BAB 42
Keluarga: Persatuan Termanis untuk Waktu Fana dan Kekekalan
“Persatuan dan kebahagiaan yang termanis meliputi rumah kami. Tidak ada perselisihan atau ketidakserasian yang mengganggu kedamaian kami, dan ketenangan berjaya di tengah-tengah kami” (Lucy Mack Smith).
Dari Kehidupan Joseph Smith
Menjelang tahun 1843, meskipun Bait Suci Nauvoo masih belum selesai, Nabi telah mengumumkan ajaran keselamatan bagi mereka yang telah meninggal, dan dia melaksanakan endowmen bait suci kepada sekelompok Orang Suci yang setia. Tetapi satu bagian yang penting dari pekerjaan bait suci yang kudus tersebut masih harus ditempatkan. Pada tanggal 16 Mei 1843, Nabi melakukan perjalanan dari Nauvoo ke Ramus, Illinois, tempat dia tinggal di rumah teman dekatnya Benjamin F. Johnson. Malam itu, dia mengajar Brother dan Sister Johnson serta beberapa teman dekat mengenai “perjanjian pernikahan yang baru dan abadi.” Dia menjelaskan bahwa perjanjian ini merupakan “tata tertib keimamatan” yang diperlukan untuk mencapai tingkatan tertinggi kerajaan selestial (lihat A&P 131:1–4). Dia juga mengajarkan bahwa kecuali seorang pria dan seorang wanita memasuki perjanjian pernikahan kekal, “mereka akan berhenti bertambah ketika mereka mati; artinya, mereka tidak akan memiliki anakanak lagi setelah kebangkitan.” Mereka yang memasuki perjanjian ini dan bertahan setia “akan terus bertambah-tambah dan memiliki anak-anak dalam kemuliaan selestial.”1
Dua bulan kemudian, pada tanggal 12 Juli 1843, di kantor ruang atas Toko Bata Merahnya, Nabi mendiktekan kepada William Clayton suatu wahyu mengenai ajaran pernikahan kekal (lihat A&P 132). Nabi telah mengetahui dan mengajarkan ajaran ini selama beberapa waktu sebelumnya. Dalam wahyu ini, Tuhan memaklumkan bahwa jika seorang suami dan seorang istri tidak dimeteraikan oleh kuasa imamat kudus, “mereka tidak dapat diperbanyak [mempunyai keturunan], tetapi tinggal sendirian dan tidak menikah, tanpa permuliaan, dalam keadaan mereka yang telah diselamatkan, untuk segala kekekalan” (lihat A&P 132:15–18). Untuk menerima permuliaan, suami dan istri haruslah dimeteraikan oleh kuasa imamat dan kemudian tetap setia terhadap perjanjian-perjanjian mereka:
“Sesungguhnya Aku berfirman kepadamu: Bila seorang lakilaki mengawini seorang istri dengan firman-Ku yang menjadi hukum-Ku serta dengan perjanjian yang baru dan kekal, dan dimeteraikan ke atas mereka oleh Roh Kudus perjanjian, oleh orang yang telah diurapi dan yang telah Aku tetapkan memegang kuasa dan kunci-kunci keimamatan ini; … hal itu akan dilakukan kepada mereka dalam segala apa pun yang dilakukan oleh para hamba-Ku terhadap mereka, pada waktu ini dan melalui segala kekekalan; dan akan mempunyai kekuatan penuh bila mereka keluar dunia; dan mereka akan dapat melalui para malaikat, para allah yang ditempatkan di sana, demi segala kebahagiaan dan kemuliaan mereka, sebagaimana yang telah dimeteraikan ke atas kepala mereka, dan kemuliaan itu akan menjadi kegenapan serta kelanjutan bagi keturunan untuk selama-lamanya.
Kemudian mereka akan menjadi allah karena mereka tidak mempunyai akhir; karena itu mereka akan menjadi kekal untuk selama-lamanya, karena mereka berlangsung terus-menerus, kemudian mereka akan menjadi di atas segalanya, karena segalanya akan tunduk kepada mereka. Kemudian mereka menjadi allah, karena mempunyai segala kekuasaan dan para malaikat akan tunduk kepada mereka. Sesungguh-sungguhnya Aku berfirman kepadamu: Kecuali engkau mentaati hukum-Ku, maka engkau tidak akan menerima kemuliaan ini” (A&P 132:19–21).
