungan, Dia datang dari surga untuk hidup di bumi sebagai manusia fana dan untuk menegakkan kerajaan Allah. Selama pelayanan-Nya di bumi, Dia mengajarkan kepada manusia hukum yang lebih tinggi. Injil-Nya yang mulia mengubah cara berpikir dunia. Dia memberkati mereka yang sakit. Dia menjadikan mereka yang lumpuh berjalan, mereka yang buta melihat, mereka yang tuli mendengar. Dia bahkan menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati.

Apakah reaksi terhadap pesan belas kasih-Nya, kata-kata bijaksana-Nya, pelajaran-Nya tentang kehidupan? Hanya terdapat beberapa orang saja yang menghargai Dia. Mereka membasuh kaki-Nya. Mereka mempelajari firman-Nya. Mereka mengikuti teladan-Nya.

Namun ada juga yang mengingkari-Nya. Ketika ditanya oleh Pilatus, “Apakah yang harus aku perbuat dengan Yesus, yang disebut Kristus?”19 Mereka berteriak, “Salibkan Dia.”20 Mereka mencemoohkan-Nya. Mereka memberi-Nya minum asam cuka. Mereka menghina-Nya. Mereka memukul-Nya dengan buluh. Mereka meludahi-Nya. Mereka menyalibkan-Nya.

Sepanjang sejarah, pesan Yesus selalu sama. Kepada Petrus di pantai Galilea dia berkata, “Ikutlah Aku.”21 Kepada Filipus pada zaman dahulu datanglah panggilan, “Ikutlah Aku.”22 Kepada Lewi si pemungut cukai datanglah perintah, “Ikutlah Aku.”23 Serta kepada Anda dan saya, jika kita mendengarkan, akan datang isyarat ajakan yang sama, “Ikutlah Aku.”

Doa saya hari ini adalah semoga kita melakukan hal yang sama. Dalam nama Yesus Kristus yang kudus, amin.

Catatan

  1. Lukas 1:80.

  2. Yohanes 3:28.

  3. Lukas 3:16.

  4. Matius 11:11.

  5. Mazmur 46:10.

  6. Kejadian 22:9–10, 12.

  7. Ayub 1:1.

  8. Ayub 2:9.

  9. Ayub 16:19.

  10. Ayub 19:25.

  11. Kejadian 6:9.

  12. Bible Dictionary, “Noah,” hlm. 738–739.

  13. Dalam Conference Report, Oktober 1952, 48.

  14. Rut 1:16.

  15. 1 Nefi 3:7.

  16. Joseph L. Townsend (1849–1942), Hymns, no. 274.

  17. Joseph Smith 2:25.

  18. Naomi W. Randall (1908–2001), Nyanyian Rohani, no. 144.

  19. Matius 27:22.

  20. Markus 15:13.

  21. Matius 4:19.

  22. Yohanes 1:43.

  23. Lukas 5:27.