2008
Hari Ini
Mei 2007


Hari Ini

Seandainya kita telah demikian menjalani Hari Ini sehingga kita memiliki tuntutan hak atas kasih karunia yang membersihkan dari Kurban Tebusan, kita akan hidup selamanya dengan Allah.

Elder Lance B. Wickman

Tiga minggu lalu, saya menginjakkan kaki ke hari Kemarin. Pada waktu itu, saya menemukan kembali Hari Ini. Dan mengenai Hari Inilah saya ingin berbicara.

Tugas Gereja telah membawa saya menyeberangi luasnya jangkauan Pasifik ke negeri Vietnam. Bagi saya, ini lebih dari penerbangan di atas samudra. Itu merupakan satu langkah mundur dalam waktu. Lebih dari 40 tahun lalu, saya telah bertugas di medan perang negeri itu sebagai opsir tentara. Tergores dalam benak saya selama dekade-dekade sesudahnya kenangan akan tempat itu, orang-orangnya dan para rekan tentara dengan siapa saya bertugas. Yakub pernah menulis, “Hidup kami berlalu seolah-olah … suatu mimpi bagi kami” (Yakub 7:26). Begitulah adanya bagi saya. Dan sekarang saya kembali dari ruang kenangan saya ke tempat kenangan itu setelah hampir setengah abad. Urusan Gereja saya selesai, saya memutuskan sekali lagi mengunjungi medan-medan pergumulan keputusasaan itu. Dengan ditemani istri saya tercinta, saya melakukan perjalanan itu.

Saya tidak terlalu yakin apa yang saya harap akan temukan setelah bertahun-tahun. Yang saya temukan adalah yang paling tidak terduga. Alih-alih orang-orang yang tercabik perang, saya menemukan penduduk yang berjiwa muda, yang bersemangat. Alih-alih daerah pedesaan yang dihujani serangan tembakan, saya menemukan ladang-ladang yang damai, yang menghijau. Bahkan tumbuhan hutannya pun baru. Saya merasa saya sedikit mengira akan menemukan hari Kemarin, tetapi yang saya temukan adalah Hari Ini dan janji akan hari Esok yang cerah. Saya diingatkan bahwa “sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai” (Mazmur 30:6).

Sewaktu saya sekali lagi menginjakkan kaki di medan itu dan sekali lagi menjalani suatu jalan hutan, dalam benak saya, saya mendengar lagi bunyi rentetan senapan mesin, desingan pecahan peluru meriam, dan gemerincing senjata ringan. Saya melihat lagi wajah muda teman-teman yang terbakar matahari yang “memberikan pengabdian mereka hingga titik terakhir” (Abraham Lincoln, Gettysburg Address). Dan saya memikirkan tentang seseorang secara khusus dan satu hari—satu hari saja, 3 April 1966. Hari Minggu Palem, musim Paskah—42 tahun lalu hampir tepat hari ini.

Batalion tentara kami telah berada di Vietnam beberapa bulan. Saya seorang letnan, pemimpin peleton senapan. Kami hampir selalu terlibat dalam operasi tempur. Hari itu merekah dengan batalion kami berada jauh di dalam wilayah musuh. Pagi-pagi sekali, kami mengutus patroli pengintai yang terdiri dari 10 orang. Seorang di antaranya adalah Sersan Arthur Morris. Beberapa pria itu terluka dalam pertempuran bersenjata, termasuk Sersan Morris, yang mengalami luka daging yang kecil. Akhirnya anggota patroli tertatih-tatih kembali ke garis posisi kami.

Kami meminta melalui radio helikopter evakuasi medis. Dengan menaikkan orang-orang yang terluka ke helikopter tersebut, saya mendorong Sersan Morris untuk juga ikut. Dia menolak. Kembali saya mendorongnya. Kembali dia menolaknya. Sekali lagi saya mendesaknya. Sekali lagi dia menolaknya. Akhirnya saya berkata, “Sersan Morris, naiklah ke helikopter itu.” Dia menatap saya, matanya bersungguh-sungguh, memohon. “Tolong, pak,” ujarnya, dan kemudian inilah perkataan yang akan selamanya menghantui saya: “Mereka tidak dapat membunuh seekor burung tua yang tangguh seperti saya.”

Seluruh peristiwa itu terukir di benak saya seperti suatu pemandangan pertempuran: hutan yang terbuka; bunyi baling-baling helikopter yang tak sabar, yang bergetar; pilot yang menatap saya penuh harap; dan teman saya yang memohon untuk tinggal bersama pasukannya. Saya mengalah. Saya melambai menyuruh pergi helikopter dengan harapan hidupnya bagi hari Esok. Sebelum matahari terbenam hari itu juga, teman saya yang terkasih Sersan Arthur Cyrus Morris terbaring mati di tanah, terkena serangan musuh. Dan menggema di benak saya berulang kali, saya mendengar seruannya, “Mereka tak dapat membunuh, mereka tak dapat membunuh, mereka tak dapat membunuh ….”

