Ajaran-Ajaran Presiden
Kehidupan dan Pelayanan Joseph Fielding Smith


Kehidupan dan Pelayanan Joseph Fielding Smith

Presiden Joseph Fielding Smith “menggunakan tiga kata besar yang tidak pernah dapat saya lupakan,” kenang Presiden Gordon B. Hinckley. Kata-kata itu adalah “benar dan setia.” Presiden Hinckley mengatakan, “Dalam ceramahnya kepada publik, dalam percakapan pribadinya, dalam doanya kepada Tuhan, dia memohon agar dia dapat tetap benar dan setia.”1 Presiden Thomas S. Monson membagikan kenangan serupa, “Bahkan di tahun-tahun usia lanjutnya, [dia] selalu berdoa, ‘Semoga kita tetap benar dan setia sampai akhir.’”2

“Benar dan setia.” Bagi Presiden Joseph Fielding Smith, ini lebih dari sekadar ungkapan yang sering diulang. Ini adalah ungkapan tulus mengenai harapannya untuk semua orang. Ini juga gambaran mengenai kehidupannya, dari masa kanak-kanak hingga pelayanannya sebagai Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir.

“Anak Perjanjian”

Joseph Fielding Smith “dilahirkan sebagai anak perjanjian,” tutur Penatua Bruce R. McConkie dari Kuorum Dua Belas Rasul. Penatua McConkie, seorang menantu Presiden Smith, menjelaskan bahwa Julina Lambson Smith “memiliki tiga anak perempuan tetapi tidak memiliki anak laki-laki, dan oleh karena itu dia menghadap Tuhan dan, seperti Hana di zaman dahulu, ‘bernazar.’ [1 Samuel 1:11]. Dia berjanji: bahwa jika Tuhan berkenan memberinya anak laki-laki, ‘dia akan melakukan segala sesuatu dengan segenap kemampuannya untuk membantu putranya menjadi orang kepercayaan Tuhan dan ayahnya.’ Tuhan mendengarkan doanya, dan dia menepati janjinya kepada-Nya.”3 Pada tanggal 19 Juli 1876, Julina dan suaminya, Joseph F. Smith, menyambut seorang bayi laki-laki ke dalam keluarga mereka. Mereka menamainya Joseph Fielding Smith Jr., sesuai dengan nama ayahnya.

Saat lahir, Joseph Fielding Smith berada dalam sebuah keluarga yang kaya dalam iman, pelayanan, dan kepemimpinan. Kakeknya, Hyrum Smith, adalah kakak Nabi Joseph Smith dan seorang saksi yang berani bagi Pemulihan Injil. Tuhan mengangkat Hyrum “menjadi nabi, dan pelihat, dan pewahyu bagi gereja[Nya],” dengan mengatakan bahwa nama Hyrum akan “disimpan sebagai ingatan terhormat dari angkatan ke angkatan, selama-lamanya” (A&P 124:94, 96). Bersama kakaknya, Joseph, Hyrum memeteraikan kesaksiannya dengan darahnya, yang mati syahid oleh gerombolan perusuh pada 17 Juni 1844 (lihat A&P 135).

Joseph Fielding Smith’s parents, Joseph F. Smith and Julina Lambson Smith, standing together.

Orang tua Joseph Fielding Smith, Presiden Joseph F. Smith dan Julina Lambson Smith

Ayah Joseph Fielding Smith, Joseph F. Smith, memikul tanggung jawab berat sejak dia masih kecil. Anak sulung dari Hyrum dan Mary Fielding Smith, dia berusia lima tahun ketika ayahnya mati syahid dan sembilan tahun ketika dia membantu ibunya yang janda mengemudikan keretanya dari Nauvoo, Illinois, ke Lembah Salt Lake. Dia kemudian melayani sebagai misionaris dan anggota Kuorum Dua Belas Rasul. Dia adalah Penasihat dalam Presidensi Utama ketika putranya, Joseph, lahir. Dari 17 Oktober 1901, sampai 19 November 1918, dia melayani sebagai Presiden Gereja.

Ibu Joseph Fielding Smith, Julina Lambson Smith, adalah bagian dari salah satu di antara keluarga-keluarga pionir awal di Lembah Salt Lake. Sejak usia sembilan tahun, dia dibesarkan di rumah pamannya George A. Smith, yang adalah seorang anggota Kuorum Dua Belas Rasul pada saat itu, dan bibinya Bathsheba W. Smith. (Penatua Smith kemudian melayani sebagai Penasihat Pertama dalam Presidensi Utama di bawah Presiden Brigham Young, dan Sister Smith kemudian melayani sebagai presiden umum Lembaga Pertolongan). Saat dewasa, Julina adalah seorang istri dan ibu yang setia dan anggota Lembaga Pertolongan yang berdedikasi. Dia dikenal karena rasa iba dan keterampilannya sebagai bidan, yang membantu melahirkan “hampir 1.000 bayi ke dunia” dan kepeduliannya terhadap ibu-ibu mereka.4 Dari Oktober 1910 sampai April 1921, dia melayani sebagai penasihat kedua dalam presidensi umum Lembaga Pertolongan.

Bekerja dan Bermain Sewaktu Remaja

Joseph belajar bagaimana bekerja pada usia dini. Keluarganya memiliki tanah pertanian di Taylorsville, Utah, kira-kira 10 mil (16 kilometer) dari rumah mereka, di mana dia dan saudara-saudara lelakinya membantu mengirigasi, memanen jerami, dan mengurus ternak. Di rumah, keluarga mengurus kebun sayur-sayuran besar, beberapa pohon buah-buahan, tiga baris panjang pohon anggur, sekawanan ayam, tiga ekor sapi, dan beberapa kuda. Presiden Joseph F. Smith mempratikkan pernikahan jamak, sehingga keluarganya memiliki banyak orang untuk diberi makan dan banyak tangan untuk membantu mengerjakan pekerjaan. Karena Joseph Fielding Smith merupakan salah satu putra tertua dalam keluarga yang besar, dia diberi sejumlah tanggung jawab yang biasanya akan diberikan kepada seorang yang sudah dewasa. Selain tanggung jawab-tanggung jawab ini, dia selalu memastikan belajar dengan tekun untuk sekolahnya.

Pekerjaan pertama Joseph di luar rumah dan tanah pertanian keluarga adalah bersama ibunya. Dia sering mengemudikan kuda dan kereta kuda untuk membantu ibunya memenuhi tugasnya sebagai bidan. Di usia akhir remajanya, dia mendapat pekerjaan di Cooperative Mercantile Institution (ZCMI) Sion, di mana dia bekerja berjam-jam setiap hari melakukan pekerjaan fisik yang berat. Dia kemudian mengenang, “Saya bekerja seperti kuda pekerja sepanjang hari dan kelelahan ketika malam tiba, membawa berkarung-karung tepung dan gula dan ham dan bacon di punggung saya. Berat badan saya 150 pound [68 kilogram], tetapi saya tidak ragu untuk memanggul karung seberat 200 pound [91 kilogram] dan menempatkannya di bahu saya.”5

Untuk mengimbangi tanggung jawab pekerjaan yang berat ini, Joseph menyempatkan waktu untuk bermain. Dia dan saudara-saudara kandungnya senang bermain permainan di malam hari di sekitar rumah, bersembunyi di antara pokok-pokok anggur—”khususnya ketika buah anggur sudah masak.”6 Dia juga senang bermain baseball. Setiap lingkungan memiliki tim baseball yang terorganisasi, dan dia menikmati pertandingan yang bersahabat ini.

Pembelajaran Injil dan Pertumbuhan Rohani

Meskipun baseball penting bagi Joseph Fielding Smith muda, dia terkadang meninggalkan pertandingan lebih awal, karena dia memiliki suatu minat yang bahkan jauh lebih penting bagi dirinya. Pada saat-saat seperti itu, dia dapat ditemukan menyendiri “dalam ruang penyimpanan jerami atau di bawah naungan sebuah pohon untuk melanjutkan pembacaan” Kitab Mormon.7 “Dari ingatan paling awal saya,” dia kemudian berkata, “dari saat pertama kali saya dapat membaca, saya telah menerima lebih banyak kesenangan dan kepuasan dari menelaah tulisan suci, dan membaca mengenai Tuhan Yesus Kristus, dan Nabi Joseph Smith, dan pekerjaan yang telah dilaksanakan untuk keselamatan manusia, daripada sesuatu apa pun di seluruh dunia.”8 Dia mulai menetapkan pola penelahaan Injil pribadi ketika dia menerima salinan Kitab Mormon pertamanya pada usia delapan tahun. Dengan bersemangat dia membaca kitab-kitab standar dan terbitan-terbitan Gereja. Dia membawa edisi saku Perjanjian Baru agar dia dapat membacanya saat istirahat makan siang dan saat dia berjalan menuju dan dari tempat pekerjaan di ZCMI. Dengan mantap dan gigih, dia terus meningkatkan kesaksiannya terhadap Injil yang dipulihkan.

Joseph Fielding Smith as a young boy reading scriptures in hayloft

Pemuda Joseph Fielding Smith terkadang meninggalkan pertandingan baseball lebih awal agar dia dapat melanjutkan membaca Kitab Mormon dalam ruang penyimpanan jerami keluarga.

Tetapi pertumbuhan rohani Joseph tidak terbatas pada penelahaan pribadi yang pasif. Dengan penuh iman dia berperan serta dalam pertemuan-pertemuan dan kelas-kelas di Gereja, dan dia menerima tata cara-tata cara dan berkat-berkat keimamatan. Dia memiliki minat khusus terhadap bait suci. Bait Suci Salt Lake telah dibangun selama 23 tahun ketika dia lahir. “Di sepanjang masa remajanya Joseph telah memerhatikan dengan minat yang besar kemajuan sehari-hari pembangunan bangunan yang megah ini. Dia telah melihat bagian terakhir dari batu-batu granit besar yang dibawa dengan gerbong-gerbong kereta api dari tambang batu .… [Dia] telah melihat menara-menara megah akhirnya terbentuk .… [Dia mengatakan,] ‘Saya sering bertanya-tanya apakah saya akan hidup cukup lama untuk melihat bait suci diselesaikan.’”9

Pada tanggal 6 April 1893, Joseph menghadiri sesi pendedikasian pertama Bait Suci Salt Lake. Presiden Wilford Woodruff, Presiden keempat Gereja, mengetuai sesi dan mengucapkan doa pendedikasian. Duduk di podium di sebelah kiri Presiden Woodruff adalah Penasihat Keduanya, Presiden Joseph F. Smith.

Ketika Joseph Fielding Smith berusia 19 tahun, dia menerima berkat bapa bangsa. Berkat ini, yang diucapkan oleh pamannya, John Smith, yang waktu itu melayani sebagai Bapa Bangsa Gereja, menambah kekuatan rohani Joseph. kepada Joseph diberitahukan:

“Adalah kesempatan istimewa bagimu untuk hidup berusia sangat tua dan kehendak Tuhan bahwa engkau hendaknya menjadi orang yang perkasa di Israel ….

