Pelajaran-Pelajaran Kehidupan yang Dipelajari
Saya mengimbau Anda untuk memeriksa hidup Anda. Tentukan di mana Anda berada dan apa yang perlu Anda lakukan untuk menjadi seperti yang Anda inginkan.
Akhir-akhir ini saya telah merenungkan banyak pengalaman baik yang saya miliki dalam hidup saya. Sewaktu saya menyatakan rasa syukur kepada Bapa Surgawi saya atas berkat-berkat dan kesempatan-kesempatan menakjubkan ini—saya menyadari, mungkin lebih daripada sebelumnya, betapa kritisnya tahun-tahun pembentukan hidup saya.
Banyak dari saat-saat paling penting dan mengubah hidup dalam kehidupan saya terjadi semasa muda saya. Pelajaran yang saya petik ketika itu membentuk watak saya dan menentukan tujuan akhir saya. Tanpanya, saya akan menjadi seseorang yang amat berbeda dan di tempat yang amat berbeda daripada adanya saya saat ini. Malam ini, saya ingin berbicara selama beberapa menit mengenai beberapa dari pengalaman ini serta apa yang saya petik darinya.
Saya tidak akan pernah melupakan satu pertandingan football sekolah tingkat menengah melawan sebuah sekolah saingan. Saya menempati posisi wingback [samping luar] dan tugas saya adalah untuk menghalangi linebacker [pemain baris penyerang] atau berusaha mencari peluang terbuka sehingga quarterback [pemain utama] dapat melemparkan bola kepada saya. Alasan saya sangat ingat pertandingan yang satu ini adalah karena orang di regu lawan—orang yang harus saya halangi—adalah seorang raksasa.
Saya bukanlah atlet tertinggi di dunia. Tetapi saya kira lawan saya itu mungkin yang tertinggi. Saya ingat menengadah ke arahnya, berpikir bahwa dia mungkin beratnya dua kali saya. Ingatlah terus, ketika saya bermain kami tidak memiliki peralatan perlindungan seperti yang digunakan pemain dewasa ini. Helm saya terbuat dari kulit dan tidak memiliki perlindung wajah.
Semakin saya pikirkan, semakin saya tiba pada kesadaran nyata: kalau saya membiarkan dia menangkap saya, saya akan menyoraki regu saya selama sisa musim tanding ini dari tempat tidur di rumah sakit.
Untungnya, saya cepat. Dan hampir seluruh separo pertandingan pertama, saya berhasil menghindarinya.
Kecuali di satu bagian permainan.
Quarterback kami mundur untuk melempar. Saya memiliki peluang terbuka. Dia melemparkan bola dan bola itu melambung ke arah saya.
Satu-satunya masalah adalah bahwa saya bisa melihat derap kaki berlari di belakang saya. Di satu saat penuh kesadaran, saya berpikir bahwa jika saya menangkap bola itu ada kemungkinan saya akan menyantap makanan saya melalui selang. Tetapi bola itu menuju ke arah saya dan regu saya bergantung kepada saya. Karena itu, saya mengulurkan tangan dan … pada detik terakhir … saya menengadah ke atas.
Dan dia ada di sana.
Saya ingat bola itu menghantam tangan saya. Saya ingat bergumul untuk memertahankannya. Saya ingat suara bola itu jatuh mengenai tanah. Setelah itu, saya tidak terlalu pasti apa yang terjadi karena raksasa itu menghantam saya begitu kuatnya sehingga saya tidak terlalu yakin saya berada di planet mana. Satu hal yang saya ingat adalah suara rendah datang dari balik kabut yang gelap, “Itu akibatnya kalau berada di regu yang salah.”
William McKinley Oswald adalah pelatih football sekolah saya. Dia adalah pelatih yang hebat dan memiliki pengaruh besar dalam hidup saya. Tetapi saya rasa dia telah mempelajari metode memotivasi pemainnya dari seorang sersan pelatih tentara.
