Menemukan Iman Saya
Selama beberapa bulan, para misionaris beberapa kali mengundang saya untuk dibaptiskan, namun saya selalu menolak.
Suatu malam selama tahun pertama kuliah saya di tahun 1989–1990, seorang teman saya dan saya belajar sampai larut malam untuk ujian.
Tiba-tiba, Matt mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya yang akan menjadi salah satu momen penting dalam kehidupan saya. “Menurut gerejamu Allah itu seperti apa? Maksud saya, menurutmu Dia itu seperti apa?”
Saya tidak memiliki jawaban untuknya. Menyadari keadaan saya, dia dengan lembut mengubah pokok bahasan. Namun saya tidak dapat melupakannya. Saya berada dalam posisi yang sulit: Saya seorang Protestan yang kuliah di Universitas Brigham Young, dan meskipun saya memiliki keraguan dengan kepercayaan saya dan agama saya pada umumnya, saya tidak berniat pindah agama. Tetapi, selama sepanjang tahun itu saya telah secara cermat melindungi diri saya secara rohani dengan menghindari percakapan perihal agama. Dengan pertanyaan sederhana ini, teman saya akhirnya telah berhasil membuka celah kecil dalam hati saya.
Mencari Iman
Selama beberapa bulan berikutnya, saya berulang kali bertanya pada diri sendiri, “Apa yang saya percayai? Yang lebih penting lagi, apakah saya percaya? Apakah sungguh-sungguh ada Allah, dan, jika ada, seperti apa Dia? Dapatkah saya mengenal-Nya? Akankah Dia menjawab doa-doa saya? Dapatkah saya memiliki iman seperti teman-teman Orang-Orang Suci Zaman Akhir saya?”
Bukannya saya tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan pertanyaan yang menarik semacam itu sebelumnya; selama bertahun-tahun beberapa teman baik saya adalah Orang-Orang Suci Zaman Akhir. Pertemanan ini telah menuntun saya untuk kuliah di BYU. Namun hampir selalu saya menolak upaya mereka berbagi Injil. Beberapa kali saya telah bertemu dengan misionaris, saya tidak mendengarkan dengan pikiran yang terbuka.
Saya terlalu takut dengan perubahan yang akan diperlukan, perubahan yang secara sosial dan emosional dapat mengasingkan saya dari keluarga saya. Saya tidak bersedia untuk memercayai bahwa saya salah atau bahwa adat istiadat saya tidak benar. Saya tidak memercayai bahwa saya dapat menerima wahyu dari Allah atau bahkan bahwa orang lain dapat menerimanya. Kelihatannya tidak masuk akal, tidak logis, dan adalah aneh bahwa Allah mau menampakkan diri kepada pemuda Joseph Smith, bahwa Dia mewahyukan tulisan suci baru, dan bahwa hanya ada satu agama yang telah menerima bimbingan ilahi untuk pendiriannya sebagai Gereja yang benar.
Ironisnya, saya meragukan keabsahan semua agama, termasuk agama saya sendiri. Sementara hati saya dipenuhi dengan kasih bagi keluarga dan teman-teman, hati yang merindukan jawaban, ketika jawaban itu datang dalam bentuk bisikan Roh, saya menolak mendengarnya.
Setelah tahun pertama kuliah saya, saya pulang ke Kentucky untuk melanjutkan pendidikan saya. Teman- teman Orang-Orang Suci Zaman Akhir saya segera pergi untuk melayani misi, dan saya merasakan kesepian yang mendalam karena kepergian mereka. Saya ingin memiliki keyakinan yang telah mengilhami mereka untuk memberikan dua tahun dalam kehidupan mereka. Pada saat yang sama, saya terus-menerus gelisah karena saya masih belum memiliki jawaban bagi pertanyaan Matt. Saya ingin mengetahui kebenaran bagi diri saya sendiri. Akhirnya, setelah banyak surat dari teman-teman saya yang mendorong saya untuk bertemu dengan para misionaris, saya dapat mengatasi kecemasan saya dan menerima mereka.
Mempertimbangkan Pertobatan
Meskipun demikian, saya setuju dengan gagasan bahwa berbagai asas Injil terhubung dalam satu kesatuan yang utuh. Para misionaris percaya bahwa karena pesan mereka, secara keseluruhan, bisa benar atau salah, ketika saya memperoleh kesaksian tentang satu asas, saya dapat secara alami menerima semua ajaran mereka.
Saya tidak memercayai mereka. Saya pikir saya dapat mengambil dan memilih apa yang ingin saya percayai dari serangkaian pilihan rohani dan ajaran.1 pada saat yang sama, logika saya menuntut bukti empiris sebagai bukti nyata, bukan pertobatan yang didasarkan pada iman.