Akan menjadi tugasmu untuk duduk berembuk dengan saudara-saudaramu dan untuk mengetuai di antara orang-orang. Akan menjadi tugasmu juga untuk banyak melakukan perjalanan di dalam negeri dan di luar negeri, melalui darat dan air, bekerja dalam pelayanan. Dan saya berkata kepadamu, angkatlah kepalamu, angkatlah suaramu tanpa takut atau pilih kasih, sebagaimana yang Roh Tuhan akan tuntun, dan berkat-berkat Tuhan akan menyertaimu. Roh-Nya akan menuntun pikiranmu dan memberikan kepadamu perkataan dan kebijaksanaan, bahwa engkau akan membingungkan kebijaksanaan orang jahat dan melecehkan nasihat-nasihat orang yang tidak adil.”10  

Kemudian pada tahun tersebut, setelah ulang tahunnya yang ke-20, dia menerima kesempatan baru untuk pelayanan dan pertumbuhan rohani. Dia ditahbiskan pada jabatan penatua dalam Imamat Melkisedek, dan menerima pemberkahan bait suci. Menjelang akhir hidupnya, ketika dia sedang melayani sebagai Presiden Gereja, dia menyatakan, “Betapa saya sangat bersyukur bahwa saya memegang imamat kudus. Saya telah berusaha di sepanjang kehidupan saya untuk mengembangkan pemanggilan saya dalam keimamatan itu dan berharap untuk bertahan sampai akhir dalam kehidupan ini dan menikmati penemanan dari para orang suci yang setia dalam kehidupan yang akan datang.”11

Masa Pacaran dan Pernikahan

Sewaktu Joseph Fielding Smith muda membantu mendukung keluarganya, mempelajari Injil, dan mempersiapkan diri untuk menerima berkat-berkat keimamatan, upaya-upayanya tidak luput dari perhatian seorang remaja putri yang bernama Louie Shurtliff. Louie, yang orang tuanya tinggal di Ogden, Utah, datang untuk tinggal bersama keluarga Smith agar dia dapat kuliah di Universitas Utah, yang pada waktu itu terletak di seberang jalan dari rumah Smith.

Pada awalnya, hubungan Joseph dan Louie tidak lebih dari pertemanan formal, tetapi berangsur-angsur berkembang menjadi hubungan pacaran. Karena pasangan tersebut tidak memiliki uang, pacaran mereka sebagian besar terbatas pada kegiatan membaca bersama dalam ruangan keluarga, saling mengobrol, berjalan-jalan bersama, dan menghadiri kegiatan-kegiatan Gereja. Joseph juga senang mendengarkan Louie bermain piano. Ada kalanya mereka pergi menonton pertunjukan di teater lokal. Pada akhir tahun kedua kuliah Louie di universitas, hubungan kencan mereka berkembang menjadi saling mencintai—sedemikian dalam sehingga Joseph menaiki sepedanya pada jarak 100 mil (160 kilometer) pulang pergi, melewati jalan-jalan tanah bergelombang, untuk mengunjunginya di Ogden sekali atau dua kali saat sedang tidak sekolah.12

Pada akhirnya, Louie dan Joseph membahas tentang pernikahan. Akan tetapi, sebuah pertanyaan menggantung di dalam pikiran mereka: apakah Joseph akan dipanggil untuk melayani misi? Di masa itu, remaja putra dan remaja putri yang berhasrat untuk melayani misi tidak mendatangi uskup mereka untuk direkomendasikan untuk pemanggilan semacam itu. Proses pemanggilan misi dilakukan seluruhnya melalui kantor Presiden Gereja. Seorang pemuda tidak pernah tahu kapan dia bisa mendapatkan pemanggilan dalam kotak suratnya.

Louie lulus dari universitas di musim semi 1897 dan pindah kembali ke Ogden bersama orang tuanya. Satu tahun kemudian, yang tampaknya tidak akan ada pemanggilan misi, pasangan tersebut memutuskan untuk maju terus dengan rencana pernikahan. Sebagaimana yang diucapkan Joseph kemudian, “Saya membujuk dia untuk pindah tempat tinggal, dan pada tanggal 26 April 1898, kami pergi ke Bait Suci Salt Lake dan dinikahkan untuk waktu fana dan sepanjang kekekalan oleh ayah saya, Presiden Joseph F. Smith.”13 Sementara Joseph dan Louie mulai dengan kehidupan mereka bersama, mereka tinggal di sebuah apartemen kecil berdekatan dengan rumah keluarga Smith.

Mengindahkan Panggilan Misionaris

Di masa-masa awal Gereja, pria yang menikah sering dipanggil untuk melayani misi penuh waktu, sehingga Joseph dan Louie tidak terkejut ketika, pada tanggal 17 Maret 1899, surat panggilan misi yang ditandatangani oleh Presiden Lorenzo Snow tiba. Tetapi Joseph agak terkejut terhadap ladang misi yang ditugaskan kepadanya. Sebelum menerima panggilan tersebut, dia telah berbicara dengan Presiden Franklin D. Richards, Presiden Kuorum Dua Belas Rasul, mengenai kemungkinan menerima panggilan misi. Joseph kemudian teringat, “[Dia] menanyakan kepada saya ke mana saya ingin pergi. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya tidak memiliki pilihan khusus, saya akan pergi ke mana pun saya dikirim. Tetapi dia mengatakan, ‘Anda pasti memiliki suatu tempat di mana Anda lebih suka untuk pergi.’ Saya berkata, ‘Baiklah, saya lebih memilih untuk pergi ke Jerman.’ Tetapi mereka mengirim saya ke Inggris!”14

Elder Joseph Fielding Smith as a full-time missionary, wearing a white shirt, a bow tie, and a suit.

Penatua Joseph Fielding Smith sebagai misionaris penuh waktu

Louie memutuskan untuk tinggal bersama orang tuanya sementara Joseph bertugas. Ini, menurut yang dia rasakan, akan membantunya tetap bertahan dari kesepian karena terpisah dari suaminya. Dan dia bekerja di toko milik ayahnya, mendapatkan uang untuk membantu membiayai misi Joseph.15

Pada tanggal 12 Mei 1899, satu hari sebelum berangkat ke ladang misi, Penatua Smith dan para misionaris lainnya menerima petunjuk-petunjuk dari Presiden Joseph F. Smith dan Penatua George Teasdale dan Heber J. Grant dari Kuorum Dua Belas Rasul. Inilah semua pelatihan yang mereka terima sebelum mereka berangkat sebagai misionaris penuh waktu. Dalam pertemuan ini, setiap misionaris menerima sertifikat misionaris resmi. Sertifikat milik Penatua Smith berbunyi:

“Dengan ini menyatakan bahwa pemegang sertifikat, Penatua Joseph F. Smith Jr., adalah seorang yang penuh iman dan berkelakuan baik dalam Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir dan oleh Pembesar Umum dari Gereja tersebut telah ditugaskan secara resmi untuk menjalankan Misi ke Inggris Raya untuk Mengkhotbahkan Injil dan melayani dalam semua Tata Cara yang berhubungan dengan jabatannya.

Dan kami mengundang semua orang untuk mengindahkan Ajaran-ajaran dan Nasihat-nasihatnya sebagai utusan Allah, yang diutus untuk membuka bagi mereka pintu Kehidupan dan Keselamatan—dan untuk membantu dia dalam perjalanannya, dalam hal apa pun yang mungkin dia butuhkan.

Dan kami berdoa kepada Allah, Bapa yang Kekal, untuk memberkati Penatua Smith dan semua yang menerima dia dan memberikan penghiburan kepadanya, dengan berkat-berkat dari Langit dan Bumi, untuk waktu fana dan segala kekekalan, dalam nama Yesus Kristus, Amin.

Ditandatangani di Salt Lake City, Utah, 12 Mei 1899, atas nama Gereja yang disebutkan di atas. Lorenzo Snow, George Q. Cannon, Jos. F. Smith, Presidensi Utama.”16

Keesokan harinya, keluarga berkumpul di rumah untuk mengucapkan perpisahan kepada Joseph dan kepada seorang kakak laki-laki yang juga dipanggil untuk melayani di Inggris. Akan tetapi, satu anggota keluarga tidak hadir dalam perkumpulan tersebut. Adik perempuan Joseph, Emily bersembunyi, merasa malu mengenai sesuatu yang telah dia lakukan beberapa tahun sebelumnya. Ketika Joseph dan Louie sedang berkencan, Joseph terkadang menyuruh Emily dan anak-anak kecil lainnya untuk tidur lebih awal agar dia dapat meluangkan waktu berdua saja dengan kekasihnya. Merasa frustrasi karena menganggap ini tidak adil, Emily sering berdoa agar Tuhan mengirim kakaknya pergi misi di tempat yang jauh. Sekarang dia benar-benar akan pergi, dia merasa bersalah mengenai doa yang mungkin telah memberikan pengaruh terhadap keberangkatannya.17

Joseph dan Louie tahu bahwa pemanggilan untuk melayani di Inggris berasal dari Tuhan. Joseph ingin sekali melakukan tugasnya, dan Louie senang bahwa suaminya akan melayani misi, tetapi mereka berdua bergumul dengan pemikiran bahwa mereka akan berpisah. Ketika waktunya tiba bagi Penatua Smith untuk berangkat menuju stasiun kereta api, “Louie berusaha untuk berani, berusaha untuk tidak membiarkan Joseph melihat dia menangis. Tetapi sulit untuk menyembunyikan matanya yang merah. Dan Joseph sudah merasa rindu hanya dengan memikirkan akan pergi sehingga dia tidak ingin banyak berbicara dengan siapa pun .… Joseph hampir tidak bisa mengucapkan apa pun karena perasaannya sewaktu dia berhenti sejenak di pintu depan di rumah tua di Jalan First North dan mencium salam perpisahan kepada setiap orang yang dia kasihi: Mama, Papa, saudara laki-laki dan perempuan, bibi, dan terakhir kepada, Louie. ‘Selamat tinggal Louie, sayangku. Allah memberkatimu dan melindungimu untukku.’”18

Menanamkan Benih-Benih Injil di Inggris

Sejak saat kereta yang ditumpanginya—yang terasa tidak nyaman dan penuh dengan asap tembakau—melaju menjauh dari rumahnya, Penatua Smith mengabdikan dirinya pada misinya. Tulisan-tulisan dalam jurnalnya dan surat-surat yang dia kirim dan terima mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dia hadapi sebagai misionaris dan yang dia hadapi dengan iman dan pengabdian tersebut.

