2020
Kecemerlangan Harapan yang Sempurna
Mei 2020


2:3

Kecemerlangan Harapan yang Sempurna

Karena Pemulihan menegaskan kembali kebenaran fundamental bahwa Allah sungguh bekerja di dunia ini, maka kita dapat berharap, kita hendaknya berharap, bahkan ketika menghadapi kemungkinan yang paling tak tertanggulangi.

Oktober lalu, Presiden Russell M. Nelson mengundang kita untuk melihat ke depan pada konferensi April 2020 ini dengan cara kita masing-masing melihat ke belakang untuk melihat kemegahan tangan Allah dalam memulihkan Injil Yesus Kristus. Sister Holland dan saya menanggapi undangan kenabian itu dengan serius. Kami membayangkan diri kami hidup di awal tahun 1800-an, melihat pada kepercayaan agama di zaman itu. Dalam membayangkan hal itu, kami bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang hilang di sini?” Apa yang kami harapkan kami miliki? Apa yang kami harapkan Allah akan sediakan sebagai tanggapan terhadap kerinduan rohani kami?”

Untuk satu hal, kami menyadari bahwa dua abad lalu kami akan sangat berharap akan pemulihan dari konsep Allah yang lebih benar daripada yang kebanyakan ada pada masa itu, tersembunyi seperti kerap Dia alami di belakang berabad-abad kekhilafan dan kesalahpahaman. Meminjam frasa dari William Ellery Channing, figur religi terkemuka pada masanya, kami akan mencari “karakter keorangtuaan Allah,” yang Channing anggap merupakan “doktrin besar pertama Kekristenan.”1 Doktrin semacam itu akan mengenali Yang Ilahi sebagai seorang Bapa di Surga yang peduli, alih-alih seorang hakim yang bengis yang mengedepankan keadilan yang kaku atau sebagai seorang tuan tanah yang tak hadir yang pernah terlibat dalam hal-hal duniawi tetapi kini sibuk di tempat lain di alam semesta.

Ya, harapan kami di tahun 1820 adalah menemukan Allah yang berbicara dan membimbing sama terbukanya di masa kini seperti yang Dia lakukan di masa lalu, seorang Bapa yang sejati, yang paling penuh kasih menurut artian kata itu. Dia tentunya bukan seseorang diktator yang dingin dan sewenang-wenang, yang menakdirkan beberapa yang terpilih pada keselamatan dan kemudian menyingkirkan sisa umat manusia pada keadaan terlaknat. Tidak, Dia adalah Seseorang yang setiap tindakan-Nya, berdasarkan pernyataan ilahi, akanlah “demi manfaat dunia; karena Dia mengasihi dunia”2 dan setiap penghuni di dalamnya. Kasih itu akan menjadi alasan utama-Nya untuk mengutus Yesus Kristus, Putra Tunggal-Nya, ke bumi.3

Berbicara mengenai Yesus, seandainya kami hidup di tahun-tahun pertama abad ke-19, kami akan menyadari dengan rasa khawatir yang besar bahwa keraguan mengenai kenyataan kehidupan dan Kebangkitan Juruselamat mulai memiliki cengkeraman yang signifikan dalam dunia Kristen. Karenanya, kami akan mengharapkan datangnya bukti bagi seluruh dunia yang akan mengukuhkan kesaksian Alkitab bahwa Yesus adalah Kristus, Putra Allah secara harfiah, Alfa dan Omega, dan satu-satunya Juruselamat yang akan dikenal dunia. Akan ada di antara pengharapan terkasih kami agar ada bukti tulisan suci lainnya ditampilkan, sesuatu yang dapat menjadi satu kesaksian lagi tentang Yesus Kristus, memperluas dan memperkaya pengetahuan kami akan kelahiran-Nya yang penuh mukjizat, pelayanan-Nya yang menakjubkan, kurban pendamaian dan Kebangkitan-Nya yang agung. Sesungguhnya dokumen semacam itu akan merupakan “kesalehan [yang diturunkan] dari surga, dan kebenaran [yang dikeluarkan] dari bumi.”4