Untuk Penatua Parley P. Pratt dari Kuorum Dua Belas, suatu pengetahuan akan ajaran ini memperdalam kasihnya bagi keluarganya: “Joseph Smithlah yang mengajari saya cara menghargai hubungan penuh kasih sayang antara ayah dan ibu, suami dan istri; antara saudara dan saudari, putra dan putri. Dari dialah saya belajar bahwa istri dari batin saya boleh diikatkan kepada saya untuk waktu fana dan segala kekekalan; dan bahwa perasaan simpati serta kasih sayang yang telah diperhalus yang membuat kami saling menyayangi berasal dari sumber kasih kekal yang ilahi. Dari dialah saya belajar bahwa kita dapat memupuk kasih sayang ini, dan tumbuh serta berkembang dalam hal yang sama hingga segala kekekalan; sementara hasil dari persatuan kami yang tanpa akhir adalah keturunan sebanyak bintang-bintang di langit, atau pasir di pantai …. Saya pernah mengasihi sebelumnya, tetapi saya tidak tahu mengapa. Sekarang saya mengasihi—dengan suatu kemurnian—suatu intensitas perasaan yang dipermuliakan, yang ditinggikan, yang akan mengangkat jiwa saya dari hal-hal sementara dari lingkup yang menyedihkan ini dan meluaskannya bagaikan samudra …. Singkatnya, sekarang saya dapat mengasihi dengan roh dan dengan pengertian pula.”2
Ajaran-Ajaran Joseph Smith
Suami dan istri saling menghormati dengan memperlihatkan kasih, keramahan, dan kasih sayang.
“Pernikahan [adalah] suatu lembaga surga, ditegakkan di Taman Eden.”3
Merupakan kewajiban dari seorang suami untuk mengasihi, menghargai, dan memelihara istrinya, serta bersatu erat dengannya dan tidak dengan orang lain [lihat A&P 42:22]; dia seharusnya menghormatinya seperti dirinya sendiri, dan dia seharusnya memerhatikan perasaannya dengan kelembutan, karena dia adalah dagingnya, dan tulangnya, dimaksudkan untuk menjadi bantuan baginya, baik dalam hal-hal jasmani maupun rohani; seseorang kepada siapa dia dapat mencurahkan segala keluhannya tanpa menahan-nahan, yang bersedia [karena dimaksudkan] untuk mengambil sebagian dari bebannya, untuk menyejukkan dan mendorong perasaannya melalui suaranya yang lembut.
Merupakan tempat bagi pria, untuk berdiri sebagai kepala dari keluarganya, … bukan untuk memerintah atas istrinya sebagai seorang tirani, tidak juga sebagai seseorang yang takut atau cemburu bahwa istrinya akan keluar dari tempatnya, serta menghalanginya dari melaksanakan wewenangnya. Merupakan kewajibannya untuk menjadi seorang abdi Allah (karena seorang abdi Allah adalah seseorang yang bijaksana), siap setiap waktu untuk mendapatkan dari tulisan suci, wahyu, dan dari atas, petunjuk-petunjuk yang sedemikian penting bagi pembelajaran, dan keselamatan seisi rumahnya.”4
Dalam sebuah pertemuan para sister Lembaga Pertolongan, Joseph Smith berkata: “Anda tidak perlu mengolok-olok para suami Anda karena perbuatan mereka, namun biarlah beban dari ketidakbersalahan, keramahan dan kasih sayang Anda dirasakan, yang adalah lebih perkasa daripada sebuah batu yang dikalungkan di leher; bukan peperangan, bukan perselisihan [pertengkaran], bukan pertentangan, atau pertikaian, melainkan kelemahlembutan, kasih, kemurnian—inilah hal-hal yang akan meningkatkan diri Anda dalam pandangan semua pria yang baik .…
… Sewaktu seorang pria terbebani dengan kesulitan, sewaktu dia galau karena masalah dan kesusahan, jika dia dapat menemui sebuah senyuman daripada suatu argumentasi atau suatu gerutuan—jika dia dapat bertemu dengan kelembutan, itu akan menenangkan jiwanya dan menyejukkan perasaannya; sewaktu pikiran mengarah kepada keputusasaan, itu perlu suatu penghiburan dalam bentuk kasih sayang dan keramahan .… Sewaktu Anda pulang ke rumah, janganlah pernah memberikan perkataan kasar atau tidak ramah kepada suami Anda, namun biarlah keramahan, kasih amal dan kasih memahkotai pekerjaan Anda mulai dari sekarang.”5
Eliza R. Snow melaporkan: “[Nabi Joseph Smith] mendesak para sister selalu untuk memusatkan iman dan doa-doa mereka untuk, serta menempatkan kepercayaan mereka kepada para suami mereka, yang Allah telah tetapkan untuk mereka hormati.”6
Anak-anak menghormati orang tua mereka dengan menyatakan syukur kepada mereka dan menghargai mereka sepanjang kehidupan mereka.