Pada akhir hari pertama pekerjaan misionarisnya di Inggris, dia menulis dalam jurnalnya: “Ini adalah hari yang sangat penting dalam kehidupan singkat saya. Saya datang dari rumah kurang dari sebulan yang lalu untuk tujuan mengkhotbahkan Injil Tuhan kita .… Saya telah pergi ke rumah-rumah hari ini dan mengirimkan 25 alat bantu [pamflet] misionaris. Ini adalah yang pertama dari jenis pekerjaan ini yang pernah saya coba lakukan dan itu sama sekali tidak mudah bagi saya .… Saya memberikan kesaksian saya kepada dunia untuk pertama kalinya hari ini, tetapi saya akan mampu memberikan kesaksian dengan lebih baik lagi. Dengan bantuan dari Tuhan saya akan melakukan kehendaknya sebagaimana saya dipanggil untuk melakukannya.”19

Ketika ayahnya mengirim beberapa dolar untuk kebutuhan sehari-hari, dia menjawab, “Saya akan sangat berhati-hati dengan uang yang ayah kirim kepada saya. Saya tidak akan membelanjakan satu sen pun kecuali saya memiliki alasan yang baik untuk melakukannya.” Dia juga mengatakan kepada ayahnya mengenai tekadnya untuk belajar dan mengajarkan Injil: “Saya berada di sini untuk mengkhotbahkan Injil dan saya berharap bahwa saya akan mampu melakukannya dengan baik .… Keinginan saya adalah untuk meningkatkan pengetahuan pikiran dan bakat saya sementara saya berada di sini, agar saya dapat senantiasa bermanfaat bagi sesuatu dalam kehidupan .… Saya ingin menjadi benar dalam segala hal dan tidak ada yang bisa memberikan lebih banyak kesenangan kepada saya daripada mempelajari sesuatu mengenai Injil. Hasrat saya adalah untuk mempelajari Injil dengan baik dan mendapatkan kebijaksanaan.”20

Presiden Joseph F. Smith menulis sepucuk surat kepada Penatua Joseph Fielding Smith, “Saya suka semangat Anda, saya memiliki iman terhadap integritas Anda, dan saya merasa senang serta puas terhadap Anda. Saya ingin Anda mengembangkan kebijaksanaan dan membuat penilaian yang cermat dan memiliki kesabaran serta Roh Kudus dan kasih Allah.”21 Ayah Louie, Lewis Shurtliff, juga mengungkapkan keyakinan terhadap Penatua Smith: “Saya selalu merasa bahwa Anda akan memenuhi misi yang mulia dan memperoleh pengalaman yang akan mempersiapkan Anda mengisi posisi tinggi yang diperuntukkan bagi Anda di masa yang akan datang.”22

Dalam surat-surat kepada Louie, Joseph selalu mengungkapkan kasihnya kepadanya. Dia kerap melampirkan bunga-bunga yang sudah dipres di dalam “surat-suratnya yang hangat dan penuh kasih sayang.”23 Dia juga menulis mengenai tantangan-tantangan yang dia hadapi: “Ada banyak di negara ini yang mengetahui bahwa Injil yang kita ajarkan benar, namun mereka belum memiliki keberanian moral untuk keluar dari dunia dan memeluknya.”24

Louie mengirim surat paling tidak sekali seminggu. “Ingatlah,” dia pernah menulis, “Saya di sini untuk mengasihi dan berdoa untukmu dan bahwa saya tidak pernah melupakanmu satu malam pun .… Allah memberkatimu, suamiku yang tersayang, itulah doa yang selalu saya ucapkan.”25 Louie menulis dengan jelas mengenai pengabdiannya terhadap suaminya, dan dia juga menulis dengan jelas mengenai pengabdiannya kepada Tuhan dan pekerjaan-Nya. Dia terus-menerus mengingatkan Joseph untuk tidak membiarkan rasa rindu melemahkan tekadnya untuk melayani.

Penatua Smith membutuhkan dorongan seperti itu, karena dia jarang menemukan seseorang yang bersedia menerima pesan Injil yang dipulihkan. Bertahun-tahun kemudian, dia “menceritakan kepada putranya, Joseph, bahwa kondisinya saat itu sangat buruk dan orang-orang begitu tidak tertarik sehingga dia mulai memikirkan bahwa dia tidak bisa lagi melanjutkan. Suatu malam sementara terbaring di tempat tidur dalam keadaan terjaga dia memikirkan mengenai bekerja untuk memperoleh uang agar bisa kembali pulang.”26 Tetapi karena terilhami oleh dorongan dari orang-orang yang dia kasihi dan diperkuat oleh doa-doa mereka dan keinginannya sendiri untuk melayani, dia berhasil mengatasi pikiran-pikiran seperti itu. Dia tahu bahwa Tuhan telah memanggil dia, dan dia tahu bahwa dia perlu bekerja dengan tekun untuk kebaikan orang-orang yang dia layani dan untuk kebaikan keluarganya. Dia menulis: “Saya lebih memilih untuk tetap tinggal di sini untuk selamanya daripada kembali pulang tanpa hasil dan tanpa pembebastugasan secara terhormat .… Saya berdoa agar saya memiliki semangat Injil dan kasih terhadap sesama manusia agar saya dapat tetap tinggal di sini sampai saya dibebastugaskan dengan hormat. Jika bukan karena banyak doa yang diucapkan untuk saya di rumah maupun doa-doa saya sendiri, saya tidak bisa berhasil.”27

Penatua Joseph Fielding Smith dibebastugaskan secara terhormat dari misinya pada tanggal 20 Juni 1901. Dalam dua tahun pelayanannya yang tekun, “dia tidak berhasil menginsafkan seorang pun, dia tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakan satu pembaptisan pun, walaupun dia bisa mengukuhkan satu orang yang insaf.”28 Akan tetapi, dia dan rekan-rekannya telah menanamkan benih-benih Injil, membantu banyak orang menemukan kedamaian dan pemahaman yang lebih besar, dan dia telah tumbuh secara pribadi sebagai siswa dan guru Injil dan sebagai pemimpin imamat.

Rumah Baru dan Tanggung Jawab Baru

Joseph tiba di Salt Lake City pada tanggal 9 Juli 1901. Setelah meluangkan waktu beberapa hari bersama keluarga Louie di Ogden, Joseph dan Louie kembali ke rumah mereka dengan keluarga Smith dan memulai kembali kehidupan mereka bersama. Pernikahan penuh dengan iman, ketekunan, dan pelayanan, sementara mereka bekerja untuk membangun sebuah rumah dan keluarga serta melayani dalam Gereja.

Louie Shurtliff Smith, President Joseph Fielding Smith’s first wife, in a white dress with her hair pulled back.

Louie Shurtliff Smith

Tidak lama setelah Joseph kembali ke rumah, dia mulai mencari pekerjaan agar dia dapat menghidupi keluarganya. Dengan bantuan dari seorang anggota keluarga, dia mendapatkan pekerjaan sementara di kantor juru tulis Salt Lake County. Kira-kira lima minggu kemudian, dia menerima sebuah jabatan dalam kantor Sejarawan Gereja. Sementara dia belajar lebih banyak lagi mengenai sejarah Gereja, dia juga semakin sadar akan orang-orang yang berusaha untuk mendiskreditkan Gereja dan para pemimpinnya. Dia bekerja tanpa lelah untuk memberikan informasi sebagai pembelaan terhadap Gereja. Ini adalah awal dari pelayanan yang akan memberkati Gereja selama bertahun-tahun ke depan.

Pada musim semi 1902, Louie hamil. Dia dan Joseph bersyukur atas apartemen kecil mereka, tetapi mereka menantikan saat untuk membangun rumah mereka sendiri. Pekerjaan mapan yang dimiliki Joseph memungkinkan mereka untuk mulai membuat rencana-rencana. Mereka menyewa sebuah perusahaan bangunan dan membuat pengaturan bagi Joseph untuk melakukan sendiri sebagian besar dari pekerjaan, untuk menekan biaya. Anak pertama mereka, anak perempuan bernama Josephine, lahir pada bulan September 1902, dan mereka pindah ke rumah baru mereka kira-kira 10 bulan kemudian. Pada tahun 1906, setelah Louie mengalami banyak kesulitan saat hamil, mereka memiliki anak perempuan lagi dalam keluarga mereka dan memberi nama Julina kepadanya.

Joseph selalu bersedia berperan serta dalam pekerjaan keselamatan Tuhan, dia menerima banyak kesempatan untuk melakukannya. Pada tahun 1902 dia dipanggil untuk melayani sebagai salah satu presiden dari kuorum keduapuluh empat dari tujuh puluh, termasuk tugas-tugas sebagai instruktur kuorum. (Pada saat itu, Gereja memiliki lebih dari 100 kuorum tujuh puluh. Para anggota kuorum-kuorum tersebut bukan Pembesar Umum). Joseph juga dipanggil untuk melayani dalam dewan umum Perkumpulan Peningkatan Kebersamaan Remaja Putra dan sebagai anggota dewan tinggi Pasak Salt Lake. Dia ditahbiskan sebagai imam tinggi oleh kakaknya Hyrum, anggota Kuorum Dua Belas Rasul. Pada konferensi umum bulan April 1906, dia didukung sebagai Asisten Sejarawan Gereja, dan pada bulan Januari berikutnya dia ditugaskan dalam komite khusus yang tujuannya adalah “mempersiapkan data untuk membela gereja dari serangan musuh-musuhnya.”29

Ketika ayah Joseph melayani sebagai Presiden Gereja, Joseph sering membantunya dengan korespondensi dan tugas-tugas administrasi lainnya, dan dia terkadang menyertai ayahnya dalam penugasan-penugasan Gereja. Joseph bahkan pernah mengadakan perjalan menggantikan Presiden Smith. Dia mencatat, “Saya pergi ke Brigham City [Utah] atas permintaan ayah saya untuk mendedikasikan gedung pertemuan Lingkungan Kedua di Brigham City. Mereka ingin sekali agar dia mengucapkan doa pendedikasian, tetapi karena dia sedang menderita flu berat dia mengutus saya sebagai penggantinya.” Ketika presiden pasak dan seorang uskup bertemu dengan Joseph di stasiun kereta api, mereka tidak senang melihat dia.30 Menurut laporan presiden pasak tersebut mengatakan, “Saya seperti ingin menangis. Kami mengharapkan Presiden Gereja dan alih-alih yang kami dapatkan adalah seorang anak laki-laki.” Menurut sebuah laporan mengenai cerita tersebut, sebagai jawaban Joseph mengatakan, “Saya bisa menangis juga.”31

Meskipun banyak dari tugas-tugas Gereja Joseph mengharuskan dia pergi jauh dari rumah, dia dan Louie menyempatkan waktu untuk melayani bersama dan menikmati kebersamaan satu sama lain. Dalam catatan jurnalnya untuk 1 November 1907, dia menulis, “Bersama Louie, saya meluangkan sebagian besar hari-hari kami di Bait Suci Salt Lake, salah satu di antara hari-hari yang paling membahagiakan dalam kehidupan kami dan paling bermanfaat bagi kami.”32

Pencobaan dan Berkat-Berkat

Joseph mengesampingkan banyak dari tanggung jawab Gerejanya pada bulan Maret 1908, merasa perlu untuk sedapat mungkin berada di rumah bersama Louie. Dia menderita penyakit parah yang tidak kunjung sembuh yang berhubungan dengan tahap-tahap awal kehamilannya yang ketiga. Meskipun doa-doa yang dipanjatkan, berkat-berkat keimamatan, perawatan dengan penuh kecemasan dari suaminya, dan perhatian yang cermat dari para dokter, penyakitnya semakin memburuk. Dia meninggal pada tanggal 30 Maret.