Hari itu, dalam pesannya di pertengahan pertandingan, Pelatih Oswald mengingatkan seluruh regu mengenai lemparan yang lepas dari tangan saya. Kemudian dia menunjuk langsung ke arah saya dan berkata, “Bagaimana Anda bisa melakukan itu?”
Dia tidak berbicara dengan suara lembutnya.
“Saya ingin tahu apa yang membuat Anda menjatuhkan bola itu.”
Saya tergagap sejenak dan kemudian memutuskan untuk menceritakan apa adanya. “Saya melepaskan pandangan dari bola,” kata saya.
Pelatih memandang saya dan berkata, “Benar, Anda melepaskan pandangan dari bola itu. Jangan pernah lakukan itu lagi. Kesalahan seperti itu membawa kekalahan dalam pertandingan bola.”
Saya menghormati Pelatih Oswald, dan terlepas dari betapa buruknya perasaan saya, saya memutuskan untuk melakukan apa yang dikatakan Pelatih. Saya bersumpah tidak akan pernah melepaskan pandangan dari bola lagi, bahkan jika itu berarti akan dikirim ke dasar bumi sampai ke Mongolia oleh raksasa di regu lawan itu.
Kami kembali menuju lapangan dan memulai paro kedua. Pertandingannya berimbang dan meskipun regu saya bermain dengan baik, kami ketinggalan empat angka menjelang akhir kuartal keempat.
Pemain quarterback memanggil nomor saya dalam permainan berikutnya. Saya keluar lagi, Sekali lagi, saya mendapat peluang terbuka. Bola mengarah ke saya. Tetapi kali ini, raksasa itu berada di depan saya dan di posisi tepat untuk menghalangi lemparan itu.
Dia menggapai ke atas namun bolanya melesat di antara tangan-tangannya. Saya melompat tinggi, tidak sekalipun melepaskan pandangan dari bola, menyambarnya dan menghentakkannya ke tanah untuk touchdown yang memenangkan pertandingan.
Saya tidak ingat banyak mengenai perayaan sesudahnya, tetapi saya ingat raut muka Pelatih Oswald.
“Begitu caranya memusatkan pandangan pada bola,” katanya.
Saya kira saya tersenyum selama seminggu.
Saya telah mengenal banyak pria dan wanita hebat. Meskipun mereka memiliki latar belakang, bakat dan perspektif yang berbeda, mereka memiliki persamaan ini: mereka bekerja dengan tekun dan bersikukuh untuk mencapai tujuan mereka. Adalah mudah untuk teralihkan dan kehilangan fokus akan hal-hal yang paling penting dalam hidup. Saya telah berusaha untuk mengingat pelajaran-pelajaran yang saya pelajari dari Pelatih Oswald dan memprioritaskan nilai-nilai yang penting bagi saya agar saya dapat memusatkan pandangan saya pada hal-hal yang paling berarti.
Saya mengimbau Anda untuk memeriksa hidup Anda. Tentukan di mana Anda berada dan apa yang perlu Anda lakukan untuk menjadi seperti yang Anda inginkan. Ciptakan tujuan-tujuan yang mengilhami, mulia, dan saleh yang membakar imajinasi Anda dan menciptakan semangat dalam hati Anda. Dan kemudian pusatkan pandangan Anda padanya. Bekerjalah secara konsisten untuk mencapainya.
“Jika seseorang maju dengan rasa percaya ke arah impiannya,” tulis Henry David Thoreau, “dan berikhtiar untuk menjalani hidup yang telah dibayangkannya, dia akan menemui keberhasilan yang tidak diperkirakan di saat yang tidak lazim.”1
Dengan kata lain, janganlah melepaskan pandangan Anda dari bolanya.