Selama beberapa hari di bulan Oktober 1835, Nabi mengadakan kunjungan setiap hari kepada ayahnya yang sedang sakit sangat parah, mengurusinya “dengan keresahan yang besar.” Jurnal Nabi mencatat: “Menunggui ayah saya lagi, yang sedang sakit parah. Dalam doa pribadi di pagi hari, Tuhan berfirman, ‘Hamba-Ku, ayahmu akan hidup.’ Saya menunggui dia sepanjang hari ini dengan hati saya yang terangkat kepada Allah di dalam nama Yesus Kristus, agar Dia memulihkan kesehatannya, agar saya boleh diberkati dengan penemanan dan petuahnya, menganggapnya sebagai salah satu berkat duniawi terbesar untuk diberkati dengan kebersamaan orang tua, yang usia matang dan pengalamannya menjadikan mereka mampu memberikan nasihat yang paling sehat. Malamnya Brother David Whitmer masuk. Kami berseru kepada Tuhan dalam doa yang kuat di dalam nama Yesus Kristus, serta meletakkan tangan kami ke atasnya, dan mengusir penyakit itu. Dan Allah mendengar serta menjawab doa-doa kami—yang mendatangkan sukacita dan kepuasan besar bagi jiwa kami. Ayah kami yang lanjut usia bangkit berdiri serta berpakaian, berseru, dan memuji Tuhan.”7
“Diberkatilah ibu saya, karena jiwanya selamanya dipenuhi dengan keluhuran serta kedermawanan, dan terlepas dari usianya, namun dia akan menerima kekuatan, dan akan dihibur di tengah-tengah rumahnya, dan dia akan memiliki kehidupan kekal. Dan diberkatilah ayah saya, karena tangan Tuhan akan berada di atasnya, karena dia akan melihat penderitaan dari anak-anaknya berlalu, dan ketika kepalanya telah matang sepenuhnya, dia akan melihat dirinya sendiri bagaikan pohon zaitun, yang cabang-cabangnya merunduk karena banyaknya buah; dia juga akan memiliki sebuah tempat tinggal di atas sana.”8
“Saya telah mengingat peristiwa-peristiwa masa kecil saya. Saya telah berpikir mengenai ayah saya yang telah meninggal .… Dia adalah sosok yang luhur dan memiliki pikiran yang tinggi, dan kudus, dan mulia, dan bajik. Jiwanya membubung di atas segala asas-asas keji dan merendahkan yang begitu cocok dengan hati manusia. Saya sekarang mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan tindakan yang keji, sehingga boleh dikatakan tidak murah hati dalam hidupnya, sepengetahuan saya. Saya mengasihi ayah saya dan kenangan akan dirinya; dan kenangan akan perbuatanperbuatan luhurnya bersemayam dengan bobot yang penuh perenungan dalam benak saya, dan banyak dari perkataannya yang ramah dan perannya sebagai orang tua kepada saya tertulis di batu loh hati saya.