Dalam keadaan berduka, Joseph menulis: “Selama bulan ini yang merupakan bulan yang terus-menerus menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran bagi saya, saya telah melewati jenis percobaan dan pengalaman yang paling dalam dan paling menyakitkan. Dan melalui semua itu saya telah bergantung pada Tuhan untuk memperoleh kekuatan dan penghiburan. Setelah mengalami sakit yang paling parah selama tiga atau empat minggu dan setelah menderita sakit yang berlangsung hampir dua bulan istri saya yang terkasih dibebaskan dari penderitaannya … serta meninggalkan saya dan bayi-bayi berharga kami, untuk dunia yang lebih baik, di mana kami dengan sabar dan dalam kesedihan menunggu untuk berjumpa lagi yang akan merupakan saat yang paling menyenangkan.” Joseph mengatakan bahwa istrinya “meninggal dalam keadaan tetap teguh pada iman dan setia terhadap setiap asas Injil.”33

Joseph segera kewalahan dengan tugas membesarkan dua anak gadis kecil tanpa seorang ibu. Orang tuanya mengajak keluarga muda tersebut untuk tinggal bersama mereka. Bahkan dengan bantuan ini, duda ini menyadari bahwa anak-anaknya yang masih kecil perlu diurus oleh seorang ibu yang penuh kasih.

Portrait of Ethel Smith, Joseph Fielding Smith's second wife.

Ethel Reynolds Smith

Sebagaimana yang dia lakukan dengan semua keputusan penting, Joseph membawa masalah ini ke dalam doa yang sungguh-sungguh. Ethel Georgina Reynolds, seorang juru tulis di kantor Sejarawan Gereja, menjadi jawaban terhadap doa-doanya. Joseph mengajak dia untuk bergabung dengannya dan kedua putrinya untuk bertamasya di taman pada 6 Juli 1908. Tamasya tersebut berhasil, karena mereka berempat menikmati kebersamaan satu sama lain. Sepuluh hari kemudian, Joseph dan Ethel menikmati kencan bersama tanpa anak-anak, dan segera setelah itu mereka bertunangan untuk menikah.

Ethel dan Joseph dimeteraikan di Bait Suci Salt Lake pada tanggal 2 November 1908. Bertahun-tahun kemudian dalam sebuah surat kepada Ethel, Joseph menulis, “Engkau tidak tahu betapa sering saya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya tidak membuat kesalahan ketika saya membutuhkan seorang rekan. Engkau telah diutus untukku.”34 Selain menjadi rekan yang penuh kasih bagi Joseph, Ethel dengan cepat menjadi ibu yang kedua bagi Josephine dan Julina.

Pelayanan sebagai Anggota Kuorum Dua Belas

Tepat sebelum konferensi umum pada bulan April 1910, Presiden John R. Winder, Penasihat Pertama dalam Presidensi Utama, meninggal. Penatua John Henry Smith, yang telah melayani dalam Kuorum Dua Belas, dipanggil untuk melayani dalam Presidensi Utama, meninggalkan posisi yang kosong dalam Kuorum Dua Belas. Presidensi Utama dan Kuorum Dua Belas mengadakan pertemuan di Bait Suci Salt Lake untuk membahas orang-orang yang akan memenuhi syarat untuk mengisi posisi yang kosong tersebut. Setelah berembuk bersama selama kira-kira satu jam, mereka tidak dapat “membuat keputusan bulat mengenai hal tersebut. Akhirnya Presiden Joseph F. Smith pergi sendiri ke sebuah ruangan dan berlutut dalam doa untuk memperoleh bimbingan. Ketika dia kembali dia agak bimbang menanyakan kepada 13 pemimpin lainnya apakah mereka bersedia mempertimbangkan putranya Joseph Fielding Smith Jr. untuk menempati posisi tersebut. Dia enggan untuk menyarankannya, dia mengatakan, karena putranya Hyrum sudah menjadi anggota dewan dan putranya, David, adalah Penasihat dalam Keuksupan Ketua. Dia khawatir anggota Gereja akan marah jika satu lagi dari putra-putranya diangkat sebagai seorang pembesar umum. Walaupun demikian, dia merasa terilhami untuk menawarkan nama Joseph untuk dipertimbangkan. Pria-pria lain tampaknya langsung menerima saran tersebut dan mendukung Presiden Smith untuk menempati jabatan tersebut.

“Rupanya Presiden Smith menceritakan mengenai pemilihan Joseph tersebut kepada ibunya [Joseph] sebelum diumumkan dalam konferensi. Saudara perempuan Joseph, Edith S. Patrick mengatakan, ‘Saya teringat ibu menceritakan kepada kami bahwa pada tahun 1910 ayah pulang ke rumah dari pertemuan dewan bait suci dan terlihat sangat cemas. Ketika ditanya apa yang mengganggu pikirannya, dia berkata bahwa Joseph telah dipilih sebagai salah satu anggota Dua Belas. Dia mengatakan bahwa para pemimpin telah memilih dia dengan suara bulat dan dia mengatakan bahwa sekarang dia, sebagai presiden, akan dikritik dengan pedas, karena menjadikan putranya sebagai rasul. Ibu mengatakan kepadanya agar tidak perlu khawatir sedikit pun mengenai apa yang dikatakan orang. Dia tahu Tuhan telah memilih dia dan mengatakan dia tahu dia akan melakukan tugasnya dengan baik dalam pemanggilannya.’

… Kebiasaan pada waktu itu adalah tidak memberitahukan orang yang dipilih jauh hari sebelumnya melainkan membiarkan dia mendengar pengangkatannya ketika namanya dibacakan dalam konferensi untuk suara pendukungan. Oleh karena itulah ketika Joseph Fielding berangkat untuk menghadiri konferensi tanggal 6 April 1910, dia tidak mengetahui bahwa dia telah dipilih.” Sewaktu dia memasuki Tabernakel, seorang penjaga pintu berkata kepadanya, “Ya, Joseph, siapa rasul baru yang akan diangkat?” Dia menjawab: “Saya tidak tahu. Tetapi yang jelas bukan Anda dan bukan saya!”

Tepat sebelum nama anggota terbaru Kuorum Dua Belas dibacakan, Joseph merasakan bisikan dari Roh bahwa itu mungkin saja namanya sendiri. Tetap saja, dia kemudian mengatakan bahwa ketika namanya diumumkan, “Saya begitu terkejut dan tercengang hampir-hampir saya tidak bisa berbicara apa-apa.”

Lalu pada hari itu, dia pulang ke rumah untuk membagikan kabar tersebut kepada Ethel, yang tidak bisa hadir dalam pertemuan. Dia mulai dengan mengatakan, “Saya rasa kita harus menjual sapi. Saya tidak memiliki waktu lagi untuk mengurusnya!”35

Selama 60 tahun sebagai anggota Kuorum Dua Belas Rasul, Joseph Fielding Smith melihat banyak perubahan di dunia. Misalnya, ketika dia dipanggil dalam jabatan kerasulan, banyak orang masih menggunakan kuda dan kereta kuda sebagai sarana transportasi utama mereka. Pada akhir pelayanannya dalam kuorum, dia sering mengadakan perjalanan tugas dengan pesawat jet.

Group portrait of the Quorum of the Twelve Apostles in 1921. Included are: (left to right) seated: Rudger Clawson, Reed Smoot, George Albert Smith, George F. Richards, Orson F. Whitney, David O. McKay, standing: Joseph Fielding Smith, James E. Talmage, Stephen L. Richards, Richard R. Lyman, Melvin J. Ballard and John A. Widtsoe.

Kuorum Dua Belas Rasul tahun 1921. Penatua Joseph Fielding Smith berdiri di kiri jauh

Penatua Smith memegang banyak posisi kepercayaan dan tanggung jawab sewaktu melayani sebagai anggota Kuorum Dua Belas. Selama delapan tahun pertama dari pelayanannya sebagai Rasul, dia melayani secara tidak resmi sebagai sekretaris untuk ayahnya. Dia melayani dalam kapasitas ini sampai ayahnya meninggal pada bulan November 1918. Dalam peran ini, Joseph Fielding Smith bertindak sebagai juru tulis ketika ayahnya mendiktekan penglihatan mengenai penebusan orang mati, yang sekarang terdapat dalam Ajaran dan Perjanjian 138.

Penatua Smith melayani sebagai Asisten Sejarawan Gereja, sebagai Sejarawan Gereja selama hampir 50 tahun, sebagai penasihat dalam presidensi Bait Suci Salt Lake, sebagai presiden Bait Suci Salt Lake, sebagai presiden Utah Genealogical and Historical Society [Lembaga Silsilah dan Sejarah Utah], sebagai redaktur utama dan manajer bisnis Utah Genealogical and Historical Magazine [Majalah Silsilah dan Sejarah Utah], dan sebagai ketua Komite Eksekutif Dewan Pendidikan Gereja. Dia juga melayani sebagai ketua Komite Penerbitan Gereja, sebuah tugas yang mengharuskan dia membaca ribuan lembar naskah sebelum naskah-naskah tersebut disiapkan sebagai buku pedoman pelajaran dan terbitan-terbitan Gereja lainnya.

Dia ditetapkan sebagai Penjabat Presiden Kuorum Dua Belas pada tanggal 6 Oktober 1950, dan dia melayani dalam kapasitas tersebut sampai April 1951, ketika dia ditetapkan sebagai Presiden Kuorum Dua Belas Rasul. Dia melayani dalam kapasitas tersebut dari April 1951 sampai Januari 1970, ketika dia menjadi Presiden Gereja. Dari tahun 1965 sampai 1970, dia juga melayani sebagai Penasihat dalam Presidensi Utama, sementara melanjutkan tanggung jawabnya sebagai Presiden Kuorum Dua Belas Rasul.

