2008
Iman Bapa Kita
Mei 2007


Iman Bapa Kita

Agama yang sejati hendaknya tidak dimulai dari apa yang menyenangkan manusia atau tradisi leluhur, melainkan dari apa yang menyenangkan Allah, Bapa Kekal kita.

Gambar
President Dieter F. Uchtdorf

Betapa diberkatinya kita oleh musik indah dari Paduan Suara Tabernakel.

Brother dan sister serta teman-teman yang terkasih, saya senang dapat berada bersama Anda hari ini, memiliki kesempatan istimewa menyebut diri saya anggota Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, dan untuk disertakan sebagai salah satu di antara Anda.

Saya ingat reaksi pertama saya ketika saya menerima pemanggilan kudus ini dari Tuhan untuk melayani sebagai anggota paling baru dari Presidensi Utama Gereja—saya merasa penuh sukacita yang berkelimpahan. Sejak itu saya telah belajar dimensi baru tentang kata kerendahan hati, rasa syukur, dan iman.

Saya dapat meyakinkan Anda bahwa tidak seorang pun yang lebih terkejut dengan pemanggilan saya daripada anak-anak dan cucu-cucu saya.

Di Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir, kita tidak mencari maupun menolak pemanggilan yang datang dari Allah melalui jalur keimamatan yang diilhami. Saya berdoa semoga Allah memberi saya kekuatan dan hati yang memahami untuk meningkatkan pemanggilan kudus ini sesuai dengan kehendak dan tujuan-Nya.

Kita semua merindukan Presiden Gordon B. Hinckley. Pengaruhnya dalam pekerjaan besar ini akan terus memberkati kita.

Saya merasa memiliki kesempatan istimewa untuk bekerja secara erat dengan Presiden Monson. Saya telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Dia adalah orang yang memiliki karunia dan bakat luar biasa. Dia adalah Nabi Allah. Iman dan hatinya yang penuh kasih terulur kepada setiap bangsa, bahasa, dan rakyat.

Saya bersyukur dapat melayani bersama Presiden Eyring, yang saya kasihi dan hormati sebagai pemimpin dan guru dalam kerajaan Allah.

Ketika Kuorum Dua Belas Rasul bertemu di ruangan atas Bait Suci Salt Lake untuk mendukung Presiden Monson sebagai Presiden ke-16 Gereja, saya kagum dengan kemampuan, kebijaksanaan, dan kerohanian luar biasa dari mereka yang ada di sekeliling saya. Itu membuat saya mengenali dengan lebih jelas ketidakmampuan saya. Saya mengasihi para pria hebat yang memiliki iman besar ini. Saya bersyukur atas kesempatan untuk mengangkat tangan saya untuk mendukung dan memberikan bantuan saya kepada mereka. Saya sungguh mengasihi serta mendukung Penatua Christofferson, anggota Dua Belas paling baru.

Ketika Tuhan memanggil Frederick G. Williams untuk menjadi penasihat bagi Nabi Joseph Smith, Dia memerintahkannya untuk “setialah; berdiri teguhlah dalam jabatan yang telah Aku tetapkan bagimu; bantulah yang lemah, angkatkan tangan yang terkulai dan kuatkan lutut yang lemah.”1 Saya percaya nasihat ini berlaku bagi semua yang menerima panggilan untuk melayani dalam kerajaan Allah—dan tentunya bagi saya pada masa kehidupan saya ini.

Nabi Allah dan Presiden Kita

Saya ingin menyampaikan sepatah dua kata mengenai Presiden Thomas S. Monson. Beberapa tahun lalu, Presiden Monson datang ke sebuah konferensi regional di Hamburg, Jerman, dan merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk menemaninya. Presiden Monson memiliki ingatan luar bisa dan kami berbicara mengenai banyak Orang Suci di Jerman—saya kagum bahwa dia mengingat banyak hal dengan begitu baiknya.

Presiden Monson bertanya tentang Brother Michael Panitsch, mantan presiden wilayah dan kemudian bapa bangsa, yang telah menjadi salah satu pionir yang kuat di Gereja di Jerman. Saya memberitahunya bahwa Brother Panitsch sakit parah, bahwa dia terbaring di tempat tidur, dan tidak dapat menghadiri pertemuan kami.

Presiden Monson bertanya apakah kami dapat mengunjunginya.