Malangnya, logika saya juga menyebabkan saya menjadi tidak bahagia dan tidak puas. Semua argumentasi filosofis yang saya pikirkan adalah gagasan pesismisme yang tidak menyediakan jawaban nyata. Saya menghendaki sesuatu yang lain, sesuatu yang akan mengkomunikasikan dengan hati saya cara yang teman-teman saya dan misionaris uraikan sebagai berkomunikasi dengan Roh Kudus. Saya ikut dalam pembahasan misionaris dengan harapan agar saya dapat mengetahui apa yang mereka katakan adalah benar atau, pada akhirnya, memperoleh kepuasan dalam mengetahui itu adalah salah.
Para misionaris bersabar namun berani. Selama beberapa bulan, mereka mengajarkan kepada saya banyak pembahasan dan beberapa kali mengundang saya untuk dibaptiskan, namun saya selalu menolak. Saya menunggu beberapa peristiwa nyata dan ajaib yang akan memberi saya sebuah kesaksian sebelum saya bersedia menerima undangan mereka. Saya tidak menerima kesaksian seperti itu, jadi saya tetap menolak undangan mereka.
Suatu hari para elder itu membacakan sebuah pasal dari Kitab Mormon: “Janganlah berbantah karena kamu tidak melihat, karena kamu tidak akan menerima kesaksian sebelum pencobaan imanmu” (Eter 12:6). Lalu mereka mengatakan, “Josh, setiap kali kami mengundang Anda untuk dibaptiskan, Anda menolak. Apa yang harus Anda lakukan adalah mengatakan ya, dan kemudian Roh akan meyakinkannya pada Anda.
Dengan perkataan lain, saya belum menerima sebuah kesaksian karena saya belum menguji iman saya. Saya tidak perlu berpikir namun bertanya, percaya saya akan menerima tanpa menguji (lihat A&P 9:7). Saya telah secara efektif menghalangi Roh dari dapat memberikan kesaksian kepada saya karena saya tidak bersedia mengambil langkah berikutnya. Yang perlu saya lakukan adalah membuat pilihan berdasarkan iman sebelum kesaksian diberikan. Kesaksian yang meneguhkan akan datang setelah saya menguji iman saya, bukan sebelumnya.2
Pikiran pertama saya adalah bahwa para misionaris sedang memanipulasi saya untuk membaptiskan saya. Kemudian itu terjadi pada saya bahwa pada saat yang tepat ketika saya menjawab tidak atas undangan pembaptisan itu, sesuatu yang sulit dikenali meninggalkan hati saya. Itu adalah perasaan damai yang tenang, lembut, dan halus mendesak saya untuk mengikuti nasihat para misionaris itu, namun saya tidak menyadari kehadirannya sampai perasaan tersebut hilang, meninggalkan saya dalam kebingungan, ketidakbahagiaan, dan kesedihan.
Saya bertanya-tanya apakah perasaan yang sulit dikenali ini Roh yang meninggalkan saya dan apakah penyebab dari kebingungan saya adalah hati saya yang keras yang mengusir-Nya. Tanpa jalan lain, saya memutuskan untuk menguji tantangan misionaris tersebut. Saya akan mengatakan ya pada undangan yang tak terelakkan itu, dan kemudian jika saya merasakan Roh sebagaimana yang mereka janjikan kepada saya, saya akan melanjutkan dengan pembaptisan. Sebaliknya, jika saya tidak merasakan Roh, saya sungguh-sungguh siap untuk memberi tahu para misionaris saya cuma bercanda.
Menguji Benih
Malam pada janji kami berikutnya kami melihat sebuah video baru Gereja, The Prodigal Son [Anak yang Hilang]. Ada suatu perasaan khusus dalam ruangan; para misionaris sangat tersentuh, air mata menetes dari mata mereka.
Setelah film selesai, kami membaca beberapa pasal dalam tulisan suci. Akhirnya Elder Critchfield menoleh pada saya dan bertanya, “Josh, maukah Anda dibaptis pada hari Sabtu tanggal 10 November, pukul 16.00?”
Saya ragu-ragu lalu menjawab, “Ya.”
Roh menyentuh saya dengan kehadiran yang menggetarkan sehingga bulu-bulu di tangan saya berdiri, dan saya hampir menangis. Tidak ada keraguan lagi bahwa terang telah menyinari kegelapan. Saya telah menguji iman saya, dan saya tahu pasti bahwa saya harus dibaptiskan.
Saya telah memperoleh sebuah kesaksian tentang kebaikan dari satu benih iman, namun saya masih harus melihat benih itu tumbuh berbuah (lihat Alma 32:35–36), dan saya belum menerima kesaksian yang meneguhkan tentang asas-asas Injil lainnya. Pencobaan iman saya belum berakhir.
Tak lama setelah saya dibaptiskan dan ditetapkan, keragu-raguan menyelimuti benak saya. Saya merasakan pertentangan antara pengalaman pribadi yang saya miliki ketika memutuskan untuk dibaptiskan dengan logika lama saya, yang tidak menerima pengetahuan didasarkan pada iman.