Pelayanan dengan Peringatan Tegas dan Pengampunan yang Lembut

Dalam ceramah pertamanya pada konferensi umum, Penatua Joseph Fielding Smith berbicara langsung kepada siapa pun yang akan “berbicara menentang tindakan para pembesar yang memimpin Gereja.” Dia mengeluarkan pernyataan tegas ini: “Saya ingin menyerukan suara peringatan kepada semua orang seperti itu yang merupakan anggota Gereja, dan berkata kepada mereka, bahwa mereka sebaiknya bertobat dan berpaling kepada Tuhan, atau kalau tidak penghakiman-Nya akan datang kepada mereka, atau kalau tidak mereka akan kehilangan iman dan menolak kebenaran.”36

Di sepanjang pelayanannya, dia terus menyerukan suara peringatan. Dia pernah berkata, “Saya telah mempertimbangkan bahwa ini adalah misi saya, setelah tergerak, saya rasa, oleh Roh Tuhan sewaktu dalam perjalanan ke pasak-pasak Sion, untuk mengatakan kepada umat bahwa sekarang adalah hari pertobatan .… Saya merasa bahwa ini adalah misi saya untuk menyerukan pertobatan dan mengimbau umat untuk melayani Tuhan.”37

Pendekatan yang serius dan terus terang ini terhadap pengajaran diperlembut dengan kelemahlembutan dan kebaikan hati. Penatua Boyd K. Packer pernah menyaksikan hal ini dalam sebuah pertemuan ketika Joseph Fielding Smith adalah ketua Komite Misionaris Gereja. “Sebuah laporan dipaparkan mengenai kecelakaan yang melibatkan dua penatua misionaris dalam sebuah mobil milik Gereja. Seorang penjual sayur-sayuran berusia lanjut telah melanggar lampu tanda berhenti dengan truknya. Mobil misionaris tertabrak sampai terlempar hingga ke sisi jalan dan mengalami rusak parah. Pengemudi truk tersebut ditilang oleh polisi. Dia tidak memiliki asuransi. Untungnya, tidak satu pun dari misionaris tersebut yang mengalami cedera serius.

“Presiden Smith duduk terdiam saat para anggota komite memikirkan mengenai hal tersebut. Setelah dilakukan sedikit pembahasan mereka menginstruksikan direktur pengelola Departemen Misionaris untuk menyewa seorang pengacara dan melanjutkan masalah tersebut ke pengadilan.

Baru setelah itu Presiden Smith ditanya apakah dia setuju dengan arah tindakan tersebut. Dengan tenang dia menjawab, ‘Ya, kita bisa melakukan hal itu. Dan jika kita berusaha dengan serius, kita bahkan mungkin bisa menyingkirkan truk tersebut dari pria malang tersebut; tetapi bagaimana dia akan mencari nafkah?’

‘Kami saling memandang, merasa sedikit malu,’ Penatua Packer berkata. ‘Kemudian kami memutuskan bahwa Gereja bisa membeli mobil misionaris yang lain, melanjutkan pekerjaannya, dan tidak melanjutkan kasus tersebut ke pengadilan.’”38

“Seorang Suami dan Ayah yang Baik Hati dan Penuh Kasih”

Ketika Penatua Smith dipanggil pada jabatan kerasulan, dia memiliki tiga anak: Josephine dan Julina dan anak pertama Ethel, Emily. Tujuh bulan kemudian, keluarga tersebut memiliki seorang anak perempuan lainnya. Ethel dan Joseph memberi nama anak itu Naomi. Karena komplikasi saat dilahirkan, Naomi harus berjuang untuk hidup, dan keluarga khawatir bahwa dia mungkin tidak bisa hidup lama. Tetapi, seperti yang kemudian dikatakan oleh ayahnya, dia “diselamatkan melalui kuasa [dari] doa dan pemberkatan imamat setelah terlihat bahwa dia tidak bernapas.”39 Ethel kemudian melahirkan tujuh anak lainnya: Lois, Amelia, Joseph, Lewis, Reynolds, Douglas, dan Milton.

Tugas Presiden Smith sebagai Rasul sering membawa dia jauh dari rumah untuk jangka waktu yang lama. Tetapi ketika dia berada di rumah, dia memusatkan perhatiannya pada keluarganya. Istrinya Ethel menggambarkan dia sebagai “seorang suami dan ayah yang baik hati dan penuh kasih yang tujuan terbesarnya dalam kehidupan adalah untuk menjadikan keluarganya bahagia, mengurbankan seluruh keinginan pribadinya dalam upayanya untuk mencapai tujuan ini.”40

Anak-anak dalam keluarga Smith merasa geli dengan pendapat sejumlah orang terhadap ayah mereka—sebagai orang yang tegas dan sangat keras. “Suatu kali … setelah dia menyampaikan khotbah yang penuh semangat mengenai pentingnya mengendalikan anak-anak dengan benar, seorang wanita yang kesal mendekati dua dari anak perempuan kecilnya dan mengucapkan rasa simpati kepada mereka [dan berkata,] ‘Saya berani bertaruh ayahmu memukuli kamu!’” Sebagai jawaban terhadap tuduhan ini, kedua gadis tersebut hanya tertawa cekikikan. Mereka kenal ayah mereka jauh lebih baik daripada dia—dia tidak akan pernah menyakiti mereka. Ketika pulang dari perjalanan-perlananan yang jauh, “mereka memiliki pengalaman yang membahagiakan, dari saat mereka ingin sekali bertemu dengan dia di stasiun kereta api hingga mereka dengan senang hati mengucapkan salam perpisahan lagi beberapa hari kemudian.” Mereka bermain permainan, membuat kue pie dan es krim, pergi piknik, naik kereta api, dan mengunjungi ngarai-ngarai dan danau-danau di daerah sekitar mereka. Mereka senang mendengarkan cerita-cerita mengenai penugasan Gerejanya di seluruh dunia.41 Mereka juga bekerja bersama, tetap sibuk dengan tugas-tugas di sekitar rumah.42

Para putra Presiden Smith senang bermain olahraga, dan dia menonton pertandingan-pertandingan mereka kapan saja dia bisa.43 Dia juga senang bermain olahraga bersama mereka, khususnya bola tangan. Dia menikmati waktu bersenang-senang dengan mereka, tetapi dia orang yang kompetitif. Putranya, Reynolds dan Lewis, ingat sewaktu mereka berdua menjadi satu tim melawan ayah mereka. Dia membiarkan mereka memilih tangan mana yang dapat mereka gunakan selama pertandingan. Bahkan dengan satu tangan di belakang punggungnya, dia selalu “dapat mengalahkan mereka berdua dengan mudah.”44

Kesedihan dan Harapan

Tugas-tugas Penatua Smith yang jauh dari rumah sulit bagi Ethel dan anak-anak, dan berminggu-minggu mereka berpisah juga menyakitkan bagi dia. Pada tanggal 18 April 1924, dia mengadakan perjalanan dengan kereta api untuk mengetuai sebuah konferensi pasak. Ethel sedang hamil tujuh bulan saat itu, berusaha dengan sebaik mungkin mengurus anak-anak mereka di rumah. Dalam sebuah surat kepadanya, dia berkata, “Saya sedang memikirkanmu dan berharap saya akan bisa bersamamu secara terus-menerus untuk beberapa minggu ke depan, untuk membantu mengurusmu.”45 Sewaktu dia memikirkan mengenai rumah, dia mengakhiri suratnya dengan sebuah sajak yang telah dia tulis. Beberapa dari kata-kata sajak tersebut sekarang muncul dalam banyak nyanyian rohani Gereja dibawah judul “Does the Journey Seem Long [Apakah Perjalanan Tampak Terlalu Lama]?”

Apakah perjalanan tampak terlalu lama,

Jalannya sulit dan curam?

Adakah semak berduri di sepanjang jalan?

Apakah batu-batu tajam membuat kakimu terluka?

Sewaktu engkau berjuang untuk bangkit

Pada ketinggian melewati bagian terpanas hari itu?

Apakah hatimu lemah dan sedih,

Jiwa di dalam dirimu letih,

Sewaktu engkau bekerja memikul beban pengurusan?

Apakah beban terlihat berat

Engkau terpaksa mengangkat?

Tidak adakah seseorang untuk berbagi beban bersamamu?

Janganlah menyerah berharap

Sekarang perjalanan telah dimulai;

Masih ada Tuhan yang memanggilmu.

Jadi lihatlah ke atas dengan sukacita

Dan peganglah tangan-Nya;

Dia akan menuntunmu pada ketinggian yang baru—

Tanah yang kudus dan murni,

Di mana semua kesulitan berakhir,

Dan kehidupanmu akan bebas dari segala dosa,

Di mana tidak seorang pun akan mencurahkan air mata,

Karena tidak ada lagi kesedihan.

Genggamlah tangan-Nya dan masuklah bersama-Nya.46

Pada awal tahun 1933, kebahagiaan keluarga Smith terkadang terganggu oleh “beban berat dari pengurusan rumah tangga,” seperti yang diungkapkan oleh Penatua Smith dalam sajaknya sembilan tahun sebelumnya. Ethel mulai menderita “penyakit mengerikan yang tidak dia pahami. Terkadang dia menderita depresi yang dalam dan di kesempatan lainnya pikirannya berpacu di luar kendali yang memaksa tubuhnya yang kelelahan untuk bekerja lebih keras lagi. Kasih sayang yang lembut dan dukungan dari keluarga, doa-doa, dan pemberkatan, bahkan perawatan di rumah sakit tampaknya tidak membantu.”47 Setelah empat tahun menderita, dia meninggal pada tanggal 26 Agustus 1937. Saat menulis mengenai kematiannya, suaminya yang berkabung mencatat, “Adalah mustahil menemukan seorang wanita yang lebih baik dari dia, atau seorang istri dan ibu yang lebih setia dari dia.”48 Dalam keadaan yang sangat sedih, dia merasakan pengetahuan yang memberi penghiburan bahwa dia dan Ethel Reynolds Smith telah terikat bersama untuk kekekalan oleh perjanjian pemeteraian sakral.

Persahabatan Baru Menuntun pada Pernikahan

Ketika Ethel meninggal, lima anak masih tinggal di rumah keluarga Smith. Dua di antara mereka akan segera pindah—Amelia bertunangan untuk menikah, dan Lewis sedang mempersiapkan diri untuk misi penuh waktu. Ini menyisakan Reynolds yang berusia 16 tahun, Douglas berusia 13 tahun, dan Milton berusia 10 tahun. Merasa khawatir mengenai kondisi putra-putra mereka yang tidak memiliki ibu ini, Joseph Fielding Smith memikirkan mengenai menikah lagi.

Dengan pemikiran ini, Penatua Smith segera memusatkan perhatiannya pada Jessie Ella Evans, seorang penyanyi solo terkenal dalam Paduan Suara Tabernakel Mormon. Jessie pernah bernyanyi solo dalam acara pemakanan Ethel, dan Penatua Smith telah mengirimkan sebuah surat singkat untuk mengungkapkan penghargaan kepadanya. Surat singkat tersebut menuntun pada pembicaraan melalui telepon. Penatua Smith dan Jessie belum saling mengenal sebelum kejadian ini, tetapi mereka menjadi teman yang baik dengan cepat.

Penatua Smith meluangkan waktu berhari-hari memikirkan dan berdoa mengenai kemungkinan meminta Jessie untuk menikah dengannya. Akhirnya dia menulis surat di mana dia menyatakan bahwa dia ingin memiliki hubungan yang lebih pribadi dengannya. Empat hari kemudian, dia memberanikan diri untuk menyampaikan surat tersebut langsung kepadanya. Dia membawanya ke kantor kota dan kabupaten, di mana dia bekerja sebagai petugas pencatat kabupaten. Kemudian dia mencatat hal-hal berikut dalam buku jurnalnya: “Saya pergi ke kantor …. Pencatat Kabupaten Saya mengadakan wawancara dengan pencatat tersebut, yang sangat penting, dan meninggalkannya surat yang telah saya tulis.”49 Setelah seminggu mengadakan perjalanan dengan kereta api ke pertemuan-pertemuan konferensi pasak, Penatua Smith kembali ke rumah dan sekali lagi mengunjungi Jessie.