Mengamati dunia Kristen pada masa itu, kami akan berharap menemukan seseorang yang diwenangkan oleh Allah dengan wewenang imamat yang sejati yang dapat membaptis kami, menganugerahkan karunia Roh Kudus, dan melakukan semua tata cara Injil yang perlu bagi permuliaan. Tahun 1820, kami akan berharap melihat digenapinya janji-janji mengesankan dari Yesaya, Mikha, dan para nabi zaman dahulu lainnya mengenai kembalinya rumah Tuhan yang megah.5 Kami akan sangat senang melihat keagungan dari bait suci yang kudus ditegakkan kembali, dengan Roh, tata cara, kuasa, dan wewenang untuk mengajarkan kebenaran kekal, menyembuhkan luka pribadi, dan mengikat keluarga bersama selamanya. Saya akan mencari ke mana pun dan ke setiap tempat untuk menemukan seseorang yang berwenang untuk mengatakan kepada saya dan Patricia saya yang tercinta bahwa pernikahan kami dalam tatanan semacam itu dimeteraikan untuk waktu ini dan segala kekekalan, tidak pernah mendengar atau dinyatakan kepada kami kutukan “sampai maut memisahkan kalian” yang begitu menghantui. Saya tahu bahwa “di rumah Bapa [kita] banyak tempat tinggal,”6 tetapi, berbicara secara pribadi, jika saya kiranya begitu beruntung untuk mewarisi satu di antaranya, bagi saya itu tidak akan lebih daripada gubuk reyot jika Pat dan anak-anak kami tidak berada bersama saya untuk berbagi warisan tersebut. Dan bagi leluhur kami, yang sebagian darinya hidup dan mati di zaman dahulu bahkan tanpa mendengar nama Yesus Kristus, kami akan berharap agar konsep alkitab yang paling adil dan penuh belas kasihan itu dipulihkan—praktik di mana yang hidup mempersembahkan tata cara penyelamatan atas nama kaum mereka yang telah meninggal.7 Tidak ada praktik yang saya bayangkan dapat memperlihatkan dengan kemegahan yang lebih besar kepedulian penuh kasih seorang Allah bagi setiap anak-anak duniawi-Nya tidak masalah kapan mereka hidup atau di mana mereka mati.

Yah, daftar pengharapan tahun 1820 kami dapat terus berlanjut, tetapi mungkin pesan Pemulihan yang paling penting adalah bahwa pengharapan semacam itu tidak akan sia-sia. Dimulai di Hutan Sakral dan berlanjut hingga hari ini, hasrat-hasrat ini mulai diwujudkan dalam kenyataan dan menjadi, seperti yang Rasul Paulus dan yang lainnya ajarkan, sauh sejati bagi jiwa, kuat dan aman.8 Apa yang tadinya hanya diharapkan kini telah menjadi sejarah.

Demikianlah, pandangan kami ke belakang pada 200 tahun akan kebaikan Allah kepada dunia. Tetapi bagaimana dengan pandangan kita ke depan? Kita masih memiliki pengharapan-pengharapan yang belum dipenuhi. Bahkan ketika kita berbicara, kita sedang melancarkan perang “dengan segenap daya” melawan COVID-19, sebuah peringatan khusyuk bahwa virus9 yang 1.000 kali lebih kecil dari sebutir pasir10 dapat membuat seluruh populasi dan ekonomi global bertekuk lutut. Kita berdoa bagi mereka yang kehilangan orang-orang terkasih karena wabah modern ini, juga bagi mereka yang saat ini terinfeksi atau berisiko. Kami tentu saja mendoakan mereka yang memberikan perawatan kesehatan yang luar biasa. Saat kita telah menaklukkan itu—dan kita akan—semoga kita sama berkomitmennya untuk membebaskan dunia dari virus kelaparan, membebaskan lingkungan huni dan bangsa-bangsa dari virus kemiskinan. Semoga kita berharap akan sekolah di mana siswa diajar—bukan ketakutan mereka akan tertembak—dan akan kewibawaan pribadi bagi setiap anak Allah, tak tercemar oleh bentuk prasangka apa pun karena ras, etnik, atau agama. Yang mendasari semua ini adalah harapan kita yang tiada henti untuk pengabdian yang lebih besar terhadap dua perintah utama: mengasihi Allah dengan menaati nasihat-Nya dan mengasihi sesama kita dengan memperlihatkan keramahan dan belas kasih, kesabaran, dan pengampunan.11 Dua arahan besar dan ilahi ini masih—dan selamanya akan menjadi—harapan sejati yang kita miliki untuk memberi anak-anak kita dunia yang lebih baik daripada yang mereka kenal saat ini.12

