Roh Tabernakel
Tabernakel … berdiri sebagai sebuah panji Pemulihan dari Injil Yesus Kristus.
Empat puluh tahun lalu saya dipanggil sebagai Asisten Kuorum Dua Belas, dan untuk pertama kalinya, saya datang ke mimbar ini. Saat itu saya berusia 37 tahun. Saya mendapati diri saya berdiri di antara tokoh-tokoh terkenal dan para nabi serta rasul yang bijak, “yang namanya” sebagaimana lagu itu menyebutkan, “kita semua hormati” (“Oh, Holy Words of Truth and Love,” Hymns, no. 271). Saya merasa betapa sangat tidak sepadannya saya.
Kira-kira saat itu di Tabernakel ini saya memiliki sebuah pengalaman yang penting. Pengalaman itu memberi saya keyakinan dan keberanian.
Pada saat itu konferensi Pratama diadakan di sini sebelum konferensi bulan April. Saya datang melalui pintu selatan sewaktu lagu pembuka dinyanyikan oleh paduan suara besar yang terdiri dari anak-anak Pratama. Sister Lue S. Groesbeck, seorang anggota Pengurus Umum Pratama, memimpin mereka. Mereka menyanyikan:
Hormatlah, tenanglah, kita mengingat Tuhan
Hormatlah, tenanglah, kita naikkan pujian.
Hormatlah, tenanglah, kita berdoa
Biar Roh Kudus tinggal di hati kita.
(“Hormatlah, Tenanglah,” Buku Nyanyian Anak-Anak, no. 11).
Sewaktu anak-anak menyanyi dengan tenang, sang organis, yang memahami bahwa keindahan tidak muncul bila seseorang berusaha mendapat perhatian bagi diri sendiri, tidak bermain solo ketika mereka bernyanyi. Dia dengan terampilnya, nyaris tak terlihat menyatu dengan suara anak-anak dalam sebuah melodi ilham dan wahyu. Itulah saat yang mengilhami. Pengalaman itu mengajari saya sebuah asas luar biasa yang saya perlu pahami secara mendalam di tahun-tahun yang akan datang.
Saya merasakan barangkali seperti yang Nabi Elia telah rasakan. Dia menutup langit bagi Raja Ahab yang jahat dan melarikan diri ke sebuah gua untuk mencari Tuhan:
“Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu …. Tetapi tidak ada Tuhan dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada Tuhan dalam gempa itu.
Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada Tuhan dalam api itu. Dan sesudah api itu [datanglah] bunyi angin sepoi-sepoi basa.
“Segera,” catatan itu menyatakan, “sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi keluar dan berdiri di pintu gua itu”—untuk berbicara kepada Tuhan (1 Raja-Raja 19:11–13).
Saya merasakan sesuatu seperti apa yang bangsa Nefi telah rasakan ketika Tuhan menampakkan diri kepada mereka: “Mereka mendengar suatu suara yang seolah-olah datang dari surga dan mereka mengarahkan pandangan mereka ke sekeliling, karena mereka tidak memahami suara yang mereka dengar itu, dan suara itu bukan suara yang tajam, juga bukan suara yang nyaring, meskipun demikian dan sekalipun suara itu kecil, suara itu menusuk mereka yang mendengar sampai ke bagian yang terdalam, sedemikian rupa sehingga tidak satu bagian pun dari tubuh mereka yang tidak menggigil. Ya, hal itu menusuk mereka sampai ke dalam jiwa dan menyebabkan hati mereka membara” (3 Nefi 11:3).
Ini adalah suara lembut yang Elia dan bangsa Nefi dengar yang Nabi Joseph Smith pahami ketika dia menulis, “Ya, demikianlah kata suara yang halus, yang membisikkan melalui dan menembusi segala hal dan sering kali hal itu membuat tulang-tulangku gemetar selagi hal itu dinyatakan” (A&P 85:6).
Pada saat yang meneguhkan itu, saya memahami bahwa suara yang lembut dirasakan lebih dari sekadar didengar. Jika saya mengindahkannya, segalanya akan berjalan dengan baik dalam pelayanan saya.