Dengan gaya terus terangnya yang khas, Penatua Smith menulis dalam jurnalnya, “Saya bertemu dengan Nona Jessie Evans dan mengadakan [sebuah] wawancara penting bersama dia.” Disertai dengan perasaan saling mengagumi, mereka mengatur agar dia bertemu dengan ibunya Jessie dan agar Jessie bertemu dengan anak-anaknya. Kurang dari satu bulan kemudian, pada tanggal 21 November 1937, dia menerima cincin pertunangan. Keduanya dimeteraikan di Bait Suci Salt Lake pada tanggal 12 April 1938, oleh Presiden Heber J. Grant, Presiden Gereja yang ketujuh.50

Penatua Francis M. Gibbons, yang melayani sebagai sekretaris Presidensi Utama ketika Presiden Smith adalah Presiden Gereja, menggambarkan hubungan di antara Joseph Fielding Smith dan Jessie Evans Smith: “Meskipun terdapat perbedaan usia dua puluh enam tahun dan perbedaan temperamen, latar belakang, dan pelatihan, Joseph Fielding dan Jessie Evans Smith sangat serasi. Dia adalah orang yang ramah dan periang, penuh dengan kegembiraan dan humor yang baik, yang menyukai popularitas perhatian publik. Sebaliknya, Joseph adalah orang yang pendiam, tidak mudah berbicara kepada orang lain, bermartabat dan tidak terpengaruh oleh emosi, yang selalu tampak agak tidak nyaman berada di lingkungan publik dan yang tidak pernah berusaha meminta perhatian bagi dirinya sendiri. Hal yang menjembatani jurang perbedaan di antara kedua pribadi yang sangat berbeda ini adalah kasih yang murni dan rasa rasa saling menghormati.”51 Kasih dan rasa hormat ini disampaikan kepada ibunya Jessie, Jeanette Buchanan Evans, di mana Jessie telah tinggal bersamanya sebelum pernikahannya. Sister Evans bergabung dengan putrinya untuk tinggal di rumah Smith dan membantu mengurus anak-anak.

President Joseph Fielding Smith Jr. and Sister Jessie Ella Evans Smith sitting together at a piano.

Joseph Fielding Smith dan Jessie Evans Smith di dekat piano

Melayani Sebuah Dunia yang Bermasalah

Sister Smith yang baru, yang dipanggil sebagai Bibi Jessie oleh anak-anak dan cucu Penatua Smith, sering pergi bersama suaminya sewaktu dia mengadakan perjalanan ke konferensi-konferensi pasak. Para pemimpin lokal sering mengundang dia untuk bernyanyi dalam pertemuan-pertemuan, dan terkadang dia membujuk suaminya untuk bernyanyi berdua bersamanya. Pada tahun 1939, Presiden Heber J. Grant menugaskan Penatua dan Sister Smith untuk mengadakan perjalanan keliling ke semua misi Gereja di Eropa.

Meskipun Perang Dunia II belum meletus ketika keluarga Smith tiba di Eropa, ketegangan di antara bangsa-bangasa semakin meningkat. Pada tanggal 24 Agustus, sementara keluarga Smith di Jerman, Presidensi Utama menginstruksikan Penatua Smith untuk memastikan bahwa semua misionaris di Jerman dipindahkan ke negara-negara netral. Dia mengoordinasi pekerjaan ini dari Kopenhagen, Denmark. Selama perpindahan misionaris ini, Wallace Toronto, presiden misi di Cekoslowakia, merasa perlu untuk mengirimkan istrinya, Martha, dan anak-anak mereka ke Kopenhagen demi keselamatan. Dia tetap berada di Cekoslowakia untuk memastikan evakuasi yang aman bagi empat misionaris yang telah ditahan. Hari-hari berlalu tanpa kabar dari mereka. Martha kemudian mengingat:

“Akhir harinya tiba ketika semua kereta api, kapal feri, dan kapal laut melakukan perjalanan terakhirnya dari Jerman dan kami berdoa agar [Presiden Toronto] Wally dan empat misionaris muda yang menjadi tanggung jawabnya akan berada di feri terakhir tersebut dalam perjalanan menuju ke pelabuhan asalnya. Melihat bahwa saya sangat khawatir dan semakin bingung setiap menit, Presiden Smith datang menghampiri saya, dia meletakkan lengan perlindungannya di sekeliling bahu saya dan berkata, ‘Sister Toronto, perang ini tidak akan mulai sebelum Brother Toronto dan para misionarisnya tiba di tanah Denmark ini.’ Sementara hari berganti menjadi awal senja, bunyi telepon berdering .… Itu ternyata Wally! Mereka berlima telah keluar dari Cekoslowakia bersama Legium Inggris dalam sebuah kereta api khusus yang telah dikirimkan untuk mereka, naik feri terakhir dari Jerman, dan sekarang mereka berada di pantai [Denmark] menunggu transportasi ke Kopenhagen. Perasaan lega dan kebahagiaan yang dirasakan di rumah misi dan di antara 350 misionaris adalah bagaikan awan gelap yang lenyap digantikan dengan sinar matahari.”52

Penatua Smith bersyukur kepada rakyat Denmark, yang mengizinkan begitu banyak misionaris yang dievakuasi masuk ke negara mereka. Saat perang dimulai, dia menubuatkan bahwa karena kemurahan hati mereka, rakyat Denmark tidak akan menderita kekurangan makanan selama perang. Bertahun-tahun kemudian, “rakyat Denmark telah selamat dari perang mungkin lebih baik dari rakyat negara-negara Eropa lainnya. Para Orang Suci dari Denmark bahkan telah mengirimkan paket-paket kesejahteraan kepada para Orang Suci yang menderita di Belanda dan Norwegia. Keanggotaan Gereja meningkat terus, dan penerimaan persepuluhan di Misi Denmark lebih dari dua kali lipat .… Para Orang Suci Denmark menganggap kondisi mereka sebagai penggenapan langsung dari nubuat yang diberikan oleh Penatua Joseph Fielding Smith.”53

Sementara perang dimulai, Penatua Smith mengorganisasi evakuasi terhadap 697 misionaris Amerika yang melayani di Eropa. Karena beberapa dari misionaris telah melayani sebagai pemimpin distrik dan pemimpin cabang, Penatua Smith mengalihkan tanggung jawab kepemimpinan tersebut kepada para pemimpin lokal. Setelah memenuhi tugas-tugas ini, Penatua Smith berlayar menuju Amerika Serikat bersama Jessie. Mereka naik kereta api dari New York dan tiba di rumah tujuh bulan setelah mereka berangkat.

Walaupun Penatua Smith senang bahwa para misionaris Amerika dapat kembali dengan selamat ke kampung halaman mereka, dia mengungkapkan kecemasannya terhadap orang-orang tidak berdosa yang sekarang terjebak dalam tragedi perang di tanah air mereka. Dia menulis: “Hati saya sedih setiap kali kami mengadakan pertemuan dan berjabatan tangan dengan orang-orang setelah pertemuan usai. Mereka semua menyambut kami dengan hangat, dan [persahabatan] mereka lebih berarti bagi saya daripada yang mungkin mereka sadari. Beberapa di antara mereka menangis dan mengatakan bahwa mereka akan menghadapi masalah serius, dan kita tidak akan pernah bisa bertemu lagi dalam kehidupan ini. Saya merasa kasihan kepada mereka sekarang, dan berdoa setiap hari agar Tuhan akan melindung mereka melewati masa yang mengerikan ini.”54

Anak laki-laki Penatua Smith, Lewis, yang berada di Inggris ketika Perang Dunia II dimulai, adalah bagian dari kelompok terakhir para misionaris yang kembali ke kampung halaman.55 Kira-kira dua setengah tahun kemudian, Lewis menyeberangi Lautan Atlantik lagi, kali ini untuk dinas militer. “Situasi ini membuat kami semua sedih,” Penatua Smith menulis. “Sayang sekali bahwa orang-orang yang hidup bersih dan saleh terpaksa terlibat dalam konflik yang mencakup seluruh dunia, karena kejahatan manusia.”56

Pada tanggal 2 Januari 1945, Penatua Smith menerima sebuah telegram yang memberitahukan bahwa putranya telah terbunuh saat menjalankan tugas militer bagi negaranya. Dia menulis: “Telegram ini datang kepada kami sebagai berita yang membuat kami sangat terpukul karena kami berharap sekali bahwa dia akan segera kembali ke Amerika Serikat. Kami merasa bahwa dia akan dilindungi karena dia telah berhasil selamat beberapa kali sebelumnya dari bahaya. Sulit bagi kami untuk menerima kenyataan bahwa hal seperti itu dapat terjadi .… Meskipun berita itu sulit diterima, kami memiliki rasa damai dan bahagia mengetahui bahwa dia adalah orang yang bersih dan bebas dari kejahatan yang begitu lazim di dunia dan dalam tentara. Dia teguh pada imannya dan layak memperoleh kebangkitan yang agung, di mana kami akan dipersatukan kembali.”57

Seorang Guru dan Pemimpin yang Dipercaya

Sebagai anggota kuorum Dua Belas, Joseph Fielding Smith sering berdiri di hadapan para Orang Suci Zaman Akhir untuk bersaksi mengenai Kristus, mengajarkan Injil yang dipulihkan, dan mengimbau umat untuk bertobat. Dia menyampaikan lebih dari 125 khotbah dalam konferensi umum, berperan serta dalam ribuan konferensi pasak, dan berbicara pada kegiatan-kegiatan semacam konferensi silsilah dan siaran radio. Dia juga mengajar melalui hal-hal yang dia tuliskan. Selama bertahun-tahun dia menulis artikel dalam majalah Gereja Improvement Era, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pembaca. Dia juga menulis artikel-artikel lain untuk majalah-majalah Gereja dan bagian Gereja dari Deseret News. Selama pelayanannya sebagai seorang Rasul, dari tahun 1910 sampai 1972, tulisan-tulisannya diterbitkan dalam 25 buku, termasuk Essentials in Church History, Doctrines of Salvation, Church History and Modern Revelation, dan Answers to Gospel Questions.