Pelajaran lain yang saya petik dari lapangan football adalah di bawah tumpukan 10 pemain lainnya. Ketika itu sedang pertandingan perebutan gelar Rocky Mountain Conference dan permainan mengharuskan saya berlari membawa bola di tengah lapangan untuk mencetak touchdown yang akan mengunggulkan regu saya. Saya mengambil bolanya dan menerobos barisan regu lawan. Saya tahu saya dekat dengan garis gol, tetapi tidak tahu seberapa dekat. Meskipun saya terhimpit di dasar tumpukan pemain, saya mengulurkan jari-jari saya maju beberapa inci dan saya bisa merasakannya. Garis gol itu dua inci jauhnya dari saya.
Pada waktu itu, saya tergoda untuk mendorong bolanya ke depan. Saya bisa melakukannya. Dan ketika para wasit mulai mengurai para pemain dari tumpukan tersebut, saya menjadi pahlawan. Tidak seorang pun akan tahu.
Saya telah memimpikan saat ini semenjak kanak-kanak. Dan itu ada dalam jangkauan saya. Tetapi kemudian saya teringat perkataan ibu saya. “Joseph,” dia sering katakan kepada saya, “lakukan apa yang benar, tidak peduli akibatnya. Lakukan apa yang benar dan semuanya akan beres.”
Saya amat ingin mencetak gol touchdown itu. Tetapi lebih daripada menjadi pahlawan di mata teman-teman saya, saya ingin menjadi pahlawan di mata ibu saya. Maka saya biarkan bola itu di tempatnya. Dua inci dari garis gol.
Saya tidak tahu saat itu, tetapi ini adalah pengalaman yang menentukan. Seandainya saya pindahkan bolanya, saya bisa menjadi pemenang untuk sesaat, tetapi pahala kemuliaan duniawi akan membawa bersamanya harga yang terlalu mahal dan terlalu berdampak. Itu akan mengukirkan di sanubari saya suatu bekas luka yang akan mengikuti saya sepanjang sisa hidup saya. Saya tahu saya harus melakukan apa yang benar.
Terang Kristus membantu kita memperbedakan yang benar dari yang salah. Ketika kita membiarkan godaan membenamkan suara halus hati sanubari kita—ketika itulah keputusan menjadi sulit.
Orang tua saya mengajari saya untuk bertindak cepat ketika godaan datang dan untuk berkata ‘Tidak!’ secara langsung dan tegas. Saya merekomendasikan nasihat yang sama kepada Anda. Hindarilah godaan.
Pelajaran lain yang saya petik adalah sukacita pelayanan kepada orang lain. Saya telah berbicara sebelumnya bagaimana ayah saya, yang adalah uskup lingkungan kami, menyuruh saya mengisi kereta saya dan mengantarkan makanan serta kebutuhan yang diperlukan ke rumah keluarga-keluarga itu yang membutuhkan. Dia tidak sendirian dalam hasratnya untuk menjangkau mereka dalam kesulitan.
Tujuh puluh lima tahun lalu, Uskup William F. Perschon mengetuai Lingkungan Keempat dari Wilayah Pionir di Salt Lake City. Dia adalah imigran dari Jerman, seorang anggota baru Gereja, dan dia berbicara dengan logat yang kental. Dia seorang pengusaha yang baik tetapi yang paling membedakan dirinya adalah kasih sayangnya yang besar bagi sesama.
Setiap minggu selama pertemuan imamat, Uskup Perschon meminta para pemegang Imamat Harun melafalkan ungkapan berikut: “Imamat berarti pelayanan; memegang imamat, saya akan melayani.”
Itu bukan slogan semata. Ketika janda-janda membutuhkan bantuan, Uskup Perschon dan para Imamat Harun ada di sana untuk membantu. Ketika gedung Gereja dibangun, Uskup Perschon dan para Imamat Harun ada di sana. Ketika tanaman bit dan kentang di tanah pertanian kesejahteraan perlu disiangi atau dipanen, Uskup Perschon dan Imamat Harun ada di sana.