Setelah itu saya mendapat kepastian bahwa sang Penghibur, Roh Kudus, ada di sana bagi setiap orang yang mau menanggapi undangan untuk meminta, mencari, dan mengetuk (lihat Matius 7:7–8; Lukas 11: 9–10; 3 Nefi 14:7–8; A&P 88:63). Saya tahu saya akan baik-baik saja. Seiring berlalunya waktu, demikianlah keadaannya.
Saya juga belajar kuasa apa yang terdapat dalam musik. Ketika musik disajikan secara khidmat, itu dapat seperti wahyu. Kadang-kadang, saya pikir, itu tidak dapat dipisahkan dari suara Tuhan, suara Roh yang lembut.
Musik yang layak apa pun jenisnya memiliki tempatnya. Dan ada banyak sekali tempat dimana musik itu dapat didengar. Namun Tabernakel di Taman Bait Suci berbeda dari semua tempat lainnya.
Selama generasi ke generasi Paduan Suara Tabernakel membuka siaran mingguannya menyanyikan syair yang ditulis oleh William W. Phelps:
Nyanyikan lagu suci,
Sabat t’lah tiba lagi,
Agar orang istirahat, …
Dan menyatakan syukur
Akan berkat ilahi.
(“Nyanyikan Lagu Suci,” Nyanyian Rohani, no. 60).
Lebih dari 100 tahun yang lalu, Presiden Wilford Woodruff, saat itu berusia 91 tahun, menyampaikan apa yang mungkin menjadi khotbah terakhirnya dari mimbar ini. Di antara yang hadir adalah LeGrand Richards yang berusia 12 tahun. Ayahnya, George F. Richards (kemudian ditahbiskan sebagai Rasul), mengajak anak-anak lelakinya ke Tabernakel untuk mendengarkan para Pemimpin. LeGrand tidak pernah melupakan pengalaman itu.
Lebih dari 20 tahun, saya sangat dekat dengan Penatua LeGrand Richards. Ketika dia berusia 96 tahun, pesan itu masih tertinggal di dalam hatinya. Dia tidak dapat mengingat kata-kata yang diucapkan Presiden Woodruff, namun dia tidak pernah melupakan bagaimana perasaannya ketika hal itu diucapkan.
Kadang-kadang, saya merasakan kehadiran orang-orang yang membangun dan menjaga Tabernakel ini. Melalui musik dan kata-kata yang diilhami, mereka yang hidup sebelum kita mempertahankan kesederhanaan Injil dan kesaksian tentang Yesus Kristus. Kesaksian itu adalah terang pembimbing dalam kehidupan mereka.
Peristiwa-peristiwa besar yang membentuk tujuan Gereja telah terjadi dalam Tabernakel di Taman Bait Suci ini.
Setiap Presiden Gereja, kecuali Joseph Smith dan Brigham Young, telah didukung dalam sebuah sidang kudus di Tabernakel ini. Dan dengan cara yang sama, prosedur pendukungan ini diulang setiap tahunnya dalam konferensi umum dan direkam di setiap wilayah, dan lingkungan serta cabang sebagaimana diharuskan melalui wahyu.
Tuhan berfirman, “Tidak akan diizinkan kepada siapa pun untuk pergi mengkhotbahkan Injil-Ku atau untuk mendirikan Gereja-Ku kecuali dia ditahbiskan oleh seseorang yang mempunyai wewenang dan dikenal gereja bahwa dia memiliki wewenang dan telah ditahbiskan menurut peraturan oleh para pemimpin gereja” (A&P 42:11).
Dengan cara ini, tidak ada orang asing yang dapat datang ke antara kita dan mengaku memiliki wewenang dan berusaha untuk menyesatkan Gereja.
Di tahun 1880 ini Mutiara Yang Sangat Berharga diterima sebagai salah satu kitab standar Gereja.
Di sini juga dua wahyu ditambahkan dalam kitab-kitab standar, yang sekarang dikenal sebagai Ajaran dan Perjanjian sebagai Joseph Smith – Penglihatan Mengenai Kerajaan Selestial [bagian 137] dan Joseph F. Smith – Penglihatan Mengenai Penebusan Orang yang Telah Mati [bagian 138]. Bagian 137 mencatat penglihatan yang diberikan kepada Joseph Smith di Bait Suci Kirtland, dan bagian 138 adalah penglihatan yang diberikan kepada Presiden Joseph F. Smith mengenai kunjungan Juruselamat kepada roh-roh yang telah meninggal.