Saya tahu bahwa tak lama sebelum perjalanannya ke Hamburg, Presiden Monson telah menjalani operasi kaki dan bahwa dia tidak bisa berjalan tanpa rasa sakit. Saya menjelaskan bahwa Brother Panitsch tinggal di lantai lima sebuah gedung yang tidak memiliki elevator. Kami harus naik tangga untuk bertemu dengannya.

Namun Presiden Monson memaksa. Jadi kami pun pergi.

Saya ingat betapa sulit bagi Presiden Monson untuk menaiki anak tangga itu. Dia hanya dapat menaiki beberapa anak tangga setiap kali sebelum perlu untuk berhenti dan beristirahat. Dia tidak pernah mengeluh, dan dia tidak mau berbalik. Karena gedung itu memiliki atap yang tinggi, anak tangga itu terlihat panjang sekali, namun Presiden Monson dengan gembira bertahan sampai kami tiba di apartemen Brother Panitsch di lantai lima.

Saat berada di sana, kunjungan kami sangat menyenangkan. Presiden Monson berterima kasih kepadanya atas kehidupannya yang penuh pengabdian dan menghiburnya dengan senyuman. Sebelum kami pergi, dia memberikan kepada Brother Panitsch sebuah berkat keimamatan yang indah.

Tidak ada orang selain Brother Panitsch, sanak keluarga, dan saya yang pernah melihat tindakan berani dan penuh belas kasih itu.

Presiden Monson dapat saja memilih untuk beristirahat di sela-sela pertemuan kami yang panjang dan padat. Dia dapat saja minta untuk melihat-lihat pemandangan indah di kota Hamburg. Saya sering memikirkan betapa menakjubkan semua pemandangan di kota itu, namun satu hal yang ingin dilihatnya melebihi yang lainnya adalah anggota Gereja yang lemah dan menderita yang telah dengan setia dan rendah hati melayani Tuhan.

Presiden Monson datang ke Hamburg untuk mengajar dan memberkati rakyat di negara itu, dan itulah yang dilakukannya. Namun pada saat yang sama, dia berfokus pada individu, nama demi nama. Visinya sedemikian luas dan menjangkau jauh untuk memahami kompleksitas Gereja yang mendunia, namun dia juga sedemikian penuh belas kasih untuk berfokus pada individu.

Ketika Rasul Petrus berbicara tentang Yesus, yang telah menjadi sahabat dan gurunya, dia memberikan uraian sederhana ini: “[Dia] berjalan berkeliling sambil berbuat baik.”2

Saya rasa hal yang sama dapat dikatakan kepada pria yang kita dukung hari ini sebagai nabi Allah.

Iman Leluhur Kita

Saya kagum pada latar belakang yang berbeda dari para anggota Gereja. Anda datang dari semua bidang kehidupan,—semua kebudayaan, bahasa, keadaan politik, dan tradisi agama.

Banyaknya pengalaman hidup ini telah menyebabkan saya merenungkan pesan dari salah satu nyanyian rohani kita, “Faith of Our Fathers.” Di bagian refrain, kata-kata ini diulangi: “Iman leluhur kita, iman yang kudus, kita akan setia sampai mati!”3 [diterjemahkan secara bebas].

Iman leluhur kita—saya menyukai kalimat itu.

Bagi banyak anggota Gereja, kata-kata ini mengingatkan pada para pionir yang gagah berani yang meninggalkan kenyamanan rumah mereka dan melakukan perjalanan dengan gerobak dan berjalan kaki sampai mereka tiba di lembah Great Salt Lake. Saya mengasihi dan menghormati iman serta keberanian para pionir Gereja di masa awal. Leluhur saya tinggal di seberang samudra pada saat itu. Tidak satu pun ada di antara mereka yang tinggal di Nauvoo atau Winter Quarters, dan tidak satu pun yang melakukan perjalanan melintasi dataran. Namun sebagai anggota Gereja, saya menyatakan dengan rasa syukur dan bangga pusaka pionir ini sebagai milik saya.

Dengan sukacita yang sama, saya menyatakan pusaka-pusaka dari para pionir Gereja di zaman modern sekarang yang hidup di setiap bangsa dan yang kisah-kisah tentang ketabahan, iman, dan pengurbanan mereka menambah bait-bait baru yang agung bagi refrain lagu pujian zaman akhir dalam kerajaan Allah.