Kemudian, William Perschon melayani dalam presidensi wilayah dimana dia memengaruhi seorang uskup muda bernama Thomas S. Monson. Di tahun 1950an, Uskup Perschon dipanggil untuk memimpin misi Swiss-Austria dan memainkan peranan penting dalam membangun bait suci pertama “di seberang samudra” yang terletak di Bern, Swiss.
Anda hampir tidak dapat berpikir mengenai Uskup Perschon tanpa berpikir mengenai keprihatinan dan kasih sayangnya bagi orang lain dan komitmennya yang tak kenal lelah untuk mengajarkan sifat yang sama kepada orang lain. Mengenai para remaja putra dalam imamat Harun yang dia pimpin sebagai uskup, dua puluh sembilan orang maju menjadi uskup juga. Sepuluh orang melayani di presidensi wilayah. Lima menjadi presiden misi, tiga menerima panggilan sebagai presiden bait suci, dan dua melayani sebagai Pembesar Umum.2
Itulah kekuatan dari seorang pemimpin yang hebat, saudara-saudara. Itulah kekuatan dari pelayanan.
Meskipun saya tidak sepenuhnya memahaminya pada waktu itu, adalah jelas bagi saya sekarang bahwa pelajaran-pelajaran ini—dan banyak lagi yang saya pelajari semasa muda—menjadi landasan yang di atasnya sisa kehidupan saya dibangun.
Kita semua memiliki karunia rohani. Sebagian diberkati dengan karunia iman, yang lainnya karunia penyembuhan. Dalam tubuh Gereja, semua karunia rohani tersedia. Dalam kasus saya, mungkin satu karunia rohani yang amat saya syukuri adalah bahwa saya telah diberkati dengan roh yang patuh. Ketika saya mendengar nasihat yang bijaksana dari orang tua saya atau pemimpin Gereja, saya mendengarkan dan berusaha menjadikannya bagian dari pikiran dan tindakan saya.
Saudara-saudara pemegang imamat, saya mengimbau Anda untuk memupuk karunia roh yang patuh. Juruselamat mengajarkan bahwa “setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana … tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh.”3
Bagaimana kita tahu apakah kita bijaksana atau bodoh? Ketika kita mendengar nasihat yang terilhami, kita mematuhi. Itulah ujian antara bijaksana atau bodoh.
Apa manfaatnya bagi kita jika kita mendengar nasihat bijaksana dan tidak mengindahkan perkataannya? Apa gunanya pengalaman jika kita tidak belajar darinya? Apa gunanya tulisan suci jika kita tidak menghargai perkataannya serta menerapkannya dalam kehidupan kita?
Presiden Gordon B. Hinckley telah menjanjikan bahwa, “[Bapa Surgawi] akan mencurahkan berkat-berkat ke atas meraka yang berjalan dalam kepatuhan terhadap perintah-perintah-Nya.”4
Saya menambahkan suara saya pada suaranya.
Saya bersaksi bahwa Yesus adalah Kristus, Juruselamat seluruh umat manusia. Saya bersaksi bahwa Allah berada dekat. Dia memerhatikan kita dan mengasihi kita, anak-anak-Nya. Para nabi, pelihat, dan pewahyu menuntun kemajuan dari Gereja Yesus Kristus yang dipulihkan. Presiden Gordon B. Hinckley berdiri sebagai seorang nabi zaman akhir bagi Gereja dan bagi dunia.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Pencipta saya untuk kehidupan yang baik ini dimana setiap dari kita memiliki kesempatan untuk mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak dapat sepenuhnya kita pahami dengan cara lain.
Saudara-saudara yang terkasih, semoga kita menentukan gol-gol yang benar dan bekerja untuk mencapainya, melakukan apa yang benar, serta menjangkau dengan kasih kepada semua di sekitar kita. Ini adalah doa dan kesaksian saya, dalam nama Yesus Kristus, amin.