2008
Adat Istiadat yang Benar
Mei 2007


Adat Istiadat yang Benar

Apakah adat istiadat yang kita bentuk dalam keluarga kita terjadi untuk memudahkan anak-anak kita mengikuti para nabi yang hidup?

Gambar
Cheryl C. Lant

Sepanjang yang dapat saya ingat, ayah saya mengenakan cincin berbatu rubi merah yang indah di tangan kirinya. Itu diwariskan kepada satu-satunya saudara lelaki saya. Saya berpikir itu akan menjadi adat istiadat dalam keluarga kami—pusaka yang diwariskan dari generasi ke generasi. Itu akan menjadi sebuah adat istiadat yang baik, dengan kenangan manis yang terkait dengannya.

Kita masing-masing memiliki adat istiadat dalam keluarga kita. Beberapa di antaranya bersifat duniawi. Beberapa lagi memiliki makna mendalam. Adat istiadat yang paling penting dikaitkan dengan cara kita menjalani kehidupan kita dan akan bertahan hingga kehidupan yang akan datang sewaktu kehidupan anak-anak kita dipengaruhi dan dibentuk. Dalam Kitab Mormon, kita membaca mengenai bangsa Laman yang sangat terpengaruh dengan adat istiadat leluhur mereka. Raja Benyamin mengatakan bahwa mereka adalah bangsa yang tidak mengetahui apa-apa mengenai asas-asas Injil “atau bahkan tidak memercayai hal-hal itu apabila diajarkan kepada mereka, karena adat istiadat leluhur mereka yang tidak benar” (Mosia 1:5).

Apa jenis adat istiadat yang kita miliki? Beberapa di antaranya mungkin berasal dari leluhur kita, dan sekarang kita mewariskannya kepada anak-anak kita. Apakah itu yang ingin kita lakukan? Apakah itu berdasarkan pada tindakan-tindakan kebenaran dan iman? Apakah itu sebagian besar bersifat duniawi, atau apakah itu bersifat kekal? Apakah kita secara sadar menciptakan adat istiadat yang benar, atau apakah kehidupan itu terjadi begitu saja terhadap kita? Apakah adat istiadat kita terbentuk sebagai tanggapan terhadap suara-suara keras dunia, atau apakah itu dipengaruhi oleh suara lembut Roh? Apakah adat istiadat yang kita bentuk dalam keluarga kita terjadi untuk memudahkan anak-anak kita mengikuti para nabi yang hidup, atau akankah itu menyulitkan mereka?

Bagaimana kita hendaknya menetapkan adat istiadat kita? Tulisan suci memberi kita pola yang luar biasa. Dalam Mosia 5:15 dinyatakan, “Karena itu, aku ingin agar kamu tabah dan tak tergoyahkan, selalu berlimpah-limpah dengan pekerjaan baik.”

Saya menyukai ayat ini karena kita tahu bahwa adat istiadat dibentuk seiring berlalunya waktu ketika kita mengulangi tindakan yang sama berulang kali. Ketika kita tabah dan tak tergoyahkan dalam melakukan apa yang baik, adat istiadat kita menjadi berakar kuat dalam kebenaran. Namun saya memiliki sebuah pertanyaan. Bagaimana kita menentukan apa yang baik, atau yang lebih penting lagi, apa yang cukup baik? Tulisan suci lainnya yang memberi kita lebih banyak informasi terdapat dalam 3 Nefi 6:14. Ini berbicara mengenai bangsa “yang ditobatkan kepada iman yang benar; dan mereka tidak pernah mau menyimpang dari iman itu, karena mereka teguh dan tabah dan tak tergoyahkan, bersedia dengan segenap ketekunan untuk mematuhi perintah-perintah Tuhan.”

Kita belajar bahwa pertobatan kita pada “iman yang benar” mendahului kemampuan kita untuk tetap teguh, tabah, dan tak tergoyahkan dalam mematuhi perintah-perintah. Pertobatan ini adalah kepercayaan yang teguh kepada Yesus Kristus sebagai Penebus kita. Kesaksian mengenai hal ini terdapat dalam Kitab Mormon, yaitu “satu kesaksian lagi tentang Yesus Kristus.” Itu berjalan seiringan dengan Alkitab dalam mengkhotbahkan keilahian dan misi Yesus Kristus juga kenyataan akan Bapa yang hidup di Surga. Setiap nabi yang mencatat dalam kitab suci ini memberikan kesaksian pribadinya mengenai hal-hal ini, juga ajaran-ajaran mengenai bagaimana kita perlu menjalani kehidupan kita untuk mengambil bagian dalam Kurban Tebusan serta menemukan kedamaian dan kebahagiaan.