Di tahun 1979 ini, setelah tahun-tahun persiapan, versi OSZA dari Alkitab King James diperkenalkan kepada Gereja.
Edisi baru Kitab Mormon, Ajaran dan Perjanjian, serta Mutiara Yang Sangat Berharga diumumkan kepada Gereja di sini.
Dalam konferensi umum tahun 1908, Presiden Joseph F. Smith membaca Ajaran dan Perjanjian bagian 89—Kata-Kata Bijaksana. Kemudian dia, kedua penasihatnya, dan Presiden Dua Belas semuanya membicarakan tema yang sama, Kata-Kata Bijaksana. Kemudian pemungutan suara untuk menerimanya sebagai perintah yang anggota Gereja harus patuhi secara bulat disahkan.
Wahyu dimulai, “Sebagai akibat perbuatan jahat dan rancangan yang ada dan yang akan timbul di dalam hati orang-orang yang bersekongkol pada zaman akhir, telah Aku peringatkan kamu sebelumnya, dengan memberi kepadamu kata-kata bijaksana ini melalui wahyu”(A&P 89:4).
Itu merupakan perisai dan pelindung bagi umat kita, terutama bagi kaum remaja kita. Itu menjadi bagian dari “seluruh perisai” Allah yang dijanjikan dalam wahyu itu untuk melindungi mereka dari “panah api” dari si musuh (lihat A&P 27:15–18).
Para anggota Gereja dan setiap orang telah senantiasa, saat ini, dan akan selamanya mendapat serangan dari musuh. Dia akan menutupi, bahkan menghapus suara yang lembut dengan musik yang keras dan bising yang dipenuhi dengan lirik yang tidak dapat dipahami—atau lirik kotor yang tidak dapat dipahami. Dia dengan seksama akan menyesatkan kita dengan setiap godaan lain yang dapat dia pakai.
Melalui wahyu ini Tuhan menjelaskan tata tertib keimamatan, dan hal ini membuka pintu-pintu untuk memenuhi perintah Juruselamat untuk membawa Injil kepada “setiap bangsa, suku, bahasa, dan rakyat” (A&P 133:37) dan agar Gereja-Nya dapat ditegakkan di antara mereka.
Kitab Mormon diberi subjudul “Satu Kesaksian Lagi Tentang Yesus Kristus.” Oleh karena itu, siapa pun yang membuka kitab itu akan mengetahui dari judulnya apa yang ditawarkan di dalamnya.
Ajaran-ajaran, khotbah-khotbah, musik, dan perasaan-perasaan serta Roh dalam bangunan yang kudus ini dialihkan sebagaimana adanya ke Pusat Konferensi yang megah terdekat dimana hal itu didengar oleh puluhan ribu orang, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, dan disampaikan kepada jemaat di seluruh dunia.
Lebih dari itu, Roh tersebut masuk ke dalam rumah berjuta-juta Orang Suci Zaman Akhir. Di dalam rumah, orang tua berdoa bagi kesejahteraan anak-anak mereka. Para pria dan wanita dan, sebagaimana Kitab Mormon menjanjikan, bahkan anak-anak kecil dapat menerima kesaksian tentang Yesus Kristus (lihat Mosia 24:22; Alma 32:23; 3 Nefi 17:25) serta tentang Pemulihan Injil-Nya.
Tabernakel di Taman Bait Suci ini adalah “rumah untuk berdoa, rumah untuk berpuasa, rumah untuk beriman, rumah kemuliaan dan untuk Allah, yaitu rumah-[Nya]” (A&P 109:16). Mereka yang dipanggil untuk berbicara atau melaksanakan firman, musik, dan kebudayaan bertanggung jawab untuk menyajikan apa yang layak.