Kudus bagi saya adalah pikiran-pikiran yang saya hargai dari sejarah kehidupannya, yang telah bergulir dalam benak saya, dan telah tertanam di sana oleh pengamatan saya sendiri, sejak saya lahir. Kudus bagi saya adalah debunya, dan tempat dia dibaringkan. Kudus bagi saya adalah makam yang telah saya buat untuk melingkar di atas kepalanya. Biarlah kenangan tentang ayah saya hidup secara kekal .… Semoga Allah yang saya kasihi memandang dari atas dan menyelamatkan saya dari musuhmusuh saya di sini, dan membimbing saya agar di Gunung Sion saya boleh berdiri, dan bersama ayah saya memahkotai saya secara kekal di sana.
Perkataan dan bahasa tidaklah memadai untuk menyatakan syukur yang saya haturkan kepada Allah karena telah memberi saya orang tua yang begitu terhormat.
Ibu saya juga adalah salah satu yang terluhur dan terbaik di antara semua wanita. Semoga Allah berkenan untuk memperpanjang hari-harinya dan hari-hari saya, agar kami boleh hidup untuk menikmati kebersamaan satu sama lain untuk waktu yang lama.”9
“Ketika kita merenungkan dengan seberapa perhatian dan seberapa tak henti-hentinya ketekunan orang tua kita telah berupaya untuk mengawasi kita, dan seberapa banyak duka dan kegelisahan telah mereka lalui, di dekat buaian dan sisi tempat tidur kita, di saat-saat sakit, betapa hati-hatinya kita seharusnya akan perasaan mereka di masa tua mereka! Tidak dapatlah menjadi sumber dari cerminan yang manis bagi kita, untuk mengatakan atau melakukan apa pun yang akan merundukkan rambut beruban mereka dengan duka hingga memasuki kubur.”10
Kasih di antara saudara lelaki dan perempuan dapat menjadi manis dan bertahan.
Mengenai dua saudara lelakinya, yang keduanya meninggal di usia muda, Nabi menulis: “Alvin, kakak tertua saya—saya ingat benar pedihnya duka yang membengkakkan dada muda saya serta hampir saja meledakkan hati saya yang sedih ketika dia meninggal. Dia adalah yang tertua dan yang terluhur dari keluarga ayah saya. Dia adalah salah seorang yang terluhur di antara para putra manusia .… Dalam dirinya tidak ada cela. Dia hidup tanpa noda sejak dia masih kanak-kanak .… Dia adalah salah seorang yang paling sadar diri di antara kaum pria, dan ketika dia meninggal malaikat Tuhan mengunjunginya di saat-saat terakhirnya .…
Adik lelaki saya Don Carlos Smith … juga adalah pemuda yang luhur; saya tidak pernah mengetahui adanya kesalahan dalam dirinya; saya tidak pernah melihat satu pun tindakan tak bermoral, atau satu pun watak tak agamais atau hina dalam diri anak itu sejak dia lahir hingga saat kematiannya. Dia adalah seorang anak yang rupawan, berpembawaan baik, berhati ramah, dan bajik, serta setia, yang lurus; dan ke mana jiwanya pergi, biarlah jiwa saya ke sana pula.”11
Joseph Smith menuliskan yang berikut ini dalam sepucuk surat kepada kakak lelakinya Hyrum: “Kakakku yang Terkasih, saya telah memiliki banyak keprihatinan mengenai dirimu, tetapi aku selalu mengingatmu dalam doa-doaku, meminta Allah untuk menjagamu aman terlepas dari upaya manusia atau iblis .… Semoga Allah melindungimu.”12
Mengenai Hyrum, Nabi menulis: “Saya dapat berdoa dalam hati saya agar semua saudara saya adalah seperti kakak terkasih saya Hyrum, yang memiliki kelembutan seekor anak domba, serta integritas seorang Ayub, dan singkatnya, kelembutan hati serta kerendahan hati Kristus; dan saya mengasihi dia dengan kasih itu yang lebih kuat daripada kematian.”13
Orang tua yang mengasihi, mendukung, dan berdoa bagi anak-anak mereka mendatangkan berkat-berkat yang tak terukur ke dalam kehidupan anak-anak mereka.