Segera saya kembali merasakan perasaan yang menghantui akan kebingungan dan penderitaan, dan saya tidak tahu apa yang harus dipercayai. Meskipun demikian, saya telah membuat suatu tekad, dan saya memutuskan untuk tetap aktif di Gereja serta menerapkan asas-asas yang telah diajarkan sampai pencobaan iman saya mengatasi konflik saya dalam satu cara atau yang lainnya.
Menemukan Iman Saya
Tuhan tidak meninggalkan saya untuk melewati cobaan saya sendirian. Saya diberi pemanggilan untuk melayani bersama para misionaris, dan sewaktu kami pergi mencari jiwa setiap minggu, para misionaris terus membimbing saya. Para pengajar ke rumah saya setia. Rekan pengajar ke rumah saya orangnya tepat waktu dan konsisten. Banyak anggota lingkungan saya mengembangkan pertemanan dengan saya melalui melibatkan saya dalam kehidupan mereka, mengundang saya ke rumah mereka untuk makan malam dan untuk malam keluarga. Mereka berdoa dengan dan untuk saya. Uskup dan keluarganya peduli dan mendorong saya. Saya dapat merasakan niat tulus di hati mereka, dan itu memperkuat tekad saya.
Suatu hari, beberapa bulan kemudian, saya menyadari bahwa setiap kali saya membaca Kitab Mormon, saya merasakan suatu perasaan damai yang lembut dan akrab, sama seperti yang telah saya rasakan selama pembahasan dan undangan pembaptisan. Saya mendadak memiliki momen kejelasan: ini adalah Roh. Sewaktu saya memikirkan kata-katanya—“Jika ini adalah Roh, maka kitab ini pastilah benar”—perasaan yang lembut itu membara di hati saya, dan iman saya menjadi pengetahuan rohani tentang asas itu.
Di saat hati saya terus menjadi lebih “patah” dan jiwa saya lebih “menyesal” (lihat Eter 4:15), pengalaman-pengalaman lain yang meneguhkan mengikuti. Saat itu keraguan saya tergantikan dengan keyakinan. Saya tahu bahwa Allah hidup, bahwa Yesus adalah Kristus, bahwa Joseph Smith adalah Nabi Allah, bukan karena kecerdasan saya atau oleh bujukan orang lain, melainkan oleh kehadiran Roh yang tak dapat dipungkiri yang berbicara dalam jiwa saya. Ajaran demi ajaran membuka pikiran saya (lihat 2 Nefi 28:30). Sewaktu pengalaman yang meneguhkan ini membangun satu sama lain, persepsi saya mengenai Injil diperluas, dan pemahaman rohani datang lebih cepat. Setiap pengalaman memerlukan ketekunan, kesediaan untuk mendengarkan dan mengikuti, dan hasrat untuk menyerah pada bujukan Roh (lihat Mosia 3:19).
Saya dapat mengatakan hari ini bahwa Injil adalah benar, karena saya telah belajar ini bagi diri saya. Dahulu Injil tampak aneh dan tidak masuk akal; sekarang itu menjadi akrab dan menakjubkan bagi saya. Asas-asas Injil sungguh-sungguh semuanya terhubung dalam satu kesatuan yang utuh. Bahkan dengan pengetahuan ajaran yang relatif terbatas, sebagai misionaris saya dapat bersaksi tentang kebenaran ini. Sewaktu pengetahuan ajaran saya bertambah, demikian juga kesaksian saya.
Semua kesaksian yang saya miliki bekerja sewaktu secara cermat dipupuk dan terus-menerus dipelihara menjadi pertahanan terhadap musuh. Itu mendukung saya melalui tantangan yang saya hadapi, sebagian besar terutama terhadap upaya si jahat yang menabur benih keraguan mengenai hal-hal yang jawabannya telah saya terima(lihat A&P 6:22–23). Ketika saya merasa lemah, ketika keraguan datang, ketika rasa sakit mendera, saya menerapkan pola yang sama yang telah memberikan hasil sejak hari pertama saya menerima kesaksian: saya merenungkan setiap pengalaman yang membangun iman yang telah saya terima, saya meningkatkan upaya saya dalam menjalankan asas-asas yang telah diajarkan kepada saya, dan saya memerhatikan sewaktu Roh menegaskan iman saya.
Injil adalah benar, semuanya, dan itu terbuka bagi semua orang yang mau, dalam kerendahan hati mereka, menguji iman mereka dengan mengambil langkah iman keluar dari kegelapan. Terang Juruselamat ada di sana, tersembunyi hanya oleh ketidakbersediaan kita untuk menemukannya. Mungkin akan ada banyak saat suram dalam kehidupan kita atau saat-saat ketika kesaksian kita diuji. Saya menemukan bahwa terang Juruselamat menanti kita apabila kita mau mencari-Nya, dan terang itu, jika kita mencarinya terus-menerus, menuntun kita pada pertobatan.