Selain memiliki hasrat global ini, banyak di antara hadirin hari ini yang memiliki pengharapan pribadi yang mendalam: harapan agar pernikahan menjadi lebih baik, atau terkadang hanya berharap adanya pernikahan; harapan bagi kecanduan untuk ditaklukkan; harapan bagi anak yang bertingkah untuk kembali; harapan bagi ratusan jenis rasa sakit jasmani dan emosi agar berhenti. Karena Pemulihan menegaskan kembali kebenaran fundamental bahwa Allah sungguh bekerja di dunia ini, maka kita dapat berharap, kita hendaknya berharap, bahkan ketika menghadapi kemungkinan yang paling tak tertanggulangi. Itulah yang dimaksudkan tulisan suci ketika Abraham mampu berharap penuh harap13—yaitu, dia mampu percaya terlepas dari adanya segala alasan untuk tidak percaya—bahwa dia dan Sarai dapat memiliki seorang anak ketika itu tampaknya merupakan kemustahilan yang mutlak. Maka, saya bertanya, “Jika begitu banyak dari pengharapan 1820 kami dapat mulai dipenuhi dengan siraman cahaya ilahi kepada seorang anak lelaki yang berlutut di kumpulan pepohonan di bagian utara New York, mengapa kita hendaknya tidak berharap bahwa hasrat yang saleh dan kerinduan seperti Kristus masih dapat dijawab secara menakjubkan dan penuh mukjizat oleh Allah dari segala pengharapan?” Kita semua perlu percaya bahwa apa yang kita hasratkan dalam kesalehan dapat kelak, entah bagaimana, dengan suatu cara menjadi milik kita.

Brother dan sister, kita mengetahui apa saja defisiensi religi di awal abad ke-19. Lebih lagi, kita juga tahu akan kekurangan-kekurangan religi dewasa ini yang masih meninggalkan rasa lapar dan pengharapan sebagian orang tak terpuaskan. Kita tahu beragam ketidakpuasan menuntun beberapa orang menjauh dari lembaga-lembaga gerejawi tradisional. Kita juga tahu, sebagaimana dituliskan seorang penulis yang frustrasi, bahwa “banyak pemimpin religi [masa ini] tampaknya tak memiliki pemahaman” dalam menangani kemerosotan ini, menawarkan sebagai tanggapan “bubur encer deisme sebagai pengobatan, aktivisme simbolik murahan, bidah yang dikemas dengan hati-hati, [atau terkadang sekadar] omong kosong yang tak mengilhami”14—dan semuanya pada saat ketika dunia membutuhkan jauh lebih dari itu, ketika generasi muda berhak jauh lebih banyak, dan ketika pada zaman Yesus Dia menawarkan jauh lebih banyak. Sebagai murid Kristus, kita dapat di zaman kita bangkit melebihi bangsa Israel kuno yang berkeluh-kesah, “Tulang-tulang kami sudah menjadi kering, dan pengharapan kami sudah lenyap.”15 Sesungguhnyalah, jika kita akhirnya kehilangan harapan, kita kehilangan kepemilikan penopang kita yang terakhir. Di atas gerbang nerakalah Dante menuliskan suatu peringatan kepada semua petualang melalui karyanya Divina Commedia: “Tinggalkan segala harapan,” katanya, “kamu yang masuk di sini.”16 Sesungguhnya ketika harapan hilang, yang tersisa bagi kita adalah kobaran lidah api yang mengamuk di setiap sisi.

Maka, ketika punggung kita terdesak ke dinding dan, seperti yang dikatakan nyanyian pujian [versi Bahasa Inggris], “penolong lain tak berdaya dan kenyamanan pun sirna,”17 di antara kebajikan kita yang paling tidak tergantikan akanlah karunia yang berharga ini berupa pengharapan yang ditautkan tak terpisahkan dengan iman kita kepada Allah dan kasih amal kita kepada sesama.

