2008
Jiwaku Suka Akan Hal-Hal Tuhan
Mei 2007


Jiwaku Suka Akan Hal-Hal Tuhan

Suka akan hal-hal Tuhan … akan “mengangkat” hati kita dan memberi kita alasan untuk “bersukacita.”

Gambar
Susan W. Tanner

Dalam Kitab Mormon, Nefi sering berbicara mengenai suka. Dia suka “akan hal-hal Tuhan,” “dalam tulisan suci,” serta “dalam rencana yang besar dan kekal” dari Bapa kita di Surga lihat 2 Nefi 4:15–16; 11:2–8. Secara khusus, Nefi sering mengingat sumber-sumber kesukaannya di tengah-tengah kesengsaraan, dengan melayani untuk mengangkat dan memfokuskan rohnya pada berkat-berkat besar.

Kita juga hendaknya suka akan hal-hal Tuhan karena itu akan “mengangkat” hati kita dan memberi kita alasan untuk “bersukacita” (2 Nefi 11:8). Izinkan saya menyebutkan beberapa hal yang saya sukai.

Saya suka terhadap Juruselamat kita, Yesus Kristus. Seperti Nefi, “Aku bersukaria dalam Yesusku” (2 Nefi 33:6), dalam pelayanan-Nya dan peran penyelamatan-Nya di bumi. Dia menyediakan terang dan harapan serta telah memberi kita Roh Kudus untuk bimbingan lebih lanjut dan penghiburan di sepanjang jalan yang harus kita tempuh. Hanya melalui Dialah kita dapat kembali kepada Bapa kita. “Keselamatan dapat datang kepada anak-anak manusia. Hanya di dalam serta melalui nama Kristus, Tuhan Yang Mahakuasa” (Mosia 3:17).

Saya suka akan Injil Yesus Kristus yang dipulihkan, yang dibangun di atas landasan para rasul dan nabi yang dengannya saya telah memiliki berkat kesempatan untuk melayani. Saya bersaksi bahwa Presiden Thomas S. Monson adalah Nabi Tuhan di bumi pada zaman sekarang ini. Saya suka bahwa dia sesungguhnya adalah hamba yang seperti Kristus bagi setiap orang, yang menjangkau dalam kehangatan dan kasih kepada setiap individu.

Saya suka akan kunci-kunci imamat dan bait suci yang dapat ditemukan di bumi, yang menyediakan bagi kita masing-masing tata cara-tata cara dan perjanjian-perjanjian kekal. Beberapa dari hari-hari paling selestial saya akhir-akhir ini adalah pernikahan bait suci anak-anak saya, dengan ayah saya melaksanakan tata cara kudus itu.

Saya suka akan kekuatan kaum remaja sewaktu saya melihat mereka datang ke bait suci untuk melakukan pembaptisan bagi mereka yang telah meninggal. Saya menyenangi ketaatan mereka yang layak terhadap standar-standar yang menuntun pada bait suci serta persiapan mereka untuk menjadi misionaris yang setia dan ayah serta ibu yang saleh.

Saya suka bahwa saya adalah putri Bapa Surgawi, yang mengasihi saya. Saya belajar mengenai identitas ilahi saya sejak usia dini di sisi ibu saya. Belum lama berselang saya melihat cucu perempuan saya yang kemudian berusia tiga tahun mempelajari identitasnya dari ibunya. Eliza pergi tidur dengan sedih. Dia dapat dihibur hanya ketika ibunya menceritakan kembali kisah nyata favorit Eliza mengenai malam yang khusus ketika Bapa Surgawi dengan lugas dan jelas membisikkan ke telinga ibunya bahwa Eliza adalah roh istimewa yang memiliki misi mulia di masa datang.

Saya menikmati kesukaan besar dalam peranan saya sebagai pemelihara, yang mengizinkan saya untuk menyatakan identitas terdalam saya sebagai seorang wanita. Saya selalu terkesan dengan cara para wanita, remaja putri, dan bahkan gadis-gadis kecil yang tampaknya memiliki minat dan kemampuan naluriah dalam memelihara. Itu bukan saja tanggung jawab utama ibu, namun juga bagian dari “ciri mutlak dari identitas dan tujuan pradunia, kehidupan fana, dan kekal setiap orang” (lihat “Keluarga: Pernyataan kepada Dunia,” Liahona, Oktober 2004, 49). Mengasuh artinya mengajar, menekankan kemajuan, meningkatkan pertumbuhan, menafkahi, dan mengasuh. Siapa yang tidak akan berseru penuh sukacita ketika diberi peranan yang memberkati semacam itu?

Tulisan suci menggunakan kata mengasuh hanya dua kali, baik dalam hal berbicara tentang tanggung jawab orang tua untuk membesarkan anak-anak “dalam asuhan serta nasihat Tuhan” (lihat Enos 1:1; Efesus 6:4).

Presiden Hinckley juga menasihati baik pria maupun wanita untuk menjadi pemelihara [pengasuh]. Dia menyatakan:

“Betapa akan jauh lebih indah jadinya … masyarakat tempat kita tinggal jika setiap ayah … dan ibu menganggap anak-anak [mereka] … sebagai karunia dari Allah Surga, … dan membesarkan mereka dengan kasih sayang yang sejati dalam kebijaksanaan dan nasihat Tuhan” (Gordon B. Hinckley, “These, Our Little Ones,” Ensign, Desember 2007, 9).