Dengan mendengarkan khotbah-khotbahnya dan membaca tulisan-tulisannya, anggota Gereja menjadi percaya kepada Presiden Smith sebagai cendekiawan Injil. Bahkan lebih dari itu, mereka belajar untuk memercayai dia dan mengikuti Tuhan. Seperti yang Presiden N. Eldon Tanner katakan, Joseph Fielding Smith “memengaruhi kehidupan ratusan ribu orang karena dia hidup dan mengajar melalui perkataan dan tulisan setiap asas Injil. Dia tidak meninggalkan keraguan dalam pikiran siapa pun bahwa dia tahu Allah adalah Allah yang hidup dan bahwa kita adalah anak-anak roh-Nya; bahwa Yesus Kristus adalah Putra Tunggal Allah dalam daging; bahwa Dia menyerahkan nyawa-Nya bagi kita agar kita dapat menikmati kebakaan; dan bahwa dengan menerima dan menjalankan Injil kita dapat menikmati kehidupan kekal.”58

Penatua Bruce R. McConkie menulis:

“Kehidupan dan pekerjaan Presiden Joseph Fielding Smith ditandai dengan tiga hal:

“1. Kasihnya kepada Tuhan dan kesetiaan absolut, tak berubah yang dia usahakan untuk tunjukkan bahwa kasih dengan mematuhi perintah-perintah-Nya dan selalu melakukan hal-hal yang berkenan bagi Tuhan.

2. Kesetiaannya kepada Nabi Joseph Smith dan kebenaran-kebenaran abadi yang dipulihkan melaluinya; kepada kakeknya, Bapa Bangsa Hyrum Smith, … [yang] mati syahid; dan kepada ayahnya, Presiden Joseph F. Smith, yang namanya tercatat selamanya dalam kerajaan selestial sebagai orang yang bertahan dengan berani dalam melakukan pekerjaan-Nya yang darahnya dicurahkan agar kita dapat hidup.

3. Pembelajaran Injil dan pemahaman rohaninya sendiri; ketekunannya tanpa lelah sebagai pengkhotbah kesalehan; dan pekerjaannya dalam memberi makan yang lapar, memberi pakaian yang telanjang, mengunjungi janda dan anak yatim, dan menjalankan agama yang murni melalui ajaran maupun melalui teladan.”59

Rekan-rekan Presiden Smith di Kuorum Dua Belas melihat dia sebagai seorang pemimpin yang bijaksana, berbelas kasih. Dalam perayaan pada hari ulang tahunnya yang ke-80, anggota-anggota lainnya dari Kuorum Dua Belas memberikan sebuah penghormatan kepadanya. Sebagai bagian dari penghormatan tersebut, mereka mengatakan:

“Kami yang bekerja dalam Dewan Dua Belas di bawah kepemimpinannya ada kalanya melihat keluhuran sejati dalam karakternya. Setiap hari kami melihat bukti yang terus-menerus mencerminkan pemahamannya dan pertimbangan yang penuh tenggang rasa terhadap rekan sesama pekerja dalam membuat penugasan-penugasan untuk kami dan dalam mengoordinasikan upaya-upaya kami untuk memastikan bahwa pekerjaan Tuhan dapat terus maju. Kami hanya berharap bahwa seluruh Gereja dapat merasakan kelembutan jiwanya dan kepeduliannya yang besar terhadap kesejahteraan mereka yang tidak beruntung dan yang menderita. Dia mengasihi semua orang suci dan tidak pernah berhenti berdoa bagi yang berdosa.

“Dengan kemampuan membedakan yang luar biasa, dia tampaknya memiliki dua pedoman dalam membuat keputusan-keputusan akhirnya. Apakah harapan-harapan dari Presidensi Utama? Apakah yang terbaik untuk kerajaan Allah?”60

Presiden Gereja

Pada hari Minggu pagi, 18 Januari 1970, Presiden David O. McKay meninggalkan kehidupan fana. Tanggung jawab kepemimpinan Gereja sekarang berada di pundak Kuorum Dua Belas Rasul, dengan Joseph Fielding Smith yang berusia 93 tahun sebagai Presiden mereka.

Pada tanggal 23 Januari 1970, Kuorum Dua Belas mengadakan pertemuan dan secara resmi mendukung Presiden Smith dalam pemanggilannya sebagai Presiden Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir. Presiden Smith memilih Harold B. Lee sebagai Penasihat Pertama dan N. Eldon Tanner sebagai Penasihat Kedua. Kemudian ketiga orang ini ditetapkan untuk memenuhi tanggung jawab baru mereka.

Joseph Fielding Smith standing between his two counselors in the First Presidency, Harold B. Lee and N. Eldon Tanner.

Presiden Joseph Fielding Smith dan Penasihatnya dalam Presidensi Utama: Presiden Harold B. Lee (tengah) dan Presiden N. Eldon Tanner (kanan)

Penatua Ezra Taft Benson, yang hadir dalam pertemuan tersebut, mengingat, “Kami memiliki roh persatuan yang luar biasa dalam pertemuan kami dan bukti kasih sayang yang besar sewaktu para brother saling menempatkan lengan-lengan mereka saat kepemimpinan baru dipilih dan ditetapkan.”61

Penatua Boyd K. Packer membagikan kesaksian pribadinya mengenai pemanggilan Presiden Smith:

“Saya meninggalkan kantor di suatu Jumat sore sambil memikirkan mengenai tugas konferensi di akhir pekan. Saya menunggu elevator turun dari lantai kelima.

Sewaktu pintu elevator terbuka dengan perlahan, di sana berdiri Presiden Joseph Fielding Smith. Sejenak saya terkejut melihat dia, karena kantornya ada di lantai bawah.

Sementara saya melihat dia berdiri di pintu, saya diliputi dengan kesaksian yang kuat—di sana berdiri nabi Allah. Suara lembut Roh itu serupa dengan terang, yang berhubungan dengan kecerdasan murni, menegaskan kepada saya bahwa ini adalah nabi Allah.”62

Di bawah kepemimpinan Presiden Smith, Gereja terus tumbuh. Misalnya, 81 pasak diciptakan, termasuk pasak-pasak pertama di Asia dan Afrika, dan keanggotaan Gereja melewati 3 juta orang. Dua bait suci didedikasikan—di Ogden, Utah, dan Provo, Utah.

Bahkan sementara Gereja tumbuh di seluruh dunia, Presiden Smith menekankan pentingnya rumah-rumah dan keluarga-keluarga individu. Dia mengingatkan para Orang Suci Zaman Akhir bahwa “organisasi Gereja benar-bernar ada untuk membantu keluarga dan para anggotanya untuk mencapai permuliaan.”63 Dia mengajarkan, “Keluarga adalah organisasi paling penting dalam waktu fana atau dalam kekekalan .… Adalah kehendak Tuhan untuk memperkuat dan memelihara kesatuan keluarga.”64 Dalam upaya untuk memperkuat keluarga dan individu, Gereja memberikan penekanan yang lebih besar pada malam keluarga, suatu program yang telah digalakkan sejak tahun 1909, ketika ayah Presiden Smith adalah Presiden Gereja. Di bawah kepemimpinan Presiden Joseph Fielding Smith, hari Senin ditetapkan secara resmi bagi malam keluarga. Pada malam-malam tersebut, pertemuan-pertemuan Gereja tidak boleh diadakan, dan fasilitas-fasilitas Gereja ditutup.

Meskipun usianya sangat lanjut, Presiden Smith menjalankan pemanggilannya dengan kerendahan hati seperti anak kecil dan tenaga seperti anak muda. Selama dua tahun lima bulan dia melayani sebagai nabi, pelihat, dan pewahyu Gereja, para Orang Suci Zaman Akhir di seluruh dunia terilhami oleh pesan-pesannya.

Dia menyatakan bahwa “kita adalah anak-anak roh Allah Bapa Surgawi kita”65 dan bahwa “kita harus percaya kepada Kristus dan mengikuti teladan-Nya dalam kehidupan kita.”66 Dia bersaksi bahwa Joseph Smith “benar-benar melihat dan berdiri di hadapan Allah Bapa dan Putra-Nya, Yesus Kristus”67 dan menjadi “pewahyu terhadap pengetahuan tentang Kristus dan tentang keselamatan kepada dunia untuk zaman dan angkatan ini.”68

Dia mendorong para Orang Suci untuk “meninggalkan banyak cara dunia”69 namun mengasihi semua orang di dunia—”untuk melihat karakter baik orang meskipun kita berusaha membantu mereka mengatasi satu atau dua kebiasaan buruk mereka.”70 Dia mengingatkan mereka bahwa salah satu cara untuk menunjukkan “semangat kasih dan persaudaran” ini adalah dengan membagikan Injil—untuk “mengundang semua orang di mana pun mereka berada untuk mengindahkan firman-firman kehidupan kekal yang diungkapkan di zaman ini.”71

Dia membina hubungan dengan remaja Gereja, bertemu dengan jemaat besar remaja Orang Suci Zaman Akhir dan mendorong mereka untuk “berdiri teguh dalam iman meskipun menghadapi semua tentangan.”72

Dia sering berbicara kepada para pemegang imamat, mengingatkan mereka bahwa mereka telah “dipanggil untuk mewakili Tuhan dan memegang wewenangnya” dan mengimbau mereka untuk “ingat siapa[mereka] dan bertindak sebagaimana mestinya.”73

Dia mendorong semua Orang Suci Zaman Akhir untuk menerima berkat-berkat bait suci, setia terhadap perjanjian-perjanjian bait suci, dan kembali ke bait suci untuk menerima tata cara-tata cara sakral bagi leluhur mereka. Sebelum mendedikasikan Bait Suci Ogden Utah, dia berkata, “Izinkan saya mengingatkan Anda bahwa ketika kita mendedikasikan sebuah rumah kepada Tuhan, hal yang sesungguhnya kita lakukan adalah mendedikasikan diri kita sendiri pada pelayanan Tuhan, dengan perjanjian bahwa kita akan menggunakan rumah tersebut dengan cara yang Dia rencanakan seharusnya digunakan.”74

“Patuhilah perintah-perintah,” dia mengajak. “Berjalanlah dalam terang. Bertahanlah sampai akhir. Setialah terhadap setiap perjanjian dan kewajiban, dan Tuhan akan memberkati Anda melampaui impian-impian terindah Anda.”75

Mengutip Presiden Brigham Young, Presiden Harold B. Lee menggambarkan pengaruh dan kepemimpinan Presiden Smith: “Presiden Young mengatakan hal ini, ‘Jika kita hidup sesuai dengan ajaran-ajaran agama kudus kita dan mengikuti bisikan-bisikan Roh, kehidupan kita tidak akan menjadi membosankan atau bodoh, tetapi sewaktu tubuh mendekati akhir hayatnya, Roh bertahan lebih kuat lagi pada tubuh yang kekal itu di belakang tabir, menariknya dari kedalaman sumber kekal bagian-bagian kecerdasan indah yang memberi kehidupan, yang mengelilingi tubuh yang lemah dan menyusut dengan lingkaran cahaya kebijaksanaan baka.’