Mencari pujian manusia, tulisan suci memperingatkan kita, adalah disesatkan dengan hati-hati dari satu-satunya jalan untuk diikuti dalam kehidupan (lihat Yohanes 12:43; 1 Nefi 13:9; 2 Nefi 26:29; Helaman 7:21; Mormon 8:38; A&P 58:39). Dan tulisan suci memperingatkan kita dengan jelas apa yang terjadi ketika kita “mendambakan kehormatan manusia” (A&P 121:35).
Bukanlah apa yang didengar dalam khotbah melainkan apa yang dirasakan. Roh Kudus dapat menegaskan kepada semua orang yang datang dalam pengaruh itu bahwa pesannya adalah benar, bahwa ini adalah Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir.
Tabernakel berdiri di sini di sebelah bait suci sebagai sebuah sauh dan telah menjadi lambang Pemulihan. Tabernakel ini dibangun oleh orang-orang yang sangat miskin dan awam. Tabernakel itu sekarang dikenal di seluruh dunia.
Paduan Suara Tabernakel, yang dikenal melalui nama bangunan ini, telah menjadi suara Gereja selama bertahun-tahun. Semoga paduan suara itu tidak pernah terseret dari atau membiarkan diri mereka menjauh dari misi inti yang telah memenuhi perannya dari generasi ke generasi.
Dari generasi ke generasi Paduan Suara telah membuka dan menutup setiap siaran dengan sebuah pesan ilham, kaya dalam asas dan tersauhkan dalam ajaran Pemulihan, dimulai dengan “Nyanyikan Lagu Suci” (Nyanyian Rohani, no. 60) dan menutup dengan “Bagai Embun dari Surga” (Nyanyian Rohani, no. 62).
Tabernakel berdiri di dunia sebagai salah satu dari pusat-pusat besar dari musik dan kebudayaan yang layak. Namun yang terpenting, Tabernakel berdiri sebagai sebuah panji Pemulihan dari Injil Yesus Kristus. Kesaksian yang sederhana itu telah tertanam dalam dan permanen dalam diri saya di sini dalam bangunan ini melalui anak-anak Pratama yang menyanyi dalam nada yang khidmat dan penuh ilham.
Allah memberkati bangunan yang kudus ini dan semua yang keluar dari dalam dindingnya. Betapa bersyukurnya kita bahwa bangunan ini telah diperbarui dan direnovasi tanpa kehilangan sifat kudusnya.
Penatua Parley P. Pratt dari Kuorum Dua Belas Rasul membacakan kata-kata dari Ajaran dan Perjanjian bagian 121: “Biarlah kebajikan tak henti-hentinya menghiasi pikiranmu, maka keyakinanmu akan menjadi kuat di hadirat Allah; dan ajaran mengenai keimamatan akan meresap ke dalam jiwamu bagai embun dari surga.
Roh Kudus akan menjadi temanmu yang setia dan tongkat kerajaanmu merupakan suatu tongkat keadilan dan kebenaran yang tak berubah; dan kerajaanmu adalah kerajaan abadi dan tanpa maksud-maksud paksaan, semua ini mengalir kepadamu untuk selama-lamanya” (A&P 121:45–46).
Tersentuh amat dalam, Parley P. Pratt mengalihkan pikirannya pada sebuah nyanyian rohani yang sesungguhnya adalah sebuah doa. Selama bertahun-tahun lagu ini telah dipilih oleh Paduan Suara untuk menutup siaran mingguannya:
Bagai embun dari surga
Jatuh di atas rumput;
Menyejukkan, menyegarkan
S’bagai yang Engkau maksud.
Biar asas-Mu yang jaya
Kan turun dari atas;
Yang nyata keampuhan-Nya
‘Tuk melakukan tugas.
Tuhan indahkanlah kami,
Penuhilah janji-Mu;
Dari tempat-Mu yang suci
Turunkan embun itu.
Dengarlah seruan kami,
Turunkan Roh suci-Mu;
Supaya kami memuji,
Memuliakan nama-Mu.
(“Bagai Embun dari Surga,” Nyanyian Rohani, no. 62).
Saya menambahkan kesaksian saya bahwa Yesus adalah Kristus, bahwa ini adalah rumah-Nya, pada hari pengudusan yang suci ini dalam nama Yesus Kristus, amin.