Ketika keluarga saya memikirkan kalimat “iman leluhur kita,” sering kali yang muncul di benak adalah agama Lutheran. Dari generasi ke generasi leluhur kami memeluk agama itu. Faktanya, putra saya belum lama berselang menemukan bahwa salah satu garis keluarga kami terhubung kembali dengan Martin Luther.

Kita menghormati dan menghargai jiwa-jiwa lembut dari semua agama, terlepas dari di mana dan kapan mereka hidup, yang telah mengasihi Allah, bahkan tanpa memiliki kegenapan Injil. Kita mengangkat suara kita dalam rasa syukur atas sikap mereka yang tidak mementingkan diri sendiri dan keberanian mereka. Kita memeluk mereka sebagai saudara, anak-anak Bapa Surgawi kita.

Kita percaya bahwa adalah hak dasar umat manusia untuk menyembah “Allah Yang Mahakuasa sesuai dengan suara hati kami, dan mengakui hak yang sama bagi semua orang; biarlah mereka memuja, bagaimana, di mana atau apa pun yang mereka inginkan.”4

Ada Banyak Iman dan Tradisi Leluhur Kita

Sewaktu Gereja Yesus Kristus yang dipulihkan berkembang di seluruh dunia—sekarang dengan lebih dari 13 juta anggota—“iman leluhur kita” telah meluas maknanya. Bagi beberapa orang, itu dapat merujuk pada pusaka keluarga mereka dalam salah satu dari ratusan iman umat Kristen; bagi yang lain, itu dapat merujuk pada iman dan tradisi orang-orang Timur-Tengah, Asia, atau Afrika.

Saya menghabiskan sebagian besar hidup saya di area-area dunia dimana terdapat sedikit anggota Gereja. Selama waktu itu saya telah belajar bahwa sering kali, ketika orang belajar tentang Injil yang dipulihkan, mereka terkesan karenanya—banyak bahkan ingin bergabung dengan Gereja. Namun mereka enggan untuk mengecewakan leluhur mereka; mereka merasa mereka harus setia pada iman leluhur mereka.

Saya ingat semasa muda dahulu, suatu hari Minggu saya melihat sebuah keluarga baru di gedung pertemuan kami—seorang ibu muda dengan dua putrinya. Tidak lama kemudian ketiganya dibaptiskan dan menjadi anggota Gereja.

Saya tahu betul kisah pertobatan mereka, karena putri sulungnya yang bernama Harriet kemudian menjadi istri saya.

Ibu Harriet, Carmen, baru saja kehilangan suaminya dan, selama saat-saat introspeksi diri, dia menjadi tertarik dengan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir. Setelah mempelajari ajaran-ajaran, Carmen dan para putrinya mengetahui Gereja ini benar dan membuat rencana untuk pembaptisan.

Tetapi ketika Carmen memberi tahu ibunya mengenai keputusan ini, ibunya sangat kecewa. “Bagaimana kamu bisa sedemikian tidak setia dengan iman leluhurmu?” dia bertanya.

Ibu Carmen bukan satu-satunya yang menolak. Saudara perempuan Carmen yang keras hati, Lisa, juga terganggu dengan berita itu. Barangkali terganggu adalah kata yang terlalu lunak. Dia sangat marah.

Lisa mengatakan bahwa dia akan menemukan para misionaris muda itu dan memberi tahu mereka bahwa mereka salah. Dia pergi ke Gereja, menemukan para misionaris, dan, Anda tebak, Lisa pun dibaptiskan.

Beberapa tahun kemudian, ibu Carmen juga menerima kesaksian bahwa Injil Yesus Kristus telah dipulihkan di bumi. Suatu hari dia mengatakan kepada anak-anak perempuannya dan cucu-cucunya, “Saya ingin berada di surga yang sama seperti kalian.” Di usia 70-an, dia juga masuk ke dalam air pembaptisan dan menjadi anggota Gereja.

Iman Leluhur Kita

Jadi, apakah iman leluhur kita? Apakah itu agama orang tua, kakek nenek, dan buyut kita?

Tetapi apakah iman orang-orang di zaman dahulu sebelum mereka? Bagaimana dengan Abraham, Ishak, dan Yakub? Apakah mereka bukan leluhur kita? Apakah kita bukan umat Israel? Bagaimana dengan Nuh, Henokh, dan orang tua pertama kita, Adam dan Hawa?