Kita telah menyaksikan ini berulang kali, sewaktu kita terlibat dalam membahas hal-hal yang sangat serius—keputusan-keputusan yang hanya boleh dibuat oleh Presiden Gereja. Barulah setelah itu kita melihat kebijaksanaan indah ini yang terungkap sewaktu dia [Presiden Smith] mengatakan hal-hal yang tidak diragukan lagi melampaui pemahaman dia sendiri akan hal-hal yang diungkapkan kepadanya dari kedalaman jiwanya.”76

“Dipanggil oleh Tuhan … untuk Orang Lain dan Pekerjaan yang Lebih Mulia”

Pada tanggal 3 Agustus 1971, Jessie Evans Smith meninggal dunia, meninggalkan Presiden Joseph Fielding Smith sebagai duda untuk yang ketiga kalinya. Sebagai akibatnya, Presiden Smith tinggal dengan anak perempuannya Amelia McConkie dan suaminya, Bruce. Anak-anaknya yang lain bergiliran mengunjungi dia secara teratur dan memberikan tumpangan naik kendaraan kepadanya. Dia terus pergi ke kantor setiap hari kerja, menghadiri pertemuan-pertemuan, dan mengadakan perjalanan untuk tugas Gereja.

Pada tanggal 30 Juni 1972, Presiden Smith meninggalkan kantornya di lantai satu Gedung Administrasi Gereja menjelang berakhirnya hari itu. Bersama sekretarisnya, D. Arthur Haycock, dia pergi ke kantor Sejarawan Gereja, di tempat dia pernah bekerja sebelum menjadi Presiden Gereja. Dia ingin mengucapkan salam kepada mereka semua yang melayani di sana. Setelah berjabat tangan dengan mereka, dia pergi ke lantai bawah tanah bangunan tersebut untuk berjabat tangan dengan para operator telepon dan orang-orang lain yang bekerja di tempat tersebut untuk menunjukkan penghargaannya. Ini adalah hari terakhir dia berada di kantor.

Pada hari Minggu, 2 Juli 1972, tepat 17 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-96, dia menghadiri pertemuan sakramen di lingkungan rumahnya. Kemudian di sore harinya dia mengunjungi anak sulungnya, Josephine, bersama putranya Reynolds. Malam itu, sementara dia duduk di kursi favoritnya di rumah McConkie, dia meninggal dengan damai. Seperti yang dinyatakan oleh menantunya kemudian, Presiden Smith telah “dipanggil oleh Tuhan yang sangat dia kasihi dan telah dia layani dengan begitu baik untuk orang lain dan pekerjaan yang lebih mulia dalam kebun anggur kekal-Nya.”77

Presiden Harold B. Lee, yang sekarang Rasul senior di bumi, mengunjungi rumah McConkie ketika dia mendengar tentang kematian Presiden Smith. Dia “berjalan tanpa bersuara menuju sofa, dan, sambil berlutut, memegang salah satu tangan Nabi. Dia tetap dalam posisi tersebut untuk waktu yang lama, tanpa berbicara, dalam doa atau renungan. Kemudian dia bangkit untuk mengucapkan belasungkawa kepada keluarganya, kekagumannya terhadap ayah mereka, dan nasihatnya agar mereka menghormati Presiden Smith dengan hidup layak.”78

Penghormatan kepada “Orang yang Setia kepada Allah”

Saat acara pemakaman Presiden Smith, Presiden N. Eldon Tanner menyebut dia sebagai “orang yang setia kepada Allah, yang telah melayani begitu mulia baik kepada Allah maupun sesama manusia dan yang telah memimpin keluarganya dengan teladan dan semua orang yang telah dia pimpin; orang yang secara jujur bisa dikatakan sebagai orang tanpa tipu daya dan tanpa kesombongan. Orang tidak pernah dapat mengatakan itu tentang dia,” Presiden Tanner mengatakan, “bahwa dia ‘lebih suka akan kehormatan manusia daripada akan kehormatan Allah’ [Yohanes 12:43].”79

Presiden Harold B. Lee mengatakan “Brother Tanner dan saya telah mengasihi orang ini selama dua setengah tahun terakhir. Kami tidak berpura-pura mengasihinya. Dia patut mendapatkan kasih itu, karena dia mengasihi kami, dan kami telah berdiri di sisinya, sebagaimana dia berdiri dan memercayai kami.”80

Sebuah surat kabar yang dahulu kritis terhadap Presiden Smith, yang bahkan mempermasalahkan pemanggilannya kepada jabatan Dua Belas lebih dari 60 tahun sebelumnya, sekarang menerbitkan penghormatan berikut: “Joseph Fielding Smith, pria yang mengikuti dengan ketat apa yang dia percayai, namun mempertimbangkan dengan lembut kebutuhan-kebutuhan pokok setiap orang di mana pun mereka berada, memberikan nasihat yang bijaksana kepada rekan-rekannya, kepedulian yang penuh kasih terhadap keluarganya dan kempimpinan yang agung terhadap tanggung jawab gerejanya. Kita akan kehilangan dia, tetapi akan dikenang dengan penghargaan khusus.”81

Mungkin penghormatan yang paling berarti adalah pernyataan oleh seorang anggota keluarga, menantu Presiden Smith, Bruce R. McConkie, menggambarkan dia sebagai “seorang putra Allah; seorang rasul Tuhan Yesus Kristus; seorang nabi dari Yang Mahatinggi; dan terlebih penting lagi, seorang ayah di Israel!” Penatua McConkie menubuatkan, “Selama bertahun-tahun yang akan datang, suaranya akan berbicara dari debu ketika angkatan-angkatan yang belum lahir mempelajari ajaran-ajaran Injil dari tulisan-tulisannya.”82

Sewaktu Anda mempelajari buku ini, ajaran-ajaran Presiden Joseph Fielding Smith akan membantu menggenapi pernyataan itu. Suaranya akan “berbicara dari debu” kepada Anda sewaktu Anda “mempelajari ajaran-ajaran Injil.”

Catatan

  1. Gordon B. Hinckley, “Believe His Prophets,” Ensign, Mei 1992, 52.

  2. Thomas S. Monson, in “News of the Church,” Ensign, Mei 1996, 110.

  3. Bruce R. McConkie, “Joseph Fielding Smith: Apostle, Prophet, Father in Israel,” Ensign, Agustus 1972, 29.

  4. Julina Lambson Smith, dalam Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith (1972), 52.

  5. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 65.

  6. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 51.

  7. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 57.

  8. Dalam Conference Report, April 1930, 91.

  9. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 62.

  10. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 71–72.

  11. Joseph Fielding Smith, dalam Confe-rence Report, Oktober 1970, 92.

  12. Lihat Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 73–74; Francis M. Gibbons, Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God (1992), 52–53.

  13. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 75.

  14. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 79.

  15. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 80.

  16. Dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 81.

  17. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 82.

  18. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 83.

  19. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 90.

  20. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 117; lihat juga halaman 116.

  21. Joseph F. Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 116.

  22. Lewis Shurtliff, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 112–113.

  23. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 113.

  24. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 96.

  25. Louie Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 113–114.

  26. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 92.

  27. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 115.

  28. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 91.

  29. Dalam Francis M. Gibbons, Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 124.

  30. Lihat Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 152–153.

  31. Lihat Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 113.

  32. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 160.

  33. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 162.

  34. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 169.

  35. Joseph Fielding Smith Jr. dan John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 174–176.

  36. Dalam Conference Report, Oktober 1910, 39.

  37. Dalam Conference Report, Oktober 1919, 88–89.

  38. Lucile C. Tate, Boyd K. Packer: A Watchman on the Tower (1995), 176.

  39. Joseph Fielding Smith, dalam Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 162.

  40. Ethel Smith, dalam Bryant S. Hinckley, “Joseph Fielding Smith,” Improvement Era, Juni 1932, 459.

  41. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 14.

  42. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 234.

  43. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 15.

  44. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 237.

  45. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 188–189.

  46. Hymns, no. 127.

  47. Joseph Fielding Smith Jr. and John J. Stewart, The Life of Joseph Fielding Smith, 242–243.

  48. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 249.

  49. Joseph Fielding Smith, dalam Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 275.

  50. Lihat The Life of Joseph Fielding Smith, 251–258.

  51. Francis M. Gibbons, Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 278–279.

  52. Martha Toronto Anderson, A Cherry Tree Behind the Iron Curtain (1977), 32.

  53. Sheri L. Dew, Ezra Taft Benson: A Biography (1987), 204

  54. Joseph Fielding Smith, in The Life of Joseph Fielding Smith, 282–283.

  55. Lihat Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 315.

  56. Joseph Fielding Smith, dalam Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 332.

  57. Joseph Fielding Smith, dalam The Life of Joseph Fielding Smith, 287–288.

  58. N. Eldon Tanner, “A Man without Guile,” Ensign, Agustus 1972, 33.

  59. Bruce R. McConkie, “Joseph Fielding Smith: Apostle, Prophet, Father in Israel,” Ensign, Agustus 1972, 28.

  60. Kuorum Dua Belas Rasul, “President Joseph Fielding Smith,” Improvement Era, Juli 1956, 495.

  61. Ezra Taft Benson, dalam Sheri L. Dew, Ezra Taft Benson, 411.

  62. Boyd K. Packer, “The Spirit Beareth Record,” Ensign, Juni 1971, 87.

  63. Joseph Fielding Smith, dalam “Message from the First Presidency,” Ensign, Januari 1971, sampul depan bagian dalam dan halaman 1.

  64. Joseph Fielding Smith, “Counsel to the Saints and to the World,” Ensign, Juli 1972, 27.

  65. Joseph Fielding Smith, Sealing Power and Salvation, Brigham Young University Speeches of the Year (12 Januari 1971), 2.

  66. Joseph Fielding Smith, “The Plan of Salvation,” Ensign, November 1971, 5.

  67. Joseph Fielding Smith, “To Know for Ourselves,” Improvement Era, Maret 1970, 3.

  68. Joseph Fielding Smith, “The First Prophet of the Last Dispensation,” Ensign, Agustus 1971, 7.

  69. Joseph Fielding Smith, “Our Responsibilities as Priesthood Holders,” Ensign, Juni 1971, 49.

  70. Joseph Fielding Smith, “My Dear Young Fellow Workers,” New Era, Januari 1971, 4.

  71. Joseph Fielding Smith, “I Know That My Redeemer Liveth,” Ensign, Desember 1971, 27.

  72. Joseph Fielding Smith, “President Joseph Fielding Smith Speaks on the New MIA Theme,” New Era, September 1971, 40.

  73. Joseph Fielding Smith, dalam Conference Report, Oktober 1970, 92.

  74. Joseph Fielding Smith, dalam “Ogden Temple Dedicatory Prayer,” Ensign, Maret 1972, 6.

  75. Joseph Fielding Smith, “Counsel to the Saints and to the World,” 27.

  76. Harold B. Lee, “The President—Prophet, Seer, and Revelator,” Ensign, Agustus 1972, 35.

  77. Bruce R. McConkie, “Joseph Fielding Smith: Apostle, Prophet, Father in Israel,” 24.

  78. Francis M. Gibbons, Joseph Fielding Smith: Gospel Scholar, Prophet of God, 495.

  79. N. Eldon Tanner, “A Man without Guile,” Ensign, Agustus 1972, 32.

  80. Harold B. Lee, “The President—Prophet, Seer, and Revelator,” 39.

  81. Salt Lake Tribune, Juli 4, 1972, 12.

  82. Bruce R. McConkie, “Joseph Fielding Smith: Apostle, Prophet, Father in Israel,” 24, 27.