Setelah kunjungannya ke Bukit Cumorah pada bulan September 1823, Joseph Smith menceritakan pengalamannya kepada keluarganya dan kemudian melanjutkan untuk membagikan pengalaman-pengalamannya dengan mereka. Ibu Nabi mencatat: “Setiap malam kami mengumpulkan anak-anak kami bersama. Saya pikir kami memperlihatkan aspek yang paling unik dibandingkan keluarga mana pun yang pernah hidup di atas bumi, semua duduk dalam sebuah lingkaran, ayah, ibu, putra, dan putri mendengarkan dengan penuh semangat terhadap ajaran-ajaran keagamaan dari seorang anak lelaki berusia [tujuh belas] tahun .…
Kami yakin bahwa Allah akan membawa ke dalam terang sesuatu yang kami dapat jadikan tumpuan pikiran kami, sesuatu yang akan dapat lebih kami pahami gagasan pastinya daripada apa pun yang pernah diajarkan kepada kami sebelumnya, dan kami bersukacita di dalamnya dengan sukacita yang sangat besar. Persatuan dan kebahagiaan yang termanis meliputi rumah kami. Tidak ada perselisihan atau ketidakserasian yang mengganggu kedamaian kami, dan ketenangan berjaya di tengahtengah kami.”14
Menjelang akhir perjalanan Kemah Sion, pada bulan Juni 1834, Joseph dan Hyrum Smith, di antara banyak lainnya, terserang kolera. Ibu mereka mengisahkan yang berikut mengenai pengalaman mereka: “Sukacita … Hyrum dan Joseph saat bertemu kami lagi dalam keadaan sehat amatlah besar, melebihi segalanya, karena bahaya yang telah mereka hindari selama ketiadaan mereka. Mereka duduk, satu di setiap sisi saya, Joseph memegang satu tangan saya dan Hyrum yang lainnya, dan mereka mengisahkan yang berikut: …
‘Penyakit itu segera menguasai diri kami, dan dalam beberapa menit saja kami berada dalam tekanan yang besar. Kami memberi tanda-tanda isyarat kepada satu sama lain dan meninggalkan rumah untuk pergi ke sebuah tempat terpencil untuk bergabung dalam doa agar Allah akan membebaskan kami dari pengaruh yang mengerikan ini. Tetapi sebelum kami dapat pergi cukup jauh untuk memastikan tidak adanya gangguan, kami sudah hampir tidak mampu lagi berdiri di atas kaki kami dan kami amat panik, takut bahwa kami akan mati di padang belantara wilayah barat ini begitu jauh dari keluarga-keluarga kami, bahkan tanpa suatu kesempatan untuk memberkati anak-anak kami atau memberi mereka satu patah kata pun nasihat perpisahan. Hyrum berseru, “Joseph, apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita disingkirkan dari muka bumi oleh kutukan yang mengerikan ini?” “Marilah kita,” kata [Joseph], “berlutut dan berdoa kepada Allah untuk mengangkat keram ini dan juga tekanan lainnya serta memulihkan kita pada kesehatan, agar kita boleh kembali kepada keluarga-keluarga kita.” Kami melakukan demikian tetapi tanpa menerima manfaat apa pun, melainkan tetap menjadi semakin parah.…
Kami segera tiba pada tekad untuk memohon kembali kepada Allah untuk belas kasihan dan untuk tidak bangkit dari lutut kami sampai yang satu atau yang lainnya mendapatkan suatu kesaksian bahwa kami akan disembuhkan .… Kami berdoa untuk beberapa saat, mula-mula yang satu dan kemudian yang lainnya, dan segera menyadari bahwa rasa keramnya mulai berkurang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama sesudahnya, Hyrum meloncat berdiri serta berseru, “Joseph, kita akan kembali, karena saya telah melihat sebuah penglihatan terbuka, saya melihat Ibu berlutut di bawah pohon apel berdoa bagi kita, dan dia bahkan sekarang sedang meminta dengan deraian air mata kepada Allah untuk menyelamatkan nyawa kita agar dia boleh melihat kita lagi dalam daging. Dan Roh bersaksi kepada saya bahwa doa-doanya dan doa-doa kita akan didengar.” Dan sejak saat itu kami disembuhkan dan pergi kembali bersukacita.’