Hanya ada satu cara untuk menjadi dipertobatkan secara pribadi. Itu datang melalui kesaksian akan Roh sewaktu kita mempelajari tulisan suci penting ini yang bersaksi mengenai Yesus Kristus. Itu datang sewaktu kita berdoa dan sewaktu kita berpuasa. Itu hanya datang ketika kita memiliki hasrat mendalam untuk mengetahui kebenaran. Motivasi kita haruslah untuk secara terbuka mencari kebenaran, daripada sekadar membenarkan tindakan-tindakan kita dengan mencari-cari kesalahan terhadap tulisan suci, ajaran para nabi, atau Gereja itu sendiri. Upaya kita haruslah mengarah pada mendengar penafsiran Roh, daripada sekadar memahami dunia. Kita harus bersedia membuka hati dan pikiran kita, menerima cara Tuhan, dan, jika perlu, mengubah hidup kita. Pertobatan pribadi kita datang sewaktu kita mulai menjalani jalan yang Tuhan kehendaki agar kita jalani—teguh dan tak tergoyahkan dalam mematuhi semua perintah, bukan hanya perintah yang menyenangkan. Ini kemudian menjadi proses pemurnian sewaktu kita berusaha untuk menjadikan setiap hari sedikit lebih baik daripada hari sebelumnya. Dengan demikian, adat istiadat kita menjadi adat istiadat kebenaran.

Saya ingin mengajak kita semua untuk meluangkan waktu sejenak memikirkan adat istiadat dalam kehidupan kita dan bagaimana hal itu dapat memengaruhi keluarga kita. Adat istiadat kita tentang pengudusan hari Sabat, doa keluarga, pembelajaran tulisan suci, pelayanan serta kegiatan di Gereja, juga pola rasa hormat dan kesetiaan dalam rumah tangga akan memiliki dampak yang besar terhadap anak-anak kita dan masa depan mereka. Jika peranan kita sebagai orang tua didasarkan pada ajaran-ajaran tulisan suci dan para nabi zaman akhir, kita tidak dapat salah. Jika setiap saat terdapat tantangan, hati kita pertama-tama berpaling dan senantiasa tertuju kepada Bapa kita di Surga untuk memohon arahan, kita akan berada di tempat yang aman. Jika anak-anak kita mengetahui apa yang sungguh-sungguh kita dukung, dan kita senantiasa mendukung kehendak Tuhan, maka kita melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Sekarang, hal yang penting adalah bahwa kita secara konsisten melakukan hal-hal ini. Kita tidak akan sempurna mengenai hal itu, dan keluarga kita tidak akan selalu menanggapi secara positif, namun kita akan membangun sebuah landasan dari adat istiadat yang kuat dimana anak-anak kita dapat bergantung kepadanya. Mereka dapat bersandar pada landasan itu ketika segala sesuatu menjadi sulit, dan mereka dapat kembali pada landasan itu jika mereka tersesat selama kurun waktu tertentu.

Di akhir hayat ayah saya, dia mewariskan jauh lebih banyak kepada kami, anak-anaknya, daripada sebuah cincin bermata rubi merah. Raganya lelah, namun dalam kenyataan, dia berdiri sebagai pilar kekuatan, teladan kebajikan dan kebenaran. Kehidupannya menjunjung adat istiadat yang memperkuat kita di zaman ini, meskipun dia tidak lagi bersama kita. Dia “teguh dan tak tergoyahkan, bersedia dengan segenap ketekunan untuk mematuhi perintah-perintah Tuhan.”

Dapatkah kita melakukan ini kepada anak-anak kita? Apakah pusaka yang kita berikan kepada mereka saat ini? Apa yang akan kita berikan di masa datang? Itu dapat dimulai dengan kita. Akankah hati dan hidup mereka dipenuhi dengan adat istiadat yang menjadikan mudah bagi mereka untuk menerima serta mengikuti Tuhan serta para nabi zaman akhir? Akahkah kita sebagai keluarga dapat menuntut berkat-berkat yang dijanjikan,“Agar Kristus, Tuhan Allah Yang Mahakuasa dapat memeteraikan kamu sebagai milik-Nya, agar kamu dapat dibawa ke surga, agar kamu memperoleh keselamatan abadi serta hidup yang kekal” (Mosia 5:15).

Brother dan sister, saya tahu bahwa kita dapat! Saya tahu bahwa Allah mengasihi kita dan menanti untuk membantu kita datang kepada-Nya. Kita masing-masing dapat mengetahui bahwa hal-hal ini adalah benar. Saya tahu bahwa itu benar adanya! Saya tahu bahwa Allah hidup; Yesus Kristus adalah Putra-Nya dan Penebus kita. Injil Yesus Kristus adalah benar; tulisan suci berisi tentang Dia dan bersaksi tentang Dia. Dan kita memiliki nabi sejati dan yang hidup di zaman ini—Presiden Thomas S. Monson. Dia telah dipersiapkan dan ditampilkan di zaman ini untuk memimpin Gereja-Nya.

Sewaktu kita menjadi “teguh dan tak tergoyahkan” dalam mematuhi perintah-perintah Tuhan, kita akan memperoleh berkat-berkat surga bagi diri kita dan bagi keluarga kita.

Saya berdoa semoga kita akan merasakan ini di lubuk hati kita dan dalam kehidupan kita, dalam nama Yesus Kristus, amin.

Cetak