Pada peringatan dua abad ini, ketika kita menatap ke belakang untuk melihat semua yang telah diberikan kepada kita dan bersukacita dalam kesadaran tentang begitu banyak pengharapan yang terpenuhi, saya menggemakan perasaan seorang sister purnamisionaris muda cantik yang mengatakan kepada kami di Johannesburg beberapa bulan lalu, “[Kita] tidak datang sejauh ini hanya untuk datang sejauh ini.”18

Mengekspresikan kembali salah satu ucapan perpisahan paling mengilhami yang pernah dicatat dalam tulisan suci, saya mengucapkan bersama Nabi Nefi dan sister muda itu:

“Saudara [dan saudari] terkasihku, setelah kamu [menerima buah-buah pertama ini dari Pemulihan], aku hendak bertanya apakah semuanya telah dilakukan? Lihatlah, aku berkata kepadamu, Tidak. …

… Kamu mesti maju terus dengan ketabahan di dalam Kristus, memiliki kecemerlangan harapan yang sempurna, dan kasih bagi Allah dan bagi semua orang. … Jika kamu akan[,] … firman Bapa: Kamu akan memperoleh kehidupan kekal.”19

Saya mengucapkan terima kasih, brother dan sister, atas semua yang telah diberikan kepada kita dalam dispensasi yang terakhir dan terbesar ini di antara semua dispensasi, dispensasi Injil Yesus Kristus yang dipulihkan. Karunia dan berkat yang mengalir dari Injil itu berarti segalanya bagi saya—segalanya—maka dalam upaya untuk bersyukur kepada Bapa saya di Surga untuk itu, saya telah “berjanji untuk mematuhi, dan bermil-mil untuk dijalani sebelum saya tidur, dan bermil-mil untuk dijalani sebelum saya tidur.”20 Semoga kita maju terus dengan kasih di hati kita, berjalan dalam “kecemerlangan harapan”21 yang menerangi jalan antisipasi kudus yang kini telah kita jalani selama 200 tahun. Saya bersaksi bahwa masa depan akan dipenuhi mukjizat dan diberkati secara berlimpah sama seperti di masa lalu. Kita memiliki setiap alasan untuk berharap akan berkat-berkat yang bahkan lebih besar daripada yang telah kita terima, karena ini adalah pekerjaan Allah Yang Mahakuasa, ini adalah Gereja akan wahyu yang berkesinambungan, dan ini adalah Injil kemurahan hati dan kebajikan tak terbatas. Saya memberikan kesaksian atas semua kebenaran ini dan lebih banyak lagi dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. “The Essence of the Christian Religion,” dalam The Works of William E. Channing (1888), 1004.

  2. 2 Nefi 26:24.

  3. Lihat Yohanes 3:16–17.

  4. Musa 7:62.

  5. Lihat Yesaya 2:1–3; Yehezkiel 37:26; Mikha 4:1–3; Maleakhi 3:1.

  6. Yohanes 14:2.

  7. Lihat 1 Korintus 15:29; Ajaran dan Perjanjian 128:15–17.

  8. Lihat Ibrani 6:19; Eter 12:4.

  9. Lihat Na Zhu and others, “A Novel Coronavirus from Patients with Pneumonia in China, 2019,” New England Journal of Medicine,20 Februari 2020, 727–733.

  10. Lihat “Examination and Description of Soil Profiles,” in Soil Survey Manual, diedit oleh C. Ditzler, K. Scheffe, dan H. C. Monger (2017), nrcs.usda.gov.

  11. Lihat Matius 22:36–40; Markus 12:29–33; lihat juga Imamat 19:18; Ulangan 6:1–6.

  12. Lihat Eter 12:4.

  13. Lihat Roma 4:18.

  14. R. J. Snell, “Quiet Hope: A New Year’s Resolution,” Public Discourse: The Journal of the Witherspoon Institute, 31 Desember 2019, thepublicdiscourse.com.

  15. Yehezkiel 37:11

  16. Ini adalah frasanya sebagaimana populer diterjemahkan. Namun, terjemahan yang lebih harfiah adalah “Semua harapan tinggalkan, kamu yang masuk di sini” (Dante Alighieri, “The Vision of Hell,“ dalam Divine Comedy, diterjemahkan Henry Francis Cary [1892], kanto III, baris 9).

  17. “Abide with Me!” Hymns, nomor 166.

  18. Judith Mahlangu (konferensi multi-pasak dekat Johannesburg, Afrika Selatan, 10 November 2019), dalam Sydney Walker, “Elder Holland Visits Southeast Africa during ‘Remarkable Time of Growth,’” Church News, 27 November 2019, thechurchnews.com.

  19. 2 Nefi 31:19–20, penekanan ditambahkan.

  20. “Stopping by Woods on a Snowy Evening,” baris 14–16, dalam The Poetry of Robert Frost: The Collected Poems, diedit Edward Connery Lathem (1969), 225.

  21. 2 Nefi 31:20.