‘Ah. Ibuku,’ kata Joseph, ‘betapa seringnya doa-doamu telah menjadi sarana yang membantu kami ketika bayangan kematian meliputi diri kami.’”15
Kasih Lucy Mack Smith bagi putra-putranya diilustrasikan oleh kisahnya mengenai Nabi dan kakaknya, Hyrum, ketika dibawa sebagai tahanan dari Far West, Missouri, pada bulan November 1838, ke Independence dan kemudian Richmond, Missouri, tempat mereka akan dipenjara. Keluarganya takut bahwa Joseph dan Hyrum akan dibunuh: “Ketika berita datang kepada kami bahwa putra-putra kami akan diambil, utusan itu memberi tahu kami bahwa jika kami masih ingin melihat putraputra kami hidup, kami harus pergi kepada mereka, karena mereka berada dalam kereta kuda untuk dibawa pergi dan akan berangkat dalam waktu beberapa menit lagi. Suami saya ketika itu terlalu sakit untuk bisa pergi, tetapi saya dan Lucy [seorang putri] berangkat sendiri, karena kami adalah satu-satunya yang masih sehat dalam keluarga.
Ketika kami tiba kira-kira 400 yard [366 m2] jauhnya dari kereta kuda tersebut, kami tidak dapat pergi lebih jauh karena banyaknya orang yang mengelilinginya. ‘Saya adalah ibu dari Nabi,’ seru saya, ‘dan tidak adakah seorang pria terhormat di sini yang mau membantu saya melalui kumpulan orang banyak ini ke arah kereta kuda itu agar saya boleh melihat untuk terakhir kalinya anak-anak saya dan berbicara kepada mereka sekali lagi sebelum mereka mati?’ Seseorang menawarkan diri untuk membukakan jalan melalui serdadu-serdadu itu, dan kami pergi menerobos di tengahtengah pedang, golok, pistol, dan bayonet, diancam dengan kematian pada setiap langkah, sampai akhirnya kami tiba di sana. Orang yang menemani saya berbicara kepada Hyrum, yang duduk di depan, dan memberi tahu dia bahwa ibunya ada di sana dan dia ingin mengulurkan tangannya ke arahnya. Dia melakukannya, tetapi saya tidak diperkenankan untuk melihat mereka, karena penutup kereta itu terbuat dari kain yang amat tebal dan diikat rapat di depannya serta dipaku dengan kuat pada sisi-sisinya .…
Teman kami itu kemudian mengarahkan kami ke bagian belakang kereta, tempat Joseph berada, dan berbicara kepadanya, mengatakan, ‘Tuan Smith, ibu dan adik Anda ada di sini dan ingin berjabat tangan dengan Anda.’ Joseph menyusupkan tangannya ke antara kereta dan tutupnya di mana tutup itu dipakukan ke papan belakang. Kami dapat memegang tangannya, tetapi dia tidak berbicara kepada kami. Saya tidak sanggup meninggalkannya tanpa mendengar suaranya. ‘Ah, Joseph,’ kata saya, ‘berbicaralah kepada ibumu yang malang ini sekali lagi. Saya tidak dapat pergi sampai saya bisa mendengarmu berbicara.’
‘Allah memberkatimu, Ibu,’ katanya, dan kemudian sebuah seruan terdengar dan kereta itu bergegas pergi, membawa putra saya menjauh dari kami sewaktu Lucy menekan tangannya ke arah dirinya untuk menempatkan kepadanya ciuman terakhir seorang adik, karena kami tahu bahwa mereka telah divonis untuk ditembak mati.