Saya suka akan keluarga. Belum lama berselang saya suka dengan kelahiran cucu baru ke dalam sebuah keluarga yang memahami bahwa orang tua memiliki tanggung jawab kudus untuk membesarkan anak-anak mereka dalam kasih dan kesalehan. Kakak-kakaknya memiliki rasa penasaran alami mengenai kelahiran adik perempuan mereka ke dunia ini. Pelajaran pertama mereka mengenai hal yang kudus ini diajarkan oleh orang tua yang penuh kasih dalam sebuah pertemuan kudus keluarga, dalam suasana selestial yang menyertai kelahiran satu jiwa baru ke dalam kefanaan dan dalam konteks rencana besar Bapa kita. Sebaliknya, hari berikutnya sepulang dari taman kanak-kanak, cucu perempuan kami melaporkan bahwa di kelas hari itu dia telah mempelajari ”sebuah istilah baru yang besar yang disebut pelecehan seksual.” Saya merasa prihatin bahwa dalam usia yang dini ini, anak-anak sudah harus mewaspadai, untuk alasan keselamatan, segi negatif pokok persoalan yang telah mereka bicarakan dengan sangat indahnya malam sebelumnya. Saya suka melebihi sebelumnya dalam keluarga yang memelihara yang didasarkan pada ajaran-ajaran Yesus Kristus.

Yakub mengajarkan bahwa Tuhan suka akan “kesucian orang-orang perempuan” (Yakub 2:28). Saya suka akan kesucian dan kemurnian semua wanita dan pria. Betapa menyedihkan bagi Tuhan untuk melihat kebajikan dilanggar dan kesopanan dicemooh di setiap sudut di dunia yang jahat ini. Tuhan telah menyediakan bagi anak-anak-Nya sukacita besar melalui hubungan yang intim dan penuh kasih, saat cucu-cucu saya mempelajarinya. Saya suka akan kejelasan dari Pernyataan kepada Dunia mengenai Keluarga yang memperingatkan bahwa “orang yang melanggar perjanjian kemurnian akhlak, yang menganiaya pasangan atau keturunan, atau yang gagal memenuhi tanggung jawab keluarga, pada suatu hari akan bertanggung jawab di hadapan Allah.”

Saya suka akan teladan orang-orang dalam tulisan suci yang berjalan dengan iman, dalam perjalanan fana mereka. Setiap kali saya berjalan bersama Abraham dan Ishak di jalan menuju Gunung Moria, saya menangis, mengetahui bahwa Abraham tidak mengetahui bahwa di sana akan ada seorang malaikat dan biri-biri jantan di semak-semak di akhir perjalanan mereka. Kita masing-masing berada di tengah-tengah jalan fana kita, dan kita tidak mengetahui kelanjutan kisah kita. Namun kita, seperti Abraham, diberkati dengan mukjizat.

Saya suka akan “belas kasih dan mukjizat” Tuhan (lihat “Bless Our Fast, We Pray,” Hymns no.138). Saya tahu bahwa belas kasih-Nya yang lembut dan mukjizat-mukjizat-Nya, besar maupun kecil, adalah nyata. Hal itu datang menurut cara-Nya dan menurut waktu-Nya. Kadang-kadang tidak sampai setelah kita mencapai batas kita. Para murid Yesus di Danau Galilea harus bekerja keras ketika mendayung menerjang angin yang berlawanan di sepanjang malam sebelum Yesus akhirnya datang untuk menolong mereka. Dia tidak datang sampai pukul tiga, dini hari,” yang berarti hampir subuh. Namun Dia sungguh datang (lihat Markus 6:45–51). Kesaksian saya adalah bahwa mukjizat sungguh-sungguh terjadi, meskipun kadang-kadang tidak datang sebelum pukul tiga dini hari.

Saya menggunakan iman dan doa-doa saya serta melihat mukjizat-mukjizat mewakili orang-orang terkasih yang secara jasmani sakit, yang secara emosi putus asa, dan secara rohani tersesat. Saya suka akan kasih Tuhan bagi setiap anak-Nya dan akan kebijaksanaan-Nya untuk mengizinkan kita secara pribadi menyesuaikan pengalaman-pengalaman fana.

Terakhir, saya suka akan, lebih dari yang dapat saya ungkapkan, kasih kekal dan bantuan tetap dari suami saya serta doa-doa dan dukungan dari anak-anak serta orang tua saya selama tahun-tahun pelayanan saya sebagai presiden umum Remaja Putri ini.

”Jiwaku suka akan hal-hal Tuhan” (2 Nefi 4:16)—hukum-Nya, kehidupan-Nya, kasih-Nya. Suka akan Dia berarti mengenali tangan-Nya dalam kehidupan kita. Tugas Injil kita adalah untuk melakukan apa yang benar dan untuk mengasihi dan suka akan apa yang benar. Apabila kita suka untuk melayani-Nya, Bapa kita di Surga suka untuk memberkati kita. “Aku, Tuhan, … suka menghargai mereka yang melayani Aku dalam keadilan dan kebenaran sampai akhir” (A&P 76:5). Saya ingin senantiasa menjadi layak akan kesukaan-Nya. “Aku mengasihi Tuhan; kepada-Nya jiwaku bersuka,” (“I Love the Lord,” Jackman Music Corporasi), dalam nama Yesus Kristus, amin.

Cetak