Bagaimana dengan Juruselamat dan murid-murid yang mengikuti-Nya?

Iman Bapa kita di Surga senantiasa konsisten sejak permulaan zaman, bahkan sejak sebelum pengalasan dunia ini. Yohanes Pewahyu menjelaskan perang besar di surga.5 Isunya adalah hak pilihan moral, sebagaimana di zaman sekarang. Semua yang pernah hidup di bumi ini ada di antara mereka yang berperang melawan Setan dan berdiri bersama Putra dan Bapa. Oleh karenanya, tidakkah kita berutang kesetiaan kita kepada Allah, Bapa Surgawi kita?

Sebagai anggota Gereja Yesus Kristus, “kami percaya kepada Allah, Bapa yang Kekal, serta Putra-Nya, Yesus Kristus dan Roh Kudus.”6 Dan “kami percaya bahwa melalui penebusan Kristus, seluruh umat manusia dapat diselamatkan dengan jalan mematuhi hukum-hukum serta tata cara-tata cara Injil.”7 Kita percaya akan rencana besar kebahagiaan, rencana penebusan, rencana keselamatan, dimana anak-anak Allah dapat mengalami kefanaan dan kembali ke hadirat Bapa—rencana belas kasih yang dibentuk sejak sebelum pengalasan bumi ini.

Ini adalah rencana dan iman Bapa kita!

Saya bersaksi bahwa ajaran Injil Yesus Kristus yang dipulihkan adalah iman Bapa Surgawi kita. Itu adalah kebenaran-Nya yang diwahyukan kepada hamba-Nya para nabi sejak zaman Bapa Adam sampai zaman kita. Bapa dan Putra menampakkan diri kepada Joseph Smith untuk memulihkan iman Bapa kita di bumi ini, yang tidak pernah diambil lagi. Allah menghendaki agar semua anak-Nya menerima itu, terlepas dari latar belakang, kebudayaan, atau tradisi mereka. Agama yang sejati hendaknya tidak dimulai dari apa yang menyenangkan manusia atau tradisi leluhur, melainkan dari apa yang menyenangkan Allah, Bapa Kekal kita.

Wahyu yang berkesinambungan adalah asas dasar dari iman ini. Doa pertama Joseph Smith merupakan kesaksian kuat mengenai hal ini. Wahyu adalah kompas tetap yang menjaga kita senantiasa teguh pada kehendak dan iman Bapa Surgawi kita.

Bapa Surgawi kita mengasihi anak-anak-Nya. Dia mendengar doa yang rendah hati dan sungguh-sungguh dari setiap bangsa, bahasa, dan rakyat. Dia memberikan terang kepada mereka yang mencari serta menghormati-Nya dan bersedia untuk mematuhi perintah-perintah-Nya. Kita dengan sukacita mengabarkan bahwa iman Bapa kita ada di bumi dewasa ini.

Kami mengundang semua orang di bumi yang indah ini untuk merasakan ajaran-Nya dan memastikan iman itu manis dan baik, dan berharga. Kami meminta kepada mereka yang hatinya tulus untuk mempelajari ajaran ini dan bertanya kepada Bapa mereka di Surga tidakkah ini benar. Dan dengan melakukan hal itu, semua orang dapat menemukan, memeluk, dan berjalan dalam iman sejati Bapa mereka, dimana iman itu akan menyelamatkan mereka.8

Itulah pesan kita kepada dunia.

Saya memberikan kesaksian yang khusyuk akan kenyataan Allah Bapa; Putra-Nya, Yesus Kristus; Roh Kudus; dan para nabi yang hidup yang memegang kunci-kunci, yang telah datang dalam pergantian yang tak terputuskan dari Joseph Smith kepada Thomas S. Monson saat ini. Dalam nama Yesus Kristus, amin.

Catatan

  1. A&P 81:5.

  2. Kisah Para Rasul 10:38.

  3. Hymns, no. 84.

  4. Pasal-Pasal Kepercayaan ke-11.

  5. Lihat Wahyu 12:7–9.

  6. Pasal-Pasal Kepercayaan ke-1.

  7. Pasal-Pasal Kepercayaan ke-3.

  8. Lihat Matius 9:22.

Cetak