Tentunya, di satu sisi dia amat keliru. Kefanaan begitu rapuh. Hanya satu detak jantung, penarikan satu nafas, memisahkan dunia ini dari yang berikutnya. Satu saat, teman saya adalah orang yang bersemangat, yang hidup; berikutnya, roh bakanya telah pergi, meninggalkan tubuh fananya bagai gundukan tanah liat yang tak bernyawa. Kematian adalah tabir yang harus setiap orang lalui, dan seperti Sersan Arthur Morris, tidak seorang pun dari kita mengetahui kapan bagian ini akan terjadi. Dari semua tantangan yang kita hadapi, mungkin yang terbesar adalah rasa yang sesat bahwa kefanaan berlangsung selamanya dan akibat wajarnya, bahwa kita dapat menunda hingga esok pengupayaan dan penawaran pengampunan, yang sebagaimana Injil Yesus Kristus ajarkan, berada di antara tujuan inti kefanaan.

Kebenaran mendalam ini diajarkan oleh Amulek dalam Kitab Mormon:

“Karena lihatlah, kehidupan ini adalah saat bagi manusia mempersiapkan diri untuk bertemu Allah. Ya, lihatlah, masa kehidupan ini adalah masa bagi manusia untuk melaksanakan pekerjaan mereka.

… Karena itu, aku mohon darimu supaya kamu jangan menangguhkan hari pertobatanmu sampai akhir

… Karena roh yang sama itu, yang menguasai tubuhmu pada waktu kamu meninggalkan kehidupan ini, roh yang sama itu akan mempunyai kekuatan untuk menguasai tubuhmu di dunia yang kekal itu” (Alma 34:32–34; penekanan ditambahkan).

Betapa pedasnya pernyataan yang digunakan Amulek—“masa kehidupan ini!” Rasul Yakobus menyatakannya demikian: “Sedang kamu tidak tahu apa yang terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yakobus 4:14). Dan orang seperti apa kita ketika kita meninggalkan hidup ini adalah orang sebagaimana adanya kita ketika kita memasuki tahap yang berikutnya. Syukurlah, kita memiliki Hari Ini.

Jika Sersan Morris amat keliru, dia juga benar secara menakjubkan! Kita sungguh adalah baka dalam pengertian Penebusan Kristus mengalahkan kematian, baik jasmani maupun rohani. Dan seandainya kita telah demikian menjalani Hari Ini sehingga kita memiliki tuntutan hak atas kasih karunia yang membersihkan dari Kurban Tebusan, kita akan hidup selamanya dengan Allah. Hidup ini bukanlah melulu waktu untuk mendapatkan dan mengumpulkan tetapi lebih sebagai waktu untuk memberi dan menjadi. Kefanaan adalah medan perang di mana keadilan dan belas kasihan bertemu. Tetapi keduanya tidak perlu bertemu sebagai musuh, karena telah didamaikan dalam Kurban Tebusan Yesus Kristus bagi semua yang dengan bijak menggunakan Hari Ini.

Tinggallah bagi Anda dan saya untuk bersama-sama mengupayakan dan memberikan pengampunan itu—untuk baik bertobat maupun memberikan kasih amal bagi sesama—yang memungkinkan kita untuk melalui pintu yang Juruselamat pertahankan terbuka, dengan demikian menyeberangi ambang kehidupan ini ke dalam permuliaan. Hari Ini adalah harinya untuk mengampuni pelanggaran orang lain, yakin dalam pengetahuan bahwa Tuhan dengan demikian akan mengampuni pelanggaran kita. Sebagaimana Lukas secara bermakna mencatat, “Hendaklah kamu murah hati” (Lukas 6:36; penekanan ditambahkan). Kesempurnaan mungkin menghindar dari kita di sini, tetapi kita dapat bermurah hati. Dan pada akhirnya, bertobat serta mengampuni berada di antara syarat utama Allah bagi kita.

Dengan rampungnya perjalanan mundur saya dalam waktu, saya memandang ke sekeliling pada ladang-ladang damai milik Hari Ini tersebut dan melihat dalam kesuburannya janji akan hari Esok. Saya memikirkan mengenai tempat-teman saya, Sersan Arthur Cyrus Morris. Saya memikirkan tentang hari Minggu Palem dari hari Kemarin yang nahas itu. Dan saya amat bersyukur atas Penebus pagi Paskah yang memberi kita kehidupan, yang perendahan diri-Nya ke bawah segala sesuatu memungkinkan kebangkitan kita di atas segala sesuatu—hari Esok, jika saja kita meraih Hari Ini. Dalam nama Yesus Kristus, amin.