Kami berhasil pulang ke rumah kembali, meskipun kami hampir tidak mampu menopang diri kami .… Untuk beberapa saat tidak ada sesuatu pun yang terdengar di dalam rumah kecuali erangan dan rintihan, karena kami tidak tahu apakah kami telah melihat Joseph dan Hyrum untuk yang terakhir kalinya. Tetapi di tengah-tengah nestapa saya, saya mendapatkan penghiburan yang melampaui segala hiburan duniawi. Saya dipenuhi oleh Roh Allah dan menerima yang berikut melalui karunia nubuat: ‘Biarlah hatimu terhibur mengenai anak-anakmu, karena mereka tidak akan mencederai sehelai rambut pun dari kepala mereka’ .… ‘Anak-anakku,’ kata saya, ‘janganlah menangis lagi. Gerombolan liar itu tidak akan membunuh mereka, karena Tuhan telah menandakan kepada saya bahwa Dia akan membebaskan mereka dari tangan para musuh mereka.’ Ini merupakan penghiburan yang besar bagi kami semua, dan kami tidak lagi begitu tertekan sesudahnya khawatir nyawa mereka akan diambil.”16
Saran untuk Pembelajaran dan Pengajaran
Pertimbangkanlah gagasan berikut ketika Anda mempelajari bab ini atau ketika Anda mempersiapkan diri untuk mengajar. Untuk bantuan tambahan, lihat halaman vii–xiii.
-
Ulaslah penjabaran Penatua Parley P. Pratt mengenai bagaimana pengetahuan mengenai ajaran pernikahan kekal memberkati hidupnya (hlm. 561–562). Dengan cara apa ajaran ini dapat memengaruhi perasaan kita mengenai keluargakeluarga kita,dan cara kita memperlakukan satu sama lain di rumah?
-
Bacakan nasihat Joseph Smith kepada para suami dan istri (hlm. 562–563). Pertimbangkan bagaimana sebagian dari nasihat ini berlaku baik bagi wanita maupun pria. Mengapa penting bagi baik ayah maupun ibu untuk mempelajari tulisan suci dan menerima wahyu untuk membimbing keluarga? Apa saja beberapa hal yang dapat seorang pria lakukan ketika dia melihat istrinya “terbebani dengan kesulitan”? Mengapa suami dan istri perlu menghindari penggunaan “perkataan kasar atau tidak ramah?”
-
Sebagai seorang dewasa, Nabi Joseph terus menikmati keberadaan bersama orang tuanya, untuk meminta nasihat mereka, dan untuk menghormati mereka (hlm. 563–566). Yang mana dari pernyataan Nabi mengenai orang tuanya secara khusus mengesankan Anda? Contoh apa yang telah Anda lihat mengenai pengaruh kebaikan yang langgeng yang dapat dimiliki orang tua terhadap anak-anaknya? Pikirkan tentang apa yang dapat Anda lakukan untuk lebih menghormati orang tua Anda.
-
Ulaslah pernyataan Nabi mengenai saudara-saudara lelakinya Alvin, Don Carlos, dan Hyrum (hlm. 566–567). Menurut Anda mengapa hubungan antara saudara lelaki dan perempuan dapat begitu bertahan dan kuat? Apa yang dapat dilakukan orang tua untuk mendorong putra dan putri mereka untuk menjadi teman baik? Apa yang dapat dilakukan saudara lelaki dan perempuan untuk memelihara persahabatan mereka satu sama lain?
-
Ulaslah kenangan Lucy Mack Smith mengenai putranya, Joseph, mengajari keluarga (hlm. 567). Pengalaman apa yang dapat Anda bagikan saat Anda merasakan “persatuan dan kebahagiaan” dengan anggota keluarga? Apa yang dapat dipelajari orang tua dari pengalaman yang dialami Joseph dan Hyrum ketika disembuhkan dari kolera? (lihat hlm. 569–570).
Tulisan Suci Terkait: Keluaran 20:12; 1 Korintus 11:11; Efesus 6:1–4; Mosia 4:14–15; Musa 3:18, 21–24
Joseph Smith dibesarkan dalam sebuah keluarga yang orang tua dan anak-anak saling mengasihi dan menghargai. Lukisan ini menunjukkan keluarga Smith disatukan kembali dengan ayah mereka di tahun 1816 setelah dia mendahului mereka dalam kepindahan mereka ke Palmyra, New York.
“Setiap malam kami mengumpulkan anak-anak kami bersama,” Lucy Mack Smith mengenang, “ayah, ibu, putra, dan putri mendengarkan dengan semangat penuh terhadap ajaran-ajaran keagamaan dari seorang anak lelaki berusia [tujuh